Respon Masyarakat terhadap Pemberlakuan Hukum Jinayah di
dalamnya. Setelah ditolak oleh Gubernur, para ulama masih berharap yang ditolak dikeluarkan dulu dan diterapkan yang sudah diterima oleh
Gubernur. Bagi ulama, hukum jinayah tidak harus semuanya diberlakukan terlebih dulu, tapi dilakukan secara bertahap.
122
Di luar kelompok elit yang berasal dari cendekiwan kampus, terdapat pula suara-suara dari organisasi massa Islam yang berpengaruh di
Aceh, seperti dayah pesantren, Himpunan Ulama Dayah Aceh HUDA, Majelis Ulama Nanggore Aceh Darussalam MUNA, Nahdlatul Ulama,
dan Muhammadiyah yang memiliki kecenderungan untuk memberlakukan hukum jinayah secara bertahap. Pada kondisi sekarang, tampak mayoritas
masyarakat Aceh menginginkan pemberlakuan hukum jinayah secara bertahap. Tentu saja strategi ini dirancang untuk mencapai cita-cita ideal
memberlakukan
qis}as}, h}udud qisas,
dan
ta‘zir
di Aceh. Teungku Faisal Ali, Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh
HUDA yang juga menjabat sebagai Ketua PWNU Aceh menjelaskan bahwa dayahpesantren di Aceh menginginkan pemberlakuan hukum
jinayah secara bertahap, bukan stagnan seperti yang sekarang ini berjalan. Pengesahan Rancangan Qanun Jinayah yang memasukkan pasal rajam
pada tahun 2009 sesungguhnya tidak mencerminkan keinginan masyarakat Aceh. Inilah yang mengakibatkan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh
selama satu dekade ini berjalan di tempat.
123
Setelah Zaini Abdullah terpilih menjadi Gubernur Aceh, ia mengunjungi Abu Panton, ulama
kharismatik, Ketua HUDA di Aceh dan diberi nasehat untuk memberlakukan hukum jinayah secara bertahap agar tidak berjalan
stagnan.
124
Demikian ini pula yang dinyatakan Ketua Majelis Ulama Nanggroe Aceh MUNA Kota Banda Aceh, Teungku Abdul Aziz, bahwa
pemberlakuan syariat Islam, seperti hukum jinayah tidak dapat dilakukan langsung keseluruhannya. Pemberlakuan hukum jinayah dilakukan secara
bertahap karena masyarakat Islam perlu diberikan pemahaman tentang syariat Islam secara memadai.
125
Suardi Saidi, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Aceh pun menegaskan bahwa syariat Islam secara komprehensif mesti diberlakukan
di Aceh, tetapi tidak dapat dilaksanakan sekaligus. Strateginya dilakukan
122
Wawancara dengan Muslim Ibrahim, Ketua Umum MPU NAD, tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh.
123
Wawancara dengan Teungku Faisal Ali, Sekjen HUDA dan Ketua PWNU Aceh pada 15 Nopember 2012 di Banda Aceh.
124
Wawancara dengan Teungku Faisal Ali, Sekjen HUDA dan Ketua PWNU Aceh pada 15 Nopember 2012 di Banda Aceh.
125
Wawancara dengan Teungku Abdul Aziz di Banda Aceh pada 22 Nopember 2012
secara bertahap, karena jika diberlakukan sekaligus, pemerintah dan masyarakat tidak siap dengan totalitas syariat Islam. Pemberlakuan syariat
Islam secara total adalah cita-cita ideal masyarakat Muslim Aceh, tetapi sekarang ini dilaksanakan secara bertahap. Ia menegaskan bahwa qanun-
qanun yang sekarang ada, tidak lah cukup menjangkau syariat Islam secara komprehensif, karena bagian inti dari syariat Islam, yaitu hukum jinayah
belum diberlakukan. Ia berpendirian, penerapan syariat Islam dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan kesiapan masyarakat Aceh.
126
Di Kelantan berbeda cara pandangnya dengan Aceh. Pemerintah Negeri Kelantan yang sejak 1990 hingga 2013 dipimpin oleh Nik Abdul
Aziz Nik Mat, sejak awal memperjuangkan pemberlakuan hukum jinayah
h}udud
secara total dan segera di Kelantan. Dalam pandangannya,
h}udud
merupakan undang-undang Allah Swt yang wajib dilaksanakan sebagaimana
fard}u
melaksanakan shalat, puasa, dan zakat.
127
H}udud
bukan sekadar hukuman cambuk dan potong tangan yang dijatuhkan atas pelaku
jinayah terhadap kesalahan-kesalahan seperti mencuri, berzina dan minum arak saja, tetapi lebih luas lagi, yaitu mencakup semua batasan syariat yang
telah ditetapkan Allah Swt.
Mufti Kerajaan Negeri Kelantan . Dato‟ Mohamad Sukhri
berpandangan bahwa
h}udud
secara total di Kelantan dapat dilaksanakan, tetapi perlu menyelesaikan beberapa persoalan penting, terutama
Konstitusi dan Akta Mahkamah Syariyyah 1985 yang memberi kewenangan Mahkamah Syar‟iyyah untuk menjatuhkan hukuman 3 tahun
penjara, RM 5.000,00 dan 6 kali cambuk. Padahal, hukuman yang terdapat dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 berbeda dengan
kewenangan Mahkamah Syar‟iyyah. Ini berarti perlu mengamandemen Konstitusi dan Akta Mahkamah Syar‟iyyah 1985. Sayangnya, untuk
mengamandemen Perlembagaan dan Akta Mahkamah Syar‟iyyah diperlukan 23 kursi parlemen. Jika seluruh anggota parlemen bersatu
untuk mengamandemen Perlembagaan dan Akta Mahkamah Syar‟iyyah tidak akan cukup kursi karena harus melibatkan Non-Muslim di parlemen.
Inilah tantangannya dalam melaksanakan
h}udud
di Kelantan.
128
Tantangan berikutnya adalah Pemerintah Negeri Kelantan perlu menata kelembagaan yang melaksanakan
h}udud
karena polisi dan penjara menjadi kewenangan Pemerintahan Federal, sehingga polisi tidak akan
126
Wawancara dengan Suardi Saidi, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Aceh pada 16 Nopember 2012 di Banda Aceh
127
Tuan Guru Haji Nik Abdul Aziz Nik Mat, ‚Tekad Bersama Melaksanakan Hududullah‛ dalam Hukum Hudud: Tuntutan Umat dan Tanggungjawab Pemimpin Islam,
Sampena 60 Tahun PAS, 1 Oktokber 2011.
128
Wawancara denga Dato’ Sukri pada 18 Oktokber 2011 di Kota Bharu
bisa menangkap pelaku kejahatan
h}udud
dan dituntut ke Mahkamah Syar‟iyyah serta dimasukkan ke penjara karena kewenangan kepolisian dan
penjara berada di Pemerintahan Federal.
129
Menurut Ketua Hakim Syar‟i, Dato‟ Daud bin Muhammad, sudah sepatutnya Pemerintah Negeri Kelantan melaksanakan
h}udud
secara total karena Enakmen Jenayah Syariah II 1993 telah disahkan oleh Dewan
Undangan Negeri Kelantan dan mendapatkan persetujuan dari Sultan Kelantan. Bukan hanya itu, masyarakat Kelantan juga telah menerima
hukum
h}udud.
Sayangnya, Pemerintah Negeri Kelantan tidak serius untuk melaksanakan
h}udud
karena yang dilaksanakan hanyalah pewacanaan
h}udud
dalam Hari Hududullah saja.
130
Ormas yang dibentuk PAS, Dewan Himpunan Penyokong PAS yang dulunya bernama Kelab Penyokong PAS setelah bergerak selama
enam tahun justru menolak pemberlakuan
h}udud
di Kelantan. Ketua Dewan Himpunan Penyokong PAS, Hu Pang Chow mengancam akan
keluar dari PAS secara beramai-ramai seandainya pimpinan PAS tidak mau mengalah dan ngotot memperjuangkan
h}udud
. Sejatinya, ia menginginkan pimpinan PAS memberi perhatian kepada masalah lain sebelum
memikirkan untuk melaksanakan
h}udud.
Di beberapa negara bagian di Malaysia yang telah dikunjunginya, Non-Muslim menolak pelaksanaan
h}udud
. Menurutnya, Pemerintah PAS di Kelantan sebaiknya mencontoh Pulau Pinang yang berhasil menurunkan indeks kejahatan pidana hingga
36 persen setelah mengambil alih pemerintahan negeri dari Barisan Nasional. Itulah yang pimpinan PAS perlu lakukan, bukan tergesa-gesa
melaksanakan
h}udud
yang masih banyak orang tidak paham. Pimpinan PAS terlebih dahulu memperbaiki kehidupan ekonomi masyarakat dengan
meningkatkan peluang kerja.
131
Ironisnya, pandangan Hu Pang Chow justru dibantah wakilnya dari etnik India, N Balasubramaniam yang menyatakan tidak takut
pelaksanaan
h}udud
karena hukumannya untuk orang-orang yang berbuat salah yang beragama Islam, bukan untuk Non-Muslim. Menurutnya,
Kelantan patut diberi peluang untuk melaksanakan
h}udud
. Jika sudah berhasil, bisa diterapkan di negara bagian lainnya.
132
Perbedaan yang nyata antara Aceh dan Kelantan dalam soal totalitas pemberlakuan hukum jinayah jelas sekali. Di Aceh, pemberlakuan
129
Wawancara denga Mufti Kelantan, Dato’ Mohamad Sukhri pada 18 Oktokber 2011 di Kota Bharu
130
Wawancara dengan Ketua Hakim Syar’i Kelantan, Dato’ Daud bin Muhammad pada 20 Oktokber 2011 di Kota Bharu.
131
Sinar Harian, 10 Oktokber 2011
132
Sinar Harian, 10 Oktokber 2011
hukum jinayah memiliki tahapan-tahapan. Aspek-aspek kontroversial, seperti perbuatan zina yang dihukum rajam, pencurian yang dihukum
potong tangan, dan pembunuhan yang dihukum
qis}as}
tidak diinginkan untuk diberlakukan. Kecenderungan elit agama dan masyarakat
menghindar dari pengaturan hukuman controversial, seperti rajam, potong tangan, dan
qis}as}.
Ketiga hukuman inilah yang masih memerlukan pemahaman yang komprehensif dari masyarakat karena hukuman rajam,
potong tangan, dan
qis}as}
masih menjadi perdebatan serius di masyarakat Aceh.
Sebaliknya, gagasan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan tidak dilakukan secara bertahap. Totalitas pemberlakuan hukum jinayah di
Kelantan hampir tidak ditemukan perdebatan yang panjang. Masyarakat Muslim Kelantan telah memiliki kesadaran untuk memberlakukan hukum
jinayah secara total. Hukuman rajam, potong tangan, dan
qis}as
tidak menjadi perdebatan serius di masyarakat karena mereka telah siap
memberlakukan hukum jinayah secara total. Dalam kaitannya dengan pemberlakuan hukum jinayah, Non-
Muslim di Aceh dan Kelantan menduduki posisi yang dilematis. Jika mereka menolak syariat Islam, mereka adalah kelompok minoritas yang
tidak memiliki kekuatan politik yang kuat. Jika mereka menerima, mereka khawatir diperlakukan tidak adil oleh penguasa Muslim yang
memberlakukan syariat Islam. Posisi dilematis ini biasanya muncul dalam setiap pemberlakuan syariat Islam di wilayah yang mejemuk, seperti Aceh
dan Kelantan.
Penerapan syariat Islam di Aceh pada awalnya sempat menjadi kekhawatiran warga Non-Muslim. Di awal pelaksanaan syariat Islam di
Aceh, ada ketakutan dari kelompok Non-Muslim. Mereka khawatir akan diusir dari tanah Aceh, wajib berjilbab, akan dipotong tangan jika mencuri,
dipaksa masuk Islam, dan sebagainya.
133
Hal ini terungkap dalam surat dari Majelis Permusyawaratan Gereja MPG Aceh, 16 Januari 2002 yang
ditujukan kepada Gubernur Aceh, yang berisi agar pemerintah netral dan memperhatikan kaum minoritas, menghindari bentuk kekerasan dan
penjajahan penguasa atas nama agama.
134
133
Sjafrilsyah, ‚Persepsi dan Perilaku Masyaraka Non-Muslim terhadap Pelaksanaan Undang-undang Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam‛, dalam Syamsul Rijal, dkk.,
Dinamika dan Problematika Penerapan Syariat Islam Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2011, 148..
134
Abidin Nurdin, ‚Syariat Islam dan Kaum Minoritas‛ dalam Abidin Nurdin, Syariat Islam dan Isu-isu Kontemporer Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2011, 129-
130.
Kekhawatiran ini muncul karena belum jelasnya konsep pemberlakuan syariat Islam di masa-masa perumusan. Di awal-awal
perdebatan publik, masih terlintas lontaran pemikiran yang menghendaki pemberlakuan syariat Islam untuk seluruh penduduk Aceh, tak terkecuali
Non-Muslim.
135
Inilah kekhawatiran kelompok minoritas Non-Muslim di Aceh terhadap pemberlakuan syariat Islam.
Pada awalnya, sejumlah Non-Muslim merasakan pelaksanaan syariat Islam yang menegangkan. Mereka merasa tidak nyaman dengan
edaran wajib berbusana muslimah dan razia jilbab. Anak-anak yang bersekolah di sekolah umum merasa dikucilkan oleh teman-teman mereka
yang semua berbusana mulimah. Mereka juga merasa sulit untuk membaur dengan masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam.
136
Dalam perkembangannya, masyarakat Non-Muslim dapat menerima pemberlakuan hukum jinayah di Aceh karena qanun-qanun
syariat tidak dikenakan kepada mereka. Ketua Majelis Permusyawaratan Gereja Banda Aceh, Pdt. Sandino tidak merasakan sesuatu yang berat dari
pemberlakuan syariat Islam seperti hukum jinayah, karena syariat Islam diberlakukan untuk umat Islam.
137
Sementara Wakil Katolik Banda Aceh, Baron Pandiangan menyatakan, umat Katolik tidak mendapatkan masalah
dengan pemberlakuan syariat Islam.
138
Justru Suryasani Walubi Aceh merasa heran dengan perdebatan pemberlakuan syariat Islam di Aceh.
Sebagai warga Non-Muslim yang sejak lama tinggal di Aceh, dirinya merasa bebas menjalankan ibadatnya, termasuk cara berpakaian yang
leluasa tanpa ada paksanaan untuk mengenakan kerudung. Secara umum, warga Aceh justru bersikap toleran terhadap keberadaan non-Muslim.
139
Dalam komunitas etnis Cina di Aceh yang pada umumnya beragama Budha, Kristen, dan Konghuchu, ada yang menginginkan
penerapan syariat Islam kepada dirinya. Sebagai contoh, seorang warga Cina, Lusiana Liu alias Young Ma 47 tahun beragama Budha di
Kelurahan Keramat Dalam, Sigli, Pidie terbukti bersalah secara hukum karena menjual minuman keras jenis Wisky merk Globe Horse. Yong Ma
sebenarnya tidak dikenakan pelanggaran Qanun Nomor 12 Tahun 2003
135
Sjafrilsyah, ‚Persepsi dan Prilaku Masyaraka Non-Muslim…‛, 148.
136
Sjafrilsyah, ‚Persepsi dan Perilaku Masyarakat Non-Muslim…‛, 153-54.
137
Wawancara dengan Pdt Sandino, PGI Propinsi Aceh pada 18 Oktokber 2010 di Banda Aceh
138
Wawancara dengan Baron Pandiangan, KWI Propinsi Acehpada 18 Oktokber 2010 di Banda Aceh
139
Wawancara dengan Suryasani, Wakil Walubi Propinsi Aceh pada 18 Oktokber 2010 di Banda Aceh
Tentang Larangan Khamar karena ia tidak beragama Islam, tetapi ia memilih untuk diselesaikan di depan Mahkamah Syar‟iyyah.
140
Kasus lainnya terjadi pada Non-Muslim, yakni enam orang sopir truk melakukan perjudian di Banda Aceh, 2 orang beragama Islam dan 4
orang beragama non-Muslim. Setelah ditangkap polisi, 4 orang Non- Muslim memohon kepada aparat penegak hukum untuk disidangkan di
Mahkamah Syar‟iyyah, Hakim Mahkamah Syar‟iyyah menolak permohonan mereka dan melimpahkan perkara mereka di Pengadilan
Negeri Banda Aceh.
141
Di Kelantan, pluralitas masyarakatnya tidak sama dengan di Aceh. Di Kelantan, ada empat etnis besar, yaitu Melayu, Cina, India, dan Siam.
Keempat etnis ini memiliki afinitas agama yang berbeda-beda. Orang Melayu beragama Islam, orang Cina umumnya beragama Budha, orang
India beragama Hindu, dan orang Siam beragama Budha. Selain empat
etnis tersebut, ada penduduk asli, yang disebut “orang asal”. Mereka hidup di pedalaman.
Non-Muslim di Kelantan yang terdiri dari Cina, India, dan Siam memiliki pandangan bahwa syariat Islam adalah hukum Tuhan yang mesti
dilaksanakan oleh umat Islam. Tharuman, orang India yang bekerja di Urusetia Kerajaan Kelantan berpandangan bahwa syariat Islam tidak boleh
ditolak karena syariat Islam telah diturunkan oleh Tuhan. Dalam pandangannya, undang-undang Islam dan politik tak terpisahkan. Untuk
membendung kesalahan jinayah, Tuhanlah yang tahu, sedangkan Undang- undang buatan manusia tidak memberi pengaruh yang signifikan. Undang-
undang Hudud berfungsi untuk membendung kesalahan jinayah. Di dalam agama Hindu juga terdapat hukum yang sangat keras terhadap kesalahan
jinayah, yaitu dalam hukum Manudidi Sattem, seperti kesalahan membunuh dihukum dengan diinjak gajah. Sebagai orang Hindu, Tharuman sangat
setuju dengan pemberlakuan
h}udud
di Kelantan. Orang-orang semestinya tidak perlu takut dengan
h}udud
karena orang yang tidak bersalah, tak perlu takut dengan
h}udud
. Orang Hindu di Kelantan mendukung pemberlakuan
h}udud
di Kelantan. Dukungannya diwujudkan dengan melakukan
140
Kasus ini terjadi pada 7 Agustus 2008 ketika polisi bersama beberapa para saksi menemukan 15 Wisky di rumah Young Ma. Sebelumna Young Ma membeli minuman
memabukkan dengan cara memesan ke Medan sejumlah 24 botol, sebagian sudah dijual dan sisanya 15 botol yang ditemukan polisi. Kasus ini diproses dan diputuskan di Mahkamah
Syar’iyyah Syar’iyyah pada 10 Nopember 2008. Dengan hukuman penjara 4 bulan. Periksa
Putusan Mahkamah Syar’iyyah Sigli No. 02JN2008Msy.SGI. Lihat Abidin Nurdin, ‚Syariat Islam dan Kaum Minoritas…‛, 157.
141
Serambi Indoensia, 21 Juni 2011.
penerangan kepada orang Hindu tentang hukum
h}udud
dalam Islam.
142
Persatuan Keturunan India Kelantan memberi gelar kepada Nik Abdul Azis Nik Mat dengan gelar “Mahatma Kelantan”, suatu gelar yang diambil
dari Mahatma Gandhi karena jasanya kepada negeri yang tidak membeda- bedakan agama dan etnik. Masyarakat Hindu pun hingga kini tidak ada
yang menolak pemberian gelar ini.
143
Menurut Tharuman, sebelum 1980, orang Hindu di Kelantan susah melaksanakan ibadah. Mereka terpaksa berjalan hingga 20 km ke
Tumpat. Pada saat itu, permohonan untuk mendirikan kuil di Kelantan tidak dihiraukan oleh pemerintah Negara Bagian yang dipimpin Barisan
Nasional. Baru setelah Pemilu 1990 dan PAS menang, Nik Abdul Aziz Nik Mat sesuai dengan janji kampanyenya, mengizinkan pendirian kuil
untuk ibadah orang Hindu di Kota Bharu 2 tingkat.
144
Menurut Lim Guan Seng, orang Kelantan yang beragama Budha, syariat adalah ibadah kepada Tuhan, seperti shalat dan puasa di bulan
Ramadhan yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Menurutnya, orang Cina di Kelantan tidak takut dengan pemberlakuan
h}udud
karena
h}udud
adalah menghukum orang yang bersalah. Justru orang Cina takut dengan orang yang berbuat salah. Orang-orang Cina di Kelantan mendukung
pemberlakuan
h}udud
di Kelantan. Bentuk dukungannya dilakukan dalam bentuk memberi penjelasan kepada orang-orang Cina tentang
h}udud
.
145
Yang disayangkan Jeff Lee Chuang adalah partai politik yang mewadahi orang Cina, MCA seringkali menakut-nakuti orang Cina bahwa dengan
h}udud
akan banyak tangan dipotong. MCA menggunakan isu
h}udud
sebagai alat politik agar orang-orang Cina tidak mendukung PAS. Partai politik yang mewadahi orang Cina lainnya, DAP
146
berkoalisi dengan PAS dan setuju dengan pemberlakuan
h}udud
di Kelantan.
147
Selama 23 tahun dipimpin PAS, orang Cina merasakan bahwa pemerintah Nik Abdul Aziz Nik Mat tidak membeda-bedakan agama
minoritas. Non-Muslim diberi kebebasan untuk melaksanakan kebudayaan dan agamanya, seperti Perayaan Hari Raya Tahun Baru Cina, Perayaan
142
Orang Hindu di Kelantan yang berjumlah sekitar sepuluh ribu jiwa tidak semuanya mendukung
h}udud, tetapi mereka juga tidak menolak terang-terangan.
143
Wawancara dengan Tharuman, orang Hindu India di Kota Bharu, Kelantan pada 13 Oktokber 2011
144
Wawancara dengan Tharuman, orang Hindu India di Kota Bharu, Kelantan tanggal 13 Oktokber 2011
145
Wawancara dengan Lim Guan Seng, orang Cina-Budha di Kota Bharu, Kelantan tanggal 13 Oktokber 2011
146
DAP tidak memperoleh kursi DUN di Kelantan.
147
Wawancara dengan Jeff Lee Chuang, orang Cina-Budha di Kota Bharu, Kelantan tanggal 13 Oktokber 2011.
Tok Kong, Pesta Tangklung.Tempat ibadah Budha pun banyak berdiri di Kelantan.
Menurut Chew Pei Ha Budha, hukum
h}udud
dapat dilaksanakan di Kelantan hanya untuk orang Islam, bukan untuk Non-Muslim. Ia pun
menambahkan bahwa ada persoalan serius dalam melaksanakan
h}udud
di Kelantan menyangkut kasus pelanggaran
h}udud
yang melibatkan Non- Muslim. Sesuai janji Menteri Besar, Nik Abdul Aziz Nik Mat, Non-
Muslim yang terlibat dalam pelanggaran
h}udud
bersama Muslim tidak dapat dihukum dengan hukum
h}udud
. Inilah yang terlebih dahulu diselesaikan oleh Pemerintah Negeri Kelantan.
148
Kesamaan respon dari kalangan non-Muslim di Aceh dan Kelantan yang menerima pemberlakuan hukum jinayah sesungguhnya
dapat dilacak dari dua faktor, yaitu substansi hukum jinayah yang diberlakukan dan posisi mereka sebagai minoritas di tengah mayoritas
Muslim yang menguasai aspek sejarah, sosial, dan politik di Aceh dan Kelantan.
Matrik 5. Daftar Perbandingan Respon Masyarakat
dalam Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan
Respon Aceh
Kelantan
Respon Masyarakat
Muslim Masyarakat Muslim grassroot
kalangan bawah tidak banyak mendiskusikan
Raqanun Jinayah Aceh, sedangkan elit Muslim
ulama MPU, ulama dayah, dan akademisi mendorong
Raqanun Jinayah Aceh yang telah direvisi dibahas di
DPRA Masyarakat Muslim, baik grassroot
kalangan bawah maupun elit Muslim telah siap
memberlakukan hukum jinayah
Respon Masyarakat
Non-Muslim Masyarakat Non-Muslim
pada awalnya khawatir hukum jinayah diberlakukan
kepada mereka, tetapi setelah melihat
pelaksanaannya, mereka tidak lagi khawatir karena
ternyata tidak diberlakukan kepada mereka
Masyarakat Non-Muslim telah mengetahui bahwa hukum
jinayah tidak diberlakukan kepada mereka sehingga mereka
tidak menolak
148
Wawancara dengan Chew Pei Ha, orang beragama Buddha, pada 20 Oktokber 2011 di Kota Bharu.
Dari aspek substansi materi hukum jinayah jelas sekali bahwa mereka dapat menerima pemberlakuan hukum jinayah karena hukum yang
diberlakukan tidak dikenakan kepada mereka. Mereka tidak khawatir terhadap substansi materi hukum yang diberlakukan. Berbeda jika hukum
jinayah yang diberlakukan juga dikenakan kepada Non-Muslim, maka arus penolakan akan mudah tersebar. Dari aspek posisi mereka sebagai
minoritas, maka sesungguhnya mereka sedang memainkan posisi yang sulit untuk menolak pemberlakuan hukum jinayah. Tekanan yang lebih
besar dari kelompok mayoritas akan mudah dialamatkan kepada mereka, jika mereka lantang menyuarakan penolakan pemberlakuan hukum
jinayah. Jalan kompromi dan aman justru diperlihatkan masyarakat Non- Muslim di Aceh dan Kelantan dalam merespon pemberlakuan hukum
jinayah di Aceh dan Kelantan. E.
Mobilisasi Perjuangan Perluasan Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan
Perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan dilakukan dengan mobilisasi. Pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan
Kelantan dilakukan dengan memobilisasi struktur negara pemerintah dan legislatif karena kedua institusi inilah yang memiliki kewenangan
melegislasi
taqnin al-shari’ah al-islamiyah
.
149
Di luar lembaga negara ini, mobilisasi juga dilakukan terhadap kelompok-kelompok strategis, seperti
ulama, kaum intelektual Muslim, dayah, dan ormas Islam. Dengan mobilisasi sumberdaya yang begitu komprehensif inilah, kelompok-
kelompok masyarakat melakukan sejumlah gerakan dalam bentuk pressure group kelompok penekan.
Mobilisasi yang terjadi Aceh dan Kelantan tampak berbeda. Struktur utama yang dimobilisasi untuk memberlakukan hukum jinayah di
Aceh adalah Pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat Islam di tingkat propinsi. Dinas Syariat Islam lalu melibatkan ulama dari Majelis
Permusyawaratan Ulama MPU dan intelektual Islam kampus IAIN Ar- Raniry. Kepemimpinan Dinas Syariat Islam selalu dipegang intelektual
Islam dari dari IAIN Ar-Raniry, seperti Alyasa Abu Bakar, Rusydi Ali Muhammad, dan Syahrizal.
Pentingnya memobilisasi Dinas Syariat Islam karena institusi ini memiliki posisi yang sangat strategis. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal
149
Bandingkan dengan kelompok yang menolak pengundangan syariat Islam, seperti ‘Abd al-Rahman ibn Sa’ad ibn ‘Ali al-Shatary.Lihat ‘Abd al-Rahman ibn Sa’ad ibn ‘Ali al-
Shatary, Taqnin al-Shari’ah Bayna al-Tah}lil wa al-Tah}rim, Riyad}: Dar al-Fad}ilah, 2005, 15-
30.‘Abd al-Rahman ibn Sa’ad ibn ‘Ali al-Shatary, H}ukm Taqnin al- Shari’ah al-Islamiyyah
Riyad}: Dar al-S}ami’i li al-Nashr wa al-Tawzi’, 2007, 15-22.
4 Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Susunan Organsasi Dan Tata Kerja Dinas
Syariat Islam Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Dinas Syariat Islam mempunyai fungsi: 1 merencanakan, menyiapkan, dan menyebarluaskan
qanun Pelaksanaan Syariat Islam, 2 menyiapkandan membina sumber daya manusia dalam Pelaksanaan Syariat Islam; 3 melakukan bimbingan
dan pengawasan Pelaksanaan Syariat Islam, dan 4 melakukan bimbingan dan penyuluhan Syariat Islam. Ini berarti Dinas Syariat Islam memiliki
tugas yang menyeluruh mulai dari merencanakan, menyiapkan dan menyebarluaskan pelaksanaan syariat Islam.
Dalam posisi inilah, Dinas Syariat Islam berkolaborasi dengan ulama yang tergabung dalam MPU, ulama dayah, intelektual dari IAIN Ar-
Raniry dan Universitas Syiah Kuala Unsyiah untuk melakukan penyiapan pelaksanaan syariat Islam secara berkesinambungan. Sejumlah qanun,
seperti Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang
Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun
No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan
Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal yang menjadi bagian dari pelaksanaan hukum jinayah merupakan kolaborasi yang efektif antara
Dinas Syariat Islam dengan MPU, ulama dayah, intelektual dari IAIN Ar- Raniry dan Unsyiah. Tak kecuali upaya memperluas hukum jinayah yang
masuk dalam Rancangan Qanun Jinayah 2009 merupakan kolaborasi MPU, ulama dayah, intelektual dari IAIN Ar-Raniry dan Unsyiah.
Dalam penyiapan sejumlah qanun syariat di atas dilakukan dalam suasana politik baru. Eforia reformasi dan eforia perjanjian Helsinski 2005
telah menjadi momentum bersama untuk mempersatukan masyarakat Aceh. Inilah political opportunity yang terjadi di Aceh dalam kurun waktu
kurang lebih 10 tahun paska reformasi. Syariat Islam adalah solusi awalnya untuk memecah kebuntuan politik damai di Aceh.
Suasana kebebasan dan damai dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat Aceh untuk menyiapkan pelaksanaan syariat Islam. Jalan
mulus pelaksanaan syariat Islam sesungguhnya dilakukan dalam strategi bertahap menuju syariat Islam
kaffah
.
150
Sayangnya, sejak disahkan Rancangan Qanun Jinayah oleh DPRA pada akhir periode 2004-2009,
150
Wawancara dengan Rusydi Ali Muhammad, Kepala Dinas Syariat Islam, 14 Nopember 2012 di Banda Aceh.
yaitu 14 September 2009, terjadi kemandekan yang meyakinkan karena Gubernur Irwandi Yusuf menolak menandatangani.
Setelah Gubernur Irwandi Yusuf tidak menggubris desakan masyarakat untuk mengesahkan Rancangan Qanun Jinayah, gerakan
masyarakat cenderung melemah. Hampir tidak terjadi gejolak yang signifikan dalam perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh.
Masyarakat Aceh cenderung pasif dalam melakukan gerakan perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Selama Aceh dipimpin Irwandi,
pembahasan tentang Qanun jinayah vakum, meskipun di ruang publik masyarakat masih mengharapkan pemberlakuan hukum jinayah.
Pemerintah Aceh tidak mengambil inisiatif untuk kembali menyodorkan Rancangan Qanun Jinayah ke DPRA. Usaha-usaha penyiapan Rancangan
Qanun Jinayah baru dilaksanakan pada periode kepemimpinan Aceh dipegang Pejabat Gubernur Tarmizi A. Karim. Pj. Tarmizi A. Karim
membentuk tim yang terdiri Dinas Syariat Islam, Majelis Permusyawaran Ulama MPU,
Mahkamah Syar‟iyyah, Kepolisian, Kejaksanaan dan Akademisi IAIN Ar-Raniry dan Universitas Syah Kuala untuk
mempersiapkan Rancangan Qanun Jinayah yang baru. Hasil dari kerja tim ini, dihapuslah pasal yang kontroversi seperti hukum rajam bagi pelaku
zina.
151
Rancangan Qanun Jinayah yang baru ini kemudian diserahkan ke DPRA.
152
Perubahan kepemimpinan Aceh dari Irwandi Yusuf ke Zaini Abdullah yang diusung Partai Aceh sejatinya membawa angin segar bagi
gerakan pemberlakuan hukum jinayah. Zaini Abdullah dipandang memiliki orientasi yang kuat dalam pemberlakuan syariat Islam dibandingkan
Irwandi Yusuf. Meskipun demikian, di sebagian kalangan Gubernur Zaini Abdullah dipandang masih belum nampak arah politik pemberlakuan
hukum jinayah di Aceh. Gubernur Aceh sekarang ini, Zaini Abdullah dipandang lebih responsif dalam memberlakukan syariat Islam, meskipun
sering dipersepsikan memiliki karakter yang sama dengan Gubernur Aceh sebelumnya, Irwandi Yusuf, yang menolak pemberlakuan hukum rajam
dalam Qanun Jinayah. Indikasinya adalah Gubernur Zaini Abdullah mulai dekat dengan ulama. Dengan kata lain, keterlibatan Gubernur Zaini
Abdullah lebih intensif dalam kegiatan keislaman.
153 151
Wawancara dengan Rusydi Ali Muhammad, Kepala Dinas Syariat Islam, 14 Nopember 2012 di Banda Aceh.
152
Serambinews.com, 20 Oktober 2012 diakses 20 Pebruari 2013.
153
Wawancara dengan Suardi Saidi, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Aceh pada 16 Nopember 2012 di Banda Aceh.Wawancara dengan Rusydi Ali Muhammad, Kepala Dinas
Syariat Islam, 14 Nopember 2012 di Banda Aceh.Wawancara dengan Teungku Faisal Ali, Sekjen HUDA pada 15 Nopember 2012 di Banda Aceh.
Dalam konteks demikian, Pemerintah Aceh dan DPRA sebagai kelembagaan negara yang menyiapkan, membahas, dan mengesahkan
produk perundang-undangan di Aceh memiliki kontribusi dalam pembentukan arah politik pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Di awal
pemerintahan Gubernur Zaini Abdullah, mulai ada gerakan perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Misalnya, Dinas Syariah NAD
menggelar Musyawarah Besar Pelaksanaan Syariat Islam yang berlangsung pada 1 Nopember 2012 di Banda Aceh. Mubes merekomendasikan
pembahasan kembali Qanun Jinayah, yang melibatkan seluruh Dinas Syariat Islam tingkat KabupatenKota se-Aceh, akademisi, MPU, dan
dayah.
154
Mubes ini adalah bagian dari upaya perjuangan pemberlakuan Qanun Jinayah di Aceh setelah kevakuman dalam beberapa tahun.
Di Kelantan, gerakan pemberlakuan hukum jinayah sejatinya adalah gerakan struktural, yang didorong oleh Pemerintah Kelantan yang
dikuasai PAS. Integrasi yang sangat jelas antara PAS dengan Pemerintah Kelantan menjadikan gerakan struktural begitu efektif mendorong
kebijakan yang berorientasi syariah. Kebijakan syariat yang dikeluarkan Pemerintah Kelantan sejak 1990 adalah memindahkan rekening bank
Pemerintah Negeri Kelantan dari bank konvensional ke bank Islam, memberantas tempat-tempat maksiat dan perjudian, mengatur secara
ketata penjualan minuman keras, menertibkan tempat hiburan dan salon yang mengarah pada praktik seksual, melarang Makyong dan
Menora,
155
melarang wanita bekerja malam di pengusaha kilang dan melarang wanita mengikuti lomba qiroat al-
Qur‟an.
156
Dalam skala yang lebih sempit, pengesahan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan tanpa ada penolakan dari seluruh
kelembagaan politik di Kelantan. Hal ini menjadi bukti bahwa secara struktural, gerakan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan dimobilisasi
oleh kekuatan politik pemerintah dan partai penguasa. Kini, kelembagaan politik di Kelantan masih setuju dengan pemberlakuan
Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan. Pemerintah Kelantan, Dewan Undangan Negeri, Mahkamah Syariah, dan Mufti di Kelantan
sepakat untuk memperjuangkan pemberlakuan Enakmen Kanun Jenayah
154
Wawancara dengan Rusjdi Ali Muhammad pada 13 Nopember 2012 di Banda Aceh dan Wawancara dengan Kholil, peserta Mubes Syariat Islam pada 14 Nopember 2012 di
Banda Aceh.
155
Mazlan Jusoh dan Wan Nik Wan Yussof, ‚Kelantan 20 Tahun…‛, 36-41.
156
Mohd Sayuti Omar, Tuanku Ismail Petra Idealisme dan Keprihatinan Kepada
Agama, Bangsa, dan Negara, 106. Lihat pula Berita Harian 5 Desember 1990 yang menyebut Majelis Perbandaran Kota Bharu telah mengeluarkanarahan supaya menghentikan judi.
Syariah II 1993 Kelantan.
157
Tidak ada perbedaan pendapat tentang pemberlakuan hukum jinayah. Merekalah yang menyusun draft Enakmen
Kanun Jenayah Syariah II Kelantan 1993. Berkuasanya PAS di Kelantan yang begitu lama, yaitu pada periode
1959-1978
158
dan 1990
159
-sekarang menjadikan hegemoni politik PAS di Kelantan begitu kuat. Birokrasi dan legislatif sejak lama dikontrol oleh
PAS sehingga kekuatan politik lain sulit mengontrol Kelantan. Gerakan struktural yang mengandalkan kekuatan birokrasi pun begitu kukuh
mempertahankan perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan.
Secara struktural, Pemerintah Kelantan berencana mendirikan Komite Teknis Pelaksanaan
H}udud
untuk memastikan kelancaran pelaksanaan undang-undang
h}udud
. Exco Pembangunan Islam, Pendidikan dan Dakwah Negeri, Dato‟ Mohd. Amar Nik Abdullah
menyatakan bahwa komite ini bertugas mengkaji secara mendalam mengenai pelaksanaan
h}udud
dan mengambil langkah semestinya jika mendapatkan masalah. Komite ini juga bertugas mengkaji revisi terhadap
beberapa akta, seperti Akta Mahkamah Syariah 19651984.
160
Adapun di level masyarakat, terdapat gerakan masyarakat untuk memberlakukan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Kelompok
masyarakat yang memperjuangkan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan adalah aktivis dayah pesantren dan ormas Islam.
Kelompok-kelompok ini berjuang dalam skala yang terbatas sebagai kelompok penekan pressure group kepada Pemerintah Aceh dan DPRA.
Di Aceh, mobilisasi masyarakat setelah kepemimpinan Aceh bergeser
ke Zaini
Abdullah mengalami
eskalasinya dalam
memperjuangkan hukum jinayah. Tampaknya masyarakat menaruh harapan besar terhadap kepemimpinan Aceh yang dipegang Zaini
Abdullah yang berasal dari Partai Aceh karena pemberlakuan Rancangan Qanun Jinayah sangat tergantung pada Gubernur dan DPRA. Menjelang
Prolegda DPRA Januari 2013, sejumlah gerakan masyarakat mulai bermunculan untuk melakukan pressure kepada Gubernur dan DPRA agar
mensahkan Rancangan Qanun Jinayah. Sayangnya, gerakan pressure ini
157
Wawancara dengan Dato’ Sukri, Mufti Kerajaan Negeri Kelantan pada 18 Oktokber 2011, Wan Nik Wan Yussof, Setia Usaha Politik Pemerintah Negeri Kelantan pada
20 Oktokber 201, Ketua Hakim Syar’i Kelantan, Dato’ Daud bin Muhammad pada 20 Oktokber 201, Ahli DUN Kelantan Anggota DPRD Kelantan, Abdullah Yacoob, pada 19
Oktokber 2011 di Kota Bharu.
158
Rossem, 20 Tahun Menguak Gelombang Selangor: SAR Publication and
Distribution, 2011, 2.
159
Mohd. Sayuti Omar, Kelantan Selepas Pantang Kuala Lumpur: Tinta Merah,
1991, 16.
160
Sinar Harian, 10 Oktokber 2011
tidak melibatkan masyarakat secara luas dan organisasi Islam yang paling berpengaruh, seperti Himpunan Ulama Dayah Aceh HUDA yang
dipimpin ulama kharismatik Abu Panton, Majelis Ulama Nasional Aceh MUNA, Persatuan Tarbiyah Islam Perti, Muhammadiyah, Nahdlatul
Ulama, melainkan hanya dilakukan oleh organisasi Islam tak berpengaruh, seperti KAMMI, FPI, HTI, DDI, BKPRMI, dan TPM.
161
Gerakan pressure ini justru dilakukan kelompok-kelompok Islam yang berhaluan garis keras.
Meskipun demikian, aksi pressure ini masih dilaksanakan dalam bentuk penyaluran aspirasi yang demokratis, tidak dilakukan dengan aksi
kekerasan. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia DPW-BKPRMI Aceh, Nasruddin Ibrahim
mendesak agar Qanun Jinayah segera disahkan serta diberlakukan di Aceh.
162
Ketua Umum DPW BKPRMI Aceh Nasruddin Ibrahim berharap anggota DPRA tidak terpengaruh oleh desakan dari LSM atau pihak luar
negeri yang ingin menghadang pengesahan Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah.
Tim Pengacara Muslim TPM mendesak Pemerintah Aceh DPRA dan gubernur mengesahkan Rancangan Qanun Jinayat serta
memberlakukanya sesegera mungkin di Aceh setelah pernah ditolak oleh eksekutif pada 2009. Ketua TPM, Safaruddin menjelaskan, Rancangan
Qanun Jinayah merupakan lex specialis dalam sistem hukum di Indonesia. Landasan hukum dari Qanun Jinayah ini sudah diberikan oleh UUD 1945
yang kemudian disebutkan secara eksplisit pada Pasal 125 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
163
FPI juga melakukan gerakan serius. FPI Aceh dalam Musyawarah Daerah FPI se-Aceh, 10-12 Nopember 2012 di Pondok Pesantren al-Islah
al-Aziziyah, Luengbata, Banda Aceh mendesak kepada Gubernur dan DPRA
untuk mengesahkan
Rancangan Qanun
Jinayah dan
mengembalikan posisi Wilayatul Hisbah ke Dinas Syariat Islam.
164 161
KAMMI, FPI, HTI, DDI, BKPRMI, dan TPMdi Jakarta memiliki kedekatan dengan ideologi radikal. Meskipun garis perjuangannya berbeda, tetapi mereka satu dalam
perjuangan penegakkan syariat Islam. Studi tentang gerakan radikal dapat dilacak dalam Khamami Zada,
Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras Jakarta: Teraju, 2003, M. Imdadun Rahmat,
Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Gerakan Revivalisme Islam ke Indonesia 1980-2002, Jakarta: Erlangga, 2005, M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik
PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, Yogyakarta: LKiS, 2008, Robert W. Hefner,
Civil Islam: Islam dan Demokrasi di Indonesia, Jakarta: ISAI, 2001, dan Jamhari dan Jajang Jahroni ed.,
Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2004.
162
Serambinews.com Sabtu, 20 Oktober 2012 diakses 20 Pebruari 2013.
163
Serambinews.com diakses 20 Pebruari 2013, Ormas Islam: Berlakukan Segera Qanun Jinayah, Sabtu, 20 Oktober 2012.
164
Serambi Indonesia, 13 Nopember 2012, 7.
Desakan FPI ini sesungguhnya memberi spirit bagi perdebatan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh setelah mengalami kevakuman di
masa pemerintahan Irwandi Yusuf. Ketua DPD FPI Aceh Tgk Muslim At-Thahiri dan Rabithah Thaliban Aceh RTA menyatakan siap
mengawal agar Rancangan Qanun Jinayah segera disahkan. Menurutnya, pimpinan dayah siap berjuang bersama FPI mengawal Qanun Jinayah dan
Hukum Acara Jinayah untuk segera disahkan. Dijelaskan oleh Ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh RTA, Tgk Zulkhairi,
Rancangan Qanun Jinayah akan membuat Aceh “merdeka” dari hukum peninggalan Belanda. Belum berlakunya Qanun Jinayah telah membuat
ketidakkepastian hukum di Aceh sehingga menyebabkan seringnya terjadi pengadilan jalanan bagi pelanggar syariat. Kebutuhan Aceh terhadap
Qanun Jinayah tak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi pasal tentang rajam sudah direvisi.
165
Ketua Umum PW KAMMI Aceh, Faisal Qasim menjelaskan tidak ada alasan menunda-nunda pengesahan Rancangan Qanun Jinayah dan
Rancangan Hukum Acara Jinayah. Lalu, Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Tgk Hasanuddin Yusuf Adan meminta anggota DPRA tidak
terpengaruh bisikan yang menghambat pengesahan Rancangan Qanun Jinayah dan Rancangan Acara Jinayah dari dalam dan luar negeri.
166
Pressure juga dilakukan dalam bentuk demonstrasi ke DPRA. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Pelajar Islam Indonesia, Iskada,
KAMMI, Hizbut Tahrir, dan LDII melakukan aksi demontrasi di depan gedung DPRA, Rabu 13 Februari 2013. Mereka meminta agar Rancangan
Qanun Jinayah dan Rancangan Qanun Acara Jinayah masuk dalam Prolega Program Legislasi 2013.
167
Penegakan Syariat Islam di Aceh dipandang semakin mengkhawatirkan. Tingkah malas-malasan dari DPRA
dan Gubernur Aceh membuat gerah beberapa ormas Islam di Aceh. Mereka mengaku kecewa terhadap tindakan Gubernur Aceh yang tidak
tegas dalam menetapkan Rancangan Qanun Jinayah dalam Prolegda DPRA 2013.
168
Ironisnya, Rancangan Qanun Jinayah tidak masuk lagi dalam Prolegda karena sudah pernah disampaikan kepada legislatif
beberapa tahun sebelumnya. Demikian ini disampaikan Pelaksana Kepala Biro Hukum dan Humas Setda Aceh Makmur Ibrahim.
169 165
Hidayatullah.com, 09 Januari 2013 diakses 20 Pebruari 2013.
166
Hidayatullah.com, 09 Januari 2013 diakses 20 Pebruari 2013.
167
Atjeh.com diakses 20 Pebruari 2013-02-20, Demo DPR Aceh, massa minta qanun jinayah masuk Prolega 2013Rabu, 13 Februari 2013.
168
http:atjehliterature.blogspot.com201302gubernur-aceh-tak-tegas-soal-raqan- jinayah.html Nanggroe Aceh - diakses 20 Pebruari 2013.
169
http:www.ikhwanesia.com201302santri-dayah-tuntut-qanun-jinayah.html Santri Dayah Tuntut Qanun Jinayah Segera Disahkan
Teungku Yusuf al-Qardhawy menyesalkan sikap Gubernur Aceh karena tidak memberikan kepastian waktu untuk memasukkan Rancangan
Qanun Jinayah ke Prolegda DPRA. Padahal seluruh perwakilan ormas Islam se-Aceh telah membuat pertemuan untuk memutuskan masalah ini,
namun gubernur Aceh juga belum bisa memberikan kepastian. Pertemuan yang berjalan alot tersebut berujung pada suatu kekecewaan terhadap
ormas-ormas Islam. Gubernur memberi alasan bahwa persoalan ini tidak bisa diputuskan secara gegabah tanpa merundingkannya secara mendalam
dengan ulama. Ormas-ormas Islam se-Aceh menyatakan akan memberikan dukungan penuh terhadap pemerintah Aceh bila Rancangan
Qanun Jinayah ini segera dibahas di DPRA 2013.
170
Menurut Alyasa‟ Abubakar, revisi Rancangan Qanun Jinayah dan Rancangan Hukum Acara Jinayah yang diajukan oleh eksekutif ke DPRA
pada 30 Mei 2012 sudah bisa diberlakukan. Aturan hukum syariat saat ini diperlukan agar ada kepastian hukum serta tidak terulang pengadilan
jalanan terhadap pelangggar, seperti yang terjadi selama ini. Al Yasa‟ mengatakan bahwa semestinya Raqanun ini segera disahkan untuk
kepastian hukum syariat Islam di Aceh. Aturan ini penting sehingga masyarakat tahu harus bertindak, sehingga pengadilan massa seperti yang
terjadi di beberapa daerah selama ini tidak terulang. Begitu juga investor, bukan takut pada syariat, tetapi takut pada ketidakpastian hukum. Justru
yang sangat berbahaya, kalau yang terjadi adalah ketidakpastian dan kekosongan hukum. Muara dari ini terjadi pengadilan rakyat serta
penafsiran secara sendiri-sendiri yang membingungkan semua pihak.
171
Sementara itu, penegakkan pelanggaran jinayah mengalami kendala di Aceh. Di antara alasannya adalah: 1 para pelaku pelanggaran sudah
memiliki strategi untuk menghindar dari pengadilan. Mereka sering lari sebelum disidang atau setelah diputus perkaranya sehingga sulit diputus
atau dieksekusi. 2 Wilayatul Hisbah sudah mulai tidak bersemangat dalam melakukan razia pelanggaran jinayah. 3. Jaksa tidak serius
menghadirkan para pelaku pelanggaran sehingga tidak dapat disidangkan
oleh Mahkamah Syar‟iyyah. 4 Tidak ada biaya yang cukup untuk mengeksekusi putusan Mahkamah Syar‟iyyah. 5 Tidak ada Hukum Acara
Jinayah sehingga para pelaku penggaran tidak bisa ditahan kecuali satu hari sehingga mereka sering kabur.
172 170
http:atjehliterature.blogspot.com201302gubernur-aceh-tak-tegas-soal-raqan- jinayah.html Nanggroe Aceh - diakses 20 Pebruari 2013.
171
http:aceh.tribunnews.com20120604revisi-qanuan-jinayah-bisa-diberlakukan
172
Wawancara dengan Sekretaris Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh. Wawancara dengan Pejabat Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh Bidang Jinayah, Wawancara dengan
Hakim Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh pada 18 Juni 2012.
Dalam kondisi Rancangan Qanun Jinayah yang tidak disahkan oleh DPRA dan Gubernur Aceh periode sekarang dan berkurangnya
semangat Pemerintah Aceh melaksanakan qanun-qanun yang ada, muncul gerakan penegakkan hukum jinayah di Aceh yang dilakukan oleh
masyarakat, terutama dalam kasus-kasus anti maksiat. Di Aceh, peradilan rakyat gerakan massa masih sering terjadi dalam menegakkkan perkara
maisir, khalwat, dan khamar, yang dilakukan dalam bentuk razia.
Penegakkan hukum jinayah di Aceh dilakukan oleh beberapa elemen yang sering dilakukan secara bersama, yaitu Dinas Syariat Islam,
Satpol PP, WalikotaBupati, dan masyarakat. Masyarakat mulai bertindak sendiri dengan merazia para pelaku khawat di pantai-pantai, seperti kasus
di Lukwah Aceh Barat.
173
Kesadaran masyarakat untuk menegakkan praktik kemaksiatan dilakukan meskipun Wilayatul Hisbah telah
melakukan penegakkan qanun. Ini pula yang terjadi ketika Walikota Langsa, Usman Abdullah bersama Kepala Dinas Syariat Islam, Ibrahim
Latif memimpin razia penegakkan syariat Islam menyangkut Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Tatacara Berpakaian dan Qanun No. 14 Tahun
2003 Tentang Khalwat. Dalam razia tersebut, terjaring 50 wanita yang berpakaian tidak sesuai Qanun dan 5 pasangan remaja dan pemuda yang
dinilai melanggar Qanun Khalwat.
174
Dalam kasus lainnya, yaitu di Langsa, Kepala Dinas SI, Ibrahim Latif melakukan razia bersama Wilayatul Hisbah terhadap pesta yang
dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Kepala Dinas SI justeru dilawan oleh masyarakat Gampong Karang Anyar, Kecamatan Langsa
Baro ketika menegur pesta yang di dalamnya terdapat keyboard yang tidak sesuai dengan syariat. Perisiwa ini bahkan mengundang kemarahan ormas
Islam di sebagian besar Aceh. Para pimpinan ormas Islam menyerukan untuk melawan preman anti syariah.
175
Keuchik Karang Anyar, Ahmad Turkin bahkan melaporkan balik Kadinas SI, Latif Ibrahim atas tuduhan
pencemaran nama baik karena menurut Keuchik tidak ada insiden pengeroyokan.
176
Hasil razia yang telah dilakukan oleh Wilayatul Hisbah bersama elemen lainnya ada yang dilakukan pembinaan dan ada yang dibawa ke
Mahkamah Syariah. Pembinaan dilakukan biasanya terhadap para pelaku yang tertangkap dalam razia busana Islam. Pembinaan dilakukan oleh
MPU, kemudian dihubungi keluarganya untuk membawa jilbab, setelah itu
173
Wawancara dengan Wakil Sekretaris Mahkamah Syar’iyyah Kota Banda Banda Aceh, 19 Juni 2012 di Banda Aceh.
174
Serambi Indonesia, 12 Nopember 2012, h. 19.
175
Serambi Indonesia, 28 Agustus 2013, 1 dan 11.
176
Serambi Indonesia, 29 Agustus 2013, 1 dan 11.
dilepaskan. Dalam praktiknya, pelaku sering sudah menyiapkan jilbab sehingga ketika dirazia, dia sudah siap mengambil jilbabnya. Dalam razia
khalwat, pelaku yang ditangkap karena melakukan khalwat, akan diselesiakan secara adat dengan memanggil keluarganya untuk diambil.
177
Kasus yang seperti ini pernah terjadi ketika dua pasangan mesum ditangkap di Gampong Geulanggang Baro, Kecamatan Koa Juang pada 13
Agustus 2013. Kedua pasangan diserahkan masyarakat untuk diproses pihak Wilayaul Hisbah Bireun, tetapi kedua pasangan tersebut
dikembalikan lagi ke aparat gampong untuk diselesaikan secara musyawarah.
178
Ada juga penegakkan hukum jinayah di Aceh dilakukan dengan membawa kasus-
kasus pelanggaran jinayah ke Mahmakah Syar‟iyyah. Pada awal-awal penegakkan, banyak kasus yang disidangkan di Mahkamah
Syar‟iyyah di Aceh. Kasus khalwat, maisir, dan khamar banyak dibawa ke Mahkamah Syar‟iyyah. Bireuen merupakan kabupaten yang pertama kali
melaksanakan eksekusi hukuman cambuk, yaitu di masa Bupati Mustafa A. Gelanggang pada 2005 dalam kasus perjudian. Di Bireuen, perkara
jinayah yang diajukan ke Mahkamah Syar‟iyyah banyak terjadi di awal pelaksanaan tiga Qanun, yaitu 2005. Setelah itu, sangat sedikit perkara
yang diajukan ke Mahkamah Syar‟iyyah. Kasus yang sering diajukan adalah maisir.
179
Adapun di Kelantan, hampir tidak ditemukan gerakan massa. Mobilisasi masyarakat justru dilakukan oleh Pemerintah Negeri Kelantan
atau PAS yang mengontrol kekuatan politik di Kelantan.Tipikal ini memang berbeda dengan di Aceh. Budaya politik dan sistem politik yang
terbuka di Indonesia ikut mempengaruhi karakter gerakan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Sebaliknya, budaya politik dan sistem politik yang
tertutup di Malaysia ikut mempengaruhi karakter gerakan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan, yang tidak menghendaki gerakan protes dari
jalur kultural. Kekuatan politiklah yang memobilisasi massa dalam mendesak pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan.
Dukungan massa terlihat dalam peringatan Hari Hududullah di Kelantan, yang dimobilisasi PAS. Pada 6 Oktokber 2011 misalnya
berlangsung Hari Hududullah di Kelantan. Acara ini mengundang masyarakat
dan sejumlah pakar, seperti Dato‟ Aria Diraja, Ketua Hakim Syar‟ie Kelantan, Dato‟ Muhamad Daud Al-Iraqi, mantan ahli exco
Pemerintah Negeri Kelantan, dan pakar hukum tata negara Universitas
177
Wawancara dengan Ketua Mahkamah Syar’iyyah, Bireuen, Muhammad Yusuf 25 Agustus 2013
178
Koran Bireuen, No. 11TThn. IEdisi 23 Agustus-1 September 2013
179
Wawancara dengan Ketua Mahkamah Syariah Bireuen pada 25 Nopember 2012
Islam Antar Bangsa Malaysia, Abdul Aziz Bari.
180
Mereka mendiskusikan peluang pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan dari perspektif hukum
tata negara dan hukum Islam. Seminar ini juga mengundang non-Muslim agar mereka mengetahui
h}udud
di Kelantan.
181
Bersamaan dengan seminar di atas diadakan jamuan rakyat sebagai tanda syukur Menteri Besar Kelantan atas diakuinya hukum
h}udud
pada peta pemikiran politik Pakatan Rakyat di Stadion Sultan Muhammad IV.
Di Kediaman Resmi Menteri Besar Kelantan berlangsung pertemuan tertutup Nik Abdul Aziz Nik Mat dengan ketua-ketua pusat pengajian
pondok dari 14 pondok pesantren yang terkemuka.
182
Gerakan massa yang terjadi pada saat peringatan Hari Hududullah 2011 di Kelantan di atas tidak menunjukkan karakter yang khas sebagai
inisiatif masyarakat. Hari Hududullah yang dijadikan sebagai momentum masyarakat Kelantan menekan Pemerintahan Federal justru dimobilisasi
PAS.
183
Masyarakat masih pasif dalam mendorong perlawanan kepada Pemerintah Pusat.
Hari Hududullah dimanfaatkan oleh Pemerintah Kelantan dan PAS untuk memobilisasi rakyat Kelantan melawan Pemerintahan Federal.
Mereka dikumpulkan dalam jamuan rakyat untuk mendukung program Pemerintah Kelantan dan PAS dalam memberlakukan
h}udud
. Pemerintah Kelantan dan PAS tahu betul bahwa rakyat Kelantan adalah modal politik
dalam melakukan pressure kepada Pemerintahan Federal. Massa yang dikumpulkan berasal dari seluruh lapisan masyarakat, baik kelompok
grassroot maupun kelas menengah.
Dukungan massa juga terlihat jelas disalurkan melalui pengajian di masjid-masjid. Ribuan jamaah datang untuk mendengarkan ceramah Nik
Abdul Aziz Nik Mat dan ulama-ulama lainnya di masjid Kota Bharu, Kelantan. Dalam ceramahnya, Nik Abdul Aziz Nik Mat selalu
mengkampanyekan pelaksanaan
h}udud
di Kelantan. Di dalam transportasi publik, seperti bus antar kota juga selalu diperdengarkan kampanye
h}udud
dalam bentuk pengajian di radio. Masyarakat Kelantan tampaknya mengalami kesulitan dalam
menyuarakan tuntutannya kepada Pemerintahan Federal untuk segera menyetujui pemberlakuan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993
180
Wan Nik Wan Yussof, ‚Menanti Pelaksanaan Enakmen Syariah II‛ dalam Harakah, Bil. 1681 14-16 Oktokber 2011.
181
Tuan Guru Haji Nik Abdul Aziz Nik Mat, ‚Perundangan Islam Utamakan Mencegah Bukan Menghukum‛ dalam Fajar Islam, Bil 44 November-Desember 2011, 7.
182
Wan Nik Wan Yussof, ‚Menanti Pelaksanaan Enakmen Syariah II‛ dalam Harakah, Bil. 1681 14-16 Oktokber 2011.
183
Tuan Guru Haji Nik Abdul Aziz Nik Mat, ‚Perundangan Islam Utamakan Mencegah Bukan Menghukum‛ dalam Fajar Islam, Bil 44 November-Desember 2011, 7.
Kelantan. Berbeda dengan masyarakat Aceh yang mudah menyalurkan aspirasinya kepada Pemerintah Aceh dan DPRA. Inilah yang membedakan
mobilisasi massa di Aceh dan Kelantan dalam perjuangan memberlakuan hukum jinayah.
Penegakkan hukum jinayah di Kelatan pun bertumpu pada kekuatan aparat penegak hukum, seperti kepolisian dan Mahkamah
Syariah. Masyarakat tidak melakukan gerakan razia untuk menegakkan hukum jinayah. Di Kelantan, penegakkan hukum jinayah konsisten
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, seperti kepolisian dan Mahkamah Syariah. Hampir tidak pernah ada peradilan rakyat untuk
menegakkan kesalahan asusila
ta’zir di Kelantan. Dalam praktiknya, kesalahan jinayah syariah memang tidak mendominasi di Kelantan
sehingga masyarakat tidak perlu melakukan gerakan razia. Kultur masyarakat yang relijius dan dikontrol oleh kekuatan politik partai Islam,
PAS, menjadikan masyarakat Kelantan lebih mudah diajak untuk menghindar dari pelanggaran asusila, yang kerapkali menjadi keresahan
masyarakat.
Matrik 6. Daftar Perbandingan Mobilisasi
Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan
Mobilisasi Aceh
Kelantan
Mobilisasi Struktural
Masyarakat ulama MPU, dayah, dan ormas Islam
mempengaruhi struktur Negara Pemerintah Aceh, Dinas
Syariat Islam, DPRA Pemerintah Kelantan, PAS, dan
masyarakat meyakinkan patai politik dalam koalisi Pakatan
Rakyat dan melakukan pressure kepada Pemerintahan Federal
Mobilisasi Kultural
Mempengaruhi masyarakat dalam jalur kultural di pondok
pesanren dan kegiatan keagamaan, , seperti pengajian
Mempengaruhi masyarakat dalam jalur kultural di pondok pesanren
dan kegiatan keagamaan, seperti pengajian
Metode Pressure tanpa kekerasan
Pressure tanpa kekerasan
Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bahwa perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan dilakukan dengan
mobilisasi, yaitu memobilisasi struktur negara pemerintah dan legislatif dan kelompok-kelompok strategis, seperti ulama, kaum intelektual
Muslim, dayah, dan ormas Islam. Mobilisasi yang terjadi di Aceh dan Kelantan tampak berbeda. Mobilisasi perjuangan pemberlakuan hukum
jinayah yang diperluas di Aceh digerakkan oleh kelompok-kelompok masyarakat secara berkala, sedangkan mobilisasi perjuangan pemberlakuan
hukum jinayah yang diperluas di Kelantan digerakkan oleh Pemerintah
Kelantan dan PAS. Mobilisasi perjuangan juga tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan, melainkan menggunakan pressure kepada Pemerintah
Daerah Aceh dan Pemerintah Pusat Kelantan.
Hukum jinayah yang sekarang ini telah diberlakukan di Aceh 2002-2007 dan Kelantan 1985 berkaitan dengan pelanggaran moralitas,
pelanggaran seksual, ibadah, dan syiar Islam. Pemberlakuan hukum jinayah ini belum menemukan totalitasnya
kaffah
karena belum semua aspek hukum jinayah
h}udud dan qis}as}
diberlakukan. Dalam kondisi yang demikian, di Aceh 2009 dan Kelantan 1993 terdapat Draft Qanun yang
berisi perluasan hukum jinayah menuju totalitasnya
kaffah
dan penyesuaian hukum jinayah dengan syariat Islam.