Perjuangan Pemberlakuan Hukum Jinayah di Indonesia dan
jinayah masih belum meyakinkan sebagai hukum yang diberlakukan sesuai dengan syariat Islam. Sejumlah Kanun Jenayah Syariah yang diberlakukan
di negeri-negeri tidak mencerminkan hukum jinayah yang sesuai dengan syariat Islam. Tak terkecuali di Kelantan, sebagai Negara Bagian yang
dipimpin PAS, mereka tidak berhasil memberlakukan hukum jinayah secara total.
Regulasi hukum jinayah di Malaysia sesungguhnya telah mengatur beberapa hukum jinayah, seperti pencurian, zina, qadhaf, pembunuhan, dan
perampokan, tetapi tidak ada satu pun hukuman yang diterapkan sesuai dengan syariat Islam. Ada kendala serius yang dihadapi masyarakat Islam
yang menginginkan pemberlakuan hukum jinayah secara total, yaitu sistem hukum Malaysia yang bersumber pada Perlembagaan Persekutuan dan
Undang-undang Akta 355 Akta Mahkamah Syariah Bidang Kuasa Jenayah 1965 yang diamandemen dengan Undang-Undang Malaysia Akta
612 Akta Mahkamah Syariah Bidang Kuasa Jenayah Pindaan 1984.
Konstitusi Malaysia telah membatasi bahwa jika undang-undang negeri bertentangan dengan undang-undang persekutuan, maka otomatis
undang-undang negeri batal. Dalam Akta 355 Akta Mahkamah Syariah 1965 disebutkan:
“Mahkamah Syariah yang ditubuhkan dengan sempurnanya di bawah mana- mana undang-undang dalam sesuatu Negeri dan diberi bidang kuasa ke atas
orang-orang yang menganuti agama Islam dan berkenaan dengan mana-mana perkara yang disebut satu persatu dalam Senarai II bagi Senarai Negeri dalam
Jadual Kesembilan kepada Perlembagaan Persekutuan adalah dengan ini diberi bidang kuasa berkenaan dengan kesalahan-kesalahan terhadap rukun-rukun
agama Islam oleh orang-orang yang menganuti agama tersebut yang boleh ditetapkan di bawah mana-mana undang-undang bertulis: Dengan syarat
bahawa bidang kuasa sedemikian tidaklah boleh dijalankan berkenaan dengan apa-apa kesalahan yang boleh dihukum penjara selama tempoh melebihi tiga
tahun atau denda melebihi lima ribu ringgit atau sebatan melebihi enam kali atau apa-apa gabungan hukuman-
hukuman tersebut”.
262
Pembatasan yang telah ditetapkan dalam Akta Mahkamah Syariah Malaysia
yaitu “ setiap kesalahan pidana dapat dihukum penjara selama tidak melebihi tiga tahun atau denda tidak melebihi lima ribu ringgit atau
cambuk tidak melebihi enam kali atau gabungan hukuman-hukuman tersebut” menjadikan ketetapan ini berlaku untuk seluruh Malaysia.
Kelantan sebagai negara bagian di Malaysia tunduk pada aturan ini.
262
Pasal 2 Undang-undang Akta 355 Akta Mahkamah Syariah Bidang Kuasa Jenayah 1965yang diamandemen dengan Undang-Undang Malaysia Akta 612 Akta
Mahkamah Syariah Bidang Kuasa Jenayah Pindaan 1984.
Ironisnya, penerapan hukuman pemidanaan di tiap-tiap negeri berbeda-beda selama tidak bertentangan dengan Akta 355 Akta
Mahkamah Syariah 1984, yaitu tidak melebihi 3 tahun penjara, RM 5.000,00 dan 6 kali jilid. Dimulai dari Kelantan, diundangkan Enakmen
Kanun Jenayah Syariah, 1985 yang direvisi 1993, Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kedah, 1988, Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah, 1991, Ordinan
Kesalahan Jenayah Syariah Serawak, 1991, Enakmen Jenayah Syariah Perak, 1992, Enakmen Jenayah dalam Syarak, Perlis, 1991, Enakmen
Kanun Jenayah Syariah Negeri Sembilan, 1992, Enakmen Prosedur Jenayah Syariah Sabah, 1993, Enakmen Kanun Prosedur Jenayah Syariah
Selangor, 1995, dan Enakmen Kanun Jenayah Syariah Trengganu 2002
263
telah mengatur perbuatan jianayah yang mendapatkan hukuman, tetapi bentukjenis hukumannya berbeda-beda, bahkan tidak ada
hukuman
h}udud
dan
qis}as}
yang diberlakukan. Dengan kata lain, hukum jinayah yang diberlakukan di Malaysia
hanya hukuman
ta’zir.
Kelantan dan Terengganu telah berupaya menerapkan hukuman
h}udud
dan
qis}as}
setelah PAS menang di kedua negeri tersebut. Kedua negeri sayangnya tidak dapat menerapkan
h}udud
dan
qis}as}
karena dipandang bertentangan dengan Bidang Kuasa Mahkamah Syariah. Kesulitan inilah yang menyebabkan Kelantan tidak
dapat melaksanakan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan yang berisi hukuman
h}udud, qis}as},
dan
ta’zir
yang berbeda dengan hukuman yang telah ditetapkan dalam Akta 355 Akta Mahkamah Syariah
1965. Berdasarkan paparan di atas, perjuangan pemberlakuan hukum
jinayah di Indonesia dan Malaysia dilakukan paska merdeka. Upaya-upaya politik dilakukan untuk menjadikan hukum jinayah dapat diberlakukan di
Indonesia dan Malaysia secara nasional. Upaya ini akhirnya tidak berhasil karena Konstitusi Indonesia dan Malaysia tidak memberikan kewenangan
untuk memberlakukan syariat Islam secara
kaffah
. F.
Posisi Hukum Jinayah dalam Sistem Hukum Nasional
Sistem hukum di suatu negara beraneka ragam. Sistem hukum yang berkembang di sejumlah negara adalah hukum adat, hukum Islam,
civil law, common law, dan sistem hukum lainnya.
264
Masing-masing negara menganut sistem hukum yang berbeda-beda, baik memilih salah satu dari
sistem hukum di atas maupun menggabungkan beberapa sistem hukum
263
Mahmood Zuhdi Abd. Majid, ‚Pengantar Undang- undang Islam…‛, 77-81.
264
Esin Örücü, ‚What is a Mixed Legal System: Exclusion or Expansion? dalam Electronic
Journal of
Comparative Law,
Volume 12.1
2008: 1-2
http:www.ejcl.org121art121-15.pdf diakses pada 28 Pebruari 2014.
pluralisme hukum. Indonesia dan Malaysia memiliki sistem yang berbeda sesuai dengan sejarah dan kondisi sosial-politiknya.
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralisme hukum. Empat sistem hukum hidup berdampingan secara damai di Indonesia;
hukum adat, hukum Islam, civil law dan common law seiring dengan perkembangan bangsa dan masyarakat Indonesia.
265
Keempat unsur bangunan hukum ini saling mempengaruhi dalam sistem hukum di
Indonesia.
266
Hukum adat adalah hukum yang hidup pada masyarakat Indonesia yang berbeda-beda suku bangsa.
Hukum adat yang sebagian besar tidak tertulis kemudian mendapatkan tempatnya dalam putusan-putusan
pengadilan formal, sehingga lama kelamaan perkembangan hukum adat tersebut dapat diikuti melalui putusan-putusan pengadilan. Bidang hukum
adat ini meliputi hukum keluarga, yaitu warisan, perkawinan, pengangkatan anak, hukum atas tanah dan hukum yang berkaitan dengan
kegitan perdagangan. Di beberapa daerah dikenal pula delik adat atau pidana adat. Di samping hukum adat, menyebarnya agama Islam ke
nusantara, membawa datangnya hukum Islam. Di sejumlah daerah yang penganut Islamnya kuat, masyarakat menerapkan hukum Islam dalam
bidang perkawinan, perceraian, dan warisan. Dalam perkembangan sekarang, hukum Islam tidak saja mengatur masalah perkawinan dan
warisan, tetapi juga meluaskan pengaruhnya ke bidang hukum ekonomi, seperti perbankan, asuransi dan pasar modal.
267
Kolonialisme Belanda ke kepulauan nusantara telah membawa datangnya hukum Belanda yang berasal dari Code Napoleon. Hukum ini
dimasukkan ke dalam sistem civil law yang berasal dari Perancis yang digali dari hukum Romawi. Karakteristik dari civil law bahwa hukum itu adalah
undang-undang yang terkodifikasi.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP
merupakan hukum kolonial yang masih digunakan di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka dan mengundang kembali datangnya modal asing pada
tahun 1967, mendorong perdagangan internasional Indonesia ke pasar dunia, dan berusaha mendapat pinjaman-pinjaman luar negeri dari negara-
negara maju. Pengaruh common law secara disadari atau tidak masuk ke
265
Erman Rajagukguk, ‚Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme‛ Makalah disampaikan pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung ke-37, 2
April 2005, 2.
266
Lihat Herbert M. Kritzer ed., Legal System of the World: a Political, Social, and
Cultural Encyclopedia, Volume II: E-L dan Volume III M-R California, Colorado, England: ABC Clio, 2002, 705-708 dan 956-963.
267
Erman Rajagukguk, ‚Ilmu Hukum Indonesia…‛, 2-4.
Indonesia. Karakteristik common law adalah bahwa hukum itu lahir dari putusan-putusan hakim. Common law mempengaruhi hukum Indonesia
melalui perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional di mana Indonesia menjadi anggotanya, perjanjian antara para pengusaha, lahirnya
institusi-institusi keuangan baru dan pengaruh sarjana hukum yang mendapat pendidikan di negara-negara common law, seperti Amerika
Serikat, Inggris dan Australia.
268
Adapun bentuk Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang dikenal dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Negara
Kesatuan adalah bentuk negara yang kekuasaan tertingginya berada di pemerintah pusat. Pemerintah Pusat mempunyai wewenang untuk
menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah. Negara Indonesia adalah negara republik dengan sistem presidensial, yakni sistem
pemerintahan terpusat kepada kekuasaan presiden sebagai kepala negara.
269
Indonesia juga menganut sistem pembagian kekuasaan trias politica ke dalam eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kepala Negara
dipimpin presiden sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Sistem perwakilannya terdiri dari DPR dan DPD.
270
Sistem peradilannya terbagi ke dalam tiga struktur, yaitu peradilan negeri Tingkat Pertama, peradilan
banding, dan Mahkamah Agung. Di Indonesia, syariat Islam menjadi spirit dari sistem hukum
nasional. Syariat Islam tidak dipertentangkan secara diametral di dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini disebabkan karena mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam dan syariat Islam telah dipraktikkan oleh umat Islam sejak zaman sebelum kemerdekaan. Syariat Islam telah masuk ke
dalam sistem hukum nasional, meski dalam bentuknya yang terbatas. Bidang syariat yang diundangkan dalam sistem hukum nasional di
Indonesia masih terbatas pada hukum perkawinan, perceraian, kewarisan, perwakafan, zakat, perbankan, dan asuransi. Bidang krusial yang masih
belum diundangkan adalah bidang jinayah.
268
Erman Rajagukguk, ‚Ilmu Hukum Indonesia...’, 4-6.
269
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: FH-UII Press, 2003, 1.
Ahmad Sukarja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih
Siyasah Jakarta: Sinar Grafika, 2012, 107-114. Lihat pula Pasal 1 ayat 1, Pasal 4 ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
270
Perbedaan antara keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakilinya masing-masing. Dewan Perwakialn Rakyat dimaksudkan untuk mewakili rakyat, sedangkan
Dewan Perwakilan Daerah dimaksudkan untuk mewakili daerah-daerah. Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, cetakan kedua
Yogyakarta: UII Press, 2005, 50.
Karena itulah, Indonesia menempatkan agama sebagai aspek yang penting dalam sistem hukum dan pemerintahan. Sila Pertama Pancasila
menegaskan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini mendasari bahwa agama memiliki posisi yang sangat penting di dalam sistem ketatanegaraan
dan hukum nasional. Indonesia bukanlah negara sekuler, yang memisahkan agama dan negara, melainkan negara yang menjadikan agama
sebagai pilar utama. Posisi ini bukan berarti Indonesia adalah negara agama teokrasi, yang menjadikan agama secara formalistik menjadi
aturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
271
Seluruh agama di Indonesia Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan
lainnya menjadi sumber inspirasi dalam pembentukan hukum nasional. Pancasila adalah dasar dalam berbangsa dan bernegara yang
mengakui agama sebagai pilar utamanya. Penegasan ini diperkuat dalam UUD NRI Tahun 1945 29 ayat 1, “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” dan ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Berdasarkan ketaataan konstitusional inilah, maka syariat Islam masuk ke dalam sistem hukum
nasional. Dengan kata lain, negara menjamin pelaksanaan syariat Islam kepada umat Islam di Indonesia.
Berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 yang mengakui agama sebagai pilar utamanya, lahir sejumlah Undang-undang yang
bernafaskan syariat Islam, seperti UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
272
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat,
Undang-undang No. 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Haji, Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dan UU No. 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Lahirnya sejumlah Undang- undang yang mengatur tentang pelaksanaan syariat Islam ini menunjukkan
bahwa posisi syariat Islam berada dalam sistem hukum nasional. Hukum syariat yang diatur baru sebatas hukum keluarga, perwakafan, zakat, dan
perbankan. Hukum jinayah masih belum diundangkan ke dalam sistem hukum nasional.
271
Lihat Nadirsyah Hosen, ‚Religion and the Indonesian Constitution: a Recent Debate
dalam Journal
of Southeast
Asian Studies,
2005, 6,
http:www.jstor.orgstable20072669 diakses 12 Pebruari 2014.
272
Undang-undang ini telah diubah dua kali, yaitu menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang PerubahanAtas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 Pasal 18 B telah
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa dengan pemberian otonomi khusus.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 2 ayat 3 juga telah mengatur dan memberikan wewenang dan kewajiban
yang lebih menekankan pada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing
daerah. Dari peraturan-peraturan ini, Pemerintah Pusat telah memberikan kesempatan yang luas bagi setiap daerah untuk menjalankan
pemerintahannya melalui otonomi.
Di Indonesia, syariat Islam diakomodir dalam sistem peradilan dengan dibentuknya Peradilan AgamaMahkamah Syariah. Di Indonesia,
kewenangan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah.
273
Kewenangan Peradilan Agama ini kemudian diperluas menjadi berwenang memeriksa
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, warta, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.”
274
Dalam konteks Aceh, sebelum Pemerintah Pusat memberikan otonomi khusus, Aceh diberi dahulu status keisimewaan melalui Undang-
undang No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Kesitimewaan Aceh.
275
Keistimewaan yang dimaksud dalam UU No. 44 Tahun 1999 adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama,
adat, pendidikan, dan ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Keistimewaan Aceh pada kehidupan beragama dilaksanakan dalam
bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Dalam
bidang adat, Keistimewaan Aceh diwujudkan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang
dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. Keistimewaan Aceh dalam penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan dengan mengembangkan dan
273
Pasal 49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
274
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
275
Wawancara dengan Muslim Ibrahim, Ketua Umum MPU NAD, tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh.
mengatur berbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam. Peran ulama yang
disebutkan dalam Keistimewaan Aceh adalah kontribusi ulama dalam penetapan Kebijakan Daerah, dalam sebuah badan independen yang
berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan
ekonomi yang Islami.
276
Meskipun secara nasional, hukum jinayah tidak diberlakukan di Indonesia, tetapi hukum jinayah dapat diberlakukan di Aceh.Tonggak awal
pelaksanaan hukum jinayah di Aceh adalah disahkannya UU No. 44 Tahun 1999. UU ini memberikan keistimewaan untuk melaksanakan
syariat Islam di Aceh.
Keistimewaan yang disebutkan dalam UU No. 44 Tahun 1999 ini diberikan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, sejarah panjang
perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang bersumber dari kehidupan yang religius, adat yang
kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi kaum penjajah. Kedua, kehidupan religius rakyat Aceh yang telah membentuk sikap
pantang menyerah dan semangat nasionalisme dalam menentang penjajah dan mempertahankan kemerdekaan merupakan kontribusi yang besar
dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia meskipun rakyat Aceh kurang mendapat peluang untuk menata diri. Ketiga, kehidupan
masyarakat Aceh yang religius, menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan bersamaan dengan pengembangan pendidikan.
Berdasarkan keistimewaan yang dimiliki Aceh, pada tahun 2000, dibuatlah sejumlah Peraturan Daerah, yaitu Perda No. 3 Tahun 2000
Tentang Pembentukan
Organisasi dan
Tata Kerja
Majelis Permusyawaratan Ulama MPU Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Perda
No. 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam, Perda No. 6 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan, dan Perda No. 7 Tahun 2000
Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat. Keempat Perda ini sangat berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Ulama yang dimaksud dalam Perda No. 3 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama
MPU Propinsi Daerah Istimewa Aceh adalah ulama DayahPesantren dan cendekiawan Muslim Aceh yang mempunyai kharismatik, intelektual
276
Lihat UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh pasal 4-9.
dan memahami secara mendalam soal keagaman dan menjadi panutan masyarakat.
277
Kedudukan MPU adalah independen dan bukan unsur pelaksana Pemerintah Daerah dan DPRD, melainkan mitra sejajar
Pemerintah Daerah dan DPRD yang bertugas memberi masukan, pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran-saran dalam
menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat Islam, baik kepada Pemerintah Daerah maupun kepada masyarakat di daerah.
278
Adapun pelaksanaan syariat Islam sebagai bagian dari Keistimewaan Aceh diwujudkan dalam Perda No.5 Tahun 2000 Tentang
Pelaksanaan Syariat Islam bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban mengembangkan dan membimbing serta mengawasi pelaksanaan syariat
Islam dengan sebaik-baiknya. Setiap pemeluk agama Islam pun wajib mentaati, mengamalkanmenjalankan syariat Islam secara kaffah dalam
kehidupan sehari-hari dengan tertib dan sempurna pada diri pribadi, keluarga, masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Begitu
pula warga negara RI atau siapa pun yang bertempat tinggalsinggah di Aceh wajib menghormati pelaksaan syariat Islam di daerah. Pelaksanaan
syariat Islam di Aceh dilakukan dalam seluruh aspeknya, yaitu aqidah,
ibadah, mu‟amalah, akhlak, pendidikan dan dakwah islamiyyah amar ma’ruf
nahi munkar, baitul mal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, qadha, jinayat, munakahat, dan mawaris.
279
Tampaknya, syariat Islam yang didefinisikan dalam perundang-
undangan di Aceh dengan “tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan”
280
dipahami secara luas, bukan hanya pada hukum, tetapi juga teologi, dan kemasyarakatan.
Pendidikan di Aceh diatur dalam Perda No. 6 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan.Yang menjadi akar pendidikan di
Aceh adalah ajaran Islam yang bersumber pada al- Qur‟an dan al-Hadith
serta kebudayaan Aceh. Filosofi pendidikan ini tetap memperhatikan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan fungsi
untuk memantapkan iman kepada Allah SWT, ilmu dan amal shaleh serta membina akhlak, mengembangkan peserta didik dalam upaya
277
Pasal 1 ayat 9 Perda No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama MPU Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
278
Pasal 3 dan 4 Perda No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama MPU Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
279
Pasal 3-5 Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam.
280
Lihat seluruh perundang-undangan tentang Aceh sejak 1999-2003.
meningkatkan mutu kehidupan yang bermartabat sesuai dengan tuntutan ajaran Islam dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
281
Penyelenggaraan kehidupan adat di Aceh tetap dipertahankan sepanjang sesuai dengan syariat Islam karena syariat Islam menjadi tolak
ukur dalam penyelenggaraan kehidupan adat di Aceh. Penyelenggaraan kehidupan adat di Aceh meliputi hukum adat, adat istiadat, dan kebiasaan-
kebiasaan yang masih berlaku, hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh.
282
Tampak sekali syariat Islam menjadi alat kontrol dari penyelenggaraan kehidupan adat di Aceh.
Tidak cukup dengan Keistimewaan Aceh, negara juga memberikan otonomi khusus yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk menyelenggarakan pemerintahannya, kecuali
kewenangan dalam hubungan luar negeri, pertahanan terhadap gangguan eksternal, dan moneter. Di dalam UU Otonomi Khusus bagi NAD ini,
pelaksanaan syariat Islam menjadi semakin kuat. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa ketentuan yang menyatakan bahwa Mahkamah Syariah
menjadi lembaga peradilan yang berlaku bagi pemeluk agama Islam yang didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional dan demokrasi
di Aceh yang dilaksanakan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai syariat Islam.
283
Dengan demikian, pelaksanaan syariat Islam di Aceh berada dalam kerangka sistem hukum nasional.
Dengan adanya UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus NAD, maka masyarakat Aceh diberi kesempatan dalam
menjalankan syariat Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Kekhususan implementasi UU No. 18 Tahun 2001 adalah pemberian
kesempatan yang lebih luas kepada Aceh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, baik sumber ekonomi, sumberdaya alam, maupun
281
Pasal 2 dan 3 Perda No. 6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
282
Pasal 2 dan 3 Perda No. 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.
283
UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Pasal 25: 1 Peradilan Syariat Islam di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. 2 Kewenangan Mahkamah
Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, didasarkan atas syariat Islam dalam sistem
hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3 Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diberlakukan bagi pemeluk agama
Islam.Pasal 11 ayat 1 yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Nanggroe Aceh Darussalam sebagai lembaga perwakilan merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi
yang menjunjung tinggi nilai-nilai syariat Islam.
sumber daya manusia menumbuhkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi sesuai dengan tata nilai yang berkembang di masyarakat Aceh dengan
menerapkan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
284
Kewenangan Mahkamah Syariah secara lebih jelas kemudian dijabarkan dalam Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat.
Dalam Qanun ini, Mahkamah Syariyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat
pertama, dalam bidang: ahwal al-shakhshiyah; muamalah, dan jinayah.
285
Hukum materil dan formil yang akan digunakan dalam menyelesaikan perkara ahwal al-syakhshiyah, muamalah, dan jinayah adalah yang
bersumber dari atau sesuai dengan Syariat Islam.
286
Dalam upaya pelaksanaan syariat Islam secara luas, dikeluarkan Perda No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang
Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Perda ini bertujuan untuk membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan masyarakat dan
pengaruh ajaran sesat meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya; menghidupkan dan menyemarakkan
kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang islami.
287
Perda ini mengatur tentang pembinaan aqidah, pengawasan aliran sesat, pelaksanaan shalat Jum‟at, shalat jama‟ah, puasa Ramadhan,
peringatan hari-hari besar Islam, penggunaan tulisan Arab Melayu di samping tulisan Latin, penanggalan Hijriah di samping penanggalan
Masihiah dalam surat-surat resmi, dan berbusana Islami.
288
Perda ini juga memberikan ketentuan
uqubah
sanksi hukum kepada siapa yang telah melanggar ketentuan di atas. Misalnya, bagi orang
yang menyebarkan paham atau aliran sesat dihukum dengan
ta‘zir
berupa hukuman penjara paling lama 2 dua tahun atau hukuman cambuk di
depan umum paling banyak 12 dua belas kali.
289
Bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jum‟at tiga kali berturut-turut tanpa
udhur syar‘i
dihukum dengan
ta‘zir
berupa hukuman penjara paling lama 6 enam bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 3 kali.
284
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial
Politik di Indonesia, 225.
285
Pasal 49 Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat.
286
Pasal 53 dan 54 Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat.
287
Pasal 2 Perda No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syia Islam.
288
Lihat pasal per pasal dalam Perda No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
289
Pasal 20 Perda No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syia Islam.
Perusahaan pengangkutan umum yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksakan shalat fardhu dipidana
dengan hukuman berupa pencabutan izin usaha.
290
Bagi orang muslim yang tidak mempunyai
udhur syar‘i
tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dipidana dengan hukuman
ta‘zir
berupa hukuman penjara paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak 3
tiga juta rupiah atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 6 enam kali dan dicanbut izin usahanya. Bagi orang yang makan atau
minum di tempatdi depan umum pada siang hari bulan Ramadhan dipidana dengan hukuman
ta‘zir
berupa hukuman penjara paling lama 4 empat bulan atau hukuman cambuk di depan paling banyak 2 dua
kali.
291
Bagi orang yang tidak berbusana Islami dipidana dengan hukun
ta‘zir
setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah.
292
Setelah pelaksanaan syariat Islam telah berjalan dalam kerangka aqidah, ibadah, dan syiar Islam, diupayakan pelaksanaan syariat Islam
dalam bidang jinayah secara bertahap. Langkah yang dilakukan untuk melaksanakan hukum jinayah
adalah menyusun tiga qanun yang berkaitan dengan larangan minuman khamar, perjudian, dan khalwat. Paket hukum jinayah diberlakukan di
Aceh dalam bentuk Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Larangan Khamar dan sejenisnya, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Larangan
Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Larangan Khalwat, dan Qanun No. 7 tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat.
293
Majelis Permusyawaratan Ulama MPU ikut terlibat dalam perumusan tiga
Qanun ini karena Pemerintah Aceh selalu mengajak MPU untuk terlibat dalam penyusunan qanun syariat Islam.
294
Puncak dari pemberlakuan syariat Islam di Aceh sesungguhnya dapat dilihat dari keluarnya Undang-undang No. 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh. Dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh disebutkan tentang urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan
Aceh meliputi: 1 penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga
290
Pasal 21 Perda No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syia Islam.
291
Pasal 22 Perda No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syia Islam.
292
Pasal 23 Perda No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syia Islam.
293
Alyasa Abubakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqih
dalam Negara Bangsa, Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2008, 53-56.
294
Wawancara dengan Muslim Ibrahim, Ketua Umum MPU NAD, tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh
kerukunan hidup antarumat beragama; 2 penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; 3 penyelenggaraan pendidikan yang
berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam; 4 peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan 5
penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
295
Kewenangan ini sesungguhnya menegaskan kembali apa yang sudah diputuskan dalam perundang-undangan
sebelumnya UU Keistimewaan Aceh dan UU Otonomi Khusus Aceh. UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh kemudian
memperjelas pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Yakni, syari‟at Islam yang
dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariah dan akhlak dalam hal ibadah,
ahwal syakhshiyyah
hukum keluarga,
mu’amalah
hukum perdata,
jinayah
hukum pidana,
qad}a’
peradilan,
tarbiyyah
pendidikan, dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
296
Pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam, sedangkan
bagi orang bukan beragama Islam yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.
297
Inilah yang terjadi di Aceh. Pemberlakukan hukum jinayah di Aceh pada level perundang-undangan sesungguhnya tidak mengalami masalah
yang signifikan. Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 memberikan peluang terhadap muncul kemungkinan pluralisme hukum di Indonesia.
298
Pasal 18B ayat 1 menyatakan:
”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-
undang ”. Terlebih lagi setelah dikeluarkan sejumlah perundang-undangan
yang terkait dengan Aceh, yaitu UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Kesitimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah
Aceh.
Pemberlakuan Syari‟at Islam di Aceh sesuai dengan asas yang dikenal dalam ilmu perundang-undangan sebagai asas
”lex specialis derogat legi gen
eralis,” yang artinya hukum khusus bisa mengenyampingkan ketentuan hukum yang umum.
295
Lihat Pasal 16-17 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
296
Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
297
Pasal 126 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
298
Hasnil Basri Siregar, ‚Islamic Law in a National Legal System: a Study on the Implementation of Shariah in Aceh, Indonesia, dalam
Asian Journal of Comparative Law, 3.1 Januari
2008, 3,
http:www.degruyter.comdgviewjournalissuej002fasjcl.2008.3.1002fissue- files002fasjcl.2008.3.issue- 1.xml;jsessionid=6D1DEAFAB3DE45A605341BB0507993BB
diakses 12 Pebruari 2014.
Adapun di Malaysia, sistem hukum nasionalnya dibangun atas banyak sumber. Dalam sejarahnya, sistem hukum pertama kali yang
tercatat di Semenanjung Malaysia adalah hukum Kanun Melaka yang dipengaruhi oleh Hindu, Budha, dan filosofi Islam. Semenjak kedatangan
para penjajah, seperti Inggris, Portugis, dan Belanda, sistem hukum Barat masuk ke dalam sistem hukum di Malaysia, selain hukum adat. Setelah
Malaysia merdeka, sistem hukum Malaysia menganut pluralisme hukum, yang terdiri dari: 1 hukum yang tidak tertulis, yaitu hukum adat Sabah
dan Serawak, hukum Inggris, putusan pengadilan, dan 2 hukum yang tertulis, yaitu Konstitusi Federal dan Konstitusi Negara Bagian, serta
hukum Islam.
299
Malaysia adalah negara kerajaan dengan sistem pemerintahan federal yang dipimpin seorang Perdana Menteri. Kepala Negara di
Malaysia disebut Yang Dipertuan Agung yang dipilih di antara para rajasultan dari negara-negara bagian secara bergantian dalam Dewan
Raja-Raja.
300
Malaysia juga menganut sistem pembagian kekuasaan trias politica ke dalam eksekutif, legislatif dan yudikatif. Negara-negara bagian di
Semenanjung Malaka Malaysia Barat yang berbentuk monarki lokal dan mempunyai raja, pemerintahannya dipimpin oleh Menteri Besar, sedangkan
negara-negara bagian yang tidak mempunyai raja, seperti Serawak dan Sabah Malaysia Timur pemerintahannya dipimpin oleh Ketua Menteri,
yang kedua-duanya dipilih dari anggota majelis partai mayoritas pemenang pemilu di dalam Dewan Undangan Negeri DPRD. Kekuasaan legislatif
di Malaysia dibagi tiga, yaitu Yang di-Pertuan Agong Raja, Dewan Rakyat, dan Dewan Negara Senat. Masing-masing negara bagian di Malaysia juga
memiliki parlemen bernama Dewan Undangan Negeri, yang anggota- anggotanya dipilih dalam pemilu parlemen untuk masa jabatan 5 tahun.
301
Di Malaysia, agama menjadi pilar utama dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, Islam sebagai agama mayoritas memiliki posisi
yang penting dalam sistem ketatanegaraan Malaysia. Melayu di Malaysia menduduki posisi yang sentral dan sangat signifikan. Kemelayuan dapat
didefinisikan dalam pengertian tiga pilar, yakni agama, bahasa, dan raja. Ketiga pilar ini dicantumkan dalam konstitusi Malaysia paska kolonial.
299
Ahmad Ibrahim Mohamed dan Ahilemah Joned, Sistem Undang-undang di
Malaysia Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1986, 27-109.
300
Ahmad Sukarja, ‚Hukum Tata Ne gara…‛, 110.
301
Ahmad Ibrahim Mohamed dan Ahilemah Joned, ‚Sistem Undang- undang…‛,
231. Anonimous, Malaysia Kita: Panduan dan Rujukan untuk Peperiksaan Am Kerajaan
Selangor: Intertional Law Book Services, 2010, 155-157.
Dengan demikian, Islam mempunyai kedudukan yang penting dalam sejarah dan kebudayaan Melayu.
302
Dalam Konstitusi Malaysia, Islam merupakan agama resmi negara, meskipun pengamalan agama-
agama lain tetap dijamin oleh Konstitusi.Walaupun harus diakui bahwa sebenarnya dari jumlah penduduk Malaysia yang memeluk agama Islam
hanyalah separuh lebih sedikit dari jumlah penduduk, tetapi citra Islam terhadap Negara Malaysia sangat jelas. Citra yang demikian, karena adanya
faktor sejarah perkembangan politik sejak Kesultanan Melaka. Peran Islam sudah merupakan hak yang tak bisa diganggu gugat dan suatu hal yang
sudah menyatu dengan Melayu itu sendiri.
303
Islam bukan hanya merupakan keyakinan kaum Melayu, tetapi juga bertindak sebagai salah
satu landasan pokok yang mendasari identitas mereka. Sejak periode awal, Islam di Malaysia mempunyai ikatan erat
dengan politik dan masyarakat. Secara tradisional di Negara-negara Bagian Melayu, seluruh aspek pemerintahan, jika tidak diambil langsung dari
sumber dan prinsip keagamaan, diliputi oleh semangat agama. Islam menjadi unsur inti identitas dan kebudayaan Melayu. Islam merupakan
sumber legitimasi para sultan, yang memegang peran sebagai pemimpin agama dan pelindung hukum Islam, pendidikan, dan nilai-nilai adat. Islam
dan identitas Melayu saling berjalin berkelindan; menjadi orang Melayu berarti menjadi Muslim.
304
Konstitusi Malaysia 1957 mengabadikan identifikasi agama dan etnik, kedudukan istimewa bagi Islam, para sultan dan kaum Muslm
Melayu . Pasal 3 1 “agama Islam adalah agama bagi Persekutuan”. Pasal
ini selaras dengan sejarah bahwa Islam mempuyai kedudukan dan pengaruh yang besar di Malaysia sejak sebelum merdeka.
305
Konstitusi ini mendefinisikan orang Melayu sebagai orang yang beragama Islam,
berbahasa Melayu, dan mengikuti adat-istiadat Melayu. Islam dinyatakan sebagai agama resmi baik dalam federasi maupun dalam negara bagian
masing-masing.
Para para sultan diakui sebagai pemimpin agama di negara bagian mereka, yaitu sebagai pembela dan pelindung agama dan kebudayaan
Melayu, yang berhak menjalankan kewajiban-kewajiban moral dan agama. Pada tingkat negara, para sultan mendirikan departemen urusan agama
302
Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu
Kualalumpur, UKM, 1972.
303
Alfitra Sallam, ‚Mencari Akar Budaya Politik Malaysia‛ dalam Hussin Mutalib, Islam dan Etnisitas, Perspektif Politik Melayu Jakarta: LP3ES, 1996, xxi.
304
John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim
Bandung: Mizan, 1999, 166.
305
Abdul Aziz Bari, Islam dalam Perlembagaan Malaysia Selangir, Intelmap, 2005,12.
dan pengadilan Islam, mengenakan dan mengumpulkan pajak zakat atau pajak kekayaan, dan mengontrol khutbah, komunikasi melalui media
massa, dan penyebaran agama.
306
Sesuai dengan kedudukan Islam di bawah kekuasaan raja-raja negeri, Konstitusi Malaysia menetapkan bahwa hukum Islam adalah
urusan negeri. Pelaksanaan hukum pidana diletakkan di bawah kekuasaan Pemerintah Federal, sedangkan Islam diletakkan di bawah kekuasaan
negeri-negeri.
307
Meskipun demikian, negara-negara bagian sebenarnya tidak mempunyai kebebasan yang cukup untuk melaksanakan seluruh
hukum syariat. Pasal 4 ayat 1 menyebutkan, “Konstitusi ini adalah undang- undang utama Perseketuan dan Undang-undang yang disahkan setelah
merdeka yang bertentangan dengan Konstitusi adalah batal”. Berdasarkan
ketetapan inilah, Negara-negara Bagian memberlakukan sejumlah undang- undang, seperti Undang-undang Pendtadbiran Hukum Islam, Undang-
undang Pentadbiran Mahkamah Syariah, Undang-undang Keluarga Islam, Undang-undang Jenayah Syariah, Undang-undang Acara Jinayah Syariah,
Undang-undang Keterangan dan sebagainya,
308
yang tidak bertentangan dengan Konstitusi.
Meskipun Islam diakui di Konstitusi Malaysia, namun pengakuan tersebut tidak sampai menjadikan hukum Islam secara menyeluruh sebagai
undang-undang negara. Pemberlakuan syariat Islam berjalan efektif, terutama dalam hukum keluarga, yang mencakup seluruh aspek yang
berhubungan dengan perkawinan dan perceraian, seperti Undang-undang Hukum Keluarga Islam di Melaka, 1983, Kelantan, 1983, Negeri
Sembilan, 1983, Wilayah Persekutuan, 1984, Perak, 1984, Kedah, 1984, Pulau Pinang, 1985, Trengganu, 1985, Pahang, 1987, Selangor, 1989,
Johor, 1990, Serawak, 1991, Perlis, 1992, dan Sabah, 1992.
309
Lahirnya sejumlah Undang-undang Hukum Keluarga di negara-negara bagian di
Malaysia merupakan upaya pembaharuan dari Undang-undang Hukum Keluarga yang berlaku di zaman kolonial.
310
Di Malaysia, Mahkamah Syariah merupakan peradilan bagi umat Islam dalam bidang hukum keluarga, seperti perkawinan, perceraian,
perwalian, dan adopsi anak. Di samping itu, Mahkamah Syariah juga berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
306
John L. Esposito dan John O. Voll, ‚Demokrasi di Negara-Negara Muslim.. ‛, 167.
307
Abdul Aziz Bari, ‚Islam dalam Perlembagaan Malaysia …‛, 101.
308
Mahmood Zuhdi Abd. Majid, ‚Pengantar Undang- undang Islam…‛, 111.
309
Khoiruddin Nasution, ‚Sejarah Singkat Pembaruan Hukum Keluarga Muslim‛, dalam M. AthoMudzhar dan Khairuddin Nasution eds.,
Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih Jakarta:
Ciputat Press, 2003, 20-21.
310
Mahmood Zuhdi Abd. Majid, ‚Pengantar Undang- undang Islam…‛, 139.
jinayah yang hukumannya dibatasi pada denda maksimal RM. 5.000,00, 3 tahun penjara, 6 kali cambuk atau kombinasi antar ketiganya.
311
Adapun pemberlakuan hukum jinayah di Malaysia sesungguhnya berada dalam ruang yang sempit. Tidak semua hukum
h}udud, qis}as}
dan
ta‘zir
diundangkan di Malaysia. Sekarang ini, bidang kuasa jinayah yang terdapat dalam undang-undang Islam di Malaysia dirumuskan dalam lima
kategori. Pertama, tindak kejahatan yang berkaitan dengan moral akhlak,
seperti berkelakuan tidak sopan dan laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan di tempat-tempat umum. Kedua, tindak kejahatan seksual,
seperti bercumbu pasangan bukan suami-isteri, khlawat, berzina, melakukan perbuatan yang mengarah ke zina,
liwat}, musah}aqah
, hamil atau melahirkan anak di luar nikah dan melacurkan diri. Ketiga, tindak kejahatan
yang berkaitan dengan agama, seperti mengeluarkan atau menyebarkan kata-
kata yang bertentangan dengan hukum syara‟, menganjurkan atau melakukan maksiat, meminum minuman yang memabukkan dan tidak
berpuasa di bulan Ramadhan. Keempat, tindak kejahatan yang berkaitan dengan orang lain, seperti menghasut atau membujuk perempuan
bersuami atau laki-laki beristeri agar bercerai, melarikan atau menyebabkan isteri orang lain meninggalkan rumah tangga yang ditentukan oleh
suaminya, melacurkan anak atau anak di bawah asuhan, melarikan atau mempengaruhi seorang perempuan supaya lari dari pengasuhan ibu
bapaknya, menjual atau menyerahkan anak-anak di bawah pengasuhan kepada orang yang bukan beragama Islam, menjadi mucikari, dan
mempermasalahkan keislaman orang lain. Kelima, tindak kejahatan yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum Islam, seperti mengingkari,
membantah, melanggar atau menghina hakim atau pegawai agama Islam, mengingkari undang-undang, melanggar dan mengingkari atau menghina
perintah mahkamah dan Sultan.
312
Berdasarkan paparan di atas, posisi hukum jinayah di Aceh dan Kelantan mendapatkan legitimasi yuridis dari Konstitusi dan sejumlah
perundang-undangan yang berlaku di kedua negara tersebut. Hukum jinayah yang telah diberlakukan di Aceh tidak bertentangan dengan UUD
NRI Tahun 1945 dan KUHP. Begitu juga di Kelantan, hukum jinayah yang telah diberlakukan tidak bertentangan dengan Konstitusi dan Aktra
Mahkamah Syariah 1984. Dalam posisi inilah, hukum jinayah diberlakukan di Aceh dan Kelantan.
311
Herbert M. Kritzer ed., ‚ Legal System of the World…‛, 961.
312
Mahmood Zuhdi Abd. Majid, ‚Pengantar Undang- undang Islam…‛, 140.
Indonesia dan Malaysia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam memiliki kecenderungan bahwa hukum
yang diberlakukan oleh negara dipengaruhi oleh Islam. Resiko besar akan dihadapi oleh penguasa jika mencabut akar-akar Islam dalam
pemberlakuan hukum negara. Aceh dan Kelantan telah menempatkan posisi yang progesif dalam pemberlakukan syariat Islam, khususnya pada
aspek hukum jinayah yang dipengaruhi oleh kehendak politik pemerintah dan aspirasi masyarakat.