Kehendak Politik Hukum Nasional dalam Pemberlakuan

penerapannya dapat melenceng dari tujuan syariat Islam. 17 Kebijakan negara terhadap Aceh ini pun dicurigai oleh sebagian kalangan untuk menggeser dari konflik vertikal antara rakyat Aceh dengan Pemerintah Pusat ke konflik horisontal antar rakyat Aceh. 18 Mantan Kepala Dinas Syariat Islam di Provinsi Aceh , Al Yasa‟ Abu Bakar mengakui bahwa penerapan syariat Islam di Aceh memang terkait dengan langkah politik darurat political expendiency Pemerintahan Negara RI agar Aceh tidak lepas dari NKRI. 19 Dengan demikian, syariat Islam adalah solusi politik Pemerintahan Negara RI kepada rakyat Aceh 20 untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Tujuan utama Pemerintahan Negara RI adalah tidak terjadi disintegrasi yang mengancam kesatuan wilayah Indonesia. Karena itulah, pemberlakuan hukum jinayah di Aceh sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kehendak politik yang dimainkan oleh para elitnya. Kebijakan negara ini sejalan dengan solusi konflik politik antara rakyat Aceh yang dipimpin M. Daud Beureueh dengan Pemerintahan Pusat masa Soekarno. Tuntutan merdeka dari DITII di Aceh diobati oleh Soekarno dalam misi Hardi 21 yang memberikan keistimewaan Aceh untuk melaksanakan syariat Islam. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Penguasa Perang No. KPTSPEPERDA-06131962 tentang Kebijaksanaan Pelaksanaan Unsur-unsur Syariat Islam bagi Pemeluk- pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang menetapkan: 1 terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama Islam bagi pemeluk di Daerah Istimewa Aceh dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara, dan 2 penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di 17 Nurrohman, ‚Formalisasi Syariat Islam…‛, 200. 18 Arskal Salim ‘Sharia from Below’ in Aceh 1930s–1960s: Islamic Identity and the Right to Self ‐Determination with Comparative Reference to the Moro Islamic Liberation Front MILF, dalam Indonesia and the Malay World, Volume. 32, No. 92, Maret 2004, 15, http:www.academia.edu2572791Sharia_from_below_in_Aceh_1930s- 1960s_Islamic_identity_and_the_right_to_self- determination_with_comparative_reference_to_the_Moro_Islamic_Liberation_Front_MILF_ diakses 23 Desember 2011. 19 Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM, Jakarta: CSRC-KAS, 2007, 138-139 20 Nurrohman, ‚Formalisasi Syariat Islam…‛, 201. 21 Lihat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1Missi1959 dan Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh‛ dalam Burhanuddin ed., Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL dan TAF, 2003, 97-98. Lihat pula S.M. Amin, ‚Sejenak Meninjau Aceh, Serambi Mekkah‛ dalam Islamil Suny ed., Bunga Rampai tentang Aceh Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980, 95. atas diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah Istimewa Aceh. 22 Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan Perda No. 30 Tahun 1961 yang membatasi penjualan minuman dan makanan dalam bulan Ramadhan, Perda Tingkat II Aceh Timur No. 4 Tahun 1961 yang mengatur penjualan minuman keras, Perda Aceh Tengah No. 36 Tahun 1961 yang mengatur penjualan makanan dan minuman keras dan Perda No. 1 Tahun 1963 tentang Pelaksanaan Syiar Agama Islam. 23 Konflik politik berikutnya antara GAM dan Pemerintahan Negara RI pun dicarikan jalan komprominya dengan keistimewaan Aceh untuk melaksanakan syariat Islam. Tak heran jika masa-masa sebelum perjanjian Helsinski ditanda-tangani, masyarakat Aceh telah mendapatkan keistimewaan untuk melaksanakan syariat Islam. Pemberian hak masyarakat Aceh untuk melaksanakan hukum jinayah tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus NAD, Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Paket Undang-undang yang memberikan kewenangan untuk melaksanakan syariat Islam ini merupakan agenda politik yang dimainkan Pemerintahan Negara RI untuk melunakkan hati masyarakat Aceh. 24 Situasinya berbeda dengan di Kelantan. Sejak awal, kehendak politik Pemerintahan Federal Malaysia dalam memberlakuan hukum jinayah di Kelantan tidak didasari oleh konflik vertikal yang mengarah 22 Keputusan Penguasa Perang ini sebelumnya dikonsultasikan kepada Daud Beureueuh dalam surat yang dikeluarkan Kolonel M. Jasin pada 5 Pebruari 1962, yang kemudian dijawab Daud Beureueuh pada 17 Pebruari 1962 dan Keputusan Penguasa Perang ini sudah dikonsultasikan ke DPRGR pada 26 Maret 1962 dalam Sidang Istimewa I DPRDGR. Lihat Keputusan Penguasa Perang No. KPTSPEPERDA-06131962 Tentang Kebijaksanaan Pelaksanaan Unsur-unsur Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, Laporan Panitia Khusus III DPRDGR Daerah Istimewa Aceh Tahun 1962. Lihat pula Moch Nur Ichwan, ‚The Politics of Shari’atization: Central Governmental and Regional Discourse of Shari’a Implementation of Aceh, dalam R. Michael Feener dan Mark E. Cammack ed., Islamic Law in Contemporarry Indonesia Ideas and Institution, Cambridge: Harvard Law School, 2007, 198. 23 Perda ini mengatur penggunaan gedung-gedung Pemerintah daerah untuk keperluan memperingati hari-hari besar Islam, penutupan kantor, toko, kedai dan warung pada setiap hari Jumat sejak adzan hingga selesai shalat Jumat, dan bulan Ramadhan. Lihat Pasal 1- 5 Perda No. 1 Tahun 1963, tentang Pelaksanaan Syiar Agama Islam Dalam Daerah Istimewa Aceh. 24 Moh. Mahfudh MD, Politik Hukum di Indonesia Jakarta: LP3ES, 1998,8. pada disintegrasi bangsa. Di Kelantan, tidak ada gerakan yang menginginkan pemisahan dari wilayah Malaysia. Pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan tidak ada kaitannya dengan gerakan separatisme. Dalam memberlakukan hukum jinayah di Kelantan dan juga negeri-negeri lainnya, Pemerintahan Federal menggunakan politik yang dimainkan Inggris, yang menghendaki syariat Islam tidak secara total berlaku di Kelantan. Kebijakan yang dilakukan Pemerintahan Federal adalah merevisi hukuman jinayah yang dipengaruhi Pemerintah Inggris yang menghukum kesalahan jinayah dengan denda sebanyak RM 5.000,00 atau penjara selama tidak lebih dari 4 bulan atau kedua-duanya. 25 Pemerintahan Federal merevisi Akta Mahkamah Syariah 1965 dengan Akta Mahkamah Syariah 1984 dengan menetapkan hukuman terhadap kesalahan jinayah, yaitu 3 tahun penjara, RM 5.000,00 dan 6 kali cambuk. Kebijakan ini merupakan langkah pembatasan agar seluruh negeri di Malaysia tidak menetapkan hukuman pidana di atas ketetapan Akta Mahkamah Syariah 1984. Karena itulah, Pemerintahan Federal yang dipimpin Mahathir Mohamad UMNO menetapkan hukuman maksimal bagi kesalahan jinayah Islam, yaitu 3 tahun penjara, RM 5.000,00 dan 6 kali cambuk. Meskipun hukumannya lebih berat daripada hukuman yang ditetapkan dalam Akta Mahkamah Syariah 1965, Pemerintahan Federal sesungguhnya telah membatasi hukuman jinayah di seluruh negeri Malaysia. Pemerintahan Federal juga cenderung membiarkan hukuman jinayah tidak sesuai dengan hukuman yang telah ditetapkan dalam syariat Islam, seperti hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian, rajam bagi pelaku zina muhs}an, dan qis}as} bagi pelaku pembunuhan. Itu sebabnya, Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Kelantan 1985 mengatur perbuatan jinayah, seperti pencurian, zina, qadhaf, h}irabah, dan irtidad dengan hukuman 3 tahun penjara, RM 5.000,00 dan 6 kali cambuk. Hukuman ini berarti sesuai dengan Akta Mahkamah Syariah Bidang Kuasa Jinayah 1984. Sebaliknya, hukuman ini tidak sesuai dengan 25 Hukuman ini telah ditingkatkan pada 1965 dengan denda RM 1000,00 atau penjara tidak lebih dari 6 bulan atau kedua-duanya. Perubahan Akta Mahkamah Syariah Bidang Kuasa Jinayah telah dibuat pada 1984 dan setelah itu hukuman yang boleh dijatuhkan oleh Mahkamah Syariah adalah denda RM 5.000,00 atau penjara 3 tahun atau 6 kali cambuk atau kombinasi hukuman. Lihat Zulkifli Hasan, ‚Undang-undang Jenayah Islam di Malaysia: Setakat Manakah Pelaksanaannya?‛ dalam Zulkifli Hasan ed., Hudud di Malaysia: Cabaran Pelaksanan Kualalumpur: ABIM, 2013, 98-99. hukuman h}udud dan qis}as} yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Pemerintahan Federal pun tidak mempersoalkan pemberlakuan Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Kelantan 1985. Pemerintahan Federal mulai mempersoalkan eksistensi Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Negeri Kelantan 1992 yang disahkan di Kelantan sebagai revisi atas Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Kelantan 1985. Sejak Mahathir Mohamad, Ahmad Badawi, dan Tun Najib Razak, Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Negeri Kelantan 1992 ditolak oleh Pemerintahan Federal. Perjuangan Pemerintah Negeri Kelantan yang dipimpin Nik Abdul Aziz Nik Mat PAS digagalkan oleh Pemerintahan Federal di tiga periode kepemimpinan UMNO di Pemerintahan Federal 1992-sekarang. Pada Mei 1992, Mahathir Mohamad mengumumkan penolakan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Negeri Kelantan 1992. UMNO sebagai partai pemerintah juga menolak pemberlakuan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Negeri Kelantan 1992. Argumen yang disampaikan adalah karena kebanyakan hukum di Malaysia telah sesuai dengan spirit dan prinsip Islam. Begitu pula, hukum syariat perlu dikompromikan dengan kondisi masyarakat Malaysia yang multikultural dan multiagama. UMNO juga berpandangan pemberlakuan syariat Islam kepada warga Muslim dan Non-Muslim sejatinya telah melakukan diskriminasi terhadap Non-Muslim. 26 Meskipun bersikap kritis terhadap pemberlakuan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Negeri Kelantan 1993, Pemerintahan Federal melakukan upaya penyelarasan antara hukum syariah dengan hukum sipil. Komite Koordinasi Syariah dan Hukum Sipil dibentuk oleh Pemerintahan Federal yang merancang kesamaan pelaksanaan hukum Islam di seluruh Negara Bagian, sistem peradilan syariah dan menyesuaikan hukum sipil dengan hukum syariah. 27 Reaksi keras dilakukan oleh PM Mahathir Mohamad yang menuding PAS di Kelantan sedang memainkan retorika politik yang 26 Maria Luisa Seda-Poulin, ‚Islamization And Legal Reform In Malaysia: The Hudud Controversy of 1992‛, dalam Southeast Asian Affairs 1993, 225-226, http:www.jstor.orgstable27912077 diakses 10 Oktokber 2013 27 Maria Luisa Seda-Poulin, ‚Islamization and Legal Reform…‛, 228. menipu. 28 Pemerintahan Federal selalu menekan kelompok-kelompok yang menginginkan pemberlakuan hukum jinayah secara total di Kelantan. 29 Pemerintahan Federal melalui kekuatannya di parlemen menolak pemberlakuan hukum jinayah secara total di Kelantan. 30 Hal ini sesuai dengan komimen PM Mahathir Mohamad yang sejak awal kepemimpinannya telah merancang untuk menstandarisasi pemberlakuan hukum Islam di level pusat. 31 Pada 15 Juli 1994, PM Mahathir Mohamad mengirim surat kepada Menteri Besar Kelantan, Nik Abdul Aziz Nik Mat perihal posisi Pemerintahan Federal terhadap pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Mahathir Mohamad mengatakan bahwa kajian awal menunjukkan dengan jelas bahwa hukum jinayah Kelantan ternyata bukan saja menyebabkan ketidakadilan, tetapi akan membawa kezaliman. Argumen yang dibangun Mahathir adalah sebagai berikut: 32 Pertama, dugaan bahwa hukum jinayah akan diberlakukan hanya untuk Muslim saja dan tidak diberlakukan untuk Non-Muslim akan menyebabkan ketidakadilan dan kezaliman. Menurut Mahathir, di zaman Nabi Muhammad Saw ketika orang Yahudi melakukan perbuatan jinayah dihukum dengan menggunakan kitab Taurat karena kitab Taurat 28 Ahmad Fauzi Abdul Hamid, ‚Implementing Islamic Law within a Modern Constitutional Framework: Challenges and Problems in Contemporary Malaysia‛, dalam Islamic Studies, Volume 48, No. 2 Summer 2009, 17, http:www.questia.comlibraryjournal1P3-2035005951implementing-islamic-law-within-a- modern-constitutional diakses 8 September 2013. Jan Starkr, ‚Constructing an Islamic Model in Two Malaysian States: PAS Rule in Kelantan and Terengganu‛ dalam Journal of Social Issues in Southeast Asia, Volume 19, No. 1 April 2004, 68, http:www.jstor.orgstable3632403 diakses 8 September 2012. Lihat pula M G G Pillai, ‚lslamic Criminal Law: Bowing to Fundamentalists‛, dalam Economic and Political Weekly, Volume 29, No. 7 Feb. 12, 1994, 355, http:www.epw.incommentarymalaysia-islamic- criminal-law-bowing-fundamentalists.html diakses 8 September 2012. 29 Farid S. Shuaib, ‚The Islamic Legal System in Malaysia‛ dalam Pacific Rim Law Policy Journal, Volume 21 No. 1, Januari 2012, 113, https:digital.law.washington.edudspace- awbitstreamhandle1773.1109421PRPLJ085.pdf?sequence=1 diakses 15 Maret 2013. 30 Muhammad Syukri Salleh, ‚Establishing An Islamic State: Ideals And Realities in the State Of Kelantan, Malaysia, dalam Southeast Asian Studies, Volume 37, No. 2, September 1999, 247, http:repository.kulib.kyoto- u.ac.jpdspacebitstream2433567171KJ00000132128.pdf diakses 28 Januari 2014. 31 Kikue Hamayotsu , Once a Muslim, Always a Muslim: the Politics of State Enforcement of Syariah in Contemporary Malaysia, dalam South East Asia Research, 20, 3, 2012, 402, http:www.jstor.orgstable4127290 diakses 7 Juli 2009. 32 Surat Perdana Menteri Mahathir Mohamad kepada Menteri Besar Kelantan, Nik Abdul Aziz Nik Mat pada 15 Juli 1994. Lihat pula analisis Mohammad Hashim Kamali terhadap surat ini. Mohammad Hashim Kamali, ‚Punishment in Islamic Law: A Critique of the Hudud Bill of Kelantan, Malaysia‛ dalam Arab Law Quarterly, Volume 13, No. 3 1998, 207. http:www.jstor.orgstable3382008 diakses 9 Juli 2012. mempunyai hukuman yang tidak berbeda dengan hukum dalam al- Qur‟an. Mereka yang berzina akan dihukum rajam sama seperti hukuman bagi Muslim. Sekarang ini, terdapat perbedaan yang jelas antara hukuman yang diatur dalam undang-undang sipil dengan hukuman yang diberlakukan dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan. Bagi Mahathir, menghukum Muslim lebih berat daripada Non-Muslim untuk tindak pidana yang sama atau tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama amatlah tidak adil dan merupakan suatu kezaliman. Dengan alasan inilah, Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1993 tidak boleh diterima sebagai undang-undang Islam atau selaras dengan ajaran Islam, sebaliknya tertentangan dengan agama Islam. Kedua, masalah pemerkosaan wanita. Berdasarkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan, jika seseorang wanita yang belum kawin melahirkan anak, maka ini adalah bukti bahwa ia telah berzina dan akan dihukum berdasarkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan. Kondisi yang sebenarnya, wanita itu adalah korban perkosaan. Berdasarkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan, jika ia menuduh pemerkosanya, tuduhan hanya boleh diterima sah jika terdapat empat orang saksi yang terdiri dari orang-orang yang baik, yang tidak melakukan dosa besar yang menyatakan bahwa telah melihat dengan terang dan jelas bahwa yang dituduh telah memperkosa wanita tersebut. Mahathir kemudian menceritakan kondisi perang di Bosnia ketika orang-orang Serbia memperkosa banyak wanita Bosnia, maka tidaklah mungkin pemerkosaan dilakukan di hadapan saksi-saksi yang terdiri dari orang-orang yang baik. Jika saksi ini melihat dan mereka tidak menolong wanita tersebut, mereka dapat dianggap sebagai bersubhat, seperti orang- orang Serbia bersubhat dengan pemerkosa dari bangsa mereka. Jika pun ada saksi dan mereka tidak melakukan apapun untuk menolong mereka, maka tidak dapat dianggap sebagai orang yang baik. Dengan demikian, tuduhan korban pemerkosaan akan ditolak dan pemerkosa akan bebas. Kondisi di mana korban pemerkosaan dihukum salah karena melahirkan anak di luar nikah dan pemerkosa dibebaskan sebagai tidak bersalah karena tidak ada saksi adalah kezaliman yang dahsyat. 33 Hukum h}udud menurut Mahathir bertujuan untuk mewujudkan keadilan kepada semua pihak, bukan untuk melakukan kezaliman. Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan menunjukkan ketidakadilan dan kezaliman. Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 33 Surat Perdana Menteri Mahathir Mohamad kepada Menteri Besar Kelantan, Nik Abdul Aziz Nik Mat pada 15 Juli 1994 Kelantan yang disiapkan PAS bukanlah undang-undang yang sesuai dengan ajaran Islam. Ia hanyalah undang-undang buatan PAS yang bertentangan dengan agama Islam. Pemerintahan Federal akan senantiasa merujuk dan menerima ajaran dan amalan Islam tanpa disusupi oleh kehendak organasasi politik yang mempunyai kepentingan lain. 34 Jika Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan yang mengandung unsur ketidakadilan diberlakukan, maka umat Islam dan anggota masyarakat Non-Muslim akan hilang kepercayaan terhadap Islam yang membawa keadilan. Ini akan memberi gambaran yang buruk terhadap agama yang suci dan menyebabkan penganut agama lain menjauhkan diri dari agama Islam dan menyebabkan orang yang berminat memeluk Islam akan menolak. Pemerintahan Federal senantiasa mempertahankan ajaran Islam dan tidak membenarkan Pemerintah Kelantan untuk menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Pada periode setelah Mahathir, baik Abdullah Ahmad Badawi dan Najib Razak, Pemerintahan Federal masih konsisten menolak pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Abdullah Ahmad Badawi justru mengeluarkan slogan “Islam Hadhari” 35 dan Najib Razak mengeluarkan kebijakan “Satu Malaysia”. Kebijakan Pemerintahan Federal ini sesungguhnya menegaskan sikap yang jelas untuk membangun Malaysia dalam visi Islam yang moderat dengan menghargai perbedaan etnis dan agama yang terdapat di Malaysia. Matrik 2. Daftar Perbandingan Kehendak Politik Pemerintah Pusat dalam Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan Kehendak Politik Hukum Nasional Indonesia Malaysia Isi Memiliki kehendak politik untuk memberlakukan hukum jinayah Tidak memiliki kehendak politik untuk memberlakukan hukum jinayah Pembuat Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati PM Mahathir Mohamad, PM Abdullah Badawi PM Najib Razak bersama Parlemen 34 Surat Perdana Menteri Mahathir Mohamad kepada Menteri Besar Kelantan, Nik Abdul Aziz Nik Mat pada 15 Juli 1994 35 Mohd Nakhaie Ahmad, Masyarakat Islam Hadari Kualalumpur, YADIM, 2004, 1. Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama DPR RI Bentuk Peraturan Perundang- undangan: UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2001 Tentang Perlakuan Khusus terhadap Situasi di Aceh UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus NAD dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Surat PM dan respon PM di media massa Faktor yang mempengaruhi Konflik panjang antara Pemerintah Pusat dengan rakyat Aceh DITIIGAM Persaingan politik untuk mendapatkan dukungan massa Hasil Aceh diperbolehkan memberlakukan hukum jinayah, seperti khamar, khalwat, maisir, pelanggaran akidah, ibadah, syiar Islam, dan pelanggaran zakat Kelantan diperbolehkan memberlakukan hukum jinayah qis}as} , h}udud , dan ta ‘ zir yang sesuai dengan Akta Mahkamah Syariah 1984. Sebaliknya, Kelantan tidak diperbolehkan memberlakukan hukum jinayah yang sesuai dengan pendapat imam-imam mazhab dalam kitab-kitab fikih. Berdasarkan pemaparan di atas, ada perbedaan yang signifikan tentang kehendak politik Pemerintahan Negara RI dalam pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Pemerintahan Negara RI memberikan kewenangan kepada Aceh untuk melaksanakan syariat Islam, termasuk hukum jinayah. Tawaran ini merupakan solusi atas konflik yang terjadi antara rakyat Aceh dengan Pemerintahan Negara RI agar Aceh tidak lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebaliknya, Pemerintahan Federal Malaysia tidak memberikan kewenangan kepada Pemerintah dan rakyat Kelantan untuk melaksanakan syariat Islam, termasuk hukum jinayah. Pemerintahan Federal justru menolak pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Penolakan ini merupakan jalan politik yang ditempuh Pemerintahan Federal yang dipimpin UMNO untuk mendapatkan simpati politik dari rakyat. Hal ini menjelaskan bahwa pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan merupakan produk politik yang saling berkontestasi di antara elit-elit politik. 36

B. Kehendak Politik Pemerintahan Daerah dalam Pemberlakuan

Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan Kebijakan politik hukum nasional untuk memberlakukan syariat Islam di Aceh ternyata tidak ditindaklanjuti secara komprehensif oleh Pemerintahan Daerah di Aceh. Kepemimpinan Aceh di masa reformasi yang dimulai dari Abdullah Puteh 2000-2004, 37 Azwar Abubakar 2004- 2005, 38 Mustafa Abubakar 2005-2007, 39 Irwandi Yusuf 2007-2012, 40 dan Zaini Abdullah 2012-2017 41 memperlihatkan dinamikanya dalam pemberlakuan syariat Islam. Pada awalnya, setelah disahkan Undang- undang Otonomi Khusus, Pemerintahan Daerah merespon dengan sejumlah qanun yang disahkan di Aceh. Di masa-masa berikutnya, pemberlakuan syariat Islam berjalan lambat. Pemberlakuan hukum jinayah secara lebih luas di Aceh terhambat oleh kehendak politik Pemerintah Aceh di masa Irwandi Yusuf. Sejak deklarasi syariat Islam di Aceh berlangsung pada 2002 hingga sekarang, masa Abdullah Puteh lah yang memiliki kehendak politik yang kuat untuk memberlakukan syariat Islam secara kaffah termasuk hukum jinayah. Kehendak politik Gubernur Abdullah Puteh sejalan dengan kebijakan politik Pemerintahan Negara RI bahwa syariat Islam 36 Lihat teori hubungan hukum dan politik dalam Moh. Mahfudh MD, ‚Politik Hukum di Indonesia ‛, 8. 37 Abdullah Puteh lahir di Meunasah Arun, Aceh Timur, 4 Juli 1948. Ia pernah menjadi anggota DPR-RI 1979-1987 dan Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia KNPI Aceh Timur 1984. Puteh sempat menjadi Wakil Ketua Komisi V dan Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan. Terakhir, ia terpilih sebagai Gubernur Aceh 2000- 2004. Pada 7 Desember 2004, Abdullah Puteh dimasukkan ke Rutan Salemba, Jakarta karena dituduh melakukan korupsi dalam pembelian 2 buah helikopter PLC Rostov jenis MI-2 senilai Rp 12,5 miliar. Pada 11 April 2005, Puteh divonis hukuman penjara 10 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Segera setelah putusan tersebut dikeluarkan, Departemen Dalam Negeri memberhentikan Puteh sebagai Gubernur. 38 Dari tahun 2000 sampai 2004, Abubakar menjabat sebagai Wakil Gubernur Aceh mendampingi Abdullah Puteh, kemudian menjadi gubernur sementara setelah Gubernur Abdullah Puteh terkena tuntutan korupsi. Dia mencalonkan diri untuk menjadi gubernur Pemilukada 2006 berpasangan dengan Nasir Djamil dari Partai Keadilan Sejahtera. Dia dikalahkan Irwandi Yusuf yang kemudian menjadi Gubernur Aceh 2007-2012. 39 Mustafa Abubakar adalah Pejabat Pelaksana Tugas Gubernur Aceh. 40 Irwandi Yusuf masuk Gerakan Aceh Merdeka dan dipercaya menduduki posisi Staf Khusus Komando Pusat Tentara GAM 1998-2001. Ia kemudian diberikan tugas oleh petinggi GAM di Swedia sebagai Koordinator Juru Runding GAM. Saat rapat pertama Aceh Monitoring Mission, dia tampil sebagai koordinator Juru Runding GAM di Aceh 2001-2002. 41 Zaini Abdullah adalah Mantan Mentri Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka. Sekarang ia menjadi Gubernur Aceh. merupakan solusi konflik. Abdullah Puteh mengatakan, dengan berlakunya syariat Islam secara kaffah menyeluruh di Aceh, diharapkan tidak akan ada lagi suasana kegelisahan dan segera berakhirnya penderitaan rakyat akibat konflik. 42 Di dalam bingkai syariat Islam sebagai solusi konflik inilah, Abdullah Puteh bersama DPRD Aceh mengeluarkan qanun penerapan syariat Islam, seperti Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat. Sejumlah qanun yang telah dikeluarkan Pemerintah Aceh bersama DPRD Aceh telah menjangkau aspek syariat Islam yang paling diperdebatkan untuk diberlakukan, yaitu hukum jinayah. Hal ini terlihat dari kewenangan Mahkamah Syariah yang dijabarkan dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat. Dalam Qanun ini, Mahkamah Syariyyah berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara dalam bidang jinayah. 43 Hukum materil dan formil yang digunakan bersumber atau sesuai dengan Syariat Islam. 44 Kehendak politik yang kuat untuk memberlakukan hukum jinayah di masa kepemimpinan Abdullah Puteh dibuktikan dengan didirikannya kelembagaan pelaksanaan syariat Islam, yaitu Dinas Syariat Islam 2001, Mahkamah Syar‟iyyah 2004, dan Wilayatul Hisbah 2004. Kelembagaan inilah yang mengawal pelaksanaan syariat Islam di Aceh, selain Pemerintah Aceh dan DPRD yang bertugas membentuk sejumlah PerdaQanun syariat Islam di Aceh. Dinas Syariat Islam merupakan perangkat daerah sebagai unsur Pelaksanaan Syariat Islam di lingkungan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh yang berada di bawah Gubemur. Dinas Syariat Islam bertugas merencanakan, menyiapkan qanun yang berhubungan dengan Pelaksanaan Syariat Islam serta mendokumentasikan,dan menyebarluaskan hasil- hasinya; melakukan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan dengan Pelaksanaan Syariat Islam; kelancaran dan ketertiban pelaksanaan peribadatan dan penataan, sarananya serta penyemarakan Syiar Islam; 42 http:www.pelita.or.idbaca.php?id=16861 diakses 18 Januari 2014. 43 Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat. 44 Pasal 53 dan 54 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat. bimbingan dan pengawasan terhadap Pelaksanaan Syariat Islam di tengah- tengah masyarakat; dan pembimbingan dan penyuluhan Syariat Islam. 45 Mahkamah Sya r‟iyyah merupakan Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar‟iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun, 46 yang berlaku untuk pemeluk agama Islam. 47 Mahkamah Syar‟iyah Aceh dan Mahkamah Syar‟iyyah kabupatenkota adalah pengadilan selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan agama yang merupakan bagian dari sistem peradilan nasional. 48 Mahkamah Syar‟iyyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-shakhsiyah hukum keluarga, muamalah hukum perdata, dan jinayah hukum pidana yang didasarkan atas syari‟at Islam. 49 Wilayatul Hisbah adalah Lembaga pembantu tugas Kepolisian yang bertugas membina, melakukan advokasi dan mengawasi pelaksanaan amar makruf nahi mungkar dan dapat berfungsi sebagai Polsus dan PPNS. 50 Wilayatul Hisbah dibentuk oleh Pemerintah Provinsi dan KabupatenKota yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun ini. Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayahIingkungan lainnya. Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah terdapat cukup alasan telah terjadinya pelanggaran terhadap Qanun, maka Wilayatul Hisbah diberi wewenang untuk menegurmenasehati si pelanggar. Setelah upaya menegunmenasehati dilakukan, ternyata perilaku si pelanggar tidak berubah, maka pejabat pengawas menyerahkan kasus pelangganan tersebut kepada pejabat penyidik. 51 Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah yang menemukan pelaku jarimah dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkan kepada 45 Pasal 2 dan 4 Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Susunan Organsasi dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Propinsi Daerah Istimewa Aceh. 46 Pasal 25 ayat 1 UU No 44 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus NAD. Lihat pula Pasal 1 ayat 2 Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam 47 Pasal 1 ayat 7 UU No 44 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus NAD. Lihat Pasal 128 ayat 1 dan 2 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh 48 Pasal 1 ayat 15 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh 49 Pasal 28 ayat 3 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Lihat pula Pasal 49 Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam 50 Pasal 1 ayat 8 Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam 51 Pasal 14 ayat 1-5 Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam penyidik dan menyampaikan laporan kepada penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan. Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, Pejabat Witayatul Hisbah bila menemukan pelaku pelanggaran jarimah dapat menyampaikan laporan secara tertulis kepada penyidik. 52 Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada Mahkamah apabila laporannya tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka waktu 2 dua bulan sejak laporan diterima penyidik. 53 Setelah Abdullah Puteh 2000-2004 digantikan oleh gubernur- gubernur berikutnya, pemberlakuan syariat Islam di Aceh berjalan lambat. Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Azwar Abubakar 2004-2005, Mustafa Abubakar 2005-2007, dan Irwandi Yusuf 2007-2012 tidak banyak berkontribusi dalam pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Praktis, hanya Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal yang diberlakukan di masa kepemimpinan Irwandi Yusuf. Langkah penting sebenarnya dilakukan oleh Gubernur Irwandi Yusuf untuk mengkodifikasi hukum jinayah di Aceh. Berdasarkan instruksi Gubernur, Dinas Syariat Islam yang dipimpin Alyasa Abubakar 2002-2008 mempersiapkan Draft Rancangan Qanun Jinayah. 54 Rancangan Qanun Jinayah ini merupakan kompilasi dan revisi dari tiga qanun sebelumnya yang mengaur maisir, khamar, dan khalwat ditambah dengan beberapa norma hukum baru. Draft ini dibahas dan dikaji secara luas dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dan pemerintah, seperti MPU Badan Kajian Hukum dan Per- UU, Mahkamah Syar‟iyyah, Kepolisian, Kejaksanaan, akademisi IAIN Ar-Raniry dan Universitas Syah Kuala, lalu hasilnya dibawa ke Biro Hukum untuk disempurnakan sesuai dengan kaidah perundang-undangan. Setelah dinyatakan sesuai dengan legal drafting, draf Rancangan Qanun Jinayah dibawa ke DPRA untuk dibahas dalam Sidang DPRA 2009. 55 Draft pertama terdiri dari 40 pasal lebih ketika diserahkan DPRA. Setelah direvisi selama kurang lebih 52 Pasal 16-18 Qanun 12 Tahun 2003 Tentang Larangan Khamar dan Sejenisnya. Pasal 14-16 Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir. Pasal 14 ayat 1-3 Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Mesum 53 Pasal 15 Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Mesum 54 Wawancara dengan Alyasa’ Abu Bakar dan Muslim Ibrahim, 21 September 2010 di Banda Aceh. 55 Wawancara dengan Muslim Ibrahim tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh.Wawancara dengan Amir Helmi, Wakil Ketua DPRA dari Partai Demokrat di Banda Aceh, 18 Juni 2012.Wawancara dengan Iqbal Farabi, Aktivis LSM di Banda Aceh, 18 Juni 2012. setahun oleh Panitia Khusus Pansus DPRA, draf bertambah menjadi 70 lebih pasal Rancangan Qanun Perubahan Pertama. 56 Dalam pembahasan di DPRA yang dipimpin Bahroom M. Rasyid PPP dan sekretaris Bustanil Arifin PKS, 14 September 2009 disepakati untuk memasukkan hukuman rajam dalam Rancangan Qanun Jinayah. 57 Kelompok yang setuju dengan hukuman rajam dalam Rancangan Qanun Jinayah merujuk pada sejarah Kesultanan Aceh yang telah memberlakukan hukuman rajam. Para penyusun Draft Rancangan Qanun Jinayah dipandang oleh kelompok ini tidak memiliki keseriusan untuk melaksanakan syariat Islam di Aceh karena tidak memasukkan hukuman rajam. Ketua Pansus Bahroom M. Rasyid PPP justru berpandangan, jika ingin melaksanakan syariat Islam secara kaffah, mestinya DPRA tidak menyembunyikan hukuman rajam yang telah diatur dalam Islam. Hukuman rajam telah diberlakukan sejak zaman Islam awal dan kini telah diberlakukan di sejumlah Negara Muslim. Karena itulah, Pansus memasukkan hukuman rajam dalam Rancangan Qanun Jinayah. Sebaliknya, wakil dari Pemerintah Aceh berpendirian tidak memasukkan rajam dalam Rancangan Qanun Jinayah. Pemerintah Aceh berprinsip bahwa pelaksanaan hukum jinayah dilaksanakan secara bertahap. Sebaliknya, DPRD tetap ngotot memasukkan pasal rajam dan mengesahkan Rancangan Qanun Jinayah. Fraksi Partai Demokrat sempat melobi fraksi-fraksi lain agar mereka memperbaiki pasal tentang hukuman rajam. Dengan alasan, karena bagaimanapun Perda itu harus menyesuaikan dengan hukum nasional. Upaya lobi itu kandas, karena mayoritas fraksi tetap bersikukuh sesuai rancangan akhir yang telah disepakati. 58 Akibatnya, setelah dimintakan persetujuannya kepada Gubernur, Irwandi Yusuf menolak. Padahal, Panitia Khusus Rancangan Qanun Jinayah menyepakati seluruh partai sepakat untuk mensahkan Rancangan 56 Arskal Salim, ‚Politics, Criminal Justice, and Islamisation in Aceh‛, Paper dipresentasikan dalam ALC Occasional Seminar, the Asian Law Centre and the Indonesia Forum as part of the University of Melbourne’s Asia Week pada 18 Agustus 2009, 6, http:www.law.unimelb.edu.aufilesdmfilesalim_final2_forwebsitewobleed2.pdf diakses pada 27 Pebruari 2013. 57 Wawancara dengan Muslim Ibrahim tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh.Wawancara dengan Amir Helmi, Wakil Ketua DPRA dari Partai Demokrat di Banda Aceh, 18 Juni 2012.Wawancara dengan Iqbal Farabi, Aktivis LSM di Banda Aceh, 18 Juni 2012. 58 http:www.acehinstitute.orgenpublic-cornersocial-culturalitem138- mendialogkan-syariat-dalam-bingkai-demokratis-dilematis.html diakses 3 Pebruari 2014 Qanun Jinayah Aceh. Irwandi Yusuf menyampaikan penolakannya untuk menandatangani Rancangan Qanun Jinayah Aceh seusai melantik 69 anggota DPRA periode 2009-2014. Irwandi pun merujuk pada Pasal 23 ayat 1 huruf a Undang Undang No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh UUPA. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa qanun disahkan setelah mendapat persetujuan bersama antara legislatif dan eksekutif. 59 Ada dua alasan ketidaksetujuan Gubernur Irwandi Yusuf terhadap Qanun Jinayah Aceh yang disahkan DPRD Aceh. 60 Pertama, Irwandi Yusuf menolak pasal hukuman rajam yang termuat dalam Qanun Jinayah Aceh. Kedua, Irwandi Yusuf menolak Draft Rancangan Qanun Jinayah Aceh karena bertentangan dengan hukum nasional dan hukum internasional. 61 Alasan kedua ini didasarkan pada Pasal 284 KUHP yang tidak memasukkan perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan sebagai perbuatan pidana. 62 Lagipula, Pasal 284 KUHP adalah delik aduan. Artinya, jika tidak ada yang mengadukan dari pihak yang dirugikan suami atau istri, maka tidak ada unsur perbuatan pidana. Perbedaan mendasar antara Rancangan Qanun Jinayah Aceh dengan KUHP inilah yang masih menjadi kendala dalam pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Belum lagi, jika totalitas hukum jinayah diberlakukan di Aceh, seperti hukum potong tangan bagi pencuri dan hukum qis}as} bagi pelaku pembunuhan, maka akan bertentangan dengan KUHP. 59 http:www.antaranews.comberita1256537338pakar-hukum-qanun-jinayat-agar- dibahas-ulang. Pakar Hukum: Qanun Jinayat Agar Dibahas Ulang, Senin, 26 Oktober 2009. Lihat pula http:muslimdaily.netberitalokaldewan-dakwah-desak-gubernur-aceh- tandatangani-qanun-jinayat.html. Dewan Dakwah Desak Gubernur Aceh Tandatangani Qanun Jinayat, Senin, 26 Oktokber 2009. 60 Wawancara dengan Muslim Ibrahim tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh.Wawancara dengan Amir Helmi, Wakil Ketua DPRA dari Partai Demokrat di Banda Aceh, 18 Juni 2012.Wawancara dengan Iqbal Farabi, Aktivis LSM di Banda Aceh, 18 Juni 2012. 61 Wawancara dengan Irwandi Yusuf yang diwartakan Rakyat Merdeka. Lihat ‚Irwandi Yusuf Tak Mau Tandatangani Qanun Jinayat, Senin, 26 Oktober 2009, http:www.rakyatmerdeka.co.idnusantara2009102611029Irwandi-Yusuf-Tak-Mau- Tandatangani-Qanun-Jinayat. Wawancara dengan Muslim Ibrahim tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh.Wawancara dengan Amir Helmi, Wakil Ketua DPRA dari Partai Demokrat di Banda Aceh, 18 Juni 2012.Wawancara dengan Iqbal Farabi, Aktivis LSM di Banda Aceh, 18 Juni 2012. 62 Pasal 284 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP Kabiro Hukmas Pemerintah Aceh, Hamid Zein, berpandangan Pemerintah Aceh bukan tidak setuju diatur dan ditetapkan Rancangan Qanun Jinayah. Pemerintah Aceh hanya tidak setuju dimasukkanya hukuman rajam menjadi materi kedua rancangan qanun tersebut. 63 Dalam bahasa lain, Hamid Zein berpendapat bahwa pada dasarnya Pemerintah Aceh tidak menolak pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Pemerintah akan menunda pelaksanaan syariat Islam karena dipandang cukup melaksanakan hukuman cambuk. Dalam pandangan Pemerintah Aceh, syariat Islam bukanlah sekadar hukuman itu sendiri. Pelaksanaan syariat Islam mestinya mempertimbangkan persoalan ekonomi. Dalam kasus pencurian, Pemerintah tidaklah adil jika melaksanakan hukum potong tangan, sementara kesejahteraan rakyat belum tercapai. 64 Perubahan kepemimpinan Aceh dari Irwandi Yusuf ke Zaini Abdullah yang diusung Partai Aceh pada awalnya dinilai membawa angin segar bagi gerakan pemberlakuan hukum jinayah. Zaini Abdullah dipandang memiliki orientasi yang kuat dalam pemberlakuan syariat Islam secara kaffah dibandingkan Irwandi Yusuf. 65 Dalam kenyataannya hingga kini, Gubernur Zaini Abdullah masih belum nampak memiliki orientasi yang jelas untuk memberlakukan hukum jinayah di Aceh. Gubernur Aceh yang baru, Tgk. Zaini Abdullah cenderung untuk menunda pemberlakuan h}udud dan kembali kepada konsep sebelumnya untuk tidak memasukkan pasal rajam. Politik yang dimainkan Tgk. Zaini Abdullah sesungguhnya membuktikan bahwa syariat Islam secara kaffah bukanlah cita-cita perjuangan GAM. GAM lebih tertarik dengan perjuangan orang-orang Aceh yang mengelola sendiri pemerintahannya, meskipun terpaksa harus berkompromi di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di Malaysia, situasinya berbeda. Sejak Malaysia merdeka, gerakan pemberlakuan syariat Islam secara total termasuk hukum jinayah dilakukan oleh partai politik, yaitu PAS. Masyarakat justru tidak begitu terlihat melakukan perjuangan pemberlakuan syariat Islam. Sistem politik di Malaysia yang tidak begitu bebas seperti di Indonesia memaksa masyarakat tidak banyak melakukan gerakan protes. Itu sebabnya, PAS 63 Wawancara dengan Irwandi Yusuf yang diwartakan Rakyat Merdeka. Lihat ‚Irwandi Yusuf Tak Mau Tandatangani Qanun Jinayat, Senin, 26 Oktober 2009, http:www.rakyatmerdeka.co.idnusantara2009102611029Irwandi-Yusuf-Tak-Mau- Tandatangani-Qanun-Jinayat. 64 Arskal Salim, ‚Politics, Criminal Justice…,‛ 7. 65 Wawancara dengan Tgk. Faisal Ali, Sekjen HUDA pada 15 Nopember 2012 di Banda Aceh. Wawancara dengan Suardi, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Aceh pada 16 Nopember 2012 di Banda Aceh