Qur’an. Keempat, untuk membanteras setiap kejahatan munkarat dan mendorong setiap kebajikan yang dengan tegas telah digariskan pula oleh al-
Qur’an. Kelima, menjadikan negara itu sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa
diskriminasi. Oleh karena itu, negara dalam ajaran Islam hanyalah merupakan
instrumen pembaharuan yang terus-menerus. Negara, konstitusi dan semua perangkat kenegaraan lainnya dibuat untuk kepentingan rakyat, bukan rakyat
yang harus mengabdi tanpa reserve kepada negara, sehingga negara itu menjadi fasistis dan totalier. Semua perangkat negara, apalagi pejabat-pejabat negara,
dapat diubah setiap waktu bila kepentingan rakyat banyak, asal tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama,menghendakinya. Sebagai instrumen of reform,
negara dengan konstitusinya, lembaga-lembaga perwakilan, lembaga kehakiman- nya dan lain-lain harus mengabdi kepada rakyat, bukan sebaliknya.
C. Pandangan Islam tentang Institusi Pemerintahan Raja
Adapun pemerintahan mengikut hukum Allah SWT, para pengkaji- pengkaji meneliti bahwa apa yang dimaksudkan dengan ‘kepemimpinan’ ialah
pemilik kuasa tertinggi dalam sesuatu komuniti dan negara. Dalam konteks pemerintahan Islam, kepimpinan ditafsirkan dengan corak pemerintahan
mengikut hukum Allah atau dengan kata lain Kuasa tertinggi dan mutlak adalah milik Allah SWT. Sesungguhnya pemerintahan sesebuah negara dengan hukum
yang disyariatkan oleh Allah SWT dan menjadikannya sebagai sumber rujukan hukum perundangan negara ialah satu tuntutan yang diwajibkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Ia merupakan bukti sifat ‘ubudiyyah’ dan tanda keyakinan kepada risalah kenabian Nabi Muhammad SAW.
Sebagai sebuah ideologi negara, masyarakat serta kehidupan, Islam telah menjadikan negara beserta kekuasaanya sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dari eksistensinya. Dimana Islam telah memerintahkan kaum muslimin agar mendirikan negara dan pemerintahan, serta memerintah
berdasarkan hukum-hukum Islam. Dalam al-Qur’an hanya disebutkan prinsip- prinsip umum mengenai masalah negara dan pemerintahan. Untuk selanjutnya
umat Islam menjabarkannya sesuai dengan realitas dan kondisi riil yang dihadapinya.
Sistem pemerintahan Islam adalah sebuah sistem yang lain sama sekali dengan sistem-sistem pemerintahan yang ada di dunia. Baik dari aspek asas yang
menjadi landasan berdirinya, pemikiran, konsep, standar serta hukum-hukum yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, maupun dari aspek
undang-undang dasar serta undang-undang yang diberlakukannya, ataupun dari aspek bentuk yang menggambarkan wujud negara. Maupun hal-hal yang
menjadikannya berbeda sekali dari seluruh bentuk pemerintahan yang ada di dunia seperti; 1 Sistem pemerintahan republik,2 Sistem pemerintahan
kekaisaran, 3 Sistem pemerintahan Federasi 4 Sistem pemerintahan monarki.
Adapun di dalam pembahasan ini lebih menekankan kepada sistem Pemerintahan Raja atau dikenali dengan sistem Pemerintahan Monarki. Sistem
pemerintahan Islam tidak berbentuk monarki, maupun yang sejenis dengan sistem monarki. Pemerintahan Monarki menerapkan sistem waris putera mahkota,
dimana singgahsana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putera mahkota, dari orang tuanya, seperti mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem Pemerintahan
Islam tidak mengenal akan sistem warisan. Sistem monarki telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa
khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh orang lain. Sistem ini juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, dimana secara peribadi
memiliki kekebalan hukum. Raja, kadang kala hanya merupakan simbol bagi umat dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, seperti raja-raja di Eropa. Atau
kadang kala menjadi raja yang berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum. Mengenai hal ini, al-‘Allahamah Siddiq Hasan Khan berkata” Seseorang
pemerintah tidak patut dipersalahkan, walaupun dia melantik bapak ataupun anaknya sebagai pengganti, karena dia telah diberi jaminan semasa hidupnya
untuk memperhatikan perbuatan mereka. Sebagus-bagusnya dia tidak dianggap sebagai ingin meninggalkan pengaruh setelah kematiannya, berbeda dengan
pendapat yang menuduh mereka yang melantik anak atau bapaknya sebagai pengganti maupun mereka yang menganggap perlantikan anak saja sebagai satu
kesalahan, bukan bapak. Semua ini jauh sama sekali daripada sangkaan yang baik, terutama jika terdapat faktor yang boleh membawa kepada perkara tersebut
seperti mengutamakan kepentingan umum ataupun menjangkakan akan berlaku sesuatu kemusnahan, pada ketika itu tertolaklah segala sangkaan sebagaimana
yang berlaku pada peristiwa pelantikan Yazid oleh bapaknya Mua’wiyah tersebut yang dipersetujui oleh orang ramai merupakan dalil yang nyata dalam hal ini.
Sistem putra mahkota merupakan sistem yang mungkar dalam pandangan Islam, serta bertentangan dengan sistem Islam karena kekuasaan adalah milik
umat, bukan milik khalifah.
22
Kalau khalifah hanya merupakan wakil umat untuk memegang kekuasaan sementara statusnya tetap sebagai wakil, maka bagaimana
mungkin khalifah bisa menghadiahkan kekuasaannya kepada orang lain. Karena itu apa yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a. kepada Umar r.a. bukan merupakan
waliyatul ahdi pewarisan kepada putra mahkota, karena ia melakukan pemilihan
berdasarkan aspirasi umat Islam semasa hidupnya. Lalu Umar r.a. di bai’at setelah beliau wafat.
Disamping itu, Abu Bakar r.a. sebenarnya telah bertindak hati-hati untuk menyelesaikan urusan tersebut sebagaimana dalam khutbahnya. Beliau
menggantungkan pelaksanaan urusan tersebut berdasarkan ridla kaum Muslimin, ketika beliau berkhutbah di hadapan mereka, setelah menetapkan pendapatnya
untuk menunjuk pengganti beliau sambil berkata; “Apakah kalian menerima orang yang telah aku tunjuk sebagai penggantiku dalam memimpin kalian?
Demi Allah, aku telah menyerahkan segenap kemampuan, dan aku tidak akan
22
Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, Doktrin Sejarah Empirik, h. 110.
menunjuk sanak kerabat sebagai pemimpin.”
23
Atas dasar ini pula Umar bin Khattab menjadikan puteranya, Abdullah bersama enam orang calon khalifah,
dimana keenam-enamnya memiliki hak memilih dan tidak berhak dipilih, sehingga tidak ada yang menyerupai wilayatul ahdi putera mahkota. Berbeda
dengan sistem putera mahkota yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah karena dalam prakteknya memang jelas bertentangan dengan Islam.
Sedangkan yang menyebabkan Mu’awiyah melakukan bid’ah yang jelas mungkar tersebut adalah:
a Mu’awiyah memahami, bahwa sistem kepemimpinan Daulah Islam adalah
sistem kerajaan, bukan sistem khalifah. b
Mu’awiyah telah memperalat nash-nash syara’ lalu mena’wilkannya memberikan arti tidak sesuai dengan maksud nash itu sendiri. Islam telah
memberikan hak pemilihan Khalifah kepada umat, dan hal itu pun telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bahkan beliau telah memberikan kebebasan
kepada kaum Muslimin memilih orang lebih layak untuk memimpin urusan mereka. Namun Mu’awiyah justru terpengaruh untuk memahami Islam
dengan sistem yang sedang berlangsung ketika itu, yaitu yang ada pada dua negara: Bizantium dan Sasaniyah, dimana pada kedua negara tersebut
pemerintahannya mempergunakan sistem keturunan. Karena itu Mu’awiyah menjadikan Yazid sebagai putera mahkotanya, lalu disiasati dengan
mengambil bai’at untuk Yazid semasa hidup Mu’awiyah.
23
An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah Empirik, h. 110.
c Metode Ijtihad Mu’awiyah dalam masalah politik dibangun di atas asas
manfaat. Karena itu dia menjadikan hukum-hukum syara’ mengikuti masalah yang ada, bukan hukum-hukum tersebut dipergunakan untuk memecahkan
masalah-masalah yang ada, maka Mu’awiyah mena’wilkan hukum-hukum agar sesuai dengan permasalahan yang ada. Padahal semestinya, dia harus
mengikuti metode ijtihad yang Islami dengan cara menjadikan asasnya adalah kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, bukan berdasarkan kemanfaatan materi. Dan
semestinya menjadikan hukum-hukum Islam sebagai penyelesaian yang pada zamannya tesebut untuk menyelesaikan hukum Islam, sehingga akan terjadi
perubahan penggantian bahkan memutar balikkan terhadap hukum-hukum Islam.
Berdasarkan perhitungan al-Mas’udi, masa khalifah selama tiga puluh tahun itu dimulai sejak pemerintahan Abu Bakar hingga masa pemerintahan
Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang berkuasa selama delapan bulan sepuluh hari.
24
Dalam perkembangan selanjutnya, penyelengaraan kenegaraan dan pemerintahan berjalan menjauh dari kondisi ideal yang dipraktekkan Nabi dan para khalifah
terbimbing, terutama ketika pemerintahan Islam dijalankan dengan model kerajaan. Model ini dimulai ketika Mua’wiyah bin Abi Sufyan tampil
menempatkan diri sebagai kepala negara, dan ketika itu ia secara tegas mengatakan; “Aku adalah raja pertama”, lalu di akhir masa pemerintahannya,
24
Al-Mas’udi, Juz I, h. 347 dan Hafid bin Ahmad al-Hakimi, A’lam al-Sunnah al- Masyurah Lii’tiqad al-Thaifah al-Najiyah al-Mansyurah
, Wizarat al-Syu’un al-Islamiyah wa al- Auqah wa al-Da’wah wa al-Irsyad, Arab Saudi, 1422 H, h. 290 dan seterusnya.
Mua’wiyah mengangkat Yazid bin Mua’wiyah sebagai putera mahkota. Satu cara yang tidak pernah dilakukan pada masa-masa pemerintahan sebelumnya. Ibnu
Rusyd mengatakan, “Mua’wiyah telah meruntuhkan bangunan yang indah dan mulia, yang telah dibangun oleh para khalifah Nabi”.
25
Meskipun cara pelaksanaan pemerintahan yang menitikberatkan putera mahkota banyak mendapatkan pertentangan, namun para fuqaha’ telah
menetapkan bahwa dibolehkannya sistem keimamahan dengan cara menentukan putera mahkota dari kesepakatan ijma ulama dapat diterima. Namun Islam tidak
memandang sistem raja itu adalah suatu sistem yang salah. Karena, sistem itu tidak melanggar batas syara’ hukum selagi dalam suatu sistem pemerintahan itu
masih menjalankan hukum-hukum Islam.
25
Dikutip dari M. Quraish Shihab, Sunnah, h. 217.
BAB III MAJELIS RAJA-RAJA MENURUT