pemulihan lahanhutan dapat lebih mudah menentukan jenis tanaman yang sesuai dengan karakteristik lahan tersebut.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak terjadinya kebakaran hutan terhadap sifat-sifat tanah fisik, kimia dan biologi.
C. Hipotesis Penelitian
Kebakaran hutan dapat mengakibatkan perubahan sifat-sifat tanah dan erosi tanah yang akan berpengaruh terhadap perubahan tingkat kesuburan tanah
pada areal terbakar.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Selain sebagai bahan penelitian dalam menyusun skripsi yang
merupakan salah satu syarat menyelesaikan studi. 2. Diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkannya
untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam usaha pengendalian kebakaran hutan maupun pemuliaan pasca kebakaran.
Universitas Sumatera Utara
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Kebakaran Hutan
Menurut sejarahnya, kebakaran hutan terutama hutan tropika basah “tropical rain forest” di Indonesia telah diketahui terjadi sejak abad ke-18.
kebakaran yang terjadi pada tahun 1877, diketahui di kawasan hutan antara Sungai Kalanaman dan Cempaka sekarang Sungai Sampit dan Sungai Katingan
Propinsi Kalimantan Tengah. Laporan lain juga menyebutkan bahwa kebakaran hutan terjadi di wilayah timur laut yang saat ini dikenal dengan Suaka Danau
Sentarum, Propinsi Kalimantan Barat United Nations Development Programme and State Ministry for Environment, 1998. Sayangnya kebakaran yang terjadi
pada saat itu tidak diketahu berapa luasnya dan disebabkan oleh apa. Sedangkan Bowen 1999, menyatakan bahwa sekitar 400 tahun yang lalu, diceritakan bahwa
seorang penjelajah Eropa menemukan Pulau Borneo setelah para pelautnya mencium bau asap; mereka berpaling ke arah angin dan menemukan pulau
Purbowaseso, 2004.
B. Kebakaran Hutan B.1. Pengertian Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan dibedakan dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan
adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan dan lahan biasa terjadi baik disengaja maupun tanpa sengaja. Dengan kata lain terjadinya
kebakaran hutan dan lahan diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia oleh
Universitas Sumatera Utara
beberapa kegiatan, seperti kegiatan ladang, perkebunan PIR, HTI, penyiapan lahan untuk ternak sapi, dan sebagainya. Faktor kebakaran hutan dan lahan karena
kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90 kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini banyak disebabkan karena faktor ini.
Kebakaran hutan juga bisa disebabkan oleh faktor tidak disengaja, yang disebabkan oleh factor alami ataupun karena kelalaian manusia. Contoh
kebakaran hutan karena kelalaian manusia seperti akibat membuang puntung rokok sembarangan, pembakaran sampah atau sisa-sisa perkemahan dan
pembakaran dari pembukaan lahan yang tidak terkendali dan kebakaran hutan dan lahan alami oleh deposit batu bara di kawasan hutan Bukit Soeharto
Purbowaseso, 2004.
B.2. Proses dan Tipe Kebakaran Hutan B.2.1. Proses Kebakaran
Proses pembakarankebakaran adalah proses kimia-fisika yang merupakan kebalikan dari reaksi fotosintesa yaitu
C
6
H
12
O
6
+ O
2
+ Sumber Panas CO
2
+ H
2
O+ Panas Pada proses fotosintesa, energi terpusat secara perlahan-lahan, sedangkan
pada proses pembakaran energi yang berupa panas dilepaskan dengan cepat. Selain panas, proses pembakaran juga menghasilkan beberapa jenis gas dan
partikel-partikel. Dapat dilihat bahwa terjadinya proses pembakarankebakaran apabila ada tiga unsur yang bersatu yaitu bahan bakar fuel, oksigen oxygen dan
panas heat. Bila salah satu dari ketiganya tidak ada maka kebakaran tidak akan terjadi. Prinsip ini dikenal dengan istilah prinsip segitiga api Gambar 1 yang
Universitas Sumatera Utara
merupakan kunci utama dalam mempelajari kebakaran hutan dan lahan yang termasuk dalam upaya pengendalian kebakaran. Bahan bakar dan oksigen tersedia
di hutan dalam jumlah yang berlimpah, sedangkan sumber panas penyalaan sangat tergantung kepada kondisi alami suatu daerah dan kegiatan manusia.
Gambar 1. Prinsip Segitiga Api De Bano et al.,1998. Menurut De Bano et al. 1998, proses pembakaran terdiri dari lima fase
yaitu: 1. Pre-ignition Pra- Penyalaan
Dehidrasidistilasi dan pirolisis merupakan proses-proses yang terjadi pada fase Pre-ignition. Karena bahan bakar berada di bagian depan nyala api, maka
pemanasan melalui radiasi dan konveksi akan lebih dari 100 ◦C, sehingga uap air,
bahan organik yang tidak terbakar, dan zat ekstraktif berkumpul di permukaan bahan bakar dan dikeluarkan ke udara. Radiasi dan konveksi dapat memindahkan
panas untuk pirolisis pada permukaan bahan bakar, tetapi perpindahan panas ke bagian interior bahan bakar terjadi melalui proses konduksi. Karena itu konduksi
merupakan proses yang dominan dalam proses combuction pembakaran. Distilasi dari bahan bakar halus dedaunan, daun jarum, dan rerumputan pada
OXYGEN HEAT
FUEL
Universitas Sumatera Utara
temperatur di atas 100 ◦C menghasilkan emisi uap air dan ekstraktif organik volatil
misal: terpenes, aldehida aromatic. Pirolisis adalah reaksi endotermik melalui radiasi atau konveksi dari
bagian depan api yang mengeluarkan air dari permukaan bahan baker, meningkatkan suhu bahan bakar, dan merombak rantai molekul bahan organik
yang panjang dalam sel tanaman menjadi rantai yang lebih pendek. Laju pembakaran yang lambat akan meningkatkan produksi arang dan menurunkan
produksi gas yang mudah terbakar dan ter. Sebaliknya, laju pemanasan yang cepat akan menghasilkan gas yang mudah terbakar dan ter.
2. Flaming combustion Penyalaan Fase ini berupa reaksi eksotermik yang menyebabkan kenaikan suhu dari
300 - 500 ◦C. Pirolisis mempercepat proses oksidasi flaming dari gas-gas yang
mudah terbakar. Akibatnya, gas-gas yang mudah terbakar dan uap hasil pirolisis bergerak ke atas bahan bakar, bersatu dengan O
2
dan terbakar selama fase flaming
. Panas yang di hasilkan dari reaksi flaming mempercepat laju pirolisis dan melepaskan jumlah yang besar dari gas-gas yang mudah terbakar. Api akan
membesar dan sulit dikendalikan, terlebih jika ada angin. Pada fase ini dihasilkan berbagai produk pemabakaran seperti: air, CO
2
, sulfur oksida, gas nitrogen dan nitrogen oksida. Kemudian terjadi kodensasi dari tetesan ter dan soot 1 urn
membentuk asap smoke yang merupakan polutan udara yang penting. 3. Smoldering Pembaraan
Fase ini biasanya mengikuti fase “flaming combustion” di dalam suatu pembakaran. Pada fase ini, pembakaran yang kurang menyala menjadi proses
yang dominant. “Smoldering” adalah fase awal di dalam pembakaran untuk tipe
Universitas Sumatera Utara
bahan bakar “duff” dan tanah organic. Laju penjalaran api menurun karena bahan bakar tidak dapat mensuplai gas-gas yang mudah terbakar. Panas yang dilepaskan
menurun dan suhunya pun menurun, gas-gas lebih terkondensasi ke dalam asap. 4. Glowing Pemijaran
Fase glowing merupakan bagian akhir dari proses smoldering. Pada fase ini sebahagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen
mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mengarang. Produk utama dari fase “glowing” adalah CO, CO
2
dan abu sisa pembakaran. Pada fase ini temperature puncak dari pembakaran bahan bakar
berkisar antara 300 – 600 C.
5. Extinction Kebakaran akhirnya berhenti pada saat semua bahan bakar yang tersedia
habis, atau pada saat panas yang dihasilkan dalam proses smoldering atau flaming tidak cukup untuk menguapkan sejumlah air dari bahan bakar yang basah. Panas
yang diserap oleh air bahan bakar, udara sekitar, atau bahan inorganik seperti batu-batuan dan tanah mineral mengurangi jumlah panas yang tersedia untuk
pembakaran, sehingga mempercepat proses extinction.
B.2.2. Tipe Kebakaran Hutan
1. Kebakaran Bawah Ground Fire Api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah yang pada
umumnya berupa humus dan gambut. Penjalaran api berlangsung secara perlahan dan tidak dipengaruhi oleh angin, tanpa nyala, sehingga sulit untuk dideteksi dan
control. Dilihat dari dampaknya, tipe kebakaran ini merupakan tipe yang paling
Universitas Sumatera Utara
merusak lingkungan.tipe kebakara ini didominasi oleh proses smoldering, biasanya bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama dengan kecepatan
penjalaran sekitar 1,5 gm²jam atau 0,025 cmjam. 2. Kebakaran Permukaan Surface Fire
Api pada kebakaran ini membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah pembakaran dan bahan bakar lainya yang terdapat dilantai hutan. Energi
kebakaran dapat rendah sampai tinggi. Dalam penjalarannya, dipengaruhi oleh angin permukaan sehingga dapat membakar tumbuhan yang lebih tinggi hingga ke
tajuk pohon crowing out. Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling umum terjadi di hampir semua tegakan hutan.
3. Kebakaran Tajuk Crown Fire Pada tipe ini, api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon
berikutnya. Arah dan kecepatan penjalaran api sangat dipengaruhi oleh angin, sehingga api menjalah dengan sangat cepat dan sulit untuk dikendalikan. Biasanya
terjadi pada tegakan conifer dan api berasal dari kebakaran permukaan, yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin. Disamping itu
kebakaran tipe ini juga dapat menghasilkan api loncat spot fire, yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin dan menimbulkan
kebakaran baru di tempat lain. De Bano et al, 1998.
C. Faktor Penyebab Timbulnya Kebakaran Hutan