Relasi Demokrasi dan Gerakan Pemberlakuan Syariah
memandang Barat terlalu bias orientasinya yang hanya bertumpu pada sekularisme dan secara politik tidak cocok bagi masyarakat Muslim dan
secara sosial telah rusak korosif atau merusak identitas dan moral masyarakat Muslim. Para Islamis menegaskan bahwa Islam bukan hanya
koleksi dari kepercayaan dan ritual yang dipraktikkan, melainkan ideologi yang komprehensif bagi masyarakat Muslim. Islam mencakup kehidupan
pribadi dan kehidupan sosial sekaligus.
58
Terhadap doktrin ini, kebanyakan dari gerakan Islam memfokuskan syariat Islam sebagai program politik
dan menggunakannya sebagai definisi dari Islamisasi.
59
Gerakan Islam pada umumnya didominasi oleh kelompok muda, lulusan kampus, dan profesional muda. Mereka direkrut dari masjid dan
kampus sebagai basis utamanya. Mereka muncul akibat tekanan ekonomi dan politik penguasa. Kekuatan mereka bukan hanya agama, tetapi juga
penguasaan sains dan tekonologi, pendidikan, hukum, dan kedokteran. Pada umumnya mereka adalah kaum urban yang berasal dari kelas
menengah. Di banyak Negara Muslim, mereka adalah kelompok elit alternatif yang modern, tetapi memiliki orientasi Islam yang kuat dan
memiliki komitmen untuk mewujudkan masyarakat dan pemerintahan yang lebih islami.
60
Mereka adalah produk dari sistem pendidikan modern. Mereka tidak memperoleh pendidikan politik di sekolah-sekolah agama,
melainkan di kampus-kampus. Mereka hidup mengikuti nilai-nilai kota modern. Mereka disebut Olivier Roy dengan kelompok fundamentalis
yang berorientasi syariat Islam.
61
Esposito menyebut gerakan Islam tumbuh dalam aktivitas sosial dan politik.
62
Dalam aktivitas sosial, gerakan Islam mewujud dalam organisasi Islam yang berperan dalam kehidupan sosial sebagai bagian dari
civil society. Dalam sudut gerakan sosial,
63
Carrie Rosefsky Wickham
58
John L. Esposito, ‚Islam and Civil Society‛, 72.
59
Knut S. Vikor, Between God and the Sultan: a History of Islamic Law New York:
Oxford University Press, 2005, 257.
60
John L. Esposito, ‚Islam and Civil Society‛, 73.
61
Olivier Roy, the Failure of Political Islam London: I.B. Tauris Publisher, 1994, 3-4.
62
John L. Esposito, ‚Islam and Civil Society‛, 75.
63
Gerakan sosial merupakan aliansi sosial yang terasosiasi untuk mempengaruhi atau menghalangi perubahan sosial di dalam masyarakat. Gerakan sosial di masyarakat modern
menurut Anthony Giddens teridentifikasi ke dalam empat area, yaitu gerakan demokrasi democratic movement yang konsen untuk membangun atau memelihara hak-hak politik,
gerakan buruh labor movement yang konsen untuk mengontrol tempat kerja dan mengubah
distribusi kekuasaan ekonomi, gerakan lingkungan ecological movement yang konsen
membatasi kerusakan sosial dan lingkungan, dan gerakan perdamaian peace movement yang
konsen membatasi pengaruh kekuasaan militer dan bentuk-bentuk agresif nasionalisme. Selain keempat yang diidentifikasi Giddens, gerakan perempuan
woman movement dan gerakan konsumen
consumer movement juga masuk dalam gerakan sosial. Lihat David Jary dan Julia Jary,
The HarperCollins Dictionary of Sociology USA: HarperCollins Publisher, 1991, 456.
memasukkan civil society yang berbasis Islam ke dalam studi gerakan sosial Islam ketika meneliti al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir. Wickham
kemudian menyebutnya dengan Islamic social movement.
64
Dari sudut inilah, gerakan Islam dapat terjadi dalam bentuk gerakan yang tidak melembaga
atau gerakan yang melembaga
65
yang dilakukan oleh orang-orang yang relatif besar jumlahnya.
66
Dalam pandangan Charles Tilly, collective action dilakukan orang untuk mengejar kepentingan bersama.
67
Tindakan bersama collective action dalam gerakan sosial dapat bertipe proaktif, yaitu memulai suatu
proses perubahan atau bertipe reaktif, yaitu reaksi atas perubahan yang sedang terjadi.
68
Dalam bahasa lain, Sartono Kartodirdjo menegaskan bahwa gerakan sosial bertujuan untuk mewujudkan atau menolak suatu
perubahan dari susunan masyarakat, baik dengan jalan yang radikal maupun revolusioner.
69
Fenomena ini sesungguhnya mirip dengan gerakan revitalisasi atau milenarian, yang muncul akibat krisis sosial yang ekstrem dalam masa
perubahan yang cepat ketika orang-orang mengalami disorientasi dari pola-pola hidup tradisional dan tidak tersedia cara-cara yang sangat sekuler
untuk mengatasi kondisi ini. Dalam gerakan milenarian, sejumlah individu menolak untuk menerima segala sesuatu sebagaimana adanya. Mereka
justru mengharapkan dan mendambakan terjadinya perubahan yang berarti dalam hidup mereka.
70
Gerakan Islam yang melakukan partisipasi politik dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk. Pertama, partisipasi politik yang
memberi dukungan kepada penguasa dalam bentuk membuat pernyataan mendukung atau mengirim utusan pendukung. Kedua, partisipasi politik
64
Carrie Rosefsky Wickham, Mobilizing Islam: Religion, Activism, and Political
Change in Egypt New York: Columbia University Press, 2002, 4-5.
65
Mario Diani, ‚The Concept of Sosial Movement‛ dalam Kate Nash ed., Readings in Contemporary Political Sociology, Malden-Massachutes; Blacwell Publishers, 2000, 157.
66
James W. Vanden, The Social Experience: an Introduction to Sociology New
York: MacGraw Hill Publishing Company, 1990, 594.
67
Charles Tilly, From Mobilization to Revolution Massachusetts: Addison-Wesley
Publishing Company, 1978, 5.
68
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, penerjemah Mesika Zeid dan Zulfami
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003, 135. Lihat pula Rafael Raga Maran, Pengantar
Sosiologi Politik Jakarta: Rineka Cipta, 2007, 70.
69
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu
Alternatif Jakarta: Gramedia, 1982, 205.
70
Semua gerakan milenarian mengandung unsur keagamaan dan unsur politik dalam ideologi dan strategi mereka untuk melakukan perubahan. Ada beberapa gerakan yang sangat
politis dan radikal mendorong melakukan perubahan sosial dengan cepat. Lihat Stephen K. Sanderson,
Sosiologi Makro; Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, penerjemah M. Farid Wajdi Jakarta: Rajawali Press, 1995, 532-433.
yang dimaksudkan untuk menunjukkan kelemahan penguasa dengan harapan penguasa mengubah atau memperbaiki kelemahan tersebut.
Partisipasi ini diwujudkan dalam bentuk petisi, resolusi, mogok, demonstrasi, protes, dan sebagainya. Ketiga, partisipasi politik yang
dimaksudkan sebagai penentang penguasa untuk menjatuhkan sehingga terjadi perubahan pemerintahan atau sistem politik. Partisipasi ini
diwujudkan dalam bentuk mogok, pembangkangan politik, huru-hara dan pemberontakan bersenjata.
71
Dalam aktivitas politik, gerakan Islam juga melibatkan diri dalam partisipasi politik secara langsung di parlemen.
72
Dengan kata lain, gerakan Islam juga terlibat dalam pemerintahan atau terjun ke dalam politik
kekuasaan di parlemen. Pengalaman beberapa Negara Muslim, seperti Indonesia, Malaysia, Mesir, Tunisia, Turki, Aljazair, dan Pakistan
memperlihatkan bahwa gerakan Islam terlibat dalam politik kekuasaan dalam bentuk partai politik Islam. Inilah yang diperlihatkan PPP, PBB dan
PKS Indonesia, PAS Malaysia,
H}izb al-Nah}d}ah
Tunisia, Front Islamic Salvation Aljazair
, H}izb al-Hurriyah wa al-‘Adalah, Nur Salafi
Mesir, Jama‟ati Islami Pakistan dan
Ref’ah Turki.
73
Kebanyakan dari partai- partai Islam di atas diinisisasi atau minimal dipengaruhi oleh gerakan
Islam, seperti al-Ikhwan al-Muslimun, Salafi, dan kelompok Islam lainnya. Tipologi dalam gerakan Islam kontemporer ini memperlihatkan
kecenderungan utama gerakan Islam dalam meraih tujuan utamanya untuk mewujudkan masyarakat dan pemerintahan yang lebih islami yang
berorientasi pada pemberlakuan syariat Islam. Dengan dua pola inilah, perjuangan pemberlakuan syariat Islam oleh gerakan Islam dilakukan.
Gerakan Islam yang berorientasi sosial dan politik sangat tergantung pada sistem politik negara. Dalam konteks inilah, Carrie Rosefsky Wickham
membagi tiga sistem politik yang mempengaruhi mobilisasi gerakan Islam, yaitu sistem politik yang terbuka, sistem politik yang tertutup, dan sistem
politik yang semi terbuka. Dalam sistem politik yang terbuka, negara memberikan kebebasan partai politik untuk berkontestasi memperebutkan
posisi kekuasaan. Dalam sistem otoritarian yang tertutup, negara melarang partai politik untuk berkontestasi memperebutkan posisi kekuasaan.
Dalam sistem politik otoritarian yang semi-terbuka, kontestasi politik
71
Arbi Sanit, ‚Politik sebagai Sumber Daya Hukum: Telaah mengenai Dampak Tingkah Laku Politik Elit dan Massa terhadap Kekuatan Hukum di Indonesia‛, dalam Artidjo
Alkotsar dan M. Sholeh Amin eds., Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum
Nasional Jakarta: Rajawali, 1986, 50.
72
John L. Esposito, ‚Islam and Civil Society‛, 75.
73
John L. Esposito, ‚Islam and Civil Society‛, 77-86.
dibatasi oleh rezim.
74
Ketiga posisi inilah yang akan dihadapi gerakan Islam di sejumlah Negara Muslim.
Karena itulah, keberhasilan gerakan Islam dalam memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam akan sangat ditentukan oleh sistem politik
yang sedang berjalan di suatu negara. Jika negara memberlakukan sistem politik yang terbuka, maka bisa jadi gerakan Islam politik dapat merebut
kekuasaan yang pada gilirannya akan memberlakukan syariat Islam secara total. Sebaliknya, jika negara memberlakukan sistem politik yang tertutup,
maka gerakan Islam akan kesulitan memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam secara total, atau bahkan ditindas oleh rezim. Dalam konteks
sekarang ini, negara-negara Muslim biasanya akan meresponnya secara positif sebagai bagian dari partisipasi politik masyarakat dalam
menyalurkan aspirasi politik. Negara juga tidak akan secara lantang menolak pemberlakuan syariat Islam, tetapi memainkannya sebagai
komoditas politik. C.
Relasi Syariah, Politik, dan Sosial
Islam yang diberlakukan dalam sistem hukum negara sesungguhnya memiliki hubungan dengan politik karena syariat Islam
merupakan hukum agama yang hendak diberlakukan oleh negara dan negara merupakan institusi politik yang berwenang membentuk hukum
negara. Di sisi lain, hukum dan masyarakat sosial juga memiliki hubungan karena terbentuknya hukum merupakan pencerminan dari
realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, syariah, negara dan masyarakat memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi.
Dalam kaitan ini, penjelasan tentang pembentukan hukum negara diambil dari teori hubungan hukum, politik, dan sosial masyarakat.
Pertanyaan yang muncul dalam konteks hubungan hukum dan politik adalah apakah hukum yang mempengaruhi politik atau sebaliknya
politik yang mempengaruhi hukum. Terhadap pertanyaan ini, Mahfudh MD memberikan tiga jawaban. Pertama, hukum determinan atas politik
dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum karena
hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang berinteraksi dan bahkan saling bersaing. Ketiga, politik dan hukum
sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinannya seimbang antara yang satu dengan yang lain karena
meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu
74
Carrie Rosefsky Wickham, ‚Mobilizing Islam : Religion …‛, 176-177.
hukum ada, maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
75
Perbedaan jawaban di atas pada dasarnya disebabkan oleh perdebatan cara pandang para ahli. Kelompok idealis yang hanya
memandang hukum dari sudut das sollen keharusan berpegang teguh pada pandangan bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam segala
tingkat hubungan antar anggota masyarakat, termasuk dalam segala kegiatan politik. Para penganut paham empiris memandang hukum dari
sudut das sein kenyataan atau melihat realitas bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya, tetapi
juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya.
76
Dengan kata lain, paham empiris melihat hukum tidak hanya dilihat dari materi hukumnya saja in
the book, tetapi juga dilihat dari proses pembentukan dan fungsinya in the action dalam kehidupan sosial dan politik.
77
Dalam kenyataan empiris, hukum sebagai pernyataan kehendak masyarakat di negara demokrasi tidak dapat dilepaskan dari politik
kekuasaan.
78
Teori trias politika yang telah menjadi rujukan dalam membagi kekuasaan di zaman sekarang ini
79
telah menempatkan lembaga legislatif bersama eksekutif sebagai pembentuk hukum. Oleh karena
adanya orientasi politik dalam setiap pembentukan hukum, maka aroma politik akan selalu kental dalam setiap pembentukan hukum di kalangan
eksekutif dan legislatif.
Oleh karena itulah, hukum selalu berkorelasi dengan politik karena hukum adalah produk politik.
80
Hukum dalam arti peraturan umum yang abstrak dan mengikat sebenarnya tidak lain merupakan hasil pertarungan
aspirasi politik. Oleh sebab itu, secara riil siapa saja atau kelompok apa saja yang ingin memasukkan nilai-nilai tertentu dalam suatu produk hukum
harus mampu menguasai atau meyakinkan pihak legislatif bahwa nilai-nilai
75
Moh. Mahfudh MD, Politik Hukum di Indonesia Jakarta: LP3ES, 1998,8.
76
Moh. Mahfudh MD, ‚Politik Hukum di Indonesia …‛, 8.
77
Jan Michiel Otto, Sharia Incorporated: a Comparative Overview of the Legal
System of Twelve Muslim Countries in Past and Present Leiden: Leiden University Press, 2010, 21. Peter Mahmud Marzuki,
Penelitian Hukum, cetakan ketiga Jakarta: Prenada, 2007, 87.
78
Arbi Sanit, ‚Politik sebagai Sumber Daya Hukum…‛, 40.
79
Trias Politika sesungguhnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‚Politik Tiga Serangkai‛. Menurut ajaran Trias Politika dalam tiap pemerintah negara harus ada tiga jenis
kekuasaan yang terpisah. Lihat C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian
tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, penerjemah STP Team Work Bandung: Nusa Media, 2008, 331.
79
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan keempat Jakarta: Gramedia,
1977, 151.
80
Moh. Mahfudh MD, ‚Politik Hukum di Indonesia …‛, 8.
itu perlu dan harus dimasukkan dalam produk hukum. Karena itulah, pekerjaan legislatif membuat hukum sebenarnya lebih merupakan
pekerjaan politik daripada pekerjaan hukum itu sendiri. Di sinilah dapat dimengerti dengan mudah adanya asumsi bahwa hukum merupakan
produk politik.
81
Jika demikian, hukum merupakan sarana bagi elit politik yang dapat digunakan untuk mempertahankan kekuasaan.
82
Pandangan di atas tampaknya sejalan dengan teori positivisme hukum. Dalam teori ini, hukum adalah perintah dari penguasa yang
berdaulat yang diekspresikan melalui legislasi dan didukung oleh sanksi- sanksi yang ditetapkan negara.Teori ini kemudian dikritik karena tidak
mampu memahami realitas hukum sebagai regulasi sosial. Berkaitan dengan kritik ini, Eugen Ehrlich berpendapat bahwa hukum jauh lebih
luas ruang lingkupnya dari sekedar norma-norma yang dibuat dan diaplikasikan oleh institusi negara, tetapi hukum diletakkan di dalam
jaringan asumsi kultural masyarakat.
83
Oleh karena itu, aturan hukum tidak ditemukan dalam hukum tertulis yang dibuat negara, tetapi terdapat dalam
kehidupan sosial masyarakat. Ehrlich kemudian menyebutnya dengan living law, yang merupakan pencerminan dari banyak kelompok masyarakat,
sedangkan positive law merupakan pencerminan dari kehendak negara.
84
Adapun dalam teori hubungan hukum dan masyarakat dijelaskan bahwa hukum sebagai norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat atau bahkan merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
85
Karena itulah, dimungkinkan perubahan hukum akibat kesenjangan-kesenjangan yang ada di dalam norma hukum
formal dengan perubahan keadaan, hubungan, dan peristiwa yang terjadi di masyarakat.
86
Perubahan nilai-nilai di masyarakat akan dapat mempengaruhi perubahan hukum yang sedang diberlakukan negara.
Dalam perspektif ini, hukum terbentuk karena dipengaruhi oleh masyarakat atau sebaliknya perubahan masyarakat mempengaruhi
pembentukan hukum. Hubungan timbal balik antara hukum dan
81
Moh. Mahfudh MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi Jakarta:
LP3ES, 2006, 289.
82
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, cetakan keempat Jakarta:
Rajawali Press, 1988, 13.
83
Roger Cotterrell, Sosiologi Hukum, penerjemah Narulita Yusron Bandung: Nusa
Media, 2012, 36-39.
84
Reza Banakar, ‚Sociological Jurisprudence‛ dalam Reza Banakar Max Travers ed.,
An Introduction Law and Social Theory Oxford-Portland Oregon: Hart Publishing, 2002, 42-48.
85
Soerjono Soekanto, ‚Pokok-Pokok Sosiologi Hukum …‛, 14.
86
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, cetakan ketiga Jakarta: Genta
Publishing, 2009, 51.
masyarakat telah terjadi secara dinamis. Sebelum dibentuk hukum, masyarakat memiliki pengaruh yang signifikan untuk memberikan
kontribusi secara substansial. Setelah hukum terbentuk, masyarakat akan terpengaruh dalam bentuk perubahan sosial. Dalam posisi hukum
mengubah masyarakat inilah, Steven Vago menyebut hukum memiliki fungsi sebagai rekayasa sosial social engineering, kontrol sosial social control
dan integrasi masyarakat dispute resolution.
87
Dalam kerangka kerja operasionalisasi hukum sebagai perekaya sosial, komitmen fungsi legislasi yang diharapkan untuk mengefektifkan
bekerjanya hukum nasional akan tampak menampilkan dominasi eksekutif karena besarnya kekuasaan eksekutif dibanding badan-badan perwakilan.
Karena itulah, dalam pandangan Soetandyo Wignjosoebroto hukum menjadi government social control dan berfungsi sebagai alat perekayasa sosial
secara formal dan yuridis dan tidak merefleksikan konsep keadilan, moralitas, dan kearifan yang selama ini hidup di dalam kesadaran
masyarakat.
88
Dalam posisi ini, Knut S. Vikor menyebut hukum ditempatkan di antara negara dan civil society. Ketika negara akan membuat hukum, negara
dapat mengadopsi norma yang hidup di masyarakat. Sebaliknya, negara menggunakan hukum untuk mengubah norma yang telah hidup di
masyarakat.
89
Di sinilah masyarakat memiliki kepentingan-kepentingan yang menjadi aspirasi terhadap hukum mana yang akan diberlakukan oleh
negara. Individu-individu dalam masyarakat tidak berjalan sendiri-sendiri dalam menyalurkan aspirasi, melainkan dilakukan secara bersama-sama
dalam organisasi. Perjuangan masyarakat untuk memperjuangkan hukum yang akan diberlakukan dapat juga dilihat dari sudut gerakan sosial yang
mempengaruhi atau menghalangi perubahan sosial.
Tarik-menarik kepentingan antara pemerintah, legislatif dan masyarakat dalam membentuk hukum negara akan selalu dipertarungkan
dalam dinamika politik. Suara politik yang besar akan memenangkan pertarungan dalam membentuk hukum. Dalam posisi ini, konstestasi
pemerintah dan legislatif tidak dapat dilakukan secara bipolar, tetapi masih ada kekuatan lain sebagai pilar demokrasi, yaitu kekuatan civil society, yang
diwakili kelompok masyarakat. Inilah yang menjadikan tiga kepentingan dalam pembentukan hukum. Segitiga kepentingan yang mewadahi
87
Steven Vago, Law and Sociey Prentice Hall, Englewood, New Jersey, 1991, 12-14.
88
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika
Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995, 231-247.
89
Knut S. Vikor, ‚ Between God and the Sultan…‛, 255.
pemerintah, legislatif, dan kelompok masyarakat akan tampak nyata dalam setiap pembentukan hukum di dalam negara demokrasi.
Dalam konteks inilah, negara merumuskan legal policy politik hukum tentang hukum yang akan diberlakukan yang mencakup proses
pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan dan hukum ditegakkan oleh negara. Politik hukum
tidak hanya melihat hukum dari perspektif formal yang memandang kebijakan hukum dari rumusan-rumusan resmi sebagai produk saja. Politik
hukum juga melihat hukum dari latar belakang dan proses keluarnya rumusan-rumusan tersebut.
90
Di sinilah pertarungan kekuatan politik dan kekuatan sosial dalam membentuk hukum.
Jika hubungan politik dan hukum seringkali dikaitkan dengan politik hukum negara secara makro sebagaimana pendapat Mahfudh MD
di atas, M. Atho Mudzhar justru berpendapat sebaliknya. Politik hukum tidak dibatasi pada politik hukum negara yang bersifat makro isu-isu
nasional dan regional, tetapi juga perjuangan partai-partai politik di parlemen untuk memperoleh kontrol kekuasaan dan partisipasi dalam
proses legislasi. Hal ini dapat dilihat dari perjuangan partai-partai politik dalam mengesahkan sejumlah perundangan-undangan, seperti UU No. 17
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, dan UU Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
91
Dalam perspektif ini, ada dua model politik hukum, yaitu politik hukum ortodoks dan politik hukum responsif. Politik hukum ortodoks
menitikberatkan pada peranan yang sangat dominan dari lembaga-lembaga negara pemerintah dan parlemen dalam menentukan arah perkembangan
hukum dalam suatu masyarakat. Produk hukum yang dihasilkan dari model ini bersifat kaku, tidak terbuka terhadap perubahan dan bersifat
opresif. Sebaliknya, politik hukum responsif mendorong segala usaha yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam suatu masyarakat yang
berkenaan dengan bagaimana hukum dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan, dan dilembagakan dalam suatu proses politik.
92
Dalam politik hukum responsif ini, hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu
90
Moh.Mahfudh MD, ‚Politik Hukum di Indonesia …‛, 9-11.
91
M. Atho Mudzhar, ‚Indonesian Pluralism and the Politics of Legislation a Study of the Behaviours of Political Parties in the Reformation Era‛ Makalah dipresentasikan dalam
the International Conference on the Practice of Islamic Law, Nation State and Modernity: Legal and Socio-political Perspective, yang diselenggarakan Fakultas Syariah dan Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 11-12 Desember 2013.
92
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia Jakarta: YLBHI,
1988, 27.
yang lebih dari sekadar keadilan prosedural, melainkan juga mengenali keinginan publik yang memiliki komitmen bagi tercapainya keadilan
substantif.
93
Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum yang berkarakter responsif harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik.
Bersamaan dengan itu, upaya menguatkan civil society perlu juga dikedepankan karena dapat meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam
memperjuangkan aspirasi politiknya dalam mendorong demokratisasi.
94
Upaya menguatkan civil society juga dilakukan untuk memperjuangkan pembentukan hukum yang sesuai dengan nilai dan norma yang
berkembang di masyarakat.
Dalam perspektif inilah, pemberlakuan syariat Islam tidak dapat dilepaskan dari hubungannya dengan aspek sosial dan politik. Dalam arti
bahwa setiap hukum negara yang akan dan telah diberlakukan merupakan arena politik kekuasaan yang melibatkan kekuasaan pembentuk hukum
dan kekuatan masyarakat yang berada di luarnya. Karena itulah, pemberlakuan syariat Islam dalam sistem hukum negara tidak berada
dalam ruang yang kosong. Ada motif-motif yang melatarbelakangi pemberlakuan syariat Islam dalam sistem hukum negara.
Pemberlakuan syariat Islam seringkali diperjuangkan melalui saluran-saluran politik yang paling strategis legislative heavy yang menunut
kecenderungan politik yang tinggi. Maka, tak dapat dielakkan bahwa pemberlakuan syariat Islam tergantung kepada kemauan politik penguasa.
Di sinilah kepentingan penguasa tampak lebih kuat daripada aspirasi masyarakat dalam pemberlakuan syariat Islam. Kepentingannya adalah
mendapatkan legitimasi dari masyarakat Muslim untuk mempertahankan kekuasaannya.
95
Sebaliknya, dalam posisi penyeimbang, gerakan sosial masyarakat menjadi model yang efektif untuk melakukan tekanan pressure
kepada penguasa untuk memberlakuan syariat Islam. Dalam konteks inilah, pemberlakuan syariat Islam sesungguhnya
mengalami posisi yang dilematis. Di satu sisi, syariah adalah hukum yang berasal dari Tuhan yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya, sementara
di sisi lain negara merupakan sistem yang berlaku untuk setiap warga negara tanpa membeda-bedakan agama. Posisi yang demikian ini
mengakibatkan ketegangan yang luar biasa karena syariat Islam yang dipersepsikan bersifat sakral dintegrasikan ke dalam negara yang bersifat
93
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, penerjemah Raisul
Muttaqin, cetakan kelima Bandung: Nusa Media, 2010, 84.
94
Moh. Mahfudh MD, ‚Politik Hukum di Indonesia …‛, 381.
95
Arskal Salim, ‚ Challenging The Secular State…‛, 2 dan 14.
profan. Ketegangan juga terjadi antara Tuhan sebagai pemilik hukum dan Sultan sebagai representasi masyarakat yang mengimplementasi hukum.
96
Ketegangan itu bersumber pada bagaimanakah sesuatu yang sakral dan ekslusif karena hanya umat Islam yang meyakini syariah sebagai
hukum menjadi hukum positif di dalam negara yang profan dengan berbagai kepentingan politik yang terbentuk dalam prosedural demokrasi.
Menurut N.J. Coulson, hukum Islam sebagai manifestasi dari kehendak Tuhan mengalami ketegangan akibat kuatnya perubahan sosial yang
dipengaruhi kebudayaan Barat. Ketegangan itu diakibatkan oleh perbedaan sumber hukum Islam dengan hukum Barat. Hukum Barat
bersumber dari filsafat dan nilai-nilai kemanusiaan, sedangkan hukum Islam bersumber dari Tuhan.
97
Perjuangan untuk memberlakukan syariat Islam, khususnya hukum jinayah dalam ruang politik terpola dalam dua gerakan politik, yaitu
gerakan politik dalam pentas nasional dan gerakan politik lokal. Dalam pentas nasional, gerakan politik pemberlakuan syariat Islam diorientasikan
pada penyusunan dan perubahan konstitusi dan undang-undang yang bersifat nasional. Beberapa negara telah mengundangkan hukum pidana
Islam secara nasional. Pakistan, Sudan dan Iran telah mengesahkan Undang-undang Hukum Pidana Islam yang berisi 6 aturan
h}udud
, yaitu minum khamar, zina, qadhaf, pencurian, perampokan, dan murtad.
98
Adapun dalam pentas politik lokal, gerakan politik pemberlakuan syariat Islam diorientasikan pada penyusunan regulasi di daerah. Di
Indonesia Aceh terdapat sejumlah qanun syariat, seperti Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang
Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat. Di Nigeria, pemberlakuan hukum jinayah dilakukan dalam pentas politik lokal, yakni
khusus di Nigeria Utara, yaitu Zamfara 1999, Bauchi 1 Juni 2001, Borno 1 Juli 2001, Gombe, Jigawa, Kaduna, Kano April 2000, Katsina
1 Agustus 2000, Kebbi 1 Desember 2000, Niger, Sokoto 2 Agustus 2000, dan Yobe Oktokber 2000 yang mengundangkan Undang-undang
96
Knut S. Vikor, ‚ Between God and the Sultan…‛, v.
97
Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence Chicago and
London: University of Chicago Press 1969. Lihat pula A ḥmad Ḥasan, ‚Book Reviews:
Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence by Noel J. Coulson‛ dalam Islamic Studies, Vol. 9, No. 4 1970, 355-360, http:www.jstor.orgstable20833006 diakses pada 24 Pebruari
2014. diakses pada 28 Pebruari 2014.
98
Undang-undang Hukum Pidana Sudan 1991 tidak berlaku di Sudan Selatan. Lihat Olaf Kondgen, ‚Sharia and National Law in Sudan dalam Jan Michiel Otto ed., Sharia
Incorporated: a Comparative Overview of the Legal System of Twelve Muslim Countries in Past and Present Leiden: Leiden University Press, 2010, 210-213.
Hukum Pidana Syariah
The Shari‘a Penal Code
99
dengan mengadopsi hukuman rajam, cambuk, potong tangan, dan
qis}as}.
100
Malaysia juga menggunakan jalan politik lokal dengan disahkannya sejumlah qanun jinayah. Dimulai dari Kelantan, diundangkan Enakmen
Kanun Jenayah Syariah, 1985, Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kedah, 1988, Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah, 1991, Ordinan Kesalahan
Jenayah Syariah Serawak, 1991, Enakmen Jenayah Syariah Perak, 1992, Enakmen Jenayah dalam Syarak, Perlis, 1991, Enakmen Kanun Jenayah
Syariah Negeri Sembilan, 1992, Enakmen Prosedur Jenayah Syariah Sabah, 1993, Enakmen Kanun Prosedur Jenayah Syariah Selangor, 1995, dan
Enakmen Kanun Jenayah Syariah Trengganu 2002.
101
Dalam perspektif ini, banyak kelompok yang bermain dalam formalisasi syariat Islam di negara Muslim, yang ditujukan untuk
kepentingan kekuasaan, baik melestarikan kekuasaan maupun merebut kekuasaan. Atau dalam bahasa lain, pemberlakuan syariah merupakan
konstestasi politik yang selalu dinegosiasikan.
102
Dalam posisi ini, politik dipahami sebagai permainan untuk mencapai kekuasaan siapa yang
mendapatkan kekuasaan, kapan dan bagaimana.
103
Bagi mereka yang sedang berkuasa, syariat Islam dapat menjadi isu strategis untuk meraih
simpati rakyat dalam melestarikan kekuasaan. Bagi mereka yang tidak berkuasa, syariat Islam dapat menjadi jalan untuk meraih simpati politik
rakyat untuk merebut kekuasan.
Dalam teori elit, di dalam kelompok penguasa the ruling class selain ada elit yang berkuasa the ruling elite juga ada elit tandingan yang
mampu meraih kekuasaan melalui massa, jika elit yang berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah.
104
Pemberlakuan syariat Islam oleh negara dalam konteks ini sesungguhnya mencerminkan aroma
politik yang kuat yang sedang diperebutkan oleh kalangan elit. Karena
99
Mashood A. Baderin rev., Sharia Implementation in Northern Nigeria 1999-2006:
A Sourcebook, Philip Ostien, Ibadan: Spectrum Books Limited, 2007, 5 Volumes, 2.
100
The Center for Religious Freedom ed, ‚The Talibanization of Nigeria Sharia Law and Religious Freedom‛ dalam Freedom House Report, Nomor 1, Vol. XI, 2003 diakses
pada 8 Mei 2013.
101
Mahmood Zuhdi Abd. Majid, Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia, cet.
kedua Kuala Lumpur: UniversitiMalaya, 2004, 77-81.
102
M.B. Hooker, ‚Southeast Asian Shari’ahs‛, dalam Studia Islamika, Volume 20 Nomor 2 2013: 209.
103
S.P. Varma, Teori Politik Modern, penerjemah Yohanes Kristiarto, dkk., cetakan
kedua Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, 197-198.
104
S.P. Varma, ‚ Teori Politik Modern…‛, 197-198.
itulah, pemberlakuan syariat Islam sangat tergantung pada keseriusan penguasa, beserta kelompok elit yang merespon.
105
Jika penguasa gagal mendengar aspirasi rakyat, niscaya akan kehilangan otoritas politiknya.
Inilah yang menjadikan syariat Islam menjadi isu politik yang strategis bagi penguasa dan kelompok tandingannya. Dalam pola inilah, syariat Islam di
daerah dimanfaakan oleh elit politik lokal sebagai mesin politik untuk meraih kekuasaan.
106
Dengan demikian, syariat Islam dalam pengertian hukum yang akan diberlakukan oleh negara berada dalam ruang perdebatan politik dan
nilai-nilai dan norma-norma yang hidup di masyarakat. Ketika syariat Islam berada dalam wilayah ini, maka akan terjadi kontestasi kepentingan
politik para elit kekuasaan politik dan gerakan masyarakat dalam memperjuangkan syariat Islam sebagai hukum negara. Ini berarti ketika
syariat Islam diperjuangkan dalam ruang politik kekuasaan, maka akan bertarung kekuatan-kekuatan politik yang memiliki kepentingan politik,
baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen. Pertarungan ini juga dipengaruhi oleh pencerminan kekuatan sosial di masyarakat.
D.
Hukum Jinayah dalam Sistem Hukum dan Politik Negara- negara Muslim
Negara-negara Muslim adalah negara-negara yang penduduknya 50 persen atau lebih beragama Islam. Jean Michiel Otto menyebut dua belas
negara Muslim, yaitu Mesir, Marokko, Arab Saudi, Sudan, Turki, Afganistan, Iran, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Mali, dan Nigeria.
107
Kategori ini belum memasukkan Libya, Tunisia, Syria, Aljazair, Maroko, Jordania, Uni Emirat Arab, Qatar, Maladewa, dan Bahrain.
105
Arskal Salim,
‚Politics, Criminal
Justice, and
Islamisation in
Aceh‛,Paperdipresentasikan dalam ALC Occasional Seminar, the Asian Law Centre and the Indonesia Forum as part of the University of Melbourne’s Asia Week pada 18 Agustus 2009,
14, http:www.law.unimelb.edu.aufilesdmfilesalim_final2_forwebsitewobleed2.pdf diakses pada 12 Pebruari 2014.
106
M. Buehler, ‚The Rise of Sharia by-laws in Indonesian Districts: An Indication for Changing Patterns of Power Accumulation and Political Corruption,‛ South East Asia
Research 16,
2, 2008:
255-285, http:columbiauniversity.netcuweaifacultyarticlesBuehler.pdf diakses 7 Juli 2009.
107
Jean Michiel Otto, ‚ Sharia Incorporated: : a Comparative Overview …‛, 28.
Tabel 1. Daftar Negara-negara Muslim di Dunia
Negara Jumlah Penduduk
dalam juta Prosentase Muslim
Mesir 80,3
90 Maroko
33,8 99
Arab Saudi 28,0
100 Sudan
41,0 70
Turki 71,2
100 Afghanistan
31,9 99
Iran 70,0
98 Pakistan
174,0 97
Indonesia 234,7
86 Malaysia
24,8 60
Mali 12,6
90 Nigeria
140,0 50
Sumber: Jan Michiel Otto, Sharia Incorporated: a Comparative Overview of the Legal System of Twelve Muslim Countries in Past and Present Leiden: Leiden University Press, 2010
Dari dua belas negara Muslim di atas, empat negara telah memberlakukan hukum jinayah secara nasional, yaitu Arab Saudi, Sudan,
Iran, dan Pakistan. Tiga Negara, yaitu Nigeria, Indonesia, dan Malaysia memberlakukan hukum jinayah di level lokal, sedangkan di level nasional,
negara-negara ini telah memberlakukan hukum pidana warisan kolonial. Empat negara lainnya, yaitu Mesir, Turki, Marokko, dan Mali tidak
memberlakukan hukum jinayah, tetapi memberlakukan hukum pidana warisan kolonial atau telah dipengaruhi kolonial.
108
Adapun dilihat dari kodifikasi hukum jinayah di sejumlah negara- negara Muslim, dapat dipetakan dalam dua kategori. Pertama, ada negara
yang memberlakukan hukum jinayah dengan cara tidak mengkodifikasi dalam bentuk undang-undang. Kedua, ada negara-negara yang
memberlakukan hukum jinayah dengan cara menyusun undang-undang. Arab Saudi merupakan negara yang tidak menyusun undang-undang
jinayah karena Arab Saudi cukup mengambil hukum yang termaktub
108
Klasifikasi ini didasarkan pada penjelasan Tahir Mahmood, Paul Marshall, dan Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean. Lihat Tahir Mahmood,
Criminal Law in Islam and the Muslim World New Delhi, Institute of Objective Studies, 1996. Paul Marshall
ed., Radical Islam’s Rules; the Worldwide Spread of Extreme Shari’a Law USA: Rowman
Littlefield Publisher, Inc., 2005. Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, Politik
Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria Jakarta: Alvabet, 2004
dalam al- Qur‟an dan Hadith. Adapun negara-negara lainnya melakukan
modernisasi hukum jinayah dalam bentuk undang-undang, seperti Iran, Sudan, Pakistan, Indonesia, Malaysia, dan Nigeria.
109
Pemberlakuan hukum jinayah di Arab Saudi didasarkan pada sistem hukum yang berbeda dengan negara-negara lain. Berdasarkan
Peraturan Dasar
Niz}am Asasi
ayat 1, Arab Saudi adalah Negara Islam dengan menjadikan al-
Qur‟an dan
Hadis}
sebagai konstitusi negara. Konsekuensinya, keputusan pengadilan di Arab Saudi harus merujuk
kepada al-
Qur‟an dan
Hadith.
110
Sebagai negara
yang konservatiftradisional dalam memberlakukan sistem hukum dan politik,
Arab Saudi menggandeng Wahabisme sebagai sekte resmi negara dan menjadikan mazhab Hanbali sebagai mazhab resmi negara.
111
Seluruh hukum Islam di Arab Saudi, termasuk hukum jinayah diberlakukan di
bawah otoritas pengadilan. Hukuman rajam, cambuk, potong tangan,
qis}as},
dan diyat diberlakukan di Arab Saudi. Para hakim memutuskan perkara jinayah dengan secara langsung menginterpretasikan al-
Qur‟an dan Hadith.
112
Hukum jinayah di Arab Saudi tidak ditulis dalam bentuk undang-undang, melainkan diinterpretasikan dari al-
Qur‟an dan Hadith. Dalam praktiknya, implementasi hukum jinayah di Arab Saudi
tidak berjalan mulus. Ada kelompok yang menentang implementasi hukum jinayah di Arab Saudi. Saudi Institute misalnya melaporkan praktik
penyimpangan hukuman cambuk dalam kejahatan perbuatan seksual. Menurut Saudi Institute, al-
Qur‟an telah menetapkan hukuman cambuk pada tiga pelanggarankejahatan, yaitu zina yang dicambuk 100 kali,qadhaf
yang dihukum cambuk 80 kali, dan minum khamar yang dicambuk 40-80
109
Tahir Mahmood yang membagi negara-negara Muslim yang telah memberlakukan hukum jinayah ke dalam dua kategori, yaitu 1 negara-negara yang memberlakukan hukum
jinayah dengan jalan kodifikasi dan jalan tidak kodifikasi, termasuk di dalamnya negara- negara yang pemerintah kolonialnya telah melakukan de-islamisasi atau westernisasi hukum
jinayah dan 2 negara-negara yang hukum jinayahnya telah dimodernisasi di masa sebelumnya dan negara-negara yang hukum jinayah modernnya telah diberlakukan. Pada
kategori yang pertama, Arab Saudi dan Yaman Utara adalah negara yang hukum jinayahnya diberlakukan secara total atau cakupan hukum yang luas, tetapi tidak dikodifikasi. Libya,
Pakistan, Iran, dan Sudan adalah negara-negara yang telah mengkodifikasi hukum jinayah. Mesir, Syiria, Irak, Jordania, Oman, Tunisia, Aljazair, Yaman Selatan, Malaysia dan banyak
Negara Muslim lainnya masuk dalam kategori yang kedua. Lihat Tahir Mahmood,
Criminal Law in Islam…‛, 312.
110
Frank E. Vogel, Islamic Law and Legal System: Studies of Saudi Arabia Leiden,
Brill, 2000, 24-25.
111
Stephen Schwartz, ‚Shari’a in Saudi Arabia, Today and Tomorrow‛ dalam Paul Marshall
ed., Radical Islam’s Rules; the Worldwide Spread of Extreme Shari’a Law USA: Rowman Littlefield Publisher, Inc., 2005, 19. Esther van Eijk, ‚Sharia and National Law in
Saudi Arabia‛ dalam Jean Michiel Otto ed., ‚Sharia Incorporated…‛, 156-157.
112
Tahir Mahmood, ‚Criminal Law in Islam …‛, 313-314.
kali. Dalam praktiknya, di Arab Saudi pada awal 2002, seorang laki-laki di Jeddah dicambuk 4.750 kali karena telah melakukan hubungan seksual
dengan adik iparnya.
113
Di Sudan, sebelum kedatangan penjajah Inggris diberlakukan hukum jinayah. Setelah masa penjajahan, para penjajah Inggris telah
menggantinya dengan hukum Inggris atau hukum India yang berada di bawah penjajahan Inggris. Waktu itu, hukum yang digunakan adalah
Undang-undang Hukum Pidana 1860 the Penal Code 1860 dan Undang- undang Hukum Acara Pidana the Criminal Procedure Code 1898.
114
Campur tangan penjajah terhadap hukum pidana di Sudan telah meminggirkan
hukum jinayah. Setelah penjajah meninggalkan Sudan, mulai dilakukan usaha-
usaha untuk menata hukum agar sesuai dengan syariat Islam. Perubahan ini terjadi secara signifikan setelah Ja‟far al-Numeiri 1969-1985 berkuasa
di Sudan. Di periode pertengahan kekuasaannya, tepatnya setelah membaca menguatnya revivalisme Islam, potensi politik, dan keinginan
untuk mengontrol dan mengooptasi kekuatan di Sudan, Ja‟far al-Numeiri melakukan serangkaian Islamisasi.
115
Pada 1 977, Ja‟far al-Numeiri
membentuk komite untuk mengharmonisasikan hukum dengan syariah. Komite ini dipimpin Hasan Turabi yang menyusun Rancangan Undang-
undang Zakat, Larangan Alkohol, Riba, dan Judi sesuai dengan
h}udud
.
116
Upaya ini sesungguhnya adalah kepentingan politik Ja‟far al-Numeiri, bukan dimotivasi oleh kepentingan agama karena semakin lemahnya
kekuatan Ja‟far al-Numeiri di panggung politik nasional.
117
Kelompok minoritas non-Muslim pun dengan tegas menolak islamisasi Numeiri. Keberatan ini didasarkan pada argumen bahwa
penerapan syariat Islam bertentangan dengan kepentingan berbagai komunitas Kristen, hak-hak individu, persamaan di mata hukum, dan
usaha-usaha penegakkan keadilan masyarakat yang majemuk dilihat dari
113
Stephen Schwartz, ‚Shari’a in Saudi Arabia, Today and Tomorrow‛ dalam Paul Marshall ed., ‚Radical Islam
’s Rules…‛, 35.
114
Olaf Kondgen, ‚Sharia and National Law in Sudan‛ dalam Jean Michiel Otto ed.,
‚Sharia Incorporated: a Comparative Overview …‛, 184-185.
115
Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Politik Syariat Islam …‛, 114-
115.
116
Hamouda Fathelrahman Bella, ‚Shari’a in Sudan‛ dalam Paul Marshall ed., ‚Radical Islam
’s Rules…‛, 90.
117
Sean Hilhorst, ‚Use of Force in the Sudan: Between Islamic Law and International Law‛ dalam Muslim World Journal of Human Rights, Volume 5, Issue 1 2008, 8.
http:www.researchgate.netpublication240793640_Use_of_Force_in_the_Sudan_Between_I slamic_Law_and_International_Law diakses 12 Pebruari 2014.
sudut ras, etnisitas, dan agama.
118
Penolakan ini telah memberikan dinamika tersendiri dalam upaya pemberlakuan syariat Islam di Sudan.
Baru pada 1983, Presiden Ja‟far al-Numeiri memberlakukan hukum pidana Islam. Di antaranya adalah Undang-undang Hukum Pidana
1983 the Penal Code 1983, Undang-undang Hukum Acara Pidana 1983 the Criminal Procedure Code 1983, Akta Kehakiman 1984 Judiciary Act 1984
dan Akta Pembuktian 1983 Evidence Act 1983. Undang-undang Hukum Pidana 1983 the Penal Code 1983 diberlakukan pada 8 September 1983.
Ja‟far al-Numeiri berhasil memperkenalkan hukum
h}udud,
seperti pencurian, perampokan, zina, qadhaf, dan minum khamar dengan
hukuman rajam, cambuk, dan potong tangan.
119
Salah satu bukti pelaksanaan pidana syariah di Sudan adalah putusan Pengadilan Pidana
Sudan yang menghukum mati Mahmoud Mohamed Taha pada 18 Januari 1985 karena dituduh telah murtad dari agamanya.
120
Akhirnya, Ja‟far al-Numeiri dikudeta militer ketika Ja‟far al- Numeiri dalam perjalanan pulang ke Sudan dalam lawatannya dari
Washington, Amerika Serikat. Jendral Abd al-Rahman Suwar al-Dhahab mengumumkan kudeta pada 4 April 1985. Pemerintah Sudan kemudian
dipimpin Sadiq al-Mahdi 1986-1989. Corak pandangannya berbeda
dengan Ja‟far al-Numeiri yang memandang syariat Islam dapat diterapkan di masyarakat yang adil. Ia pun kemudian membekukan hukum syariat
yang telah diberlakukan Ja‟far al-Numeiri. Ia pun tak kuasa menerima kudeta atas dirinya pada 1989. Setelah itu, rezim Islamis mengambil alih
panggung kekuasaan Sudan, yaitu rezim Jenderal Umar al-Basyir yang didukung National Islamic Front dan Ikhwanul Muslimin Hasan Turabi
pada 1989
121
Beberapa tahun setelah itu, pada 1991, disahkan Undang-undang Hukum Pidana Sudan the Sudan Criminal Act yang berisi 6 aturan
h}udud
, yaitu minum khamar, zina, qadhaf, pencurian, perampokan, dan murtad.
Dalam Undang-undang Hukum Pidana Sudan disebut pelaku meminum khamar dihukum cambuk sebanyak 40 kali.
Zina muh}s}an
dihukum rajam dan
zina ghayru muh}s}an
dihukum cambuk sebanyak 100 kali. Pencurian
118
Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Politik Syariat Islam …‛, 115.
119
Rifyal Ka’bah, ‚Pidana Islam sebagai Pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam‛, Makalah tidak diterbitkan, 7.Tahir Mahmood, ‚Criminal Law in
Islam…‛, 320-321.
120
Olaf Kondgen, ‚Sharia and National Law in Sudan‛, dalam Jean Michiel Otto ed.,
‚Sharia Incorporated: a Comparative Overview…‛, 195. Rifyal Ka’bah, ‚Pidana Islam sebagai Pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam‛, Makalah tidak
diterbitkan, 8.
121
Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Politik Syariat Islam …‛, 118-
119.
dihukum potong tangan kanan. Jika dilakukan lagi, maka pencuri dihukum penjara lebih dari 5 tahun. Orang yang pindah agama murtad dihukum
mati. Pembunuhan juga diatur dalam Undang-undang Hukum Pidana Sudan yang dijatuhi hukuman
qis}as}
dan diyat.
122
Di masa pemerintahan Jenderal Umar al-Basyir, Konstitusi 1985 dihapus digantikan dengan Konsitusi 1998 yang banyak memuat Islam. Di
masa inilah, pelaksanaan syariat Islam khususnya dalam hukum jinayah tampak nyata. Pada Desember 2001, seorang non-Muslim bernama Abok
Alfa Akok dinyatakan terbukti berzina dan dihukum rajam oleh pengadilan darurat di selatan Darfur.
123
Pengadilan darurat di Nyala, Darfur Bara, pada 17 Juli 2002 juga menjatuhkan hukuman mati atas 88
orang yang dituduh membunuh, merampok bersenjata, dan mengganggu ketentraman publik. Seminggu kemudian, pada 24 Juli 2002, pengadilan
darurat di Nyala memvonis hukuman mati kepada 15 orang atas tuduhan pembunuhan, perampokan, dan pemilikan senjata api ilegal.
Pakistan adalah negara yang berbentuk Republik Islam. Selama 1947-1979, Pakistan memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana
India 1860. Undang-undang ini kemudian diubah namanya dengan Undang-undang Hukum Pidana Pakistan Pakistan Penal CodePPC 1899
dan Undang-undang Hukum Acara Pidana 1898 Criminal Procedure Code 1898.
124
Prinsip normatif dari Undang-undang Hukum Pidana Pakistan ini masih tidak berubah dari Undang-Undang Hukum Pidana India 1860
yang tidak memenuhi unsur syariah. Kondisi ini mengakibatkan tuntutan Islamisasi hukum bergema
hingga dirumuskan Konstitusi Pakistan yang ketiga 1973. Konstitusi ini disahkan pada masa Zulfikar Ali Buttho. Konstitusi ini dipandang sebagai
konstitusi paling Islami dalam sejarah Pakistan. Dalam Konstitusi ini disebutkan bahwa Pakistan adalah Negara Republik Islam dan Islam
sebagai agama negara dan ideologi negara.
125
Pada 1977, Zulfikar Ali Buttho mengeluarkan paket islamisasi, yang di antaranya berisi larangan konsumsi alkohol, judi, balapan kuda,
dansa, dan klab malam. Proyek islamisasi Zulfikar Ali Buttho inilah yang telah melicinkan jalan bagi munculnya ekspekstasi partai-partai keagamaan
122
Undang-undang Hukum Pidana Sudan 1991 tidak berlaku di Sudan Selatan. Lihat Olaf Kondgen, ‚Sharia and National Law in Sudan‛, dalam Jean Michiel Otto ed.,
‚Sharia Incorporated…‛, 210-213.
123
Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Politik Syariat Islam …‛, 119-
120.
124
Lihat Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: Times
Press, 1987, 239.
125
Martin Lau, ‚Sharia and National Law in Pakisan dalam Jean Michiel Otto, ‚
Sharia Incorporated: a Comparative Overview…‛, 408.
dan menyiapkan landasan bagi upaya islamisasi pada masa kekuasaan Zia ul-Haq.
126
Jenderal Zia ul-Haq sebagai kepala negara kemudian merumuskan pemberlakuan syariah. Kementerian Keadilan ditugaskan untuk menyusun
draft undang-undang hukum pidana yang sesuai dengan prinsip-prinsip al- Qur‟an, termasuk
h}udud, qis}as},
diyat, dan
ta’zir.
Tak dapat dinafikan pula, Dewan Ideologi Islam memainkan peran yang signifikan atas usaha ini.
127
Pada 1979, pemerintah Pakistan memutuskan untuk menegakkan supremasi syariah di seluruh hukum negara, yaitu dengan memberlakukan
Ordonansi Pelanggaran Harta Benda Offences Against Property Enforcement of Hudud Ordinance 1979, Ordonansi Pelanggaran Zina Offences of Zina
Enforcement of Hudud Ordinance 1979, Ordonansi Pelanggaran Qadhaf Offences of Qadhaf Enforcement of Hadd Ordinance 1979, Prohibition
Enforcement of Hadd Order 1979, dan Ordonansi Ekseskusi Cambuk Execution of the Punishment of Whiping Ordinance 1979. Undang-undang ini
mengatur kejahatan pencurian, perampokan, qadhaf, zina, minum khamar yang dijatuhi hukuman potong tangan, cambuk, dan rajam.
128
Pada 1984, Presiden Zia ul-Haq juga menyusun draft Ordonansi Qisas dan Diyat Qisas and Diyat Ordinance sebagai amandemen dari
Undang-undang Hukum Pidana Pakistan 1860 Pakistan Penal Code 1860. Lalu pada 1990 disusun lagi draft Ordonansi Qisas dan Diyat Qisas and
Diyat Ordinance. Kejahatan pembunuhan yang awalnya disusun dalam draft Ordonansi Qisas dan Diyat, tidak kunjung diundangkan. Akhirnya
pada 1997, hukum pembunuhan dimasukkan ke dalam Undang-undang Hukum Pidana Pakistan 1997.
129
Menurut Maarten G. Barends, Undang-undang Hukum Pidana Pakistan Pakistan Penal Code 1899 dan Undang-undang Hukum Acara
Pidana 1898 Criminal Procedure Code 1898 masih berlaku. Bahkan, karena dalam kejahatan pencurian yang memerlukan pembuktian yang ketat
dalam kodifikasi syariah, Undang-undang Hukum Pidana Pakistan
126
Zia ul-Haq pada akhirnya yang melakukan kudeta terhadap Zulfikar Ali Buttho pada Juli 1977. Lihat Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Politik Syariat
Islam…‛, 142-143.
127
Dewan Ideologi Islam bertugas memberi nasihat kepada pemerintah jika hukum yang diajukan bertentangan dengan ketetapan Islam dan merekomendasikan indikator
islamisasi terhadap hukum yang ada. Lihat Tahir Mahmood, ‚Personal Law in Islamic Countries…‛, 239.
128
Tahir Mahmood, ‚Criminal Law in Islam …‛, 315-316 dan Rubya Mehdi, The
Islamization of the Law in Pakistan United Kingdom: Curzon Press, 1994, 109.
129
Tahir Mahmood, ‚Criminal Law in Islam …‛, 315-316 dan Rubya Mehdi, ‚The
Islamization of the Law in Pakistan…‛, 109. Jan Martin Lau, ‚Sharia and National Law in Pakisan…‛, 420.
Pakistan Penal Code 1899 masih diberlakukan.
130
Ini memperlihatkan dualisme hukum pidana di Pakistan.
Di Iran, langkah awal mereformasi dan mengkodifikasi hukum pidana dimulai saat revolusi konstitusional. Para perumus konstitusi
melihat adanya dua sistem hukum pidana, syariah dan hukum negara. Pada 1911, mereka merumuskan Hukum Acara Pidana yang secara tentatif
disetujui Parlemen. Lalu, pada 1912, perumusan Hukum Pidana Penal Code dilakukan oleh sekelompok hakim Perancis yang dipimpin Adolph
Pierny di masa rezim monarki. Parlemen Iran menyetujui Hukum Pidana ini meskipun tidak berisi konsep-konsep hukum Islam. Reformasi hukum
pidana ini berimplikasi terbatas karena peradilan syariah masih berjalan hingga rezim Reza Shah.
131
Meskipun Konstitusi 1906 memberikan kekuasaan Dewan Islam Iran untuk meneliti legislasi yang tidak islami, rezim Shah Iran justru
memberlakukan hukum pidana yang berbasis pada doktrin civil law. Undang-undang Hukum Pidana 1926 the Penal Code 1926 yang berbasis
civil law dan Undang-undang Hukum Acara Pidana 1932 the Criminal Procedure Code 1932 diberlakukan.
132
Amandemen Undang-undang Hukum Pidana pada 1940 dan Undang-undang Hukum Acara Pidana pada 1932
pun berbasis pada civil law. Pada 1979, rezim Reza Shah digulingkan yang menandai
berakhirnya sistem monarkhi. Lalu, Konstitusi 1979 disahkan yang menegaskan Iran sebagai Republik Islam.
133
Konstitusi ini menegaskan bahwa seluruh bidang sipil, pidana, ekonomi, administrasi, budaya, militer,
hukum, dan regulasi harus berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Hukum syariah menjadi sumber dari seluruh legislasi negara.
134
Inilah perubahan besar setelah revolusi Iran.
Undang-undang Hukum Pidana The Penal Code 1926 yang berbasis civil law dan Undang-undang Hukum Acara Pidana the Criminal
Procedure Code 1932 kemudian dibatalkan. Lalu disiapkan Rancangan
130
Maarten G. Barends, ‚Shari’a in Pakistan‛ dalam Paul Marshall ed., ‚Radical Islam’s Rules…‛, 69-70.
131
Ziba Mir-Hosseini, ‚Sharia and Nattional Law in Iran dalam Jean Michiel Otto, ‚
Sharia Incorporated: a Comparative Overview…‛, 356.
132
Tahir Mahmood, ‚Criminal Law in Islam …‛, 317-318.
133
Konstitusi ini kemudian diamandemen pada 1989. Lihat Mehrangis Kar, ‚Shari’a Law in Iran‛ dalam Paul Marshall ed., ‚Radical Islam
’s Rules…‛, 347.
134
Tahir Mahmood, ‚Criminal Law in Islam …‛, 317-319. Lihat pula Mehrangis Kar,
‚Shari’a Law in Iran…‛, 51-52. Ran Hirschl, ‚The Theocratic Challenge to Constitution Drafting in Post-Conflict States‛, dalamWilliam and Mary Law Review. 49.4 Mar. 2008, 9.
http:scholarship.law.wm.educgiviewcontent.cgi?article=1141context=wmlr diakses pada 12 Pebruari 2014.
Undang-undang Hudud dan Qisas
Law of Hudud and Qisas 1983
dan Rancangan Undang-undang
Ta‘zir Law of Ta‘zir 1983
yang bersumber dari
madhab Itshna Ash’ari Ja’fari Imamiyah
. Pada awalnya, Dewan Keamanan Nasional menolak Rancangan ini, tetapi setelah Imam
Khoemaini melakukan intervensi, Rancangan Undang-undang Hudud, Qisas, dan Ta
„zir di atas disahkan.
135
Baru pada 1991, Undang-undang Hukum Pidana disetujui Parlemen. Undang-undang ini diperbaharui dua kali, yaitu pada 1996 dan
2011. Undang-undang ini terdiri dari 5 buku yang berisi tentang zina
liwat}, musah}aqah, qadhaf,
minum khamar, pencurian, perampokan, pembunuhan dan melukai. Hukuman yang diberlakukan adalah hukum potong tangan,
rajam, cambuk
, qis}as},
denda, dan penjara. Meksipun hukum pidana Iran bersumber dari mazhab
Ja‟fari, tetapi juga memperbolehkan mazhab lain diberlakukan.
136
Komunitas HAM internasional mengkritik Undang-undang ini, terutama hukuman rajam bagi
zina muh}s}an
dan tidak setaranya perlakuan kepada perempuan dan non-Muslim. Setelah Khattami terpilih sebagai
Presiden pada 1997, kelompok reformis Iran pun melakukan kritik. Pada 2002, setelah dialog konstruktif dengan Uni Eropa, Iran mengumumkan
moratorium hukuman rajam, meskipun hukumnya tidak dihapuskan. Pada Mei 2006, eksekusi hukuman rajam kepada seorang wanita justru
mendorong kelompok aktivis perempuan dan laki-laki membentuk jaringan Pengacara Volunteer yang mengkampanyekan penghapusan
hukuman rajam dalam Undang-undang Hukum Pidana Iran. Pada 2007, aturan dalam Undang-undang Hukum Pidana 1991 telah diperbaharui dua
kali dalam bentuk draft Rancangan yang masih memuat hukuman rajam. Setahun kemudian, pada 2008, Rancangan ini diperdebatkan di Parlemen
yang hingga sekarang belum ada informasi tentang pengesahan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana Iran.
137
Pemberlakuan syariat Islam di Nigeria Utara sesungguhnya telah dimulai pada abad ke-11 sejalan dengan masuknya Islam ke Nigeria. Tapi
dalam perjalanan berikutnya, di masa kolonial, pemberlakuan syariat Islam di Nigeria dibatasi oleh penguasa kolonial. Pemberlakuan syariat Islam
terbatas pada hukum perdata. Nigeria merupakan satu-satunya koloni di mana pemerintahan kolonial yang mengizinkan penerapan syariat Islam,
tetapi aplikasinya secara berangsur-angsur dimasukkan ke dalam kontrol
135
Martin Lau, ‚Sharia and National Law in Pakistan…‛, 358.
136
Tahir Mahmood, ‚Criminal Law in Islam …‛, 317-319. Lihat pula Mehrangis Kar,
‚Shari’a Law in Iran…‛, 51-52. Martin Lau, ‚Sharia and National Law in Pakistan…‛, 358- 359.
137
Lihat Martin Lau, ‚Sharia and National Law in Pakistan…‛, 359-360.
otoritas administratif dan yudisial kolonial. Ketika Inggris menduduki Nigeria Utara, mereka tidak mencampuri sistem peradilan Islam. Para
amir dan
qad}i
dibiarkan menerapkan syariat Islam di bidang perdata dan pidana. Bahkan, ketika Undang-undang Hukum Pidana diperkenalkan pada 1904,
ia tidak menghapuskan syariat. Fikih mazhab Maliki berjalan berdampingan dengan Undang-undang tersebut. Campur tangan Inggris
dilakukan pertama kali di bidang hukum pidana dengan menghapuskan hukum potong tangan, rajam, dan salib setelah diundangkan Ordonansi
Peradilan Adat pada 1933. Selanjutnya, diberlakukan Kitab Undang- undang Hukum Pidana 1959 untuk Nigeria Utara yang menghapus hukum
pidana Islam.
138
Situasinya berbeda setelah Olesungen Obasanjo, seorang purnawirawan militer pemeluk Kristen dari selatan Nigeria berkuasa. Pada
27 Oktokber 1999, syariat Islam berlaku efektif di negara bagian Zamfara, dengan mengundangkan Undang-undang Hukum Pidana Syariah The
Shari‘a Penal Code. Setelah itu, 11 negara bagian lainnya mengikuti langkah Zamfara, seperti Bauchi 1 Juni 2001, Borno 1 Juli 2001, Gombe,
Jigawa, Kaduna, Kano April 2000, Katsina 1 Agustus 2000, Kebbi 1 Desember 2000, Niger, Sokoto 2 Agustus 2000, dan Yobe Oktokber
2000.
139
Kedua belas negara di Negeria ini telah mengadopsi syariat Islam sebagai hukum negara yang memperkenalkan hukuman rajam, cambuk,
potong tangan, dan
qis}as}
.
140
Hukuman yang diterapkan adalah konsumsi alkohol dihukum 80 kali
cambuk, sedangkan
memproduksi, menyimpan
dan memperdagangkannya dikenakan hukuman 40 kali cambuk danatau
penjara maksimal 6 bulan. Kejahatan zina dikenakan hukuman rajam bagi pelaku yang telah kawin. Untuk pelaku yang belum kawin dikenakan
hukuman 100 kali cambuk. Untuk pencurian, dikenakan hukuman potong tangan. Dalam kasus perampokan dikenakan hukuman penjara seumur
hidup jika tidak terjadi pembunuhan. Jika terjadi pengambilan harta, maka dikenakan hukuman potong tangan kanan dan kaki kiri dan jika terjadi
pembunuhan, maka dikenakan hukuman mati. Untuk kasus pembunuhan,
138
Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Politik Syariat Islam …‛, 122-
123.
139
Mashood A. Baderinrev., Sharia Implementation in Northern Nigeria 1999-
2006: A Sourcebook. Philip Ostien, Ibadan: Spectrum Books Limited, 2007, 5 Volumes, 2. Lihat pula Paul Marshall, ‚Nigeria: Shari’a in a Fragmented Country‛ dalam Paul Marshal
ed., ‚Radical Islam’s Rules…‛, 115.
140
The Center for Religious Freedom ed, ‚The Talibanization of Nigeria Sharia Law and Religious Freedom‛ Freedom House Report, Nomor 1, Vol. XI, 2003 diakses pada 8
Mei 2013.
hukum pidana di Nigeria Utara mengatur hukuman
qis}as},
atau membayar diyat jika keluarga korban memaafkan.
141
Kasus yang pernah muncul pada pidana syariah di Nigeria adalah kasus pencurian, konsumsi alkohol, zina, dan pembunuhan. Untuk kasus
qis}as},
Ahmed Tijani dijatuhi hukuman pembutaan mata kanannya karena telah membutakan mata seseorang dalam sebuah pertengkaran pada 26
Mei 2001.
142
Untuk kasus pencurian,
143
Bello Garki Jangebi dihukum potong tangan karena mencuri ternak Zamfara, 24 Maret 2000. Dua laki-
laki dihukum cambuk 20 kali karena mencuri sebuah kipas meja Katsina, Agustus 2000. Musa Gummi dihukum potong tangan karena mencuri tiga
buah sepeda Zamfara, 23 September 2000. Karibu Salisu dihukum 50 kali cambuk dan 6 bulan penjara karena mencuri kemeja Zamfara, 23 S
0meptember 2000. Lawali Inchitara dipotong tangannya karena mencuri 8 sepeda Zamfara, 5 Mei 2001. Naira Alyu dan Lawali Garba dipotong
tangannya karena keduanya mencuri kambing dan 6000 naira dan suku cadang mobil seharga 152 Sokoto, Juli 2001. Seorang anak laki-laki
berumur 15 tahun dijatuhi hukuman potong tangan karena mencuri 32.000 naira Kebbi, 25 Juli 2001.
144
Untuk kasus konsumsi alkohol, Lawali Jekada Kaura Namoda dihukum 80 cambuk
. Nugu Abdullahi dan Sa‟adu Aminu diukum cambuk 80 kali karena mengkonsumsi alkohol 3 Januari 2001. Mallam Ummanu
Bubeh dijatuhi hukuman cambuk 80 kali karena minum alkohol Katsina, 9 Maret 2011.
145
Untuk kasus zina, seorang gadis, Bariya Ibrahim Magazu, hamil dijatuhi hukuman 180 kali cambuk setelah melahirkan atas tuduhan zina
dan qadhaf. Padahal, dia mengaku diperkosa Zamfara, September 2000. Lawal Sada dijatuhi hukuman setahun penjara dan 100 kali cambuk atas
tuduhan zina Katsina, 16 Nopember 2000. Sebulan kemudian, Attine Tanko, teman wanita Sada dijatuhi hukuman 100 kali cambuk yang
dieksekusi setelah melahirkan Katsina, Desember 2000. Kasus yang
141
Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‛Politik Syariat Islam ...‛, 127-
128.
142
Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‛Politik Syariat Islam ...‛, 131.
143
Pengadilan syariat di Kaduna pernah memerintahkan kelompok hak asasi manusia, the Civil Rights Congress CRC, untuk menutup blog dan menghentikan hosting
yang berisi perdebatan tentang hukuman potong tangan di 12 negara bagian di sebelah utara Nigeria.
Freedom House
Report, ‚Nigeria‛
dalam http:www.freedomhouse.orgreportfreedom-press2011nigeria diakses 8 Mei 2013.
144
Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‛Politik Syariat Islam ...‛, 129-
130.
145
Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‛Politik Syariat Islam ...‛, 129-
130.
menyita perhatian internasional pada 2001 adalah Saffiya Husaini yang dituduh melakukan kejahatan zina denganYakubu Abubakar. Saffiya
ditemukan hamil dan melahirkan seoang anak perempuan, sedang ia seorang janda. Ketika diperiksa, Safiyya mengaku diperkosa oleh seorang
laki-laki berusia 60 tahun. Laki-laki ini bebas karena kekurangan bukti. Belakangan Safiya mengubah kesaksiannya dan menyatakan mantan
suaminya adalah ayah anak yang dikandungnya. Pada 9 Oktokber 2001, ia dijatuhi hukuman rajam oleh pengadilan syariat Sokoto. Ketika New York
Times mengekspos kasusnya, anggota parlemen Eropa memprotes Presiden Obasanjo atas putusan peradilan tersebut.
146
Brunei Darussalam adalah negara monarki Islam. Islam adalah agama resmi negara. Sultan adalah kepala agama sekaligus kepala
pemerintahan. Konstitusi Brunei mengatur Dewan Menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri dan sejumlah menteri. Secara otomatis, Sultan
adalah Perdana Menteri. Dalam pelaksanaan pemerintahan, Sultan tidak harus mematuhi keputusan Dewan Menteri. Sultan yang juga berstatus
Perdana Menteri dapat mengabaikan keputusan Dewan Menteri.
Karena Brunei adalah Negara kerajaan absolut, maka seluruh kekuasaan di tangan
Sultan.
147
Brunei Darussalam telah mengumumkan pemberlakuan
h}udud dan qis}as}
pada 23 Oktokber 2013 dalam Peraturan Hukum Pidana Syariah the Syariah Penal Code Order 2013 yang diberlakukan pada April 2014.
Peraturan Hukum Pidana Syariah 2013 di Brunei mengatur hukum jinayah, yang terdiri dari
h}udud, qis}as},
dan
ta‘zir. H}udud
yang diatur di Brunei adalah pencurian, perampokan, zina, pemerkosaan,
liwat}, qadhaf,
dan khamar.
Qis}as}
yang diatur adalah pembunuhan dan pelukaan. Ta‘zir
yang diatur adalah tidak melaksanakan shalat Jum‟at dan khalwat.
Peraturan ini diperuntukkan kepada Muslim dan non-Muslim pencurian, perampokan, sodomi, dan pemerkosaan.
148
146
Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‛Politik Syariat Islam ...‛, 130.
Lihat pula Ibraheem Sulaiman, ‚Problems and Challenges in the Application of Shari‘a Penal Code in Nigeria‛, International Seminar ‚Islamic Criminal Justice Sistem‛, jointly organized
by State Government of Johor dan Institute of Islamic Undestanding Malaysia IKIM, 25-27 August 2003, Puteri Pan Pacific, Johor Bahru, Malaysia, 23.
147
Tun Abdul Hamid Mohamad, ‚Implementation of Hudud In Brunei: Differences Between Brunei And Malaysia‛, dalam International Institute Of Advanced Islamic Studies
IAIS Public
Talk 11
February 2014,
1, http:www.IAIS.org.MyEattach11feb2014_HududImplementation20of20hudud20in
20brunei20differences20between20brunei20and20malaysia20iais20112002 202014.Pdf diakses 5 Mei 2014.
148
Tun Abdul Hamid Mohamad, ‚Implementation of Hudud In Brunei‛, 4-5.
Ketika mengumumkan Peraturan Hukum Pidana Syariah 2013, Sultan Hasanal Bolkiah menegaskan bahwa pihaknya tidak meminta
pendapat atau izin dari pihak manapun untuk melaksanakan hukum jinayah melainkan semata-mata karena perintah Allah Swt. Dalam
kesempatan itu, Brunei juga mendemonstrasikan contoh pelaksanaan hukum
h}udud.
Hukum jinayah ini akan dilaksanakan dengan sangat hati- hati, teliti dan adil, serta berdasarkan ketentuan yang ada dalam al-Quran
dan Sunnah. Selain itu, masyarakat juga diberi penjelasan perihal keadilan dan manfaat dari hukum jinayah ini sehingga tidak menimbulkan salah
faham.
149
Pemberlakukan hukum jinayah di Brunei ini dikecam keras oleh berbagai kelompok pegiat hak asasi manusia internasional. Kelompok
pegiat HAM internasional menyebut tindakan Brunei sebagai suatu langkah mundur bagi hak asasi manusia. Meski mendapat kecaman, Sultan
Hassanal Bolkiah menyebut hukum terbaru tersebut sebagai prestasi besar untuk Brunei. Keputusan untuk menerapkan hukum syariah
untuk menaati perintah Allah seperti yang tertulis dalam al Qur‟an.
150
Sementara itu, Datin Hayati, Jaksa Agung Brunei Darussalam mengatakan, hukum syariah Brunei memiliki proses yang ketat dan
kompleks yang layak mendapatkan perhatian masyarakat luar. Jaksa Agung Brunei mencatat, hukum syariah memperhitungkan hak-hak korban atau
ahli waris korban termasuk anggota keluarga. Di pengadilan syariah, sebelum hukuman dilaksanakan, ahli waris korban bisa memaafkan atau
meminta kompensasi diyat. Pengadilan atau pemerintah tidak bisa campur tangan dalam urusan ini. Begitu pula, salah satu perbedaan antara
hukum syariah dan hukum pidana adalah kesaksian saksi dalam
h}udud
dan qisas harus adil dan tidak dapat bertentangan satu sama lain.
151
Pelaksanaan hukum jinayah di Brunei dilaksanakan secara bertahap. Dimulai pelaksanaan
ta‘zir
pada April 2014, disusul pelaksanaan
h}udud
dan
qis}as}.
Hukuman ta‟zir yang pertama kali dilaksanakan adalah hukuman denda. Pada tahap berikutnya, akan diberlakukan hukuman
cambuk dan potong tangan. Tahapan terakhir adalah pelaksanaan hukuman mati.
152 149
http:unikversiti.blogspot.com201310demonstrasi-contoh-pelaksanaan- hukum.html
150
Kompas.com. ‚Brunei Resmi Berlakukan Hukum Syariah Islam, Kamis, 1 Mei 2014 diakses 5 Mei 2014.
151
Kompas.com. ‚Brunei Resmi Berlakukan Hukum Syariah Islam, Kamis, 1 Mei 2014 diakses 5 Mei 2014.
152
Sayangnya, pada April 2014, pemberlakuan hukum jinayah di Brunei ditunda. Lihat http:www.freemalaysiatoday.comcategorynation20140422brunei-delays-introduc-
tion-of-hudud diakses 5 Mei 2014.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak Brunei untuk menunda penerapan syariah Islam sehingga mereka bisa meninjau hukum tersebut
untuk memastikan apakah memenuhi standar hak asasi manusia internasional. Di bawah hukum internasional, merajam orang sampai mati
merupakan penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan orang atau hukuman lain dan dengan demikian jelas
dilarang. Menurut juru bicara Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Rupert Colville, hukum pidana Brunei ini dapat
mendorong kekerasan lebih lanjut dan diskriminasi terhadap perempuan karena stereotip yang tertanam.
153
Tahapan pelaksanaan hukum jinayah di Brunei ditanggapi oleh Malaysia. PAS dan UMNO merespon pemberlakukan hukum jinayah di
Brunei. PAS mendukung pemberlakukan hukum jinayah di Brunei, sedangkan UMNO mengingatkan agar masyarakat diberikan edukasi
terlebih dulu untuk memberlakukan hukum jinayah di Brunei.
154
Berdasarkan pembahasan di atas, hukum jinayah diberlakukan di sejumlah Negara Muslim. Arab Saudi, Iran, Nigeria, Pakistan, dan Sudan
telah memberlakukan
h}udud, qis}as},
dan
ta‘zir.
Pemberlakuan hukum jinayah di sejumlah Negara Muslim ini dipengaruhi oleh konteks politik
yang terjadi di negara, terutama kebijakan politik yang dibuat oleh penguasa.
Kompas.com. ‚Brunei Resmi Berlakukan Hukum Syariah Islam, Kamis, 1 Mei 2014, http:internasional.kompas.comread201405011552023Brunei.Resmi.Berlakukan.Hukum.
Syariah.Islam, diakses 5 Mei 2014.
154
‚Hard to Implement Hudud Like Brunei, Say Groups‛ dalam The Star Online, 9 Nopember
2013, http:www.thestar.com.myNewsNation20131109Hudud-Law-
Malaysia.aspx diakses 5 Mei 2014.
Pemberlakuan hukum jinayah sesungguhnya telah berakar lama. Semenjak zaman kerajaan-kerajaan Islam, kawasan-kawasan penting, yang
sekarang ini disebut Indonesia, Malaysia, dan Filiphina terdapat undang- undang yang mengatur tentang hukum jinayah, seperti pencurian, zina,
qadhaf, perampokan, riddah, khamar, dan pembunuhan. Dalam perkembangan selanjutnya faktor sejarah, kondisi sosio-budaya dan politik
telah mempengaruhi pemberlakuan hukum jinayah di masa kolonial dan paska merdeka.
A.
Sejarah Aceh dan Kelantan
Aceh terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan Nusantara. Aceh menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas
perniagaan dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak berabad-abad lampau. Banyak saudagar dari berbagai tempat di Asia
Tenggara dan Asia Barat Daya datang dan menetap di daerah-daerah
pantai Aceh. Aceh merupakan daerah yang disebut ”Suvarnabhumi” tanah emas di mana para pedagang Hindu datang berlayar dalam jumlah
yang besar. Karena kedudukan geografisnya, Aceh berperan dalam pelayaran antara India, Arab, dan Eropa di satu pihak, Kamboja dan Cina
di pihak lain.
1
Aceh kemudian sering disebut sebagai tempat persinggahan para pedagang Cina, Eropa, India dan Arab, sehingga menjadikan daerah Aceh
pertama masuknya budaya dan agama di Nusantara. Pada abad ke-7 para pedagang India memperkenalkan agama Hindu dan Budha di Aceh. Peran
1
Osman Raliby, ‚Aceh, Sejarah dan Kebudayaannya‛ dalam Ismail Suny ed., Bunga Rampai tentang Aceh Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1974, 27-28.
Aceh kemudian semakin menonjol sejalan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di daerah ini, yang diperkenalkan oleh
pedagang Gujarat dari jajaran Arab menjelang abad ke-9.
2
C. Snouck Hurgronje menyebut di zaman Islam, orang Aceh banyak sekali terjadi
hubungan dengan penduduk India. Itu sebabnya, Hurgronje menyimpulkan
bahwa Aceh
memeluk agama
Islam karena
memperolehnya dari India.
3
Seiring dengan pesatnya perkembangan Islam di Aceh, berdirilah kerajaan-kerajaan Islam, seperti kerajaan Perlak, kerajaan Samudera Pasai,
kerajaan Beunuakerajaan TeumienTamiang, kerajaan Lingga, kerajaan Pidier, dan kerajaan Aceh Darussalam. Menurut A. Hasjmy, kerajaan
Islam yang tertua di Aceh adalah Kerajaan Islam Perlak yang berkuasa pada 840-1291.
4
Kesimpulan ini diperkuat Muliadi Kardi yang menyatakan Kerajaan Perlak di Aceh Timur pada 800 menyambut baik kapal saudagar
Islam dari Teluk Kambey Gujarat yang diketuai Nahkoda Khalifah. Dalam waktu yang tidak begitu lama, ajaran Islam berkembang di Perlak.
5
Jajat Burhanudin membantah kesimpulan Hasjmy dan Kardi. Burhanudin menyatakan bahwa kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaan Islam
pertama di Aceh. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti yang tertera pada nisan Malik al-Shaleh, raja Muslim pertama Samudera Pasai, yang
berangka tahun 1297 dan cerita yang terdapat dalam Hikayat Raja-raja Pasai.
6
Dari aspek penamaan, asal muasal Aceh dalam beberapa catatan berbeda-beda. Barros, orang Portugis, menulis Aceh dengan ejaan Achem,
Achin, dan Atchin. Dalam naskah Cina Tong-hsi-yang-kao 1618 dan Shun-Feng-Hsiang-Song abad ke-17 Aceh disebut dengan A-tsi. Adapun
nama Aceh mulai dikenal luas pada abad ke-19 setelah Snouck Hurgronje
2
http:acehprov.go.id diakses pada 17 Oktokber 2013
3
C. Snouck Hurgronje, Aceh: Rakyat dan Adat Istadatnya, penerjemah Sutan
Maimoen Jakarta: INIS, 1996, 15-16.
4
A. Hasjmy menyebutkan kerajaan Islamyang tertua di Aceh adalah kerajaan Peurelak 840-1291, disusul kerajaan Samudera Pasai 1042-1427, kerajaan Beunuakerajaan
TeumienTamiang 1184-1398, kerajaan Lingga, kerajaan Pidier, dan kerajaan Aceh Darussalam 1511-1903. Lihat A. Hasjmy,
Kebudayaan Aceh dalam Sejarah Jakarta: Penerbit Benual, 1983.
5
Muliadi Kurdi, Aceh di Mata Sejarahwan,Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya
Banda Aceh: LKAS dan Pemerintah Aceh, 2009, 69.
6
Jajat Burhanudin, Ulama Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah
Indonesia, Bandung: Mizan 2012, 4.
menulis buku “De Acehers”.
7
Nama lain Aceh juga dapat ditemukan dari nama lain dari Qanun Meukuta Alam, yaitu al-Asyi, yang berarti Aceh.
8
Asal muasal Aceh sebagai sebuah kerajaan Islam 1511-1903 sejarahnya juga berbeda-beda. Anthony Reid dan Azyumardi Azra menulis
bahwa Aceh lahir karena dorongan untuk melakukan perlawanan terhadap Portugis yang telah bermarkas di Pidie 1521 dan Pasai 1524.
Kesultanan Aceh yang awalnya bukan merupakan kerajaan penting di bagian paling barat laut Sumatera, di bawah kekuasaan Sultan Ali al-
Mughayat Syah 1514-1530 berhasil mempersatukan berbagai kerajaan kecil yang terbelah secara tajam di kawasan utara Sumatera menjelang
abad ke-16 untuk mengusir Portugis yang telah menguasai kedua wilayah tersebut.
9
Anas Machmud berpendapat kesultanan Aceh berdiri pada abad ke-15 sebagai kelanjutan dari negeri Lamuri. Versi lain menyebut
PoliLamiriLambriLanwuli. Letak Kerajaan Lamiri berada di Aceh Besar yang telah memiliki struktur pemerintahan yang tertata rapi dengan
kekuatan militer yang cukup lengkap. Muzaffar Syah membangun kota Darussalam dan mengalami kemajuan di bidang perdagangan karena
saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan ke Aceh setelah Malaka dikuasai Aceh.
10
Dalam versi yang berbeda H.J. de Graaf mengatakan Kesultanan Aceh merupakan
penyatuan dua kerajaan kecil, Lamuri dan Aceh Darul Kamal yang dilakukan Ali Mughayat Syah 1514-1530.
11
Asal muasal Kesultanan Aceh juga dapat dilacak dalam Hikayat Aceh. Aceh Darussalam merupakan hasil pembauran dua pemukiman raja
Meukuta Alam dan Darul Kamal yang dipisahkan oleh sungai yang bergabung karena proses perkawinan politik antar kedua anak raja, yaitu
7
Muliadi Kurdi, ‚Aceh di Mata Sejarahwan …‛, 7.
8
Lihat Mohd. Kalam Daud dan T.A. Sakti, ‚Pengantar Penyalin Kembali dan Pengalih Aksara‛ dalam Qanun Meukuta Alama dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Mulek
dan Komentarnya, ed. Darni M. Daud, penerjemah Mohd. Kalam Daud dan T.A. Sakti, Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010, xi. Lihat juga A. Hasjmy,
Iskandar Muda Meukuta Alam Jakarta: Bulan Bintang, 1975, 70.
9
Anthony Reid, The Contest for North Sumatera; Atjeh, he Neherlands and Brittain
1858-1898 Kuala Lumpur: University of Malaysia Press, 1969, 2. Azyumardi Azra,‛Implementasi Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam:Perspektif Sosio-Historis‛
dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi dan
Implementasi Jakarta: Logos, 2003, xix-xx.
10
Asal muasal Kesultanan Aceh telah dipetakan oleh Badri Yatim dan Septi Satriani dalam kerangka yang berbeda. Lihat Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islam Jakarta: Raja Grafindo, 1999, 208. Septi Satriani, ‚Dinamika Sejarah Gampong dan Kampung di Aceh‛
dalam Irine Hiraswasi Gayatri ed., Runtuhnya Gampong di Aceh: Studi Masyarakat Desa
yang Bergejolak Jakarta: P2P-LIPI-Pustaka Pelajar, 2008 48-50.
11
Badri Yatim, ‚Sejarah Peradaban Islam …‛, 208.
Ali Mughayat Syah Kerajaan Meukuta Alam dengan putri Kerajaan Darul Kamal.
12
Sepanjang perjalanan Kesultanan Aceh, sejarah mencatat bahwa abad ke-17 merupakan periode Kesultanan Aceh telah mencapai masa
keemasan. Kemajuan di segala aspek kehidupan masyarakat dan negara telah mampu diwujudkan.
13
Di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda 1607-1637, Aceh mendominasi perdagangan di utara dan barat
Sumatera, Selat Malaka. Selain itu, Aceh melakukan kontrol atau paling tidak penguasaan atas bagian-bagian tertentu di Semenanjung Malaya,
yakni Pahang, Kedah, dan Perlis. Dengan bantuan penasehat-penasehat militer, senjata, dan amunisi dari Turki, Kesultanan Aceh mampu
melancarkan serangan yang beruntun atas benteng Portugis di Malaka.
14
Kesultanan Aceh menjadi kerajaan yang kuat selama berabad-abad dan memiliki pengaruh budaya dan tradisi Melayu yang tersebar dari Sumatera
hingga ke Semenanjung Malaya.
15
Dari aspek struktur sosial dan politik, di Kesultanan Aceh terbagi ke dalam tiga kelompok elit, yaitu sultan, uleebalang, dan ulama.
16
Sultan dan uleebalang merupakan dua pilar utama yang mendukung kehidupan
adat dan pemerintahan. Di lain pihak, ulama muncul sebagai pilar utama yang mendukung dan memperjuangkan keberadaan dan peranan agama.
Ketiga pilar ini saling berkaitan atau saling mempengaruhi secara harmonis. Sayangnya, Pemerintah Belanda selama empat puluh tahun
sebelum pecah Perang Dunia II telah merusak suasana harmonis antara ketiga kekuatan utama sosial-politik Aceh dan meninggalkan dampak yang
masih terasa hingga berpuluh tahun kemudian. Setelah Belanda menghapus kesultanan, uleebalang dan ulama menjadi pilar utama
masyarakat yang selalu dipertentangkan.
17
Pada periode kolonialisme, pemberontakan dan perlawanan telah menjadi cara hidup masyarakat Aceh sejak Belanda menyatakan perang
terhadap Kesultanan Aceh pada 1873. Pada 26 Maret 1873, pemerintah Kolonial Belanda menyatakan perang terhadap Aceh. Pernyataan ini
memulai periode peperangan dan perlawanan yang panjang. Pada 13
12
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636,
cetakan ketiga Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008, 62.
13
Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi Jakarta: Yayasan Obor, 2010, 171.
14
Azyumardi Azra, ‛Implementasi Syari’at Islam…‛‛, xx.
15
Harry Kawilarang, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki Banda Aceh:
Bandar Publishing, 2010, 16.
16
Erawadi, Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan
XIX Jakarta: Depag RI, 2009, 72.
17
Nazaruddin Sjamsuddin, Revolusi di Serambi Mekah: Perjuangan Kemerdekaan
dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949 Jakarta_UI Press, 1999, 1-2.
Oktokber 1880, pemerintah kolonial Belanda sempat mengumumkan berakhirnya
perang. Belanda
terpaksa jatuh
bangun demi
mempertahankan kendali atas daerah jajahan. Peperangan besar pun kembali berkobar pada 1883. Pada 1898, Mayor J.B. van Heutsz diangkat
menjadi Gubernur Aceh. Ia menerapkan kebijakan baru dengan mengkooptasi para uleebalang.
18
Pada 14 Januari 1903, setelah tiga dekade berperang, Sultan Aceh, Teungku M. Daudsyah mengirim surat kepada van Heutsz yang
menyatakan kesetiannya kepada pemerintah kolonial Belanda. Sayangnya, surat itu tidak memuaskan Belanda. Sultan Aceh pun ditangkap pada 1904
dan dibuang ke Jawa. Pada 1904, sebagian besar daerah Aceh telah berhasil dikuasai Belanda, namun perlawanan bergerilya dalam lingkup
terbatas masih berlanjut hingga 1910. Aceh pun tak sepenuhnya ditundukkan Belanda.
19
Pada 1939, sejumlah pemuka agama di bawah kepemimpinan Muhammad Daud Beureueh mendirikan Persatuan Ulama Seluruh Aceh
PUSA. Awalnya, PUSA bertujuan memajukan dan melindungi agama Islam. PUSA kemudian semakin berkembang menjadi gerakan anti-
Belanda dan sasaran pertama dari aksi perlawanan mereka adalah kalangan uleebalang. PUSA juga berupaya menjalin aliansi dengan Jepang. Kuatnya
sentimen anti Belanda mendorong para pemuka agama di Aceh menjalin aliansi dengan Jepang jauh sebelum Jepang menginvansi Indonesia.
20
Pada 1941, Fujiwara Kikan F-Kikan membangun kontak dengan PUSA. F-Kikan bersama PUSA berhasil merebut Banda Aceh dari
Belanda pada 11 Maret 1942. PUSA tidak hanya ingin mengusir Belanda, tapi juga termotivasi untuk menggeser kekuasaan uleebalang. Karena
munculnya berbagai kerusuhan dan tidak berpengalamannya para ulama dalam pemerintahan, akhirnya Jepang menerapkan kembali kebijakan
Belanda, yaitu memerintah melalui uleebalang. Beberapa bulan setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, kalangan ulama
menyerang kelompok uleebalang. Peristiwa ini sering disebut Revolusi Sosial Aceh. Para ulama pun mengambil alih posisi uleebalang.
21
Sementara di wilayah lain, Kelantan merupakan salah satu negara bagian di wilayah Perseketuan Kerajaan Malaysia yang terletak di sebelah
18
Stanley Adi Prasetyo dan Teresa Birks, ‚Latar Belakang Situasi Politik di Aceh‛ dalam Olle Tornquist, dkk., eds.,
Aceh: Peran Demokrasi bagi Perdamaian dan Rekonstruksi Yogyakarta: PCD Press, 2011, 78-79.
19
Stanley Adi Prasetyo dan Teresa Birks, ‚Latar Belakang Situasi Politik…‛, 77-78.
20
Stanley Adi Prasetyo dan Teresa Birks, ‚Latar Belakang Situasi Politik…‛, 75.
21
Stanley Adi Prasetyo dan Teresa Birks, ‚Latar Belakang Situasi Politik…‛, 75.
timur Semenanjung Melaka Malaysia Barat. Di sebelah utara, Kelantan berbatasan langsung dengan Negara Thailand. Di sebelah barat berbatasan
dengan Perak, di sebelah timur berbatasan dengan Trengganu dan di sebelah tenggara berbatasan dengan Pahang. Luas Kelantan adalah 14.929
kilometer persegi dan 75 persen masih merupakan hutan belantara.
22
Sejarah awal Kelantan dapat ditelusuri dengan dihuninya berbagai macam penduduk yang berbeda-beda di era prasejarah. Kelantan pada
awalnya dipercaya memiliki hubungan dengan Kerajaan Funan, kekuasaan Khmer, Kerajaan Sriwijaya, dan juga Siam.
23
Kelantan juga merupakan subjek Kerajaan Sriwijaya Buddha dan kemudian terpengaruh Kerajaan
Majapahit Hindu-Jawa pada abad ke-14.
24
Penamaan Kelantan menurut beberapa ahli diawali dari peristiwa munculnya pada suatu malam pancaran sinar yang amat terang dari arah
Bukit Panau sekarang terletak di wilayah Tanah Merah, Kelantan. Cahaya terang ini menerangi seluruh Negeri Kelantan, sehingga sang Raja yang
berkuasa ketika itu merubah nama Medang Bhumi menjadi Medang Kilatan Saji. Orang-orang Cham dari Champa sampai sekarang menyebut
Kelantan dengan Kelan Jengeh cahaya yang terang benderang. Dari nama Kilatan Saji inilah kemudian muncul nama Kelantan. Nama lain
yang pernah muncul dala
m catatan sejarah Kelantan adalah “Medang Kamulan”, suatu negeri tempat lahirnya cerita-cerita kuno wayang kulit
dan dikenal sebagai tempat munculnya kesenian wayang kulit di Tanah Melaka. Kelantan juga disebut “Kelantana” dan kadang-kadang disebut
Tanah K ala. Kelantan disebut dengan “Raktamrittiku, yang berarti Negeri
Tanah Merah. Adapun dalam catatan sejarah Cina, Kelantan disebut dengan Ho-Lo-Tan dan dalam catatan yang ditulis A. Haynes, salah
seorang penasehat Kerajaan Inggris, Kelantan disebut “Gelam Hutan”.
25
Sejarah awal Kelantan dapat ditelusuri dalam Hikayat Seri Kelantan yang bermula dari kisah Cik Siti sebagai raja yang pertama kali memerintah
Kelantan. Menurut Ringkasan Cetera Kelantan, Cik Siti adalah gelar dari Cik Wan Kembang, cicit Sultan Mahmud Melaka 1488
–1511, yang memerintah Kelantan selepas meninggalnya Raja Hussein, pemerintah
22
Mohd. Said bin Mohd. Ishak, ‚Hudud dalam Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan Suatu Perbandingan dengan Fikih Islam‛, Disertasi Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007, 42. Lihat pula Saad Shukri Haji Muda, Detik-detik Sejarah Kelantan Kota Bharu: Pustaka Aman Press, Sdn. Bhd, 1971, 86.
23
Khoridatul Annisa, Malaysia Macan Asia Yogyakarta: Garasi, 2009, 60.
24
Richard Winstedt, The Malay Magician Singapore: Oxford University Press,
1982, 1.
25
Lihat Mohd. Said bin Mohd. Ishak, ‚Hudud dalam Kanun Jenayah Syariah …‛, 46.
Kelantan yang berasal dari Johor. Sejarah Kelantan seperti yang terdapat dalam Ringkasan Cetera Kelantan, bermula dari Sultan Mansyur Shah yang
dikalahkan Sultan Mahmud Melaka.
26
Sejak 1499, Kelantan menjadi negara yang tunduk di bawah Kesultanan Melaka setelah Sultan Mahmud Syah 1488
–1511 mengirimkan angkatan perangnya untuk menaklukan Kelantan. Dengan
runtuhnya Melaka pada 1511, Kelantan terpecah-pecah dan dikuasai oleh para kepala suku yang tamak dan picik yang membayar upeti kepada
Pattani. Pada 1603, kebanyakan para kepala suku di Kelantan tunduk pada Pattani.
27
Kerajaan pusat di Pattani membagi Kelantan kepada empat wilayah, yaitu Kelantan Timur, Kelantan Barat, Legeh dan Ulu Kelantan.
Sekitar tahun 1760, seorang kepala suku dari Kubang Labu di Kelantan berhasil menyatukan wilayah-wilayah yang sekarang ini menjadi Kelantan.
Segera setelah itu, pada 1764, Long Yunos ditunjuk seb agai „penghulu‟
Kota Bharu, sedangkan adik laki-lakinya, Nik Muhammadiah berkuasa sebagai Sultan Muhammadiah I di Legeh, Ayer Lanas. Nik Muhammadiah
atau Sultan Muhammadiah I secara resmi dianggap sebagai Sultan Kelantan yang pertama.
28
Pada 1812, Long Senik, anak adopsi Mohammad I, didampingi para penguasa Thai ditunjuk sebagai Sultan Mohammad II. Penguasa ini
lepas dari pengaruh Trengganu dan lebih tunduk pada kekuasaan Thai. Pada 1820-an, Kelantan merupakan salah satu negara yang paling terkenal
dan sekaligus paling makmur di kawasan Semenanjung Malaya. Negara ini berhasil mencegah terjadinya perang dan kerusuhan yang mewabah di
negara-negara yang terletak di kawasan selatan dan barat Semenanjung Malaya. Kekuasaan Thai terus memainkan perannya untuk memanipulasi
Kelantan hingga memasuki abad ke-19. Di bawah Anglo-Siamese Treaty 1909, kekuasaan Thai dipreteli dari Kelantan, Terengganu, Kedah, dan
Perlis. Negara-negara tersebut diserahkan kepada Inggris. Kelantan pun menjadi salah satu dari negara-negara Melayu yang belum terfederasikan
dengan Inggris sebagai penasihatnya.
29
26
Lihat Hikayat Seri Kelantan, edisi terjemahan Mohd. Taib Osman. Ia memberi catatan pendahuluan dalam transliterasi Hikayat Seri Kelantan, dalam Hikayat Seri Kelantan
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2004, xix.
27
Shellebear, Sejarah Melayu Sungapura: Malaya Publishing House Limited,1981,152.
28
Khoridatul Annisa, ‚Malaysia Macan Asia …‛, 60.
29
Khoridatul Annisa, ‚Malaysia Macan Asia …‛, 61.
Kelantan adalah tempat pertama di Malaya yang diduduki Jepang yang melakukan penyerangan pada 8 Desember1941.
30
Selama pendudukan Jepang. Kelantan lagi-lagi berada di bawah kendali Siam,
tetapi setelah Jepang kalah pada Agustus 1945 Kelantan kembali ke tangan Inggris. Kelantan menjadi bagian dari federasi Malaya pada 1 Februari
1948 dan bersama negara-negara bagian lainnya mendapatkan kemerdekaannya pada 31 Agustus 1957.
31
Sebagaimana Kedah, wilayah Kelantan didominasi oleh sektor agraris dengan sawah-sawah yang ditanami padi yang subur. Di kampung-
kampung banyak penduduknya mencari ikan terutama yang tinggal di garis-garis pantai. Selama berabad-abad, Kelantan dipisahkan dari negara-
negara lainnya oleh Pegunungan Titiwangsa, sebuah pegunungan yang membujur dari utara keselatan di Semenanjung Malaya. Jalan mudah
menuju Kelantan adalah dengan berlayar mengitari semenanjung, melawan gelombang laut, dan bajak laut. Karena alasan inilah, sejarah Kelantan
sering melibatkan lautan dan perahu-perahu atau kapal. Kebanyakan masyarakat Kelantan masih terikat dengan laut, pada awal 1980-an. Jalan
utama dibangun untuk menghubungkan negara-negara bagian yang berdekatan. Sekarang, orang dapat menyeberang melalui jalan dari kota
Kuala Lumpur ke Kota Bharu melalui bujuran gunung dengan waktu tempuh sekitar 5 jam.
32