Hukum Jinayah dalam Politik Hukum Kolonial

Arahan Majlis Kesalahan-kesalahan Orang-orang Islam, 1938, di Selangor dengan nama Enakmen Kesalahan-kesalahan Orang-orang Islam, 1938 dan di Perak dengan nama Undang-undang Kesalahan Syara‟, 1939. Adapun di Trengganu diperkenalkan undang-undang kesalahan jinayah melalui beberapa peraturan, yaitu Undang-undang Tegahan Berkhalwat 1342H, Hukuman Kerana Tidak Menunaikan Sembahyang Jumat 1341 H, Nusyuz 1345 H, Hukuman Kerana Tidak Menunaikan Sembahyang Jumat 1353 H dan Perak, aturan Dalam Masa Puasa 1351 H. 241 Melalui enakmen ini, khususnya Negeri-negeri Melayu Bersekutu, undang-undang pidana yang diperkenalkan adalah pelanggaran yang berkaitan dengan tidak menghadiri shalat Jumat di masjid, tidak mengantar anak-anak ke kelas pengajian al- Qur‟an, melarikan wanita, zina dan khlawat, persetubuhan mahram, zina antara dua orang yang telah cerai, pengajaran agama tanpa tauliyah, menjual makanan pada bulan Ramadhan, penerbitan berkaitan dengan ajaran Islam tanpa izin, dan tidak puasa di bulan Ramadhan. Hukuman maksimum yang dikenakan adalah penjara paling lama 5 tahun dalam kasus persetubuhan satu darahperkawinan, atau penjara tidak lebih dari setahun dalam kasus zina dan denda tidak lebih dari RM 5.000,00 kepada pihak laki-laki, sedangkan pihak perempuan dikenakan RM 2.500,00. Hukuman yang paling rendah adalah kesalahan tidak menghadiri shalat Jumat yang dikenakan denda tidak lebih dari RM 500,00. 242 Berdasarkan paparan di atas, penguasa kolonial di Indonesia dan Malaysia, seperti Inggris dan Belanda tidak serta-merta mengganti sistem hukum Islam secara menyeluruh, tetapi secara bertahap memperkenalkan hukum-hukum baru. Proses itu umumnya diawali dengan meminggirkan hukum pidana yang menempati posisi terlemah, 243 dan digantikan hukum pidana versi penjajah. Sementara hukum kekeluargaan dan waris Islam dibiarkan sebagaimana adanya. 244 Politik hukum kolonial Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia dalam pemberlakuan syariat Islam, terutama hukum jinayah menunjukkan karakter yang membatasi. Pada masa kolonial tidak ada 241 Hamid Jusoh, ‚Perkembangan Undang-undang Jenayah Islam di Malaysia‛ dalam Nazimah Hussin, dkk. eds., Undang-undang Islam: Jenayah, Keterangan, dan Prosedur Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007, 34-35. 242 Hamid Jusoh, ‚Perkembangan Undang-undang…‛, 36. 243 Indonesia misalnya mengadopsi seluruh muatan hukum pidana Belanda Ordonantie 6 Mei 1877 No. 85 yang hingga kini belum dirubahb dengan hukum pidana yang sesuai konteks perubahan sosial dan politik bangsa Indonesia. 244 Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria Jakarta: Alvabet, 2004, 6-7. praktik pelaksanaan hukum jinayah di wilayah-wilayah jajahannya. Belanda dan Inggris menggunakan jalan meminggirkan hukum jinayah dan hanya memperdebatkan pemberlakuan hukum keluarga dengan hukum adat. Ini berarti bahwa hukum jinayah tidak pernah diberlakukan di Indonesia dan Malaysia pada masa kolonial.

E. Perjuangan Pemberlakuan Hukum Jinayah di Indonesia dan

Malaysia Paska Kemerdekaan Perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Indonesia dan Malaysia setelah merdeka mengalami dinamika yang fluktuatif. Indonesia termasuk negara di kawasan Asia Tenggara yang paling dinamis dalam perjuangan pemberlakuan hukum jinayah. Sebaliknya di Malaysia, sudah sejak awal hukum jinayah sudah diakomodir dalam hukum negara, meskipun hukuman yang diperkenalkan tidak sesuai dengan syariat Islam. Di Indonesia periode penting dalam perjuangan pemberlakuan hukum jinayah ke dalam hukum negara dilalui dalam empat periode, yaitu periode menjelang kemerdekaan dalam Sidang BPUPKI Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, periode awal kemerdekaan dalam Majelis Konstituante 1957-1959, periode awal pemerintahan Orde Baru dalam Sidang MPRS 1966-1968, dan periode paska Orde Baru dalam Sidang MPR 2000-2002. 245 Di masing-masing periode perjuangan pemberlakuan syariat Islam, pertarungan politiknya begitu kental yang melibatkan golongan nasionalis yang netral agama sekuler dan golongan Islam yang ingin menegakkan ideologi Islam Islamis. 246 Periode penting yang terlihat di masa menjelang Indonesia merdeka adalah perdebatan di tingkat elit ketika mendiskusikan dasar 245 Arskal Salim, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia Honolulu: University of Hawai Press, 2008, 85. Robert W. Hefner, Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia‛, dalam Pacific Affairs, 82.4 Winter 2009, 1-2. http:www.academia.edu3398634Challenging_the_Secular_State_reviewed_by_Robert_Hef ner diakses 12 Pebruari 2014. Lihat pula Nadirsyah Hossein, Shari’a and Constitutional Reform in Indonesia Singapore: ISEAS, 2007, 59. 246 Merujuk pada pengelompokkan yang telah dibuat Zachary Abuza, gerakan Islam terpolarisasi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok Islamis, kelompok militan-radikal, dan kelompok teroris.Kelompok Islamis adalah mereka yang percaya bahwa negara harus memberlakukan syariat Islam melalui institusi demokrasi.Kelompok militan-radikal adalah mereka yang menggunakan kekerasan meski tidak seluruhnya untuk membatasi dan mendefinisikan politik dalam memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam. Kelompok teroris adalah mereka yang menggunakan kekerasan untuk melakukan perubahan revolusioner, termasuk memberlakukan syariat Islam secara total dan mendirikan Negara Islam. Lihat Zachary Abuza, Political Islam and Violence in Indonesia, London and New York: Routledge, 2007, 84. negara Indonesia. Perdebatan sengit terjadi dalam sidang-sidang BPUPKI, terutama antara Soekarno yang mewakili golongan nasionalis dan Abdoel Kahar Muzakir dari golongan Islam yang didukung Ki Bagus Hadikusuma dari Muhammadiyah, Kiai Wahid Hasjim dari NU Nahdlatul Ulama dan K.H. Ahmad Sanusi dari PUI Partai Umat Islam. Menyadari perdebatan yang begitu sengit, dibentuklah Tim Sembilan, yang beranggotakan Haji Agus Salim, Kiai Wahid Hasjim, Abikusno, dan Abdoel Kahar Muzakir dari golongan Islam dan Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Achmad Subardjo, dan Muhammad Yamin dari golongan nasionalis. Hasil dari sidang-sidang BPUPKI adalah kesepakatan Piagam Jakarta, yang memuat kata- kata bahwa “Negara berdasar pada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” 247 Ironisnya, pada 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan Indonesia, seorang pejabat angkatan laut Jepang datang ke Mohammad Hatta dan melaporkan bahwa orang-orang Kristen di Indonesia Timur tidak akan bergabung dengan Republik Indonesia, kecuali jika tujuh kata dalam Piagam Jakarta, Islam sebagai agama negara dan presiden adalah seorang Muslim dihapus. 248 Akhirnya, tuntutan tersebut pun dipenuhi dan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia. Kesepakatan ideologis yang dicapai sehari setelah proklamasi kemerdekaan dibangun di atas landasan yang amat rentan penafsiran. Karena alasan ini, para elit politik negara terlibat dalam perdebatan- perdebatan ideologis-politis mengenai bentuk negara dan kerangka konstitusionalnya pada masa berikutnya. Pada masa ini faktor pemicunya adalah penyelenggaraan pemilu dengan Majelis Konstituante sebagai lokus utamanya. Penundaan pemilu menjadi strategi memantapkan posisi pendukung Pancasila karena ada kekhawatiran jika pemilu diselenggarakan, partai Islam akan menang dan akan meminta dukungan rakyat untuk mendirikan Negara Islam. Terbukti perjuangan untuk menegakkan Islam sebagai dasar ideologi negara muncul kembali selama masa kampanye Pemilu 1955. Dipelopori oleh Masyumi, kelompok Islam kembali mengajukan gagasan mereka mengenai Islam sebagai dasar negara dalam Majelis Konstituante 1956-1959. 249 Majelis Konstituante tidak mampu mencapai kata sepakat dengan dasar negara Indonesia, yang pada gilirannya, Soekarno mengeluarkan Dekrtit Presiden 5 Juli 1959 untuk membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. 247 Deliar Noer, Partai-partai Islamdi Pentas Nasional, 38. Lihat pula Arskal Salim, ‚ Challenging the Secular State…‛, 63-68. 248 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia Jakarta: Paramadina, 1998, 89-90. 249 Bahtiar Effendy, ‚ Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran…‛, 101-105. Perdebatan berikutnya terjadi pada masa Sidang MPR 1968 yang kembali membahas Piagam Jakarta. Di masa rezim Orde Baru yang begitu khawatir dengan partai Islam Masyumi, Piagam Jakarta masih diperjuangkan. 250 Jika di masa sebelumnya NU berjuang bersama Masyumi untuk mengembalikan Piagam Jakarta, tetapi di masa Orde Baru, NU sudah berbeda perjuangannya dengan Parmusi partai reinkarnasi Masyumi. NU sudah memiliki pandangan bahwa Piagam Jakarta adalah sumber hukum Indonesia. Sebaliknya, Parmusi masih konsisten untuk memperjuangkan Piagam Jakarta sama seperti partai pendahulunya, Masyumi. 251 Pemerintah Orde Baru akhirnya menolak tuntutan kelompok Islam agar Piagam Jakarta dilegalisasikan kembali pada Sidang MPR 1968. Karena itulah, Orde Baru dengan politik marjinalisasinya menekan umat Islam untuk tidak lagi memperdebatkan syariat Islam. Praktis yang diberlakukan di zaman Orde Baru hanyalah aspek perkawinan, cerai, dan waris, yang tertuang dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Perdebatan terakhir terjadi setelah Indonesia mengalami transisi politik dari rezim Orde Baru, terutama dalam Sidang MPR 2000, 2001, dan 2002. Sama seperti masa sebelumnya, terdapat polarisasi kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Kelompok Islam terbagai dua, yaitu 1 partai-partai yang berjuang memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke pasal 29, seperti PPP Partai Persatuan Pembangunan, PBB Partai Bulan Bintang, PNU Partai Nahdlatul Umat, dan PSII Partai Syarikat Islam Indonesia dan 2 partai-partai yang mengusulkan rumusan yang inklusif, yaitu “kewajiban menjalan agama bagi pemeluk-pemeluknya‟, seperti PAN Partai Amanat Nasional, PKB Partai Kebangkitan Bangsa, dan PK Partai Keadilan. Kelompok nasionalis terdiri dari PDIP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar Golongkan Karya, dan PDKB Partai Demokrasi Kasih Kebangsaan masih konsisten menolak Piagam Jakarta. Lalu, dalam Sidang Pleno MPR, PPP, PKB, dan PAN merubah usulannya dengan mengikuti posisi PDIP dan Golkar dengan rumusan “Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Akhirnya, disepakati rumusan alternatif pertama dalam Sidang Pleno MPR Agustus 2002, yaitu “Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 252 250 Bahtiar Effendy, ‚ Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran…‛, 115. 251 Arskal Salim, ‚ Challenging The Secular State…‛, 87. 252 Arskal Salim dengan amat baik berhasil memetakan posisi fraksi-fraksi dalam Sidang MPR 2000-2002, termasuk perubahan-perubahan dari kelompok Islam. Lihat Arskal Salim, ‚ Challenging The Secular State…‛, 90-107. Matrik 1. Posisi Fraksi-fraksi dalam Pembahasan Amandemen UUD 1945 di Sidang MPR 2000, 2001, 2002 Posisi Partai Pertemuan Terakhir Panitia Adhoc Komisi I Pengambilan Kesimpulan dalam Sidang Pleno MPR Posisi F-PDIP, F-PG, FKKI, F-TNI POLRI Alternatif pertama Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Alternatif pertama Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Tidak berubah F-PPP, Alternatif kedua Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya Alternatif pertama Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Berubah F-PBB, F-PDU Alternatif kedua Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya Alternatif kedua Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya Tidak berubah F-PKB Alternatif ketiga Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan ajaran agama bagi masing-masing pemeluk- pemeluknya Alternatif pertama Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa Berubah F- REFORMASI Alternatif ketiga Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan ajaran agama bagi masing-masing pemeluk- pemeluknya Alternatif pertama Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa Berubah Diolah dari Arskal Salim, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia Honolulu: University of Hawai Press, 2008 Berdasarkan sejarah perdebatan dasar Negara Indonesia di atas, dapat dipahami bahwa ideologi Pancasila didukung tidak hanya kalangan non-Muslim, tetapi juga Muslim. Karena itulah, usaha-usaha untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain semisal Islam akan dihadapi oleh Muslim dan Non-Muslim karena akan menjadi ancaman kesatuan negara. 253 Meskipun Piagam Jakarta sebagai pintu masuk dalam pemberlakuan hukum jinayah tidak berhasil diperjuangkan, tetapi Pancasila dan pasal 29 UUD NRI 1945 mengakomodir Islam dijamin dalam negara Indonesia. Ini berarti Indonesia tidak menghilangkan peran agama dalam kehidupan bernegara. Justru Pancasila sebagai norma hukum tertinggi 254 dengan sumber hukum m ateriil berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” mendasari posisi penting bahwa agama menjadi jiwa dari sistem ketatanegaraan dan hukum nasional. Dalam sistem hukum formal, terutama dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194 5 pasal 29 ayat 1 berbunyi: “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan ayat 2 berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Berdasarkan sumber hukum formil dan materiil inilah, 255 maka hukum agama menjadi bagian dari sistem hukum nasional. Adapun dalam posisi hukum pidana Indonesia jelas sekali bahwa hukum jinayah tidak pernah diberlakukan di Indonesia, apalagi KUHP yang menjadi produk hukum pidana nasional tidak mengakomodir syariat Islam. Meskipun diatur pembunuhan, pencurian, perampokan, persetubuhan, dan minuman keras dalam KUHP, tetapi hukuman yang dikenakan berbeda dengan syariat Islam. KUHP masih merupakan peninggalan kolonial Belanda yang belum direvisi dan diakomodasi unsur- unsur dari hukum jinayah. Ini menunjukkan bahwa di tingkat konstitusi dan undang-undang di tingkat nasional, hukum jinayah belum diberlakukan di Indonesia. Kondisi berbeda diperlihatkan di Malaysia. Para delegasi Melayu yang terdiri dari aliansi UMNO, MCA, MIC sebagai pemenang Pemilu 253 M. Atho Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia: a Socio-Historical Approach Jakarta: Office of Religious Research and Development and Training Ministry of Religious Affairs Republic of Indonesia, 2003, 40. 254 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya Yogyakarta: Kanisius, ttp, 39. 255 Tentang sumber hukum formil dan materiil dapat dilihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 19991, 64. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, cetakan ketujuh, Jakarta: Sinar Bakti, 1983, 45. 1955 menegosiasikan kemerdekaan Malaysia kepada Pemerintah Inggris. Sebuah komisi persemakmuran Commonwealth Commission dibentuk oleh Ratu Inggris untuk menyusun Konstitusi yang dipimpin oleh Lord Reid, dengan anggota Mr. Ivor Jennings, Sir William Mckell, dan Mr Hakim B. Malik. Tak satupun orang Melayu yang menjadi anggota komisi. Aliansi UMNO, MCA, MIC kemudian mengajukan tuntutan agar Islam menjadi agama negara bukan berarti negara Islam 256 . Setelah merdeka pada 31 Agustus 1957, Malaysia menyusun Konstitusi Perlembagaan Persekutuan yang disahkan pada 1957. Konstitusi ini pada dasarnya sedikit mengangkat isu Islam dibandingkan Konstitusi 1963. Islam diberi tempat yang tinggi di Konstitusi Malaysia 1963 karena Islam telah menjadi agama resmi negara dalam. 257 Di dalam Konstitusi, Pasal 3 ayat 1 berbunyi: “Agama Islam adalah agama bagi Persekutuan; tetapi agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai di wilayah persekutuan”. 258 Malaysia sejak awal telah menjadikan Islam sebagai agama yang spesial karena masuk dalam Konstitusi. Ini yang tidak terjadi di Indonesia. Raja di tiap negeri berkedudukan sebagai Ketua agama Islam dalam negerinya, sedangkan negeri-negeri yang tidak memiliki raja seperti Melaka, Pulau Pinang, Sabah dan Serawak yang menjadi raja adalah Yang diPertuan Agung. 259 Meskipun Konstitusi telah diubah beberapa kali, pada 1970-an, kelompok revivalis Islam menuntut islamisasi hukum yang berhadapan dengan kelompok liberal di Malaysia. 260 Berikutnya, pada 1980-an, muncul tuntutan pemberlakuan syariat Islam di ruang privat dan publik. Tuntutan ini ditolak sehingga syariat Islam tidak diberlakukan secara kaffah . 261 Meskipun Islam masuk dalam Konstitusi Malaysia, namun syariat Islam secara total tidak bisa diberlakukan di Malaysia. Aspek hukum 256 Ahmad Fauzi Abdul Hamid, ‚Implementing Islamic Law within a Modern Constitutional Framework: Challenges and Problems in Contemporary Malaysia‛, dalam Islamic Studies, Volume. 48, No. 2 Summer 2009, 161-162, http:www.questia.comlibraryjournal1P3-2035005951implementing-islamic-law-within-a- modern-constitutional diakses pada 8 September 2013. 257 Andrew Harding, ‚The Keris, The Crescent and the Blind Goddess: The State, Islam and the Constitution in Malaysia‛, dalam Singapore Journal of International and Comparative Law, 2002, 162, http:law.nus.edu.sgsybildownloadsarticlesSJICL-2002- 1SJICL-2002-154.pdf diakses 29 Oktokber 2013. 258 Pasal 3 ayat 1 Perlembagaan Persekutuan. 259 Pasal 3 ayat 2 Perlembagaan Persekutuan. 260 Andrew Harding, ‚The Keris, The Crescent and the Blind Goddess…‛, 163. 261 Fikret Kar čić, ‚Applying the Sharīah in Modern Societies: Main Developments and Issues‛, dalam Islamic Studies, Volume 40, No. 2 Summer 2001, 12. http:www.bosanskialim.comrubrikebiografijebosanski_alimiKarcic_Fikret.html diakses pada 10 Oktokber 2013. jinayah masih belum meyakinkan sebagai hukum yang diberlakukan sesuai dengan syariat Islam. Sejumlah Kanun Jenayah Syariah yang diberlakukan di negeri-negeri tidak mencerminkan hukum jinayah yang sesuai dengan syariat Islam. Tak terkecuali di Kelantan, sebagai Negara Bagian yang dipimpin PAS, mereka tidak berhasil memberlakukan hukum jinayah secara total. Regulasi hukum jinayah di Malaysia sesungguhnya telah mengatur beberapa hukum jinayah, seperti pencurian, zina, qadhaf, pembunuhan, dan perampokan, tetapi tidak ada satu pun hukuman yang diterapkan sesuai dengan syariat Islam. Ada kendala serius yang dihadapi masyarakat Islam yang menginginkan pemberlakuan hukum jinayah secara total, yaitu sistem hukum Malaysia yang bersumber pada Perlembagaan Persekutuan dan Undang-undang Akta 355 Akta Mahkamah Syariah Bidang Kuasa Jenayah 1965 yang diamandemen dengan Undang-Undang Malaysia Akta 612 Akta Mahkamah Syariah Bidang Kuasa Jenayah Pindaan 1984. Konstitusi Malaysia telah membatasi bahwa jika undang-undang negeri bertentangan dengan undang-undang persekutuan, maka otomatis undang-undang negeri batal. Dalam Akta 355 Akta Mahkamah Syariah 1965 disebutkan: “Mahkamah Syariah yang ditubuhkan dengan sempurnanya di bawah mana- mana undang-undang dalam sesuatu Negeri dan diberi bidang kuasa ke atas orang-orang yang menganuti agama Islam dan berkenaan dengan mana-mana perkara yang disebut satu persatu dalam Senarai II bagi Senarai Negeri dalam Jadual Kesembilan kepada Perlembagaan Persekutuan adalah dengan ini diberi bidang kuasa berkenaan dengan kesalahan-kesalahan terhadap rukun-rukun agama Islam oleh orang-orang yang menganuti agama tersebut yang boleh ditetapkan di bawah mana-mana undang-undang bertulis: Dengan syarat bahawa bidang kuasa sedemikian tidaklah boleh dijalankan berkenaan dengan apa-apa kesalahan yang boleh dihukum penjara selama tempoh melebihi tiga tahun atau denda melebihi lima ribu ringgit atau sebatan melebihi enam kali atau apa-apa gabungan hukuman- hukuman tersebut”. 262 Pembatasan yang telah ditetapkan dalam Akta Mahkamah Syariah Malaysia yaitu “ setiap kesalahan pidana dapat dihukum penjara selama tidak melebihi tiga tahun atau denda tidak melebihi lima ribu ringgit atau cambuk tidak melebihi enam kali atau gabungan hukuman-hukuman tersebut” menjadikan ketetapan ini berlaku untuk seluruh Malaysia. Kelantan sebagai negara bagian di Malaysia tunduk pada aturan ini. 262 Pasal 2 Undang-undang Akta 355 Akta Mahkamah Syariah Bidang Kuasa Jenayah 1965yang diamandemen dengan Undang-Undang Malaysia Akta 612 Akta Mahkamah Syariah Bidang Kuasa Jenayah Pindaan 1984.