Sejarah Majelis Raja-Raja Menurut Perlembagaan Persekutuan Malaysia

BAB III MAJELIS RAJA-RAJA MENURUT

PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA

A. Sejarah Majelis Raja-Raja Menurut Perlembagaan Persekutuan Malaysia

Majelis Raja-Raja adalah sebuah majelis yang menaungi raja-raja dan gubernur-gubernur untuk negara bagian yang tidak memiliki raja. Selain itu, majelis ini juga berperan penting untuk mempersatukan Persekutuan ini menjadi lebih erat dengan negeri-negeri yang menjadi anggota Persekutuan. Hal yang menarik dalam struktur perlembagaan ini ialah betapa peran Majelis Raja-Raja tidak banyak berbeda dengan peran majelis pada tahap awal terbentuknya. Di sisi lain, perkembangan itu menunjukkan fleksibilitas yang ada dalam institusi tersebut. Meskipun tidak demokratik, majelis dapat berperan menjadi lembaga yang seolah-olah demokratis. Hal ini yang menunjukkan betapa institusi ini memainkan peran tanpa tergantung pada kewenangan formal yang ada dalam perlembagaan. Dapat dianalisa dengan jelas, bahwa saat pertama kali terbentuknya lembaga, Majelis Raja-Raja dalam negara Malaysia bertujuan untuk membangun persatuan dan kesatuan antara negara-negara dan menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme. Selain itu juga memiliki wewenang dalam struktur kelembagaan negara, berupa parlemen yang dibentuk undang- undang yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan kerajaan negara bagian. Meskipun Majelis Raja-Raja yang ada sekarang merupakan struktur formal perlembagaan, nama majelis ini tidak dapat dipisahkan dari kesultanan Melayu yang merupakan tonggak sistem atau institusi kerajaan di Malaysia. Sebab itu sejarah awal Majelis Raja-Raja dimulai dengan menelusuri secara sepintas sampai kemunculan dan perkembangannya hingga saat ini. 26 Ini penting untuk menunjukkan ikatan di kalangan keluarga-keluarga kerajaan yang ada di Malaysia sekarang, satu hal yang juga penting dalam kelahiran lembaga ini. Berbicara tentang sejarah dan kedudukan kesultanan Melayu tidak dapat dipisahkan dari kesultanan Melayu Melaka. Meskipun kesultanan ini bukan kesultanan yang tertua, bahkan Kesultanan Kedah sendiri baru berdiri sekitar abad ke-13. Kesultanan Melayu Melaka mempunyai pranan yang besar dalam membina tradisi dan adat istiadat istana yang kemudian diwarisi oleh kesultanan- kesultanan yang muncul pada masa berikutnya. Antaranya: 1 Pengangkatan Putera Mahkota: yakni dari dulu yang hanya menggantikan sultan adalah anak laki-laki terakhir yang di angkat menjadi Putera Mahkota, walaupun bapaknya mempunyai anak banyak. 2 Perkahwinan: yaitu hanya raja yang berketurunan Melayu saja yang boleh menikah dengan Raja Melayu. 26 Abdul Aziz Bari,. “Ketua Negara, Ketua-ketua Negeri dan Majlis Raja-Raja”, dlm. Ahmad Ibrahim et al., Perkembangan Undang-undang Perlembagaan Persekutuan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999, h. 40-99. Selain itu, Kesultanan Melayu Melaka juga mempunyai peran penting dalam membantu mendirikan dan memperkuat mayoritas kesultanan yang ada sekarang. Dari sembilan kesultanan yang ada, hanya kesultanan Melayu Perak yang mempunyai hubungan lansung dengan Kesultanan Melayu Melaka. Karena kesultanan tersebut didirikan oleh kesultanan Melayu Melaka sebelum jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Begitu juga dengan, Kesultanan Kedah juga pernah dilindungi oleh Melaka yang telah memiliki beberapa senjata kerajaan termasuk meriam yang dianugerahkan kepada kesultanan ini oleh kerajaan Melaka. Kesultanan Selangor, yang pada dasarnya didirikan oleh orang Bugis pada abad ke-18, namun akhirnya disahkan oleh Kesultanan Perak yang mempunyai hubungan langsung dengan raja-raja Melaka. Kesultanan-kesultanan lain seperti Johor, Pahang, Kelantan dan Terengganu muncul setelah keturunan Kesultanan Melayu Melaka berakhir. Dengan kata lain, kesultanan-kesultanan ini jelas meneruskan warisan yang telah ditinggalkan oleh Kesultanan Melayu Melaka setelah jatuh ke tangan Portugis. Begitu juga dengan Negeri Sembilan, meskipun raja-rajanya berasal dari Sumatera. Dalam perkembangan berikutnya, Inggris pun mulai banyak melakukan intervensi di negeri-negeri Melayu, setelah adanya Perjanjian Pangkor pada tahun 1874 dan berakhir dengan perjanjian antara kerajaan Inggris dengan Johor pada tahun 1914. 27 Kedudukan raja-raja Melayu sebagai raja yang berdaulat tidak berubah. Walaupun kenyataannya mungkin tidak berdaulat penuh. Prinsip ini telah diresmikan oleh beberapa keputusan mahkamah pada saat itu. 28 Sesuatu yang berbeda kedudukannya dengan kedudukan raja-raja Melayu dalam skema Malayan Union. Meski pun demikian, dalam realitanya raja-raja terpaksa tunduk pada kehendak dan tekanan pihak Inggris. Tekanan itu memang tidak dipersoalkan dari segi undang-undang, namun tetap saja pihak Inggris mempunyai kekuatan untuk memaksa raja-raja Melayu untuk mendengar perintah mereka. Dalam beberapa kesempatan misalnya, pihak Inggris memang menggunakan kekerasan terutama terhadap pembesar kerajaan dan mayoritas lainnya. Bahkan Inggris juga menggunakan segala kekuatan dan kekayaan mereka untuk mewujudkan pemerintahan tidak langsung di negeri-negeri Melayu. Jadi, meskipun kedaulatan raja-raja dari sisi undang-undang tidak berubah, tetapi dalam realitanya mengalami perubahan drastis, karena kewenangannya menjadi terbatas atau bahkan menjadikan mereka sebagai simbol kekuasaan Inggris. Dengan berbagai intervensi Inggris di negeri-negeri Melayu, berdirilah saat itu sebuah organisasi besar yang mampu menyamai kebesaran lembaga raja- raja, pada tahun 1895. Organisasi ini kemudian yang dikenal sebagai kumpulan 27 Dokumen perjanjian-perjanjian ini boleh dilihat dalam Maxwell dan Gibson,. Treaties and Engangements Affecting Malay State, dan Allen, Stockwell dan Wright eds, 1981. A Collection of Treaties Affecting the States of Malaysia 1761-1963,1924, Jilid. 1 28 Roberts – Wray , Constitutional Laws of the Commonwealt and Colonial Law, hlm . 44-45, dan Jennings, 1957. Constitutional Laws of the Commonwealth, Jil. 1, The Monarchies, 1966, h. 14-16. Negeri-negeri Melayu Bersekutu yang terdiri dari negeri Perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang. Empat orang raja Melayu memiliki kedudukan dalam Majelis Persekutuan yang fungsinya antara lain untuk mengeluarkan kebijakan yang kemudian dilaksanakan melalui mekanisme perundangan di tingkat negeri melalui Majelis-Majelis Negeri. Dalam persatuan tersebut, kekuasaan raja-raja Melayu dalam perundang-undangan masih utuh, yakni berdaulat penuh. Sayangnya semua itu hanyalah dari segi teori perlembagaan. Kenyataannya saat itu Inggris yang memberlakukan kebijakan pembentukan raja-raja di Negeri- Negeri Melayu Bersekutu. Hal tersebut itulah yang menyebabkan para raja ini tidak senang dengan kebijakan yang diterapkan oleh Inggris. Karena bagaimanapun kehadiran Inggris telah mengakibatkan mereka seperti lembaga yang kosong. Bahkan merasa tidak dapat memerintah secara berdaulat atau malah tidak memiliki wilayah. Raja-raja tahu apa yang mereka terima bukanlah sesuatu yang mereka inginkan ketika menandatangani perjanjian dengan pihak Inggris. Ini dibuktikan dengan penentangan awal sesudah Perjanjian Pangkor yang berakhir dengan pembuangan negeri Sultan Abdullah. Rasa tidak senang itulah yang kemudian melahirkan Durbar yang pertama kali diadakan di Kuala Kangsar pada tahun 1897, yaitu perkumpulan awal empat raja bagi negeri Perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang. Perlu dijelaskan juga bahwa ketidakmampuan raja-raja untuk mengikuti kebijakan Inggris untuk membentuk negeri-negeri Melayu menyebabkan mereka terpaksa menerima usulan Inggris yang membimbing mereka dalam sebuah forum. Walaupun Durbar berjalan, raja-raja berhasil merubah proses perjalanannya dan menjadikannya sebuah forum untuk memperbaiki nasib dan kehidupan orang Melayu. Selain itu apa yang menjadi keputusan dalam persidangan Durbar yang pertama di Kuala Kangsar itu turut menjadi sebuah ikatan yang menghubungkan sesama raja-raja dan rakyat tanpa disengaja. Sambutan dan protokol ini memang menjadi tradisi majelis sehingga hari ini. Persidangan Durbar yang pertama itu penting karena dapat membuat keputusan tentang beberapa hal yang semuanya diserahkan kepada majelis-majelis negeri yang kemudian menjadi undang-undang dari sudut perlembagaan, kewenangan membuat undang-undang pada masa itu masih berada di tangan sultan, walaupun pada praktisnya undang-undang itu telah diubah dan dirinci oleh persekutuan dan majelis. Dengan demikian, persidangan Durbar telah mengambil kewenangan dengan salah satu fungsi yang sebelumnya dijalankan oleh majelis persekutuan. Persidangan persekutuan di Kuala Kangsar itu kemudian diikuti oleh persidangan-persidangan Durbar di Kuala Lumpur pada tahun 1903. Kemudian di Kuala Kangsar lagi pada tahun 1927, di Pekan, Pahang, pada tahun 1932, di Kuala Kangsar pada tahun 1933 dan di Seri Menanti pada tahun 1933. Persidangan-persidangan itu, dari segi undang-undang dan kerangka Perlem- bagaan pada waktu itu, tidak merubah status quo yang ada. Persidangan- persidangan itu menjadi tempat untuk kedua pihak raja-raja dan pembesar mereka di satu pihak dan Inggris di pihak yang lain. Bertemu dan membolehkan raja-raja menyuarakan aspirasi mereka terhadap kerajaan Inggris. 29 Terdapat beberapa hal penting tentang persidangan Durbar itu. Pertama ialah perkataan ‘Durbar’ itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa ungkapan itu seperti pengaruh atau signifikansi Syarikat Hindia Timur Inggris. Durbar juga dapat dikatakan dikatakan mempunyai keterkaitan dengan persidangan residen- residen Inggris yaitu pegawai-pegawai tinggi Inggris yang menjadi penasehat sultan dan badan penasihat kepada Residen Jeneral, pegawai tinggi yang mengendalikan sekretariat Negeri-Negeri Melayu Bersekutu. Dari segi pengendalian, persidangan-persidangan Durbar itu dijabat oleh utusan tertinggi Inggris. Anggota-anggotanya terdiri dari raja-raja dan pembesar mereka, Residen Inggris di 4 negeri-negeri Melayu di atas dan para sekutu di Negeri-Negeri Melayu. Proses dalam persidangan ini dijalankan dalam bahasa Melayu. Perlu ditegaskan bahwa setelah tahun 1909, raja-raja tidak lagi mengambil bagian dalam hasil sidang dari Majelis Permusyawaratan Persekutuan. Ada sarjana yang menulis bahwa mereka tidak mampu mengikuti proses dan keputusan dalam majelis tersebut. Bagaimanapun, ini tidaklah terlalu mengejutkan karena mengingat kedudukan protokol mereka sebagai pihak ynang memiliki kekuasaan tertinggi di negeri masing-masing, proses dan hasil sidang yang terperinci itu bukanlah tugasan mereka. Dalam proses ini, mayoritas para 29 Abdul Aziz Bari,. Majlis Raja-Raja: Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan, Selangor: Percetakan Dawama, 2002, h. 20 pegawai Inggris juga turut hadir dalam Majelis Permusyawaratan Persekutuan. Persidangan-persidangan Durbar yang membicarakan persoalan-persoalan dasar yang lebih umum dan besar jelas lebih sesuai untuk raja-raja. Di samping itu, mereka dapat terus menyalurkan masalah kepada pihak-pihak tertinggi dalam pembentukan kerajaan Inggris. Walau apa pun manfaat dan pengaruh yang timbul dari persidangan- persidangan Durbar itu, perlu ditekankan untuk menunjukkan kemunculan yang relevan bagi peran raja dalam dunia moderen, sesuatu yang tidak memungkinkan pada tahun-tahun sebelumnya. Yang paling menonjol setelah persidangan Durbar ialah peran raja-raja sebagai pelindung atau penjaga dan ini penting karena pada waktu itu, orang Melayu tidak mempunyai suara dalam pembentukan kerajaan Inggris. Pada waktu itu, orang Melayu tidak mempunyai partai politik seperti sekarang. Selain itu politik tidak terpengaruh terhadap kedudukan Majelis Raja- Raja, karena sistem raja adalah sistem keturunan dan sistem politik adalah sistem yang dibentuk oleh rakyat. Ini disebabkan bahwa raja merupakan sebagai penasehat yang mutlak. Usulan dan kritikan raja-raja yang terkait dengan pembentukan dengan kerajaan mengesahkan kedudukan dan peran Yang di- Pertuan Agong dan raja-raja dalam soal keistimewaan orang Melayu dalam perlembagaan sekarang. Dalam persidangan Durbar itu juga lahir ide dan usulan untuk memperbaiki nasib dan kedudukan orang Melayu. Menarik untuk disebutkan, bahwa dalam persidangan pada tahun 1897, raja-raja menginginkan persoalan keterkaitan antara negara dengan agama Islam tetap ada sampai pada majelis negeri. Permasalahan ini tidak harus dibawa ke tingkat Majelis Permusyawaratan Persekutuan. Ini penting karena ia menunjukkan sikap raja-raja yang berhubungan dengan masalah agama, terutama dalam konteks hubungan pihak Inggris yang berpusat di Kuala Lumpur dengan pihak Negeri-Negeri Melayu Bersekutu. Dalam persidangan pada tahun 1903, Yang di-Pertuan Besar Negeri Sembilan juga menunjukkan ketidak senangannya tentang kedudukan bahasa Melayu dalam pembentukan. Dalam persidangan di Kuala Lumpur itu juga, Sultan Perak telah menunjukkan kekesalannya karena Inggris tidak berbuat apapun untuk mengangkat orang Melayu yang dapat berperan dalam pembentukan negara. Bahkan sang Sultan juga menentang terhadap aliran dan sentralisasi kekuasaan yang semakin jelas dalam pembentukan Inggris. Protes itu dikatakan membawa pada usaha mereformasikan struktur otoritas dan pemerintahan yang disetujui oleh pihak Inggris di Kuala Lumpur. Permusyawaratan Majelis Raja-Raja yang pertama setelah Merdeka diadakan pada 30 dan 31 Oktober 1957 dan dilanjutkan oleh Duli Yang Maha Mulia Tuanku Syed Putra ibni Al-marhum Syed Hassan Jamalullail, Raja Perlis. Sesuai dengan aturan, hanya Duli Yang Maha Mulia Raja-raja saja yang layak meneruskan kerajaan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Majelis. Yang Amat Berhormat Menteri Besar hadir juga sebagai penasihat Duli Yang Maha Mulia Raja-raja dan Ketua Menteri bagi Timbalan Yang Terhormat Yang di- Pertuan Negeri. Yang di-Pertuan Agong hanya berangkat hadir pada musyawarah hari kedua dengan diiringi oleh Yang Amat Berhormat Perdana Menteri sebagai penasihat. Keunikan Majelis Raja-Raja berdasarkan kedudukannya adalah sebagai satu-satunya institusi yang sedemikian rupa ada di dunia pada masa kini. Selain itu juga berperan sebagai penjaga institusi kerajaan di negara ini. Pembentukan Majelis Raja-Raja telah diundangkan berdasarkan Pasal 38 Perlembagaan Persekutuan. Fungsi dan tugas-tugasnya mengikuti Jadwal Kelima Perlembagaan, antaranya berwenang memilih Yang di-Pertuan Agong dan Timbalan Yang di- Pertuan Agong. Inilah kewenangan yang dikehendaki oleh Raja-Raja dalam Memorendum yang mereka serahkan kepada Suruhanjaya Reid pada tahun 1957. Institusi Yang di-Pertuan Agong menjadi sebagian dari Parlimen dan Raja yang menyandang jabatan Yang di-Pertuan Agong menjadi lambang kedaulatan negara dan perpaduan kaum. 30

B. Kedudukan Majelis Raja-Raja