Gelar Istilah Negara dalam Ketatanegaraaan Islam

berkasih sayang dan baik hati tehadap kerabatnya, dan seorang Muslim yang berhati-hati menjaga anak dan isterinya daripada perkara haram.” 18 Kesimpulannya dalam sesuatu ummah, mestilah terdapat seseorang pemerintah yang tugasnya menegakkan agama, membantu menyebarkan al- Sunnah , berlaku adil terhadap mereka yang dizalimi, menyempurnakan segala hak serta adil dalam segala perkara demi keamanan masyarakat yang dipimpinnya.

B. Gelar Istilah Negara dalam Ketatanegaraaan Islam

Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat itu. Dengan adanya negara yang merupakan organisasi dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Kehidupan bernegara merupakan suatu keharusan dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat guna mewujudkan peraturan dan agar mampu mewujudkan kepentingan bersama dalam bermasyarakat. Karena dengan adanya negara dengan perangkatnya mereka dapat memaksakan suatu keinginan bersama demi kebaikan dan kemaslahatan bersama. 18 Diriwayatkan oleh Muslim hadits no. 2865. Ibn Khaldun menjelaskan bahwa negara itu terbentuk karena lanjutan dari keinginan manusia bergaul solidaritas antara seseorang dengan yang lainnya dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan hidupnya, baik itu dalam rangka mempertahankan diri maupun menolak musuh. Semakin luas pergaulan manusia dan semakin banyak kebutuhannya, maka bertambah besar kebutuhannya kepada suatu organisasi negara yang melindungi dan memelihara keselamatan hidupnya. Biasanya ketika masyarakat itu teratur karena cita-cita yang sama atau karena satu keyakinan dan kepercayaan, sehingga menimbulkan perasaan senasib seperuntungan dan seperjuangan, mereka akan membentuk suatu umat tersendiri. Masyarakat Islam tampil di pentas dunia ini sekitar tahun 624 Masehi, ketika konsepsi negara bangsa atau nasional itu belum muncul. Dengan demikian, negara yang dimaksud dalam Islam atau yang dijalani Nabi Muhammad dan khulafa rasyidun serta kaum Muslimin awal bukanlah suatu negara dalam konsepsi nagara nasional, tetapi negara dalam arti luas yaitu suatu masyarakat manusia yang tinggal dalam satu wilayah tertentu yang diatur berdasarkan syari’at Islam dan dilaksanakan oleh pemerintah Islam. Meskipun demikian, negara pada masa Nabi dan khulafa rasyidun telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana negara dalam pengertian sempit, yakni; a warga negara, yang terdiri dari warga negara Muslim dan kaum dzimmi warga negara non Muslim yang tinggal menetap di wilayah Islam dan mendapat perlindungan, dengan kewajiban membayar jizyah serta musta’min warga negara asing non Muslim yang tinggal sementara dalam wilayah Islam dan mendapatkan perlindungan, tanpa kewajiban membayar jizyah; b wilayah yang terdiri dari daratan, udara, dan lautan, yang semula hanya wilayah Madinah dan sekitarnya, kemudian pasca fathu Makkah meliputi semenanjung Arabia dan sekitarnya; c pemerintah, yang dilekati kewenangan melaksanakan dan menegakkan ketentuan-ketentuan syari’ah Islam, yaitu Nabi Muhammad dan dilanjutkan oleh khulafa rasyidin. Jika dilihat akan realitas sejarah, Islam menunjukkan bahwa negara itu dibutuhkan dalam rangka pengembangan dakwah. Misalnya, ketika nabi masih di Mekkah 611-622 tidak banyak yang dapat diperbuat di bidang politik karena kekuatan politik didominasi oleh kaum Quraisy yang memusuhi Nabi. Tetapi setelah berhijrah ke Madinah, di mana Nabi telah mempunyai komunitas sendiri yang berjanji setia untuk hidup bersama dengan satu kesepakatan menggunakan aturan yang disepakati bersama yang berupa Piagam Madinah. Kehidupan Nabi bersama umatnya pada periode Madinah ini 622-632, oleh banyak pakar dianggap sebagai kehidupan yang bernegara. 19 Penilaian ini tentu didasarkan pada kenyataan yang dapat dijadikan sebagai argumen bahwa ketika itu telah terwujud sebuah negara, baik itu wilayah, masyarakat, maupun penguasa. Namun selanjutnya yang menjadi persoalan adalah Nabi tidak meninggalkan satu sunnah yang pasti bagaimana sistem penyelenggaraan negara itu, siapa yang berhak menetapkan undang-undang, kepada siapa kepala negara 19 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI-Press, 1986, hal. 92. bertanggungjawab dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban tersebut. Karena ketidakjelasan inilah kita lihat praktek kenegaraan dalam sejarah Islam selanjutnya selalu berubah-ubah. Dalam masa empat Khalifa al-Rasyidin saja terlihat kebijaksanaan masing-masing mereka sangat bervariasi, terutama sekali dalam masalah suksesi. Misalnya, Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang berlansung pada hari kedua setelah Nabi wafat. Umar Ibn Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukan dan wasiat pendahulunya, Kendatipun demikian Abu Bakar pernah mendiskusikan dengan sahabatnya secara tertutup. Usman Ibn Affan menjadi khalifah yang ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok orang-orang yang telah ditetapkan oleh Umar sebelum ia wafat. Sementara Ali Ibn Thalib diangkat menjadi khalifah yang keempat malalui pemilihan yang penyelenggaraannya jauh dari sempurna. 20 Penyelenggaraan negara di masa Bani Umayyah telah lebih jauh lagi dari ajaran sebenarnya dibandingkan dengan praktek masa Nabi Muhammad. Pada masa ini hampir tidak ada lagi bentuk musyawarah dipraktekkan, terutama dalam rangka suksesi. Tradisi suksesi telah berubah dari praktek sebelumnya para Khulafa al-Rasyidin yang selalu menggunakan musyawarah, menjadi sistem penunjukan terhadap anaknya atau keturunannya yang lain. Demikian juga 20 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 28-29. praktek sistem kenegaraan di masa Bani Abbasiah tidak banyak perbedaannya dengan masa Umayyah. Dalam perkembangannya, “Negara Islam Madinah” yang telah dipraktek- kan Nabi dan Khulafa Rasyidin tersebut mengalami reduksi dalam implementasi. “Negara Islam adalah negara yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Muslim, di dalamnya tegak dan terlaksana hukum syi’ar-syi’ar Islam. Sifat negara ini tidak berubah karena sebab tidak terlaksana atau tertundanya sebagian hukum- hukum Islam selagi syi’ar-syi’ar Islam terlaksana seperti adzan, jum’ah, dan shalat jama’ah. Sebenarnya dalam negara itu bekerja untuk dua tujuan yang utama. Pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan. Allah SWT berfirman: ;. E F DG 3 H I=D GJ3 K F LM, F NO H P Q D R7S T U C V WE X J 7Y E Z F NO H .[ .\ ] _ .[ .02 1 IQ  FD a-=D X b Q c=eY F[ c?H GJ3 D X g h E 2 iNj k lN[mN? Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan mizan neraca supaya manusia dapat menjalankan keadilan, dan Kami menciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia supaya manusia mempergunakan besi itu dan Allah mengetahui siapa yang menolong agama Nya dan rasul-rasulNya, padahal Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. QS: al-Hadid57: 25. Dari ayat al-Qur’an di atas dapat dikutip bahwa Maududi ingin menggunakan negara itu sebagai mekanisme untuk mencapai keselamatan manusia di dunia dan akhirat. Dengan mengikuti perintah-perintah Allah sebagaimana telah diwahyukan untuk petunjuk kehidupan manusia yang akan mendapatkan kebaikan. Karena sebagaimana dinyatakan oleh Allah sendiri bahwa Islam ini diturunkan untuk memberi rahmat bagi seluruh alam. Maka negara menjadi satu kepentingan dalam menjalani setiap pergerakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi sebagai menjalankan perintah agama yang diturunkan oleh Allah. Muhammad Asad menjelaskan bahwa negara bagi Islam merupakan alat untuk mencapai tujuan, dengan mendasarkan tujuan negara pada ayat al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 103-104: Z C7nR;? j: ,\op X Cq Z k 01  g Z ? rs 9 KC O -rS X=Dt 9 E urvFrs wr .;? H 2 _ x B -rS Dk urv ,; _ 1z 4 { F FO a E urvFrs g=? 0102 iI 1? a LQ 3 F -rs0X EO _ \} ~ LQ S , 0X0s x LB8?[ b -rS z R [ r rSbD h .R }  rS4 -rS LQ \Q•H h ??;.[ = E e [ ] h ? ?Q _[ 7 ? \O ‚ h F[ ? m S C g ,ƒ„ _ •H ?-… T D 1 C - Artinya: ”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah agama, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah orang- orang yang bersaudara. Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. Q.S: al-Imran2: 103-104 Berdasarkan ayat itu dapat dijelaskan bahwa tujuan negara Islam adalah demi pengembangan masyarakat manusia yang mempraktekkan persamaan hak dan keadilan menuju yang benar haq dan menentang yang salah, untuk menjalankan pembelaan keadaan sosial, yang dapat menyelamatkan kehidupan manusia lahir ataupun batin menurut undang-undang alam dari Tuhan yaitu Islam. 21 Yang senantiasa perlu diingat adalah bahwa tujuan suatu negara di dalam ajaran Islam sudah terlalu jelas. Berdasarkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Maududi ada menerangkan beberapa tujuan diselenggarakannya negara. Pertama, untuk mengelakkan terjadinya eksploitasi antara manusia, antara kelompok atau antara kelas dalam masyarakat. Kedua, untuk memelihara kebebasan ekonomi, politik, pendidikan dan agama para warga negara dan melindungi seluruh warga negara dari infasi asing. Ketiga, untuk menegakkan system keadilan sosial yang seimbang sebagaimana yang dikehendaki oleh al- 21 Muhammad Asad, Islamic Constituation Making, terjemahan Omar Amin Husein dan Amiruddin Djamil, Masalah Kenegaraan Islam Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Bersama, t.th., h. 18. Qur’an. Keempat, untuk membanteras setiap kejahatan munkarat dan mendorong setiap kebajikan yang dengan tegas telah digariskan pula oleh al- Qur’an. Kelima, menjadikan negara itu sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, negara dalam ajaran Islam hanyalah merupakan instrumen pembaharuan yang terus-menerus. Negara, konstitusi dan semua perangkat kenegaraan lainnya dibuat untuk kepentingan rakyat, bukan rakyat yang harus mengabdi tanpa reserve kepada negara, sehingga negara itu menjadi fasistis dan totalier. Semua perangkat negara, apalagi pejabat-pejabat negara, dapat diubah setiap waktu bila kepentingan rakyat banyak, asal tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama,menghendakinya. Sebagai instrumen of reform, negara dengan konstitusinya, lembaga-lembaga perwakilan, lembaga kehakiman- nya dan lain-lain harus mengabdi kepada rakyat, bukan sebaliknya.

C. Pandangan Islam tentang Institusi Pemerintahan Raja