intervensi kerajaan Inggris sehingga mereka tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai Raja.
Buku ketiga, “Teori Kontrak Sosial” karya dari Dhiauddin Rais, yang menjelaskan tentang “Hakikat Imamah antara Keimamahan, Kekhalifahan dan
Kerajaan”. Di dalam buku ini mencoba membahas pentingnya gelar seorang
kepala Negara serta hubungan antara imamah dan khilafah.
E. Kerangka Teori dan Konsepsional
Majelis Raja-Raja adalah sebuah majelis yang menaungi raja-raja dan gubernur-gubernur bagi negeri yang tidak memiliki raja. Lembaga ini bertujuan
untuk menjaga hubungan antar negera-negara persekutuan agar lebih erat lagi dengan negeri-negeri yang bukan anggota Persekutuan. Artinya Majelis Raja-Raja
adalah sebuah perkumpulan ekslusif untuk Raja-Raja Melayu yang terdiri dari beberapa negara bagian. Sehingga Majelis ini kemudian berwenang dalam
Perlembagaan Persekutuan Malaysia. Ada beberapa macam teori-teori tentang Majelis Raja-Raja, diantaranya:
1. Majelis Raja-Raja ialah memilih Yang di-Pertuan Agong dan Timbalan
Wakil Yang di-Pertuan Agong. 2.
Memberi persetujuan atau penolakan tentang adat istiadat, agama Islam bagi seluruh Persekutuan, tidak termasuk Sabah dan Sarawak.
3. Memberi persetujuan atau menolak undang-undang atau memberi nasehat
tentang perlantikan jabatan yang memerlukan persetujuan Majelis Raja-Raja.
4. Mengangkat dan memberikan wewenang kepolisian negara.
Majelis Raja-Raja adalah suatu majelis yang tidak ada disebutkan dalam hukumnya dalam al-Qur’an maupun al-Hadis. Akan tetapi banyak sekali ayat-ayat
al-Qur’an yang menyebutkan tentang perlunya musyawarah dalam melantik sesuatu pemangkatan imam atau membuat suatu putusan persetujuan bersama.
Ketika Qur’an memerintahkan kepada Rasulullah untuk bermusyawarah dengan kaum Mukminin, tidak menyangkut persoalan wahyu. Oleh sebab di satu sisi,
wahyu itu merupakan persoalan khusus bagi Rasulullah dalam hubungannya dengan Allah. Ini sama seperti yang dilakukan dalam Majelis Raja-Raja tersebut,
hanya saja majelis ini dihadiri oleh golongan raja-raja yang berwenang memberikan tugas dan wewenang yang dijalankan oleh Yang di-Pertuan Agong
dengan mengikuti nasehat jemaah menteri, dan tugas dan kuasa dijalankan oleh raja-raja lain dan gubernur-gubernur dengan mengikut nasehat majelis rapat
kerajaannya masing-masing. Demikian juga banyak hadis yang menyebut tentang musyawarah.
Menurut at-Thabari, musyawarah adalah sebagai salah satu dari ‘adha’im al- ahkam,
yaitu prinsip fundamental syariat yang esensial bagi subtansi dan identitas pemerintahan Islam. Nabi Muhammad SAW adalah seorang Nabi, Rasulullah,
dan kepala negara yang selalu bermusyawarah dalam menyelesaikan persoalan- persoalan perang, sehingga Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari
dalam kitab shahihnya, berkata; “Aku tidak pernah melihat orang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya berbanding Rasulullah SAW”
.
Dengan demikian para pakar hukum Islam termasuk seorang imam atau penguasa mempunyai kebebasan untuk melakukan ijtihad penggalian dan penemuan
hukum mereka itulah yang kemudian disebut Mujtahid. Kemudian hasil ijtihad tentang Majelis Raja-Raja tersebut dapat disebut
dengan hukum fikih. Fikih dimasudkan sebagai hasil pemikiran para mujtahid atau ahli hukum Islam yang menderivasi hukum dari sumbernya, al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah. Hasil dari ijtihad bisa saja berbeda antara seorang ulama dengan ulama yang lainnya. Sehingga hal ini mengakibatkan adanya perbedaan-
perbedaan pendapat yang pada akhirnya hukum fikih tersebut terbagi kepada mazhab-mazhab fikih.
Pada tahap selanjutnya, pelaksanaan yang terdapat dalam Majelis Raja- Raja itu harus memiliki undang-undang tentang Majelis Raja-Raja. Dalam
membuat undang-undang tersebut pemerintah dapat mengadopsi hukum fikih yang telah dihasilkan oleh para ulama. Biasanya hukum fikih yang telah diadopsi
oleh negara dinamakan Qanun.
F. Metode Penelitian