Citra Perempuan Istana High Class Women

81 terkenal dan dianggap tidak ada yang menyamainya. Selain itu ia juga terkenal dengan syair washfnya. 277 Demikian sekilas tentang gambaran penyair istana dan penyair komersil.

C. Citra Perempuan Istana High Class Women

Perempuan dalam tradisi sastra Arab Jahiliyah terutama syair, memiliki arti tersendiri, bahkan ia adalah bagian terpenting dalam sebuah syair. Hal ini terbukti dari tradisi mereka yang selalu menyebutkan terlebih dahulu perempuan-perempuan yang memiliki arti bagi penyair dalam mukadimah syair, yang biasa mereka sebut dengan istilah al-nasîb. Namun demikian, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan, bahwa perempuan pada masa Jahiliyah memiliki peranan yang sangat tinggi dalam struktur sosial. Dalam syair-syair Umru al-Qais yang sangat terkenal dengan ghazal-ghazalnya, misalnya, kita dapat menemukan ungkapan-ungkapan penyair tentang perempuan di sekitarnya. Umru al-Qais adalah sebuah simbol laki-laki istana atau aristokrat yang kehidupannya tidak pernah lepas dari perempuan. Meskipun kita juga tidak dapat menggeneralisir kehidupan pria istana melalui kehidupan Umru al-Qais, namun demikian ia tetap memberikan gambaran pada kita bagaimana perempuan diperlakukan dalam kehidupan mereka, meskipun dari satu sudut kehidupan. 1. Fisis, erotisme dan kekuasaan Sebagaimana diungkapkan oleh Suwardi Endraswara bahwa karya sastra sejak zaman dahulu kala telah menjadi culture regime dan memiliki daya pikat kuat terhadap persoalan gender. Persepsi perempuan sebagai makhluk yang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya laki-laki sebagai kaum yang cerdas, aktif, kuat dan sejenisnya- selalu mewarnai di hampir semua sastra di dunia. Citra perempuan seperti itu seakan- akan telah mengakar dalam benak penulis dari masa ke masa. Dan paham yang sangat sulit dihilangkan hingga kini adalah terjadinya hegemoni laki-laki terhadap perempuan. dan kekurangan seseorang, sehingga tidak sesuai dengan watak bangsa Arab yang keras. Satu-satunya penyair yang memiliki banyak syair i;tidzar adalah al-Nâbighah al-Dzubyâni saat ia memohon pengampunan pada al- Nu’mân al-Mundzir. Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al- Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 67 277 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 79 82 Hampir seluruh karya sastra, baik yang dihasilkan oleh penulis laki-laki maupun perempuan, dominasi laki-laki selalu lebih kuat. Figur laki-laki terus menjadi the authority , sehingga memberikan asumsi bahwa perempuan adalah impian, the second sex , warga kelas dua dan tersubordi nasi”. 278 Ukuran ideal antara satu orang dengan yang lain tentu saja tidak sama. Ada yang mengukur idealisme dengan kecerdasan, ada pula yang mengukurnya dengan kecantikan, baik fisik ataupun psikis. Sebagai contoh, ciri perempuan ideal menurut nilai-nila i Victoria yaitu harus mencerminkan ‘the cult of true womanhood’ atau pemujaan terhadap kewanitaan sejati. Untuk itu sifat-sifat yang harus dimiliki perempuan ideal menurut aliran ini yaitu kesalehan, kemurnian, sikap menyerah, domestisitas selalu tinggal di rumah. Satu-satunya kegiatan yang boleh dilakukan perempuan hanyalah kegiatan agama, karena ranah ini termasuk ranah perempuan. 279 Lain Victoria, lain pula Umru al-Qais, baginya perempuan ideal adalah perempuan yang memiliki kecantikan fisis 280 yang sempurna. Citra perempuan secara fisis sangat digemari dalam syair-syair Jahiliyah terutama dalam syair-syair aristokrat seperti Umru al-Qais. Dalam menggambarkan perempuan secara fisis, gaya bahasa yang digunakan dalam syair-syair Jahili, pada dasarnya bukanlah gaya bahasa yang rumit untuk dipahami maknanya, sebab biasanya diksi yang digunakannya sangat sederhana dan bersifat hissi kongkrit, di samping itu, unsur imajinasi dalam syair juga masih sangat sederhana, sehingga tidak banyak memerlukan penafsiran yang mendalam. Hal ini menunjukkan tingkat intelektual mereka yang masih sederhana, sehingga orientasi mereka lebih bersifat fisik dan indrawi. Hal ini sebagaimana yang terjadi dalam keyakinan ideologi mereka yang lebih cederung pada penyembahan benda-benda yang bersifat konkrit. 278 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi , Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003, hal. 143 279 W illiam L. O’ Neill, Everyone Was Brave, A History of Feminism in American: Chicago: tp, 1969, hal. 7, Soenardjati Djayanegara, hal. 19 280 Citra perempuan secara fisis yaitu semua gambaran perempuan dari sudut pandang fisik atau jasmani atau lawan dari psikis. 83 Umru al-Qais yang dianggap sebagai tokoh pelopor syair Arab Jahiliyah yang berasal dari kalangan istana dan bangsawan, sangat terkenal dengan syair-syair percintaannya. Di dalam syair-syairnya, nuansa pencitraan perempuan secara fisik terasa sangat kental. Untuk itu ia memiliki konsep tersendiri tentang perempuan ideal. Baginya, perempuan ideal haruslah seorang yang م muhafhafah yang berarti bertubuh langsing dengan kulit perut yang tipis, tidak tebal dan tidak juga kendor. Selain itu, ia juga harus berkulit putih ء يب baidlâ ’, memiliki perut yang lembut atau ghair mufâdlah , dada yang menawan dan tampak bersinar, memiliki pipi yang ranum, berleher jenjang, rambut hitam mayang mengurai dengan berbagai hiasan, pinggang yang ramping, berbetis bak buluh tebu, berjari lentik, berambut hitam dan lebat, bertubuh harum, dan lain sebagainya yang semuanya merupakan kecantikan fisik semata. Hal ini tampak dalam syair mu`allaqatnya yang sangat terkenal: يب م ض م يغ ء ل ل ك ل م ئ ت 281 Langsing, putih, ramping Dadanya berkilau bagai cermin ت ليس نع ت ت ل م ج شح نم ب Ia pun berpaling, menampakan pipinya yang ranum, menghindari buasnya tatapan mata sapi setelah beranak 282 Pada bait kedua, penyair mengumpamakan dirinya dengan wajrah muthfil yaitu sapi yang baru melahirkan. Biasanya sapi yang baru melahirkan tampak galak dan liar, siap menerkam siapapun yang mengganggunya. Dengan ungkapan tersebut, ia ingin menyatakan bahwa, ia pun mampu berbuat laksana sapi yang baru melahirkan terhadap perempuan yang ia sukai. Di sisi lain, perempuan hanya mampu menghindar dari pandangan mata yang liar tadi, meskipun pada saat menghindarpun ia tetap menjadi objek pelecehan seksua l penyair. Hal ini terlihat dari ungkapan penyair, ‘Ia pun 281 Sajanjal: Kaca Yunani 282 Dalam bait ini perempuan diumpamakan bagai kijang yang sedang melihat sapi yang galak, lalu dengan perlahan-lahan ia memalingkan lehernya dari sapi itu. 84 berpaling, menampakan pipinya yang ranum’. Pipi yang ranum yang dimiliki perempuan menjadi objek erotis kaum laki-laki yang melihatnya. شح ب سيل مئ ل ي ك يج ل ع ب ا ه ن ه Lehernya bagaikan leher kijang yang putih tanpa noda, Saat ia biarkan terbuka dengan perhiasan yang menghiasinya مح ف س ن ل ني ي ف ل ع ل ل ك ثيث Rambutnya yang sempurna menghiasi punggungya, hitam kelam Lebat, bagai rangkaian buah kurma اعل ل م ئ غ لس م م ف ل ل ت Kepang rambutnya menjulang ke atas Terselip madari sisir hias saat dikepang atau diurai م لي ل ك في ل ح ك لل ل ي ل ن ك س Pinggang yang ramping bagai ikat pinggang yang melilit Betisnya bagai buluh tebu yang subur هن ك ن ش غ صخ ب عت لحس كي م ي عي س Menggigit ujung jarinya yang lentik dengan lembut, bagaikan Garis-garis yang terdapat dalam tubuh kijang, atau bagaikan pohon siwak ب ي ل ن م ك ل ح ل يغ ء ل ي ن ه غ Bagaikan telur burung unta yang baru menetas putih kemerah-merahan bercampur kuning, dialiri air yang sangat bening tanpa keruh sedikitpun ن ك ء عل ب ا ل ء ت ل م به م ن Menyinari gelapnya malam, bagaikan Pelita yang bersinar dari tempat peribadatan rahib ش ف ف ك ل تي ف ح ت ل ت نع ق ت مل ح ل ئ Terbangun di pagi hari dengan taburan minyak kesturi di atas kasur Melewati pagi tanpa harus disibukan dengan baju tidur Konsep penyair tentang perempuan ideal yang hanya diukur lewat kecantikan fisik semata, pada akhirnya membentuk konsep cinta yang berorientasi seksual desire bukan pada bentuk kasih dan sayang emphatic. Hal ini terlihat dalam syair selanjutnya: 85 مي حل ن ي م ل ب ص م نيب س م Pada perempuan seperti dia, terpana mata setiap pemimpi karena jatuh cinta Di saat ia berada dalam kesempurnaan, antara dewasa dan kanak-kanak remaja ل نع ج ل ي ع ت ت ل ب ه ه نع ف سيل Terperosok kedunguan laki-laki dalam cinta Dan hatiku pun tak mampu menghindarinya Menurut penyair –meminjam istilah Alice Deignan- desire is falling in to container , hasrat diibaratkan dengan sesuatu yang terjatuh ke dalam kontainer. Itulah salah satu metaphor hasrat seksual laki-laki 283 . Ungkapan lain yang menarik dari bait di atas adalah adanya konsep lain tentang perempuan ideal selain ciri fisik yang telah disebutkan sebelumnya. Bagi penyair istana, perempuan ideal selain harus cantik secara fisik, ia juga perempuan yang sedang dalam tahap perkembangan antara kanak-kanak dan dewasa ABG. Hal ini membuktikan bahwa perempuan yang sangat digemari oleh kalangan istana adalah perempuan yang sedang menuju proses kedewasaan secara fisik. Hal ini sangat jelas membuktikan bahwa perempuan dalam istana hanya menjadi objek seksual semata. Kedua bait di atas, selain menggambarkan tentang konsep perempuan ideal, ungkapan ‘terpana mata setiap pemimpi karena jatuh cinta’ fall in love dan kata ‘terperosok kedunguan laki-laki dalam cinta’ adalah sebuah metaphor hasrat seksual yang mengkiaskan cinta dengan sesuatu yang jatuh ke dalam sesuatu. Kata ‘kedunguan’ itu sendiri menjelaskan bahwa desire is madness, bahwa hasrat bercinta itu telah membuat seseorang menjadi gila. هت ل كيف م خ ا لت م يغ هل عت ع حي ن 284 Betapapun banyaknya orang yang membenci dan mencelamu, tak kan ku perdulikan هل س خ ح ل ك ليل يل ل ن ب ع 283 Keith Harvey and Celia Shalom editor, Languange and Desire, London and New York: Routledge, 1997, hal. 26 284 Muhammad Ridla Murawwah, Imru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, hal. 63-64, dikutip dari Jamâ’ah min al-Udabâ’, Dîwan Umru al-Qais, hal. 110-111 86 Dan malam bagaikan ombak lautan yang menguraikan tirainya, untukku, dengan berbagai kesedihan untuk memberiku pelajaran … Kedua bait syair tersebut semakin menguatkan, bahwa hasrat bercinta seseorang selain membuat orang gila, ia juga mampu membuat si empunya merasakan sakit desire is pain, berbuat gila, dan juga kehilangan kontrol rasionalnya. Ia mampu berkorban apapun, bahkan jika harus dibenci orang lain sekalipun. Syair-syair di atas menggambarkan secara jelas citra perempuan istana secara fisik dengan kesempurnaan yang mereka miliki. Dan hal ini juga memberi kita sebuah gambaran yang nyata, tentang bagaimana seorang pria istana mengagumi seorang perempuan hanya karena sifat-sifat fisik yang ia miliki. Hal seperti inilah yang oleh Sugihastuti dinamakan dengan pencitraan perempuan secara visual. 285 Berdasarkan syair tersebut, terbukti bahwa perempuan sejak jaman dahulu kala selalu menjadi impian dan menjadi the second sex dalam dunia kesusasteraan. 286 Kecantikan fisik yang dimiliki perempuan-perempuan istana, memperoleh balasan yang setimpal dengan tidur dan bangun di pagi hari di atas kasur yang empuk dengan semerbak harum wewangian, dikelilingi para inang dan pengawal yang siap menjaga dan melayaninya, hidup dalam kemewahan dan kenyamanan bertaburkan perhiasan, tidak perlu bekerja keras dan mengerjakan urusan-urusan rumah tangga. Inilah balasan dari pengorbanan yang telah mereka lakukan. Dalam menggambarkan sosok perempuan secara fisik, Umru al-Qais banyak menggunakan tasybîh 287 perumpamaan. Bila dilihat dari segi tharf al-tasybîh musyabbah dan musyabbah bih, penyair menggunakan metode yang sama dalam 285 Konsep citraan, citra, dan citra wanita, lih. Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty , Bandung: Nuansa, 2000. 286 Lihat juga Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori dan Aplikasi , Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003, hal. 143. 287 Tasybih adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal atau lebih karena adanya persamaan sifat antara keduanya sesuai dengan tujuan pembicara. Ada empat unsur yang membangun sebuah tasybih yaitu al-musyabbah sesuatu yang dibandingkan, al-musyabbah bih unsur pembanding, wajh syibh unsur atau sifat yang mempersatukan musyabbah dan musyabbah bih, dan adat al-tasybih media tasybih yang mengikat musyabbah dan musyabbah bih, seperti, bagaikan, laksana, bak, dan lain sebagainya. 87 setiap tasybîh-tasybîhnya, yaitu selalu menggunakan metode hissi, 288 sebuah metode perbandingan yang bersifat konkrit indrawi antara yang dibandingkan dengan unsur pembadingnya. Seperti contoh di atas: “ Dadanya berkilau bagai cermin” atau “Lehernya bagaikan leher kijang, putih tanpa noda” dan “Rambutnya yang sempurna menghiasi punggungya, hitam kelam, tebal, bagai rangkaian buah kurma”. Dada perempuan musyabbah dan cermin musyabbah bih keduanya adalah lafaz yang mengandung makna kongkrit, dapat dilihat, disentuh dan diraba. Tidak berbeda dengan contoh kedua dan ketiga, kata leher perempuan musyabbah yang dibandingkan dengan leher kijang musyabbah bih atau rambut perempuan musyabbah dengan rangkaian buah kurma musyabbah bih kedua perumpamaan tersebut bersifat kongkrit hissi, keduanya dapat dilihat, disentuh dan diraba. Hal lain yang perlu diperhatikan dari kedua contoh tersebut adalah bahwa penyair selalu menyertakan wajh syibh aspek persamaan dan adat tasybîh media pembanding secara eksplisit dalam kalimat tasybîh nya, gaya bahasa inilah yang oleh ahli balaghah disebut dengan tasybîh mursal mujmal. Dalam ilmu Balâghah, gaya bahasa yang seperti ini, termasuk gaya bahasa perumpamaan yang paling dasar dan dianggap paling rendah kualitasnya. 289 Dari gaya bahasa yang digunakan penyair tersebut, ada tiga hal yang dapat disimpulkan, pertama bila melihat pada istilah yang menyatakan bahwa pembicaraan harus sesuai dengan muqtadla al-hâl sesuai dengan situasi dan kondisi, maka bisa dipastikan bahwa kemampuan berbahasa penyair sebagai mutakallim pembicara maupun kemampuan mustami` pendengar pada saat itu masih sangat natural, jika tidak 288 Fenomena gaya bahasa hissi kongkrit atau bersifat madiyah materi yang lebih dominan pada syair Jahili dibanding ma`nawi abstrak pada dasarnya tidak hanya terjadi pada syair-syair Umru al- Qais, namun mayoritas penyair Jahili menggunakan metode ini dalam bersyair. Hal ini menunjukkan daya imajinasi dan nalar mereka yang masih saderhana. Selain itu, menurut Abd Rahmân al-Dabbâsi, hal ini juga sangat dipengaruhi oleh gaya hidup dan kondisi sosiologis bangsa Arab yang berorientasi materi fisik. `Abd al-Rahmân ibn Ibrâhîm Al-Dabbâsi, al-Syi`r fi Hâdlirat al-Yamâmah hattâ Nihâyat al-`Ashr al-Umawi , Riyâdl: Maktabah al-Malik `Abd al-`Azîz, 1416, hal. 522-525 289 Di dalam ilmu Balâghah, tasybîh adalah dasar dari perumpamaan-perumpamaan lainnya yang lebih tinggi kualitasnya seperti isti’ârah dan majâz. Namun demikian, gaya bahasa ini juga untuk sebagian orang dianggap sangat berguna dalam menjelaskan makna yang ingin disampaikan dengan menggunakan contoh lain yang mungkin lebih dimengerti oleh pendengar. Artinya gaya bahasa ini disampaikan sesuai dengan kemampuan mutakalimm pembicara dan juga mukhâthab pendengar. Lih. Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma`âni wa al-Bayân, wa al-Badî`, Indonesia: Maktabah Dar Ihya’ al-Kitab al-`Arabiyah, 1379 H1960 M, hal. 247 88 dikatakan masih dalam taraf yang sangat rendah. Kedua, gaya bahasa tersebut mendukung pendapat yang menyatakan bahwa bangsa Arab Jahiliyah cenderung pada hal-hal yang bersifat kongkrit materi, termasuk soal keyakinan yang mereka apresiasikan lewat simbol-simbol. Ketiga dan yang paling penting adalah bahwa gaya bahasa tersebut memberi indikasi tentang orientasi dan cara pandang masyarakat Jahili terutama kalangan istana terhadap perempuan. Orientasi dan cara pandang mereka yang lebih cenderung pada penilaian-penilain fisik sangatlah kuat. Untuk itu, bagi mereka yang dimaksud dengan perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki tubuh yang molek dan indah yang dapat membangkitkan selera seksual kaum laki-laki, bukan yang lainnya. Standar kecantikan yang dibuat oleh bangsa Arab Jahiliyah terutama kaum aristokrat untuk perempuan, tampak bersifat orientasi seksual. Menurut para sastrawan, Umru al-Qais adalah penyair Jahiliyah yang paling banyak menggunakan tasybih dalam syair-syairnya terutama dalam syair ghazalnya. Dalam kitab al-Aghâni bahkan dinyatakan, bahwa ia adalah penyair Jahiliyah terbaik dalam menggunakan tasybîh. 290 Namun dari penjelasan di atas tampak jelas, bahwa ia baru menggunakan bentuk tasybîh yang paling sederhana. Ia sama sekali tidak menggunakan tasybîh aqli abstrak yang memerlukan pemikiran yang mendalam. Baginya tasybîh adalah suatu hal yang sangat dekat, mudah, terlihat, terdengar, atau dirasakan langsung dalam kehidupan sehari-hari. 291 Objek-objek tasybîh yang digunakannya adalah alam dengan semua fenomenanya yang bersifat fisik, yang ada hubungannya dengan irama padang pasir. Sebagai contoh, salah satu simbol perempuan dalam syair di atas adalah kijang 292 . Bagi bangsa Arab kijang adalah binatang yang dijadikan sebagai objek buruan saat berburu. Hal ini terkait erat dengan kehidupan yang dianut mereka saat itu. Mengutip dari apa yang diungkapkan oleh Yûsuf Khalîf, bahwa kehidupan bangsa Arab saat itu tidak pernah terlepas dari tiga hal yaitu bepergian dan berburu ke padang sahara, 290 Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al-Syi`r al-Jâhili, ttp: Maktabah Gharîb, tth, hal. 74 291 Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al-Syi`r al-Jâhili, ttp: Maktabah Gharîb, tth, hal. 75 292 Ada beberapa nama dalam bahasa Arab yang artinya kijang, seperti; al-zhabî, al-ghazâlah, dan al- ra’m seperti dalam syair Umru al-Qais di atas. 89 berkumpul-kumpul dengan teman di kedai minuman, atau mengiringi ke mana perempuan pergi untuk merayu dan memohon cintanya. 293 Ketiga tradisi tersebut satu sama lain saling berkaitan dan saling mempengaruhi kehidupan mereka. Maka pada saat mereka berburu dan melihat kijang, yang tergambar dalam benak mereka adalah sosok perempuan cantik yang sedang menunggu kepulangan mereka. Dalam teori feminisme, beauty cantik diartikan sebagai penampilan yang menarik. Kebutuhan perempuan untuk selalu tampil cantik, menurut teori feminisme menciptakan objek-diri semu. Untuk itu menurut De Beauvoir, fungsi objektivikasi itu sendiri adalah untuk mengabadikan supremasi laki-laki. Sementara Susan Griffin berpendapat, bahwa objektivikasi perempuan pada dasarnya adalah pornografis. Berdasarkan penelitian Joseph dan Lewis, feminis kulit hitam menuding bahwa dalam segala hal sebagian konsep kecantikan perempuan selalu didasarkan pada nilai-nilai laki-laki kulit putih. 294 Bila melihat pada syair-syair Umru al-Qais di atas seperti dalam bait,” Langsing, putih, ramping, dadanya berkilau bagai cermin, maka tuduhan bahwa definisi cantik selalu dihubung-hubungkan dengan adanya supremasi laki-laki, pornografis, bahkan berdasarkan penilaian seorang laki-laki kulit putih adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan. Kecantikan, sebagaimana digambarkan di atas, terkait erat dengan tubuh body. Untuk itu teori-teori tentang seksualitas tubuh, kekuasaan, dan politik terhadap tubuh perempuan oleh patriarkhi merupakan tema sentral dalam feminisme. Untuk itu Robin Morgan memperluas definisi tubuh yaitu sebagai alat untuk memuja insting hidup yang penting dan erotik dari tubuh perempuan. 295 Dari penjelasan tersebut tampak ada korelasi yang kuat antara perempuan, tubuh dan seksualitas. Menurut Endraswara, hampir setiap sastra di belahan bumi ini, menempatkan perempuan sebagai obyek seksualitas dan erotisme. Sebagai contoh, dalam sastra Jawa klasik, perempuan sangat jelas dijadikan sebagai obyek erotik bagi laki-laki, terutama 293 Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al-Syi`r al-Jâhili, hal. 110 294 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002, cet. 1, hal. 35 295 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, hal 44 90 jika sastrawan itu sendiri seorang laki-laki, tentu saja obsesinya bercampur dengan bayangan-bayangan erotis. 296 Hal ini juga tampak jelas dalam syair-syair Umru al-Qais berikut ini: ه خ ي ا خ يب ل عم يغ ب ل نم تع ت Perempuan dalam sekedup yang tidak perlu disembunyikan Menikmati kesenangannya tanpa ada rasa takut عم يل س ح ت م ي ل ص ح ع Untuknya, kulewati penjaga dan keluarganya Aku terlalu menginginkannya tamak, meski mereka senang dengan kematianku تض عت ء ل ف ي ل م ل ل ش ل ء ث عت Jika bintang tujuh muncul di langit Muncul di antara selendang yang terpisah ب يث ل ت ن ق ت ف ل ل ل ا ل ل Maka aku datang, dan ia telah menanggalkan bajunya untuk tidur Di balik kelambu, dengan hanya memakai baju dalam Ghazal puisi cinta, bagi Umru al-Qais bukan semata-mata rayuan laki-laki terhadap perempuan, namun sudah mengandung orientasi seksual dan erotisme. يح كل م ه ني ي تل ف ت ي غل ك ع م Lalu ia berkata: demi Tuhan, tidak perlu kau lakukan itu Menurutku, kau ini tampak sangat keterlaluan نء ت م ب تج خ لح م م لي ي ث ع Aku keluar bersamanya, untuk berjalan-jalan, dan dia mengikuti di belakang kami sambil menarik ekor bajunya yang dihiasi lukisan unta ن ج ف ح ن يحل ح س ل ع ف ح ت خ ن ب ب Ketika kami tinggalkan kediaman kabilah, dan menuju tempat tinggi lainnya yang menyenangkan dengan pasirnya yang meliuk-liuk 296 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003, hal. 143-144 91 ت ي ف س ب ه ل ل ي ح ل مي ه ع Kurengkuh kedua tepi kepalanya hingga mendekat padaku Perempuan berperut ramping, berbetis indah حي ت حن ت ل ل ن ل ي ب ء ج ل مي ن Bila ia berpaling padaku, tercium wanginya yang menyebar Bagai semilir angin semi yang menebarkan wangi bunga cengkeh ت ي ت يل ن ت ه ت ق ل ل ي ح ل مي ه ع Bila kukatakan padanya, kemarilah, berikanlah aku, Maka mendekatlah si perut langsing dan berbetis indah itu padaku عي ل ج ل ءي ي ب لي ق ف تي ك Wajahnya menyinari tempat tidur kawan berbaringnya Bagai lampu minyak dalam pelita bersumbu ل م ت ل ع ك ج ب فك ا ج غ تب ص Seakan-akan di lehernya tempat kalung ada api yang membakar mengenai pohon yang cepat terbakar, membesar, hingga sampai ke akar ل ف ب حي هل ت ه ق م ف ش ص 297 lalu ditiup beragam angin kering angin timur dan utara, di tempat-tempat kering ئ غل ف م س ب ت هف ت ش Demi rambut hitam lebat terurai Demi pemilik gigi tajam nan indah yang selalu digosok dan dipelihara هن ل ل ل م ه ب م ضي ي ع ف ي ل ك 298 Gusinya bagai jubah kebesaran, dan warnanya Bagai duri pohon 299 yang rasanya lezat mengalir ke bumi Dalam puisi tersebut penyair Umru al-Qais tampak sangat mengagumi bahkan tergila-gila dengan kecantikan perempuan. Hati dan perasaannya ia curahkan untuk 297 Muhammad Ridla Murawwah, Amru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, hal. 50, dikutip dari Jamâ’ah min al-Udabâ, Diwan Amru al-Qais, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyat, 1983, hal. 123-124 298 Muhammad Ridla Murawwah, Amru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, hal. 51, dikutip dari Jamâ`ah min al-Udabâ, Diwan Amru al-Qais, hal. 91 299 Perumpamaan ini diambil dari pohon yang memiliki duri yang sangat mirip dengan gigi 92 perempuan, di manapun dan kapanpun kesempatan itu tiba. Hatinya selalu berontak saat melihat gadis cantik dan terobsesi terhadap setiap gadis remaja. Bahasa yang digunakannya pun sangatlah vulgar, bahkan terkesan seronok. Hal ini terkait erat dengan kebiasaannya mempermainkan perasaan perempuan. Baginya perempuan hanyalah pemuas nafsu belaka. Demi nafsunya tersebut, ia rela melakukan apa saja, hingga hal-hal yang membahayakan seperti mengendap-endap melewati punggawa yang sedang berjaga-jaga, bahkan dalam syairnya tersebut ia rela mengorbankan nyawa demi kepuasan jiwanya. Kata-katanya yang menyataka n “Bila kukatakan padanya, kemarilah, berikanlah aku, maka mendekatlah si perut langsing dan berbetis indah itu padaku” dalam bait ini, tampak sangat jelas apa yang diinginkan oleh sang penyair, tiada lain yang diinginkannya hanyalah bercinta, bercinta secara fisik antara dua anak manusia. “Maka aku datang, dan ia telah menanggalkan bajunya untuk tidur di balik kelambu, dengan hanya memakai baju dalam” Ungkapan ini jelas menempatkan perempuan sebagai objek citraan yang lezat, sensual, memabukkan, bahkan diselimuti bayangan-bayangan seksual. Kondisi seperti inilah yang dalam istilah feminisme disebut dengan hasrat birahi desire, yaitu sebuah kebutuhan mendasar yang konstruksi sosialnya disebut seksualitas yang erat kaitannya dengan nafsu erotis erotic passion . 300 Definisi cinta yang dipahami Umru al-Qais di atas, pada dasarnya tidak ada bedanya dengan apa yang dilukiskan dalam Symposium 301 , sebuah definisi yang dirumuskan oleh Diotima seorang pendeta perempuan dan dilegitimasi oleh Sokrates. Menurut teori ini, persoalan cinta yang paling dekat dimulai dari tingkat hasrat erotis dan bersenang-senang lalu menuju tingkat kesadaran pengetahuan. Garis yang menyatukan kedua level tersebut adalah kecantikan beauty, sebuah bentuk apresiasi yang lebih condong pada kecantikan tubuh dibanding kecantikan jiwa. 302 300 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, hal. 101 135 301 Symposium adalah kumpulan lukisan yang terdapat dalam museum yang dijadikan sebagai peninggalan bersejarah 302 Georges Duby and Michelle Perrot, A. History of Women; From Ancient Goddesses to Christian Saint , London: The Belknap Press Combridge, 2000, cet. 6, hal. 216 93 Berdasarkan hal tersebut tampak korelasi yang kuat antara kecantikan fisik yang dimiliki perempuan, kekuasaan yang dimiliki laki-laki dan citra perempuan sebagai objek seksual. Kekuasaan yang dimiliki Umru al-Qais tampaknya bukan hanya kekuasaan jabatan semata, namun juga bersumber dari kekayaan yang dimilikinya yang ia gunakan sebagai alat kekuasaan. Ketiga hal tersebut tampak dari rangkaian syair- syairnya ‘Langsing, putih, ramping, dadanya berkilau bagai cermin’ menunjukkan bahwa laki-laki hanya menghargai perempuan dari bentuk fisik semata. Dalam bait lainnya ‘Bila kukatakan padanya, kemarilah, berikanlah aku, maka mendekatlah si perut langsing dan berbetis indah itu padaku ‘ mengilustrasikan bahwa betapa perempuan itu hanya diciptakan untuk memuaskan kehendak laki-laki kapanpun laki- laki menginginkannya. Lehernya bagaikan leher kijang yang putih tanpa noda, saat ia biarkan terbuka dengan perhiasan yang menghiasinya. Terbangun di pagi hari dengan taburan minyak kesturi di atas kasur. Melewati pagi tanpa harus disibukan dengan baju tidur. Kemewahan dan limpahan materi adalah sumber kekuasaan yang ditawarkan laki- laki untuk perempuan agar dapat menguasainya. Kecantikan perempuan dan juga kekuasaan laki-laki telah menciptakan konsep gender yang mencitrakan perempuan sebagai objek seksual bagi kaum adam. 303 Cinta buta yang dirasakan penyair tersebut, tentu saja harus ia bayar mahal dengan rasa yang menyakitkan hati. Rasa cemburu tampak jelas dalam syairnya berikut ini: عش تيل ا 304 ص ح فيك بيغ ل ص ع ت فيك Amboi, semoga aku tahu apa yang terjadi padanya Bagaimana ia bisa menjaga kesetiaannya saat kepergiannya م نم يب م ع تم ب ل ل ص يم 305 Apa yang terjadi di antara kita akan mengabadikan cinta Umaimah 306 303 Lihat teori-teori kekusaan pada bab II. Syahrial Syarbaini, dkk., Sosiologi dan Politik, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hal. 48. Nickie Charles dan Felicia Hughes editor, Practising Feminism; Identity, Difference, Power , London and New York: Routledge, 1996, hal. 14, 304 ع ش تيل dalam Dîwan Imri al-Qais diartikan dengan ت ك يل yang artinya semoga saja aku tahu 305 Dîwan Imri al-Qais, hal. 30 94 Atau hanya akan menjadi cerita yang menyakitkan Dalam syair tersebut, sang penyair pada akhirnya mempertanyakan kembali kesetiaan seorang perempuan di saat jauh dari pandangannya, tanpa peduli terhadap perasaan mereka. Yang ia tahu hanyalah rasa takut akan dikhianati, tanpa pernah menyadari bagaimana sakitnya saat dihianati. Untuk itu menurut penulis inilah pendapat Umru al-Qais yang sesungguhnya tentang perempuan: هل م لق نم ن حي ا نه س ق هيف بي ل ني نم ا 307 Aku melihat bahwa mereka perempuan-perempuan yang ada di sekelilingnya tidaklah mencintai orang yang melarat, tidak juga orang tua yang sudah beruban lagi bungkuk Hal seperti ini disadari betul oleh Umru al-Qais, bahwa di saat kekuasaan dan kekayaan telah musnah, para perempuan yang mengelilinginya pun pasti menghilang untuk meninggalkannya. Bait syair di atas adalah sebuah refleksi kekecewaan terhadap kisah percintaannya, yang kemudian memicunya untuk mendeklamasikan sebuah penilaian akhir tentang perempuan, bahwa perempuan hanyalah orang-orang yang gila akan harta benda dan hanya mencintai ketampanan seorang laki-laki. Dari syair tersebut, tampak nyata bahwa sesungguhnya tiada ketulusan dari seorang laki-laki dalam mencintai perempuan, yang ada adalah bagaimana ia dapat menaklukkan perempuan dan bersenang-senang dengan mereka. Ia dapat membeli perempuan dengan kekayaan yang ia miliki, sehingga di kala kekayaan itu sudah berkurang dan usia tidak lagi muda, baru disadari bahwa mereka hanya mencintai kekayaan dan ketampanannya. Untuk itu, di matanya tidak ada cinta sejati, yang ada ha nyalah ‘ada uang ada kenikmatan’, abang tampan eneng datang. Perempuan baginya hanyalah sebatas barang yang bisa dinikmati tapi tidak dihargai. Syair di atas akhirnya menciptakan citra negatif lain dari seorang perempuan Jahiliyah, bahwa selain sebagai objek seksualitas kaum laki-laki, perempuan juga menjadi simbol ketidaksetiaan dan materialistis, kedua sifat yang pada hakekatnya terbentuk akibat budaya yang menempatkan perempuan sebagai simbol kenikmatan 306 Nama dari Ummu Jundub 307 Diwan Imri al-Qais, hal. 86 95 yang dapat diperoleh dengan kekayaan dan kekuasaan layaknya barang, sehingga pada saat kedua sumber tersebut telah tiada yang muncul adalah penilaian bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak setia dan matrelialistis. Inilah citra gender yang terbentuk akibat perbedaan kelas antara laki-laki dan perempuan serta kekuasaan yang dimiliki laki-laki yang pada akhirnya membentuk citra buruk bagi perempuan. Dan hal ini pada dasarnya tidak hanya terjadi pada perempuan Jahiliyah semata, namun telah mendarah daging dan menjadi pola fakir dan cara pandang manusia dari dulu bahkan hingga sekarang. Dan cara pandang warisan Jahiliyah ini hingga kini masih menguasai pola fikir sebagian masyarakat Indonesia yang memiliki kekuasaan baik yang sumbernya dari kekayaan maupun jabatan, sehingga masih dijumpai kasus-kasus yang merendahkan harkat dan martabat perempuan dan menganggap perempuan bagai barang yang dapat dibeli dan dimanfaatkan demi kepuasan hasrat semata. 308 Sebagian orang mungkin hanya mengira, bahwa gambaran tentang perempuan- perempuan istana yang hanya dijadikan sebagai objek seksual oleh kaum laki-laki, semata-mata dilakukan oleh Umru al-Qais yang notabene penyair nakal yang kehidupannya ia abdikan untuk bersenang-senang. Namun ternyata asumsi tersebut tidaklah benar, ternyata setali tiga uang dengan Umru al-Qais yang menempatkan perempuan sebatas objek seksual, al-Nâbighah al-Dzubyâni 309 sebagai seorang penyair istana yang kehidupannya sangat dekat dengan keluarga kerajaan, bahkan dianggap sebagai orang yang spesial di mata al-Nu`mân raja pun, dalam menggambarkan perempuan istana istri al-Nu`mân tidak jauh berbeda dengan Umru al-Qais. Pada saat ia mendapati istri sahabatnya tersebut dalam keadaan setengah telanjang, ia bahkan secara vulgar menvisualisasikannya lewat syair-syairnya berikut ini: ن ع ن ل هي في ل ع م ب ه ت بتإ Perutnya sedikit terlipat, lipatan yang sangat halus Dan diangkatnya kutang itu dengan payudara yang membusung 308 Kasus yang masih hangat dan sangat melekat dalam benak kita adalah kasus Syekh Puji yang memanfaatkan kekuasaannya sebagai orang yang disegani di wilayahnya untuk menguasai perempuan di bawah umur yang notabene memiliki kecantikan fisik yang menarik. 309 Sejarah singkat al-Nâbighah al-Dzubyâni dapat dilihat pada bab IV hal. 45 96 ض م يغ ني ل حم ل ب ف ل ي Punggungnya halus, tanpa lemak Menebarkan wewangian, lembut tanpa busana ك ي س نيب ء ت تم ق عسأ ب ع ي س ل ك 310 Ia pun berdiri, tampak di antara dua tirai yang tipis Bagai mentari saat terbit dengan segala pesonanya Bila melihat pada syair al-Nâbighah al-Dzubyâni tersebut, dapat dipastikan bahwa seksisme adalah sesuatu yang sangat akrab dan lekat dengan kehidupan istana. Dalam lingkungan istana, perempuan selalu jadi sasaran erotisme tanpa peduli siapa dan apa kedudukannya dalam istana. Hal ini tentu saja ada hubungannya dengan cara pandang kaum laki-laki istana terhadap perempuan, sebab tidak mungkin seorang penyair istana sanggup menyatakan hal-hal yang tidak senonoh terhadap istri seorang raja, andai saja sang raja memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan terhormat, melindungi dan memuliakannya. Melihat fakta tersebut, sepertinya seorang perempuan di dalam lingkungan istana biasa dijadikan sebagai konsumsi publik, bagai pajangan yang bisa dinikmati oleh siapa saja. Menurut Nawal el-Sadawi ada kekeliruan yang dilakukan oleh para peneliti Barat dalam menilai image perempuan Arab, karena mereka selalu menjadikan kisah 1001 malam yang meletakkan perempuan sebagai subordinasi, the second sex, pemuas birahi, dan image buruk lainnya, sebagai pintu masuk untuk menilai citra perempuan Arab, padahal 1001 malam bukanlah jalan satu-satunya untuk membuktikan citra perempuan Arab pada masa lalu. 311 Namun berdasarkan syair-syair Umru al-Qais maupun al-Nâbighah al-Dzubyâni di atas, tampaknya tidak ada kekeliruan sama sekali dengan persepsi para peneliti Barat tersebut, sebab apa yang digambarkan oleh Umru al-Qais maupun al-Nâbighah al-Dzubyâni tentang perempuan-perempuan istana yang ada di sekitar keduanya tidak jauh berbeda dengan apa yang digambarkan oleh kisah 310 `Abbâs `Abd al-Sâtir, Dîwan Al-Nâbighah al-Dzubyâni, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1416 H1996 M, hal. 107 311 Nawal el-Sadawi, The Hidden Face of Eve, terjemah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 252 97 1001 malam yang memang sama-sama menggambarkan tentang realitas kehidupan istana. Namun hal itu tentu saja menjadi sebuah kekeliruan yang besar ketika menggunakan perempuan-perempuan istana untuk memotret citra perempuan Arab Jahiliyah secara keseluruhan. 2. Kecantikan, kekuasaan dan poligami Salah satu momok yang sangat menakutkan dan selalu menjadi perbincangan hangat hingga kini terutama di kalangan feminis adalah persoalan poligami yang selalu menuai kontroversial, terlebih lagi, poligami selalu disangkutpautkan dengan ajaran- ajaran Islam yang dianggap sebagai agama yang memberikan legitimasi penuh untuk melakukan praktek perkawinan seperti ini. Poligami adalah salah satu target pembahasan dalam feminisme, karena dianggap tidak manusiawi dan melukai perasaan perempuan, serta menunjukkan terjadinya dominasi laki-laki terhapap perempuan. 312 Banyaknya penekanan yang dilakukan kaum feminis terhadap ajaran-ajaran Islam yang dianggap melegitimasi praktek poligami, memaksa sebagian kalangan untuk menelusuri kembali asal-usul, sejarah dan praktek poligami yang dilakukan bangsa Arab sebelum kedatangan agama Islam atau pada masa Jahiliyah. Benarkah poligami itu murni bersumber dari ajaran Islam, ataukah ia sesungguhnya adalah bagian dari tradisi dan budaya masyarakat Jahiliyah yang kemudian dilegitimasi oleh Islam? Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut dan dalam rangka memahami citra perempuan Jahiliyah serta posisinya di hadapan seorang laki-laki, penulis akan menelusurinya berdasarkan syair-syair Jahiliyah yang dianggap sebagai dokumentasi yang sah dalam menilai sejarah bangsa Arab. Pada saat membicarakan poligami dalam tradisi dan budaya istana di zaman Jahiliyah, maka pembicaraan tidak dapat dipisahkan dari pembahasan sebelumnya tentang kecantikan dan seksualitas perempuan. Kecantikan perempuan, kekuasaan jabatan ataupun kekayaan laki-laki, dan juga poligami, merupakan tiga unsur yang 312 Poligami berasal dari bahasa Yunani yang berasal dari dua penggalan kata, poli atau polus yang berarti banyak, dan kata gamein atau gamos yang artinya kawin atau perkawinan. Kedua kata tersebut bila digabungkan maknanya menjadi perkawinan yang banyak, atau perkawinan dalam jumlah yang tak terbatas. 98 tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan dokumentasi syair Jahiliyah, poligami tak terbatas dalam tradisi bangsa Arab saat itu adalah suatu hal yang tidak dapat dibantah. Hal ini terbukti dari syair-syair yang digubah oleh Umru al-Qais, yang menyebutkan sejumlah perempuan yang memiliki hubungan spesial dengan dirinya semasa ia hidup, bahkan dalam buku Umru al-Qais al-Malik al-Dlillîl, disebutkan sekitar 19 nama perempuan yang menjadi kekasih maupun pasangan hidup Umru al-Qais yang ditemukan dari balik syair-syairnya, di antaranya; Umu al- Huwairits, Umu Ribâb, ‘Anîzah, Fâtimah, Salma, Sulaima, Basbâsah, Umu Jundub, Asma, Anaknya ‘Afzar, Harr, Salamah, Qadûr, Raqqâsy, Su’âd, Hind, Ribâb, Fartana, dan Lamîs. 313 Untuk membuktikan hal tersebut, penulis menelusurinya melalui syair-syair yang terdapat dalam Dîwan Imri al-Qais. Berikut di antaranya syair-syair yang menyebutkan nama-nama perempuan tersebut: ج ع ب م ي خ ع ل ل ن ل ي ل Sahabatku, bawalah daku pada Umi Jundub, agar ia memuaskan dahaga hatiku yang tersiksa ع س ن ت ن ف ج ل ع ت ه ل نم 314 Jika kalian memberiku kesempatan walau hanya sebentar Sungguh hal itu sangat bermanfaat bagiku di hadapan Umi Jundab ق ت ج ك ن ي ت مل بي ت مل ي ب ج Tidakkah kalian melihat, saat aku tiba di malam hari Kudapati ia dalam keadaan harum, meski tanpa menggunakan pewangi Ummu Jundub sebagaimana diriwayatkan oleh al- Ashma’i dalam Dîwan Imri al-Qais , seorang perempuan dari Kabilah Thay yang dinikahi oleh Umru al-Qais. 315 313 Muhammad Ridla Murawwah, Imru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1411 H1990 M, hal. 46 314 Mushtafâ ‘Abd al-Syâfi, Dîwân Imri al-Qais, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tth, hal. 29 315 Diriwayatkan oleh al- Ashma’i, bahwa Umru al-Qais menikahi seorang gadis keturunan kabilah Thay yang bernama Ummu Jundub. Namun ketika ia tidur bersamanya, ia tidak mau memuji Umru al-Qais. Namun pada suatu malam, Ummu Jundub terbangun dan berkata: Aku terbangun dari tidur wahai pemuda paling baik, bangunlah Sebelum malam berlalu, ia tidak berhenti berkata-kata padanya; apa yang membuatmu berkata demikian? Ummu Jundub pun terdiam, namun Umru al-Qais terus 99 Dalam syair lainnya, ia bahkan menyebutkan empat nama perempuan dalam satu bait sekaligus: ت ف ب ل ل يأ ح ل ق سي ل 316 Rumah Hind, Ribab, Fartana, juga Lamis, sebelum peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa hari ini . Hind, Ribâb, Fartanâ dan Lamîs, dalam Dîwan Imri al-Qais disebutkan bahwa keempatnya adalah nama-nama perempuan istri Umru al-Qais. Dalam syair lainnya, ي ع خ ل ت خ ي ج م كن اي ل كل تل ف Pada hari, di mana aku masuk ke dalam sekedup, sekedup ‘Unaizah Lalu ia berkata, celaka, engkau berjalan kaki 317 Syair Amru al-Qais lainnya yang menyebutkan nama perempuan dalam kehidupannya adalah; ق ي حل نم كب ك لس ب ب ل ت ج Seperti kebiasaan Umi al-Huwairits sebelumnya Dan juga Umi al- Ribab di Ma’sal nama mata air م ك ل ت م ق ل ن ل ي ب ء ج ل مي ن 318 Jika keduanya berdiri, menyebar wewangian darinya Bagai angin shiba semilir yang membawa semerbak bunga cengkeh Masih banyak syair-syair lain yang berbicara tentang perempuan-perempuan di sekeliling Umru al-Qais. Berdasarkan riwayat sahih, dapat dipastikan bahwa nama- nama yang disebutkan oleh Umru al-Qais dalam syair-syairnya tersebut adalah perempuan-perempuan yang berada di sampingnya selama ia hidup. Dari cuplikan- memaksanya untuk menjawabnya. Akhirnya ia mengatakan: Aku benci padamu karena kamu memiliki dada yang besar, namun pantat tepos, cepat tidur, namun susah bangun. Lalu datang padanya ‘Alqamah ibn ‘Abdah penyair dan mereka berbincang-bincang dengan menggunakan syair. ‘Alqamah lalu berkata: buatlah sebuah syair madh pujian untuk kendaraanmu dan juga tentang berburu, dan akupun akan membuat hal yang sama. Dan ini hanya antara aku dan kamu, lalu Umru al-Qais menggubah syair di atas. 316 Diwan Imri al-Qais, hal. 155 317 Celaka dalam syair ini adalah untuk menunjukkan simpatik. 318 Dîwan Imri al-Qais, hal. 8 100 cuplikan syair tersebut, bisa dipastikan bahwa nasib perempuan pada masa Jahiliyah ibarat barang dagangan yang dapat dimiliki laki-laki tanpa batas, asalkan ia sanggup membelinya. Di dalam tradisi istana, perempuan layaknya sebuah barang yang hanya digunakan untuk memuaskan hawa nafsu laki-laki. Sebuah bentuk penindasan psikis yang dilakukan oleh kaum pria terhadap perempuan. Laki-laki dengan bebas memiliki sejumlah istri untuk melampiaskan hasrat birahinya. Menurut Musdah Mulia, faktor yang mendorong timbulnya praktek poligami berakar pada mentalitas dominasi merasa berkuasa dan sifat despotis semena-mena kaum pria. Selain kedua hal tersebut, faktor lainnya berasal dari perbedaan kecenderungan alami antara perempuan dan laki-laki dalam hal fungsi-fungsi reproduksi. 319 Berdasarkan pendapat tersebut, maka praktek poligami yang dilakukan oleh masyarakat Jahiliyah, cenderung disebabkan oleh faktor kekuasaan dominasi dan despotis semena-mena, karena lebih banyak dilakukan oleh individu-individu yang memiliki kekuasaan dalam sistem sosial saat itu, seperti halnya yang dilakukan oleh Umru al-Qais ataupun penguasa lainnya. Bila melihat pada syair-syair sebelumnya, tentang bagaimana cara pandang dan perlakuan Umru al-Qais terhadap perempuan yang hanya menilai perempuan tidak lebih dari sekedar pemuas hawa nafsu, maka dengan disebutkannya sejumlah perempuan dalam syair-syair Umru al-Qais dan diyakini oleh para peneliti sebagai istri dan kekasih Umru al-Qais, membuktikan bahwa perempuan bagi kaum aristokrat tidak ubahnya dengan budak-budak seks yang bisa dimanfaatkan kapanpun mereka menginginkannya dan poligami adalah salah satu media yang tepat untuk melampiaskan hasrat tersebut. Inilah sesungguhnya citra perempuan istana pada masa sebelum datangnya agama Islam. Poligami yang digambarkan oleh Umru al-Qais di atas, jelas tidak sama dengan apa yang dipraktekkan Rasulullah saw. Bila Umru al-Qais melakukan poligami lebih didasarkan pada orientasi seksualnya, sedangkan apa yang dilakukan Nabi Muhammad 319 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, Kerjasama Lembaga Kajian Agama Jender, Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, hal. 7, dikutip oleh Yayan Sofyan dkk., Isu-isu Gender Dalam Islam , Jakarta: PSW Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah, 2002, cet. 1, hal. 40 101 saw. cenderung pada nilai-nilai kemanusiaan, meskipun keduanya adalah seorang penguasa. Namun demikian, poligami adalah satu dari sekian aspek ajaran Islam yang mendapat sorotan tajam dalam gerakan feminisme. Poligami dianggap sebagai bentuk penindasan psikis yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap perempuan. Legalisasi poligami dalam Islam itu sendiri, pada dasarnya bukan sebuah legitimasi mutlak, karena disertai dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi laki-laki terutama menyangkut persoalan keadilan. Ayat , 320 }عب ث ث م ء ل نم م ل م ح ن ف{ “maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang baik bagimu, dua, tiga, dan empat” menjadi kontroversi tersendiri dalam ajaran Islam, meskipun ayat tersebut pada hakekatnya berkaitan dengan kalimat sebelumnya yaitu ت ا م خ { ف } يل , “jika kamu merasa khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap perempuan- perempuan yatim ” maka jawabannya adalah ayat di atas. Namun demikian, ada syarat atau tidak, dikaitkan dengan anak yatim atau tidak, pada hakekatnya Islam telah menetapkan legalisasi praktek poligami bagi laki-laki. Aturan yang diberlakukan al- Qur’an terhadap poligami, maupun apa yang dipraktekkan Nabi Muhammad saw semasa hidupnya, jelas sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kaum bangsawan Jahiliyah yang menjadikan poligami sebagai alat pemuas birahi semata. Ada hal lain yang sangat menarik pada ayat م ء ل نم م ل م ح ن ف{ }عب ث ث ditinjau dari aspek bahasa dan feminisme. Ayat tersebut menggunakan kata م sebagai ism al-maushul kata sambung dan menjadi objek dari kata nikahilah. Padahal kata م dalam bahasa Arab identik dengan benda karena dimaknai dengan sesuatu. Secara sepintas ayat tersebut tampak bias gender, sebab menempatkan perempuan layaknya barang yang dapat miliki oleh laki-laki. Padahal untuk manusia, baik laki-laki ataupun perempuan kata sambung yang biasa digunakan dalam bahasa Arab adalah kata نم, sehingga ayat tersebut akan menjadi ء ل نم م ل نم ح ن ف{ }عب ث ث م “maka kawinilah siapapun yang baik bagimu, dari perempuan- 320 Al-Nisa ayat 3 102 perempuan itu, dua, tiga, dan empat”. Namun bila dicermati lebih dalam, ayat tersebut justru memberikan tawaran yang lebih baik, sebab bila diganti dengan kata نم , maka yang menjadi penekanan dalam perkawinan adalah perempuan secara fisik, sebab kata نم identik dengan orang, sedangkan kata م identik dengan sesuatu, fisik atau non-fisik. Maka apa yang ditawarkan oleh ayat tersebut sesungguhnya adalah menikahi sesuatu yang baik yang dimiliki perempuan, bukan semata-mata menikahi kecantikan fisik semata. Di sinilah letaknya perbedaan poligami yang biasa dilakukan para penguasa, kaum bangsawan, dan laki-laki berduit pada masa Jahiliyah dengan konsep yang ditawarkan Islam. Sayangnya apa yang dilakukan oleh kaum aristokrat Jahiliyah yang hanya memuja perempuan dari kecantikan fisik semata, hingga kini tetap tidak berubah, sehingga pada akhirnya poligami tetap saja hanya dijadikan sebagai pemuas hawa nafsu laki-laki bukan sebagai solusi hidup seperti yang ditawarkan Nabi Muhammad saw. Dalam kajian ini, penulis pada dasarnya tidak bermaksud untuk membahas poligami dalam tinjauan agama Islam, namun ingin memberikan gambaran tentang bagaimana sesungguhnya praktek poligami dilakukan sebelumnya pada masa Jahiliyah, sehingga kita bisa memahami mengapa poligami perlu digulirkan dan dijadikan sebagai wacana dalam kajian ini sebagai bahan pertimbangan dalam menyikapi silang pendapat tentang poligami. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, tampaknya poligami dalam tradisi bangsa Arab Jahiliyah memiliki korelasi yang sangat kuat dengan kekayaan privilegeproperty, kehormatan pertige, dan kekuasaan power yang dimiliki, sehingga menganggap perempuan bagai barang yang pantas untuk dimiliki dan dinikmati. Untuk itu penulis berpendapat bahwa ayat “fankihû mâ thâba lakum min al- nisâ’…”, pada hakekatnya adalah upaya pembatasan poligami selirisasi yang biasa dilakukan kelompok aristokrat papan atas terhadap perempuan, karena biasanya kelompok ini menjadikan perempuan semata-mata demi prestise dan kesenangan. Sehingga dengan demikian ayat tersebut merupakan kebijakan yang tepat untuk meminimalisir praktek-praktek poligami di kalangan atas yang sudah membudaya dan terbiasa memperlakukan perempuan laiknya barang yang hanya dijadikan sebagai objek 103 seksualitas. Karena hal itu pula, akan menjadi tidak bijak, bila ayat tersebut mengekang secara tiba-tiba tradisi yang sudah sedemikian menahun di kalangan aristokrat, lalu menggantinya dengan keharusan seorang laki-laki melakukan monogami dalam perkawinannya. 321 3. Simbol ‘impian’ dan ‘kenangan’ Simbolisme symbolism adalah corak sastra yang menggunakan citraan yang konkret untuk mengungkapkan perasaan atau ide yang abstrak. 322 Umru al-Qais melalui syair- syairnya menyimbolkan perempuan sebagai makhluk ‘impian’ dan sumber ‘kenangan’. Sebagai sebuah simbol, istilah ‘impian’ dan ‘kenangan’ ini tentu saja mengandung makna konotasi, 323 namun apakah konotasi tersebut bersifat positif atau negatif, dan apakah makna konotasi tersebut menjadikan perempuan sebagai makhluk terhormat atau sebaliknya. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara syair, penyair dan faktor yang melatarbelakangi diciptakannya karya tersebut. Bagi laki-laki Jahiliyah, biasanya ada dua bentuk kesepian yang berhubungan dengan perempuan, yang pertama kesepian saat ia pergi meninggalkan perempuan, yang 321 Persoalan poligami dalam perspektif agama telah banyak dibahas, baik secara hukum maupun dalam perspektif feminisme. Sebagai contoh pendapat Mushtafa al-Ghalayaini sebagai ulama masa lalu dan Qasim Amin tokoh feminisme. Mushthafa al-Ghalâyaini melihat bahwa tradisi poligami adalah warisan masa lalu jauh sebelum Islam datang. Maka menurutnya membatalkan tradisi berpoligami bukanlah suatu hal yang mudah, karena tradisi tersebut juga dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang terkadang memberi hikmah tersendiri, meski tidak dipungkiri terkadang banyak memberi madlarat. Demikian pula halnya dengan Qâsim Amîn yang memberi batasan yang sangat ketat terhadap praktek poligami, seperti kondisi istri yang sakit dan sulit untuk sembuh dan mandul. Ahmad Muhammad Salim, al- Mar’ah fi Fikr al-`Arabi al-Hadits, Mesir: al-Hai’at al-Mishriyat al-`Amah li al-Kitab, 2003, hal. 346-347. Pendapat tersebut adalah poligami dalam perspektif laki-laki, namun demikian, pendapat tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Aminah Muhammad Nashir guru besar Universitas al-Azhar dalam tulisannya yang berjudul al-Islâm wa Ta`adud al-Zaujât Islam dan poligami. Dalam tulisannya tersebut bahkan ia memberikan sejumlah argumen bahwa di antara sekian Nabi yang diutus Tuhan melakukan praktek poligami, seperti; Ibrahim, Ya`qub, Dawud, Sulaiman, hingga Nabi terakhir Muhammad saw. Untuk itu ia meyakini bahwa ada hikmah besar yang tersimpan dibalik legalisasi langit terhadap praktek poligami. Selanjutnya ia memberikan sejumlah hikmah dibalik legalisasi poligami, dan ia juga membahas konteks poligami dalam budaya sebelum Islam datang. Ja`far Abd al-Salam editor, al-Islâm wa Huqûq al- Mar’ah, Kairo: Râbithat al-Jâmi`at al-Islâmiyah, 1425 H2004 M, hal. 135-155 322 Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: UI-Press, 1990, hal. 73 323 Panuti Sudjiman mamaknai konotasi dengan nilai rasa atau makna tautan sebuah kata. Pengarang biasanya mengandalkan konotasi untuk mengungkapkan efek keindahan dan makna. Kamus Istilah Sastra, hal. 45 104 kemudian dilampiaskan dengan meratapi dan mengenang puing-puing bekas persinggahan mereka, pasir, jalan-jalan yang dilaluinya, hingga kotoran binatang yang tertinggal yang mereka temui dalam perjalanan dan memiliki kaitann dengan perempuan yang dikasihinya. Sedangkan bentuk kesepian yang kedua diekspresikan pada saat mereka menunggu kepulangan perempuan dari bepergian. Kedua bentuk kesepian itu erat kaitannya dengan psikologis laki-laki yang tidak bisa terlepas dari perempuan. Contoh yang pertama tampak dalam syair: م بي ح ك نم ك ن ق لم حف خ ل نيب ل ط ب 324 Berhentilah 325 , temani aku menangis, mengenang kekasih dan tempatnya berhenti Di Siqt al-Liwa, antara Dakhul dan Haumal Contoh yang kedua, misalnya: نئ غ نم ت له ي خ ت بع عش م ح نيب ن كل س Lihatlah sahabatku, tidakkah kau melihat perempuan-perempuan dalam sekedup 326 Melintasi jalan antara bukit Sya`ab`ab 327 ف يك ن ب ع ع ي ك ل ن م ك 328 Tampak anggun dengan baju Anthakiyah 329 yang bergambar Bagai serpihan-serpihan pohon kurma atau taman kota Syair ini menunjukkan betapa merananya sang penyair saat ditinggal kekasihnya. Dalam penantiannya itu, yang ada hanyalah kenangan-kenangan bersamanya, baju yang dikenakannya, juga kendaraan yang membawanya, sambil 324 Syair ini merupakan syair Umru al-Qais yang sangat terkenal dan menjadi salah satu syair mu`allaqat. 325 Kata berhentilah ق dalam syair tersebut menggunakan dlamîr tatsniyah kata ganti untuk dua orang, ada yang mengartikan bahwa Umru al-Qais mengatakan hal tersebut pada dua pengawalnya, namun ada juga yang menyatakan bahwa dlamir tatsniyah tersebut ditujukan untuk satu orang. Mengucapkan dlamir tastniyah di dalam bahasa Arab terkadang tidak konsisten, sebab terkadang yang diinginkan adalah satu atau jamak. 326 Al- zha` a’in adalah bentuk jamak dari al-zha`inah yang artinya sesuatu yang dikendarai oleh perempuan, bisa berbentuk punggung unta atau sekedup yang di dalamnya perempuan. Secara isti`ârah, kata tersebut lalu diartikan dengan perempuan. 327 Sya`ab`ab adalah nama mata air yang terletak di Yamâmah milik Bani Qusyair. 328 Dîwan Imri al-Qais, hal. 30 329 Anthakiyah adalah baju yang ditenun di Anthakiyah, sehingga namanya dinisbatkan pada daerah tersebut. 105 berharap akan segera melihat sekedup yang membawa mereka kembali dari kepergiannya. Dari syair-syair di atas, ada satu hal yang perlu diperhatikan bahwa ternyata bepergian, baik untuk kepentingan bisnis atau yang lainnya, pada masa itu, tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki, namun ternyata biasa juga dilakukan oleh perempuan, tidak ada larangan bagi perempuan untuk pergi meninggalkan keluarga, meski hanya sekedar untuk bersenang-senang. Perempuan, meski dalam tanda kutip, bagi kalangan aristokrat adalah simbol ‘cinta’ dan ‘kerinduan’. Cinta dan rindu sesuai dengan makna yang mereka inginkan. Minimnya aktivitas dan kurangnya fasilitas untuk bersenang-senang, adalah salah satu alasan mengapa kehidupan laki-laki pada masa Jahiliyah sangat lekat dengan perempuan. Terkadang kondisi yang memaksa mereka untuk berpisah dengan keluarga, membuat mereka merasa kesepian dan membuat perempuan selalu ada dalam kenangan. Sebagai contoh syair Imru al-Qais yang sangat terkenal dan menjadi satu dari sekian banyak syair mu`allaqat berikut ini: م بي ح ك نم ك ن ق لم حف خ ل نيب ل ط ب 330 Berhentilah 331 , temani aku menangis, mengenang kekasih dan tempatnya berhenti Di Siqt al-Liwa, antara Dakhul dan Haumal س فعي مل ل ف حض ف ش ج نم ن ل Lalu di Tudlih dan Miqrat, jejak-jejaknya belumlah terhapus Meski diterpa angin dari selatan dan utara ت ص ع ف آ آ عب ت ل ف بح هن ك ن عيق Kau lihat kotoran kijang berserakan di atas hamparan pasir, bagaikan biji lada حت ي ني ل غ ن ك ل ح فق ن يحل س ل Aku bagaikan orang yang membelah labu 332 330 Syair ini merupakan syair Umru al-Qais yang sangat terkenal dan menjadi salah satu syair mu`allaqat. 331 Kata berhentilah ق dalam syair tersebut menggunakan dlamîr tatsniyah kata ganti untuk dua orang, ada yang mengartikan bahwa Umru al-Qais mengatakan hal tersebut pada dua pengawalnya, namun ada juga yang menyatakan bahwa dlamir tatsniyah tersebut ditujukan untuk satu orang. Mengucapkan dlamir tastniyah di dalam bahasa Arab terkadang tidak konsisten, sebab terkadang yang diinginkan adalah satu atau jamak. 106 di pagi perpisahan, pada hari mereka berangkat di antara rombongan kafilah, م ي م ع حص ب ف ق ل ت س ك ت ا ل ي Berhentilah di tempa-tempat kenangan para sahabatku, dan aku di atas kendaraan mereka, dan mereka pun berkata, janganlah kau hancur karena bersedih, dan bersabarlah ق م ع ئ ش عم نم مس ع ل ف Kesembuhanku adalah air mata yang tercurah Adakah yang menangisi jejak-jejak yang hilang ini Dalam syairnya tersebut, Umru al-Qais mengumpamakan tamtsil dirinya dengan orang yang sedang membelah labu. Suatu perumpamaan bagi seseorang yang sangat tersiksa dan bingung karena harus melakukan sesuatu hal yang sangat menyebalkan atau menyakitkan. Bagi Umru al-Qais yang selalu dikelilingi perempuan, berpisah dengan kekasih hatinya merupakan hal yang sangat menyakitkan dan menyiksa. Untuk itu dalam syair yang terpisah, Umru al-Qais menggambarkan derita rindunya saat terpisah dari kekasih saat bepergian: ب ص م نيعل م تض ف ح ح ل ع حم عم لب 333 Air mata kerinduan pun mengalir deras di dada, hingga membasahi sarung pedangku Menurut penulis, tangisan dan air mata ritsâ’ yang disebutkan oleh penyair, bukanlah tangisan dan air mata yang sesungguhnya, namun sebuah gaya bahasa hiperbola untuk menyatakan bahwa betapa ia sangat menderita karena rindu ketika ditinggalkan kekasihnya. Hal ini tampak pada saat menyebutkan air mata yang mengalir membasahi sarung pedangnya yang juga suatu hal yang sangat janggal dan bernada hiperbola, dan bagaimana mungkin seorang laki-laki Jahiliyah dengan pedang di tubuh harus mengalirkan air mata untuk seorang perempuan, padahal laki-laki Jahiliyah secara umum, pantang menangisi seseorang yang meninggal, namun untuk seorang perempuan penyair secara berulang kali menyebutkan kata-kata cengeng seperti tangisan, air mata, kerinduan dan lainnya, padahal masih banyak perempuan lain di sekelilingnya. 332 Lih. Ibn ‘Abdillah al-Husein ibn Ahmad ibn al-Husein al-Zauzani, Syarh al-Mu’allaqât al- Sab’, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1985 M 1405 H, hal. 6-7 333 107 Ketergantungan kaum laki-laki Jahiliyah terhadap perempuan menurut Husein `Athwan, bukanlah timbul tanpa sebab. Kehidupan Jahiliyah yang sangat minim dari aktivitas dan banyaknya waktu luang yang mereka miliki, adalah salah satu motivasi mengapa kaum laki-laki sangat gemar mengikuti kaum perempuan ke mana saja mereka pergi. Untuk mengisi kekosongan tersebut, biasanya ada empat cara yang mereka lalukan, yaitu pertama pergi berburu, pergi ke kedai minuman untuk minum arak, berjudi, bertaruh dalam pacuan kuda, atau mengikuti ke mana perempuan pergi. 334 Nemun menurut penulis, dilihat dari syair-syair Umru al-Qais sebelumnya, rasa kesepian, kerinduan, maupun rasa sedih yang diutarakannya tersebut tidak lebih dari sekedar kenangan palsu yang bukan bersumber dari cinta yang murni, namun lebih pada kenangannya tentang hasrat seksualnya dan petualangan-petualangan cintanya yang amat menjijikan. Sebagai contoh, ketika ia mengenang sebuah tempat yang dinamakan dengan Darat al-Jul-jul berikut ini: حل ص ن م كل ي ا ل ج ب ي يس ا Ahai, berapa banyak waktu yang kau habiskan untuk bersenang-senang dengan mereka, terutama pada saat di Darat al-Juljul ي م ع ل ع ي ل ح ل ح نم ع يف Pada hari aku menyembelih tungganganku unta yang kupersembahkan untuk gadis- gadis, alangkah menyenangkan pada saat-saat seperti itu يح عب ح نم ع ي ل ل ع ي Alangkah menyenangkan saat-saat setelah pulang dari beperegian bersama mereka, sungguh menyenangkan bagi penyembelih yang baik hati ح ب ني ت ي عل ل ف ل ل س م ل ك محش Gadis-gadis itu terus saling melempar-lemparkan dagingnya, dan gajihnya bagai rumbai-rumbai sutra putih yang terpintal ف حص في ل ب ي ع ت ل ل طي عل ب يل ت ي Kita dikelilingi piring-piring yang dipenuhi daging, kita nikmati daging yang sangat empuk 334 Husein `Athwân, Muqaddimah al-Qashîdah al-`Arabiyah fi al- Syi’r al-Jâhili, hal. 62 108 ي ع خ ل ت خ ي ج م كن اي ل كل تل ف Pada hari aku masuk ke dalam sekedup ‘Unaizah, dan ia berkata: celaka, engkau berjalan kaki 335 عم ب طي غل م ق ت ن ف سي ل م ي يعب ع Ia berkata, pada saat sekedup kami telah berangkat Hai Imru al-Qais, kau memotong untaku, turunlah هم م خ يس ل ت ف ل ع ل ج نع ي ع ت ا Lalu kukatakan padanya setelah turun, berjalanlah dan longgarkanlah tali kekangnya, dan jangan jauh dariku agar aku dapat mengecupmu ا ل ع ف نم هل ث ت ل ن ل ج ي ي ت ه 336 Biarkanlah unta itu, jangan biarkan ia meratapi orang yang mengikutinya Mendekatlah, berikan kami wewangian bunga cengkeh mulutmu Kisah tentang Dârat al-Juljul erat kaitannya dengan kisah cinta Umru al-Qais dengan seorang gadis cantik bernama `Unaizah. ‘Unaizah adalah perempuan yang memiliki kisah tersendiri dalam kehidupan Umru al-Qais. Diriwayatkan, bahwa Umru al-Qais jatuh cinta pada seorang gadis anak dari pamannya Syarhabil yang bernama ‘Unaizah, namun pamannya tersebut tidak mengijinkannya untuk bertemu dengannya. Untuk itu, suatu ketika ia menunggu iring-iringan sekedup kabilah dan ia memisahkan diri dari rombongan laki-laki, hingga ketika ia melihat iring-iringan sekedup perempuan, ia mendahuluinya hingga sampai di sungai kecil yang mereka namakan dengan Dârat al-Juljul dan ia bersembunyi di sekitarnya. Ketika gadis-gadis tersebut yang salah satunya adalah Unaizah tiba, mereka langsung membuka baju, mandi dan berenang di sungai. Pada saat itulah Umru al-Qais muncul dan mengambil semua baju yang tergeletak di pinggir sungai dan mendudukinya. 337 Lalu ia bersumpah tidak akan menyerahkan baju-baju tersebut, hingga mereka datang padanya dalam keadaan telanjang. Untuk beberapa saat mereka saling berdebat, namun Umru al-Qais tidak 335 diceritakan, karena untanya sudah dipotong dan dibuat untuk berpesta, Umru al-Qais akhirnya harus pulang dengan berjalan kaki. 336 Bait ini diragukan sebagai al- Mu’allaqat Umru al-Qais 337 Kisah Umru al-Qais ini sepertinya hampir mirip dengan dongeng Jaka Tarub dan tujuh bidadari dalam legenda sastra Indonesia. 109 memperdulikannya kecuali mereka memenuhi keinginannya tersebut. Setelah sekian lama, dengan terpaksa gadis-gadis tersebut menurutinya dan keluar satu persatu dengan bertelanjang untuk mengambil bajunya, hingga yang tersisi hanyalah ‘Unaizah. Umru al-Qais lalu berkata padanya; wahai anak gadis yang terhormat, engkau harus melakukan seperti apa yang mereka lakukan Dengan terpaksa Unaizah keluar, namun dengan membalikkan badannya. Setelah mereka semua mengenakan pakaian, mereka mulai mengumpatnya, dan berkata: engkau telah membuat kami kelaparan dan terpisah dari rombongan. Umru al-Qais lalu berkata, jika kendaraanku unta ini dipotong, apakah kalian mau memakannya? Lalu mereka menjawab: tentu saja. Lalu ia menyembelih unta tersebut, sedangkan para gadis mengumpulkan kayu-kayu untuk memasak dan memanggangnya, lalu mereka makan hingga kenyang. Ia juga membawa sebuah kendi yang terbuat dari kulit yang berisi khamr, dan ia mengajak perempuan- perempuan tersebut untuk berpesta minuman. Karena kendaraannya sudah disembelih, maka pada saat mereka ingin melanjutkan perjalanan, barang-barang yang dibawa Imru al-Qais dibagi-bagikan ke dalam sekedup mereka, hingga yang tertinggal hanyalah Umru al-Qais, dan ia berkata pada Unaizah, wahai gadis yang terhormat, hendaknya engkau membawaku. Teman-teman gadisnya pun memaksanya untuk mengajak Umru al-Qais di dalam sekedupnya, dan ia pun akhirnya membawanya. Imru al-Qais pun memasukkan kepalanya ke dalam sekedup dan mulai menciumi dan memeluk ‘Unaizah. 338 Dari kisah tersebut, maka kita dapat melihat sebuah gambaran yang nyata bahwa kesedihan, tangisan dan ratapan Umru al-Qais saat mengenang jejak-jejak rasm perempuan, tidak lebih dari sekedar kenangan atas semua ekspedisi-ekspedisi sesksualnya bersama perempuan-perempuan yang disukainya. Bahkan berdasarkan kisah tersebut, tampak ada sebuah pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan Umru al-Qais melalui intrik-intrik yang menjijikan dalam rangka mencapai hasrat seksualnya tersebut. Dari gambaran kisah tersebut, bisa dipastikan bahwa nama-nama tempat yang disebutkan dalam syair-syair sebelumnya seperti Siqth al-Liwâ, Tûdlih, Miqrât, dan lain 338 Diwan Imri al-Qais, hal. 3-4. 110 sebagainya adalah nama-nama tempat kenangan yang biasa dijadikan Umru al-Qais untuk melampiaskan hasrat seksualnya terhadap perempuan. Hal ini tersirat dari ungkapannya ‘ Ahai, berapa banyak waktu yang kau habiskan untuk bersenang-senang dengan mereka, terutama pada saat di Darat al- Juljul’ dan bait tersebut merupakan sambungan dari bait sebelumnya, ‘Berhentilah, temani aku menangis, mengenang kekasih dan tempatnya berhenti Di Siqt al-Liwa, antara Dakhul dan Haumal. Lalu di Tudlih dan Miqrat, jejak-jejaknya belumlah terhapus Meski diterpa angin dari selatan dan utara. 339 Kata- kata ‘terutama pada saat di Darat al-Juljul’, membuktikan bahwa tempat-tempat sebelumnya pun adalah tempat-tempat yang memberi kenangan seperti halnya Darat al-Juljul, meski kenangan tersebut tidak sedahsyat kenangan di Darat al- Juljul. Namun hal itu membuktikan bahwa tangisan dan kenangan yang diungkapkan oleh penyair tentang perempuan, hanyalah sebuah kenangan falsu, khayalan nafsu dan fatamorgana yang diciptakannya untuk mengabadikan citra perempuan sebagai budak nafsu, second sex , dan ‘impian’ kaum laki-laki . Agar lebih meyakinkan, penulis sajikan nama tempat lain yang menjadi kenangan Umru al-Qais bersama perempuan dengan orientasi yang tidak jauh berbeda dengan syair sebelumnya: ل ل ي ل نيب ل ن ل لي ل هب تل عل مي ق لحم Siapakah pemilik jejak-jejak yang terdapat antara gunung Jud dan Aja’ 340 ini? Sebuah tempat kuno yang telah lama berlalu … ق ق عت 341 ي ل ف مع ت يب ع 342 ل حل ي حل 343 Hatiku terpaut pada gadis Arab yang manis bergaun sutra, bertabur perhiasan, bergaun panjang … ل ل ل ل مث ل ل ل ف ن لص نم ت ك س Andai, andai dan andai, lalu andai… 339 Bait-bait ini adalah penggalan dari syair mu`allaqât Umru al-Qais yang sangat terkenal. 340 Dalam diwan Imri al-Qais dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jabal gunung di sini adalah gunung Aja’ جأ salah satu gunung yang terletak di Thayy Najed. Dîwân Imri al-Qais, hal. 145 341 Gadis cantik yang sedap dipandang mata 342 Sutra yang berlukiskan gambar-gambar 343 al-hulal jamak dari hullah yang artinya baju yang menutupi seluruh tubuh gamis. 111 andai rumah Salma semakin dekat, maka akulah orang yang pertama kali tiba نع نع نع نع مث نع نع نع نع لحت س نم لك ع لئ س Tentang, tentang, dan tentang, lalu tentang ….. Kutanyakan tentang dia pada siapapun yang bepergian ف ف مث ف ف ف ف لم مل ل ق س ج ف Dan di, di, dan di, lalu di… Di pipinya Salma kudaratkan kecupan yang tak pernah kubayangkan س لس لس لس لس لس مث لس لس لس لس ب ل 344 لس م ف Tanyakan, tanyakan dan tanyakan, lalu tanyakanlah.. Tanyakanlah tentang rumah Salma dan juga semua hal di sekitarnya ل ع ل ش مث ل ش ل ش 345 ل ل عم ني ي س ج ح ع 346 Dan akan sampai, akan sampai, lalu akan sampai Pada kedua alis Salma berikut bola mata yang menghiasi … لف ا ل ك غث ل ق ب تس لك عل ك ق Air liur pun menetes, saat kudaratkan ciuman Kucium bibirnya, yang laksana bulan sabit saat terbenam ع ت ف ق نيع ت ل ع ع ت ك ي ح 344 Al-Rubû` jamak dari al-rab` yang artinya segala sesuatu yang ada di sekitar rumah 345 Berdasarkan penjelasan asal-usul bahasa sebelumnya, kata-kata tersebut sepertinya tidak murni bahasa Arab namun masih dalam rumpun bahasa yang sama, namun demikian penulis yakin ada kesamaan makna antara dengan yang artinya akan. Karena bahasa-bahasa Semit berasal dari satu rumpun –sebagaimana diperkirakan- banyak di antara lafaz-lafaznya yang sama, atau terkadang hanya berbeda sedikit saja, seperti yang terdapat dalam bahasa Ibrani Ibriyah dan Arab. Sebagian lafaz yang menggunakan syin dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan sin, sedangkan alîf yang ada dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan waw. Kata salâm dalam bahasa Arab menjadi syalûm dalam bahasa Ibrani, dan tsa menjadi syin, sehingga kata tsaur menjadi syaur. Sedangkan yang di dalam bahasa Arab menggunakan dlad, di dalam bahasa Ibrani menggunakan shad, seperti ardh menjadi arsh , dan lain sebagainya. Akibat kedekatan genetik tersebut terjadi asimilasi antar bahasa. Maka oleh karena berdekatan dan sering berinteraksi, penduduk Yaman terpengaruh oleh bahasa Habsyi, seperti halnya penduduk Hijaz terpengaruh oleh bahasa Ibrani. Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal.15 346 Penulis buku Dîwân Imri al-Qais. Hal. 149 menyatakan bahwa sebagian besar bait-bait di atas tidak perlu penjelasan, karena kata-katanya mudah dipahami ataupun jika dijelaskanpun tidak memberikan faidah. Namun demikian bagaimana mungkin memahami syair tanpa memahami maknanya. Al-maqal itu sendiri adalah bentuk jamak dari al-muqlah yang artinya biji mata. 112 Kucium dia sebanyak sembilan puluh sembilan kali Ditambah satu kali, dengan cepat ل ن ه يج نم ل ف ح ه ع ع ت ح ن ع Kupeluk ia, hingga terputus kalungnya hingga butir-butir permata kalungnyapun turut terlepas dari lehernya لعش نع ي ت حيب م ء يض ث ت ل ل ف ك Saat butir-butir permata itu bertaburan, bagai sinar lampu yang menebarkan cahaya ل ل ي ل نيب ل ن ل ا ت ق م ل م ل ق خآ 347 Akhir kata yang kuucapkan seperti halnya yang kukatakan di awal Siapakah pemilik jejak- jejak yang terdapat di antara gunung Jud dan Aja’ ini? Dalam kisah ini yang dijadikan kenangan oleh penyair adalah sebuah tempat yang terletak antara gunung Jûd dan Aja’. Kisah ini tidak ubahnya dengan kisah sebelumnya yaitu kisah ‘cinta’ antara penyair dengan gadis bernama `Unaizah, sedangkan pada syair ini adalah kisah ‘cinta’ antara penyair dengan Salma seorang gadis cantik dari kabilah Kindah keturunan Romawi. 348 Kedua kisah ‘cinta’ dalam syair di atas membuktikan bahwa perempuan dalam tradisi istana pada masa itu, dipuja dan dipuji bukan semata-mata karena memiliki kedudukan yang terhormat, bukan pula bersumber dari cinta yang murni namun semata-mata karena orientasi seksual kaum laki-laki. Dan hal ini disebabkan kekuasaan power laki-laki yang menempatkan perempuan dalam kelas yang rendah dan tertindas. Perempuan ditempatkan pada kelas yang sangat rendah, yakni hanya dijadikan sebagai pemuas nafsu kaum laki-laki, yang kemudian melekatkan citra yang buruk padanya yakni sebagai ‘impian’ dan budak nafsu kaum laki-laki. Berdasarkan hal tersebut, penulis melihat bahwa cinta yang diperlihatkan oleh Umru al-Qais dalam ghazal di atas, tidaklah bersumber dari cinta yang murni, namun lebih dari sekedar pelampiasan dari banyaknya waktu yang kosong yang dirasakannya, 347 Dîwân Imri al-Qais, hal. 145-150 348 Syair lengkap lihat pada halaman sebelumnya, tentang kerajaan Kindah dan akses penyair dengan kerajaan luar. 113 sehingga ia merasakan kesepian yang sangat mendalam pada saat tidak ada perempuan yang menemaninya. Sebagaimana kita tahu, bahwa ia adalah seorang pangeran yang kehidupannya selalu diliputi kesenangan dan kemewahan. Berburu perempuan bagi Umru al-Qais, tak ubahnya dengan berburu binatang, berjudi, dan minum-minuman keras, yang semuanya ia lakukan demi mengisi kekosongan waktu dan bersenang- senang. Dari syair-syair di atas tampak nyata bahwa perempuan pada masa itu terutama dalam kelompok gedongan, meskipun di satu sisi ia didominasi oleh laki-laki, namun pada dasarnya mereka memiliki kebebasan beraktivitas termasuk bersenang-senang di luar lingkungan istana, mereka mewakili sisi kehidupan dunia gemerlap kaum jetset pada masa itu. Perempuan-perempuan istana adalah simbol dari perempuan-perempuan bebas hurrah, senang berpesta, menikmati kesenangan hidup, dan mengagungkan kecantikan fisik dan kemolekan tubuh. Dalam budaya patrialkal dan dominasi laki-laki yang sangat kuat, citra perempuan istana yang cenderung mengagungkan kecantikan fisik, adalah salah satu bentuk eksploitasi kecantikan seksual perempuan. Tradisi party di atas tidak lebih dari sekedar kisah tentang pelecehan seksual penguasa laki-laki terhadap perempuan. Bila melihat pada maknanya, kata al-hurrah berarti perempuan merdeka, dan jika melihat dari struktur sosial yang dianut bangsa Arab Jahiliyah, al- hurrah lawan dari al- imâ’ juga dimaknai dengan perempuan kelas atas yang memiliki kebebasan penuh akan dirinya, namun melihat pada syair-syair yang digubah Umru al- Qais di atas, tentang bagaimana ia memandang dan memperlakukan perempuan di sekelilingnya, maka benarkah ‘al-hurrah’ itu berarti perempuan merdeka, atau memang hanya lawan kata dari al- imâ’ hamba sahaya, namun pada hakekatnya tetap berada di bawah kekuasaan dan dominasi laki-laki. 114 115 BAB III CITRA PEREMPUAN BADAWI

A. Konstruksi Sosial Masyarakat Badawi