Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara membutuhkan seorang pemimpin untuk membawa kemana arah dan tujuan Negara. Beberapa abad lamanya orang Melayu diperintah berdasarkan pemerintahan kerajaan oleh Sultan dengan kepercayaan sepenuhnya. Ketika zaman penjajahan Inggris, Sultan-sultan diterima sebagai pemerintahan berdaulat dan memiliki wewenang penuh dalam Negara bagian masing-masing, walaupun mereka memiliki beberapa perjanjian dengan persekutuan Inggris, untuk menerima nasehat dari pegawai-pegawai kerajaan Inggris yang dilantik sebagai presiden atau penasehat kerajaan Inggris. 1 Keadaan demikian berlanjut sampai menjelang hari kemerdekaan pada tahun 1996 kerajaan Inggris memperkenalkan sebuah Perlembagaan. 2 Unitari untuk semenanjung Malaysia yang dipanggil Malayan Union. 3 Di bawah perlembagaan ini, sultan-sultan dapat kehilangan kekuasaan mereka, karena pihak Inggris memerintah secara langsung negara ini. Namun pada tahun 1948 perlembagaan Malayan Union digabungkan dengan 1 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Permerintahan di Malaysia, cet. III, Ampang Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawamah Sdn. Bhd, t.th., h. 38. 2 Perlembagaan dalam Hukum Ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama Undang- Undang Dasar. 3 M.U Gazeete G.N. 21946 perlembagaan penjajah, dan dikenal dengan nama perjanjian persekutuan Tanah Melayu. Perlembagaan ini sedikit banyak telah mengembalikan raja-raja Melayu kepada kedudukan asal mereka. Majelis Raja-Raja tidak terbentuk secara sengaja atau direncanakan. Oleh sebab itu tidak salah apabila dikatakan bahwa kemunculan majelis adalah sebuah kebetulan sejarah. Tetapi walau apapun sifat kemunculannya, majelis mempunyai efek yang positif terhadap hubungan antara sembilan kesultanan Melayu yang ada. Ini memperkuat hubungan sesama mereka yang sebagian besar mempunyai pertalian keluarga antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan itu kemudian diperkuat lagi melalui proses perkawinan dan sejenisnya. Meskipun kemunculan Majelis Raja-Raja dapat dikatakan sebagai sebuah kebetulan sejarah, namun secara formal dapat dijelaskan bahwa Majelis Raja-Raja ada sebagai akibat tidak langsung dari hasil dasar dan perancangan kerajaan Inggris. Tetapi walau bagaimanapun kemunculannya, tidak berakhir sebagai sebuah institusi yang mewakili kepentingan kekuasaan asing. Meskipun Majelis Raja-Raja yang ada sekarang merupakan struktur yang formal dan diatur oleh undang-undang, namun majelis ini dipisahkan dari kesultanan Melayu yang merupakan tonggak sistem atau institusi beraja di Malaysia. 4 Oeh sebab itu, sejarah awal Majelis Raja-Raja dimulai dengan menapaki secara sepintas kemudian kemunculan kesultanan Melayu yang ada sekarang. Kedudukan kesultanan Melayu sangat erat kaitannya dengan kesultanan 4 Abdul Aziz Bari, Majlis Raja-raja Kedudukan dan peranan dalam perlembagaan Malaysia , Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006. Cet.II, h. 16 Melayu Melaka. Meskipun kesultanan ini bukan kesultanan yang tertua seperti halnya kesultanan Kedah yang didirikan sekitar abad ke-13, kesultanan Melayu Melaka mempunyai pranan yang besar dalam membina tradisi dan adat istiadat istana yang kemudian diwarisi oleh kesultanan-kesultanan yang muncul kemudian hari. 5 Selain itu, kesultanan Melayu Melaka juga mempunyai peranan dalam membantu mendirikan dan memelihara kesultanan yang ada sekarang. Dari sembilan kesultanan yang ada, hanya kesultanan Melayu Perak yang mempunyai hubungan langsung dengan kesultanan Melayu Melaka, karena kesultanan Melayu Perak didasarkan oleh kesultanan tersebut, sebelum kesultanan Melayu Melaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Kesultanan Kedah yang pernah dilindungi kerajaan Melaka memiliki peralatan kerajaan, termasuk penghargaan yang dianugerahkan kepada kesultanan ini oleh kerajaan Melaka. Sedangkan Kesultanan Selangor, meskipun diperintah oleh orang Bugis pada abad ke-18, namun kesultanan ini diakui oleh kesultanan Perak yang mempunyai pertalian lansung dengan raja-rajanya yang berasal dari Sumatera. Kedudukan Majelis Raja-Raja dalam perlembagaan sekarang ini adalah terkait dengan hal-hal yang berkenaan dengan majelis tersebut dalam Perlembagaan Persekutuan dan Perlembagaan Negeri. 6 Perlembagaan Persekutuan menginginkan sebuah bagian khusus untuk Majelis Raja-Raja. 5 Untuk gambar yang lebih terperinci lihat dalam Abdul Aziz Bari, “Ketua Negara, Ketua-Ketua Negeri dan Majlis Raja-Raja ”, dalam Ahmad Ibrahim et.al., Perkembangan Undang- Undang Perlembagaan Persekutuan , Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999, h. 40-99 6 Abdul Aziz Bari, Perlembagaan Malaysia Asas-asas dan Masalah, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999, h. 2 Bagaimanapun juga ada ketentuan lain dalam Perlembagaan yang menyebutkan kedudukan Majelis Raja-Raja. Kedudukan majelis dalam perlembagaan yang didalamnya terdapat hal-hal dalam jadwal dan berbagai peraturan yang berfungsi menjelaskan lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan Perlembagaan. Setelah itu, maka diakui dasar institusi tradisi seperti ini ke dalam demokrasi. Adapun perkembangan majelis ini merupakan evolusi peranan Majelis Raja-Raja, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Majelis Raja-Raja adalah sebuah perkumpulan eksklusif untuk raja-raja Melayu saja. Pada tahun 1957 Perlembagaan Persekutuan telah menyertakan ketua-ketua negara bagian yang bukan raja, seperti Yang Dipertuan Negeri yang saat itu disebut dengan Gabernor Gubernur di dua negara bagian Melaka dan Pulau Pinang. Setelah penulis menjelaskan secara umum mengenai Majelis Raja-Raja di Malaysia, maka kita akan melihat konsep pemerintahan Islam yang berkaitan dengan fungsi raja atau dalam Islam lebih tepat sebagai khalifahimam. Masuknya Islam ke wilayah kepulauan Melayu merupakan peristiwa penting dalam sejarah Melayu yang kemudian identik dengan Islam. Sebab, Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu telah berhasil menggerakkan kearah terbentuknya kesadaran berbangsa. Abu Hasan Al-Mawardi mengatakan, keimaman diletakkan untuk mengganti-kan posisi kenabian dalam memelihara agama dan politik keduniaan. Dapat dilihat bahwa Al-Mawardi yang menjabat kepala Qadhi di Baghdad dan salah seorang ulama’ besar fiqih Syafi’i, di antara yang masuk spesifikasi kenabian adalah politik keduniaan. Meskipun yang menjadi khalifah atau pengganti Rasul yang dalam istilah-nya “menjaga dan memelihara agama” menunjukkan bahwa tugas seorang imam adalah menjaga, memelihara dan membela agama, bukan menjelaskan atau mengadakan pergantian dalam agama. Di antaranya adalah sang imam harus mampu menunjukkan, dengan tingkah laku dan perbuatannya, bahwa dia adalah pemelihara agama dan memerhatikan perintah-perintah agama. Allah SWT menggariskan bahwa dalam umat harus ada pemimpin yang menjadi pengganti dan penerus fungsi kenabian untuk menjaga terselenggaranya ajaran agama. Memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi syariat agama dan menyatukan umat dalam kepemimpinan yang tunggal. Imamah kepimimpinan negara adalah dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaran- ajaran agama dan pangkal bagi terwujudnya kemaslahatan umat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman sejahtera. 7 Mengenai arti pentingnya seorang pemimpin diutarakan juga oleh Ibnu Khaldun di dalam Muqaddimah-nya, bahwa “Kedudukan pemimpin timbul dari keharusan hidup bergaul bagi manusia, didasarkan kepada penaklukan dan paksaan, yang merupakan pernyataan sifat murka dan sifat-sifat kebinatangan”. 8 Dalam perkembangan peradaban manusia, agama senantiasa memiliki hubungan 7 Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, cet V, h. 14. 8 Ibn Khaldun, Muqaddimah, Penterjemah Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus: 2008, cet. VII, h. 232. dengan negara. Hubungan agama dan negara mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan pemahaman pemaknaan terhadap agama dan negara itu sendiri. Ada suatu masa dimana negara sangat dekat dengan agama atau bahkan menjadi negara agama. Di saat lain, terdapat pula masa-masa agama mengalami ketegangan dengan negara. Puncak hubungan antara negara dan agama terjadi ketika konsepsi Kedaulatan Tuhan dalam perlaksanaanya diwujudkan dalam diri raja. Kedaulatan Tuhan Theocracy dan kedaulatan raja menyatu satu sama lain sehingga kekuasaan raja adalah absolut yang mengungkung peradaban manusia pada abad pertengahan. 9 Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa wilayah kehidupan keagamaan dan wilayah kenegaraan memang dapat dan mudah dibedakan satu sama lain, namun tidak mudah dipisahkan. Penyatuan antara Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Raja telah melahirkan pemerintah absolut dan menyebabkan terjadinya kezaliman yang tidak berperikemanusiaan. Dalam dunia Islam, konsep yang merupakan penyatuan antara Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Raja terjadi pada saat; Pertama, konsep Khalifah Al-Rasul yang rasional dan demokratis dimanipulasikan maknanya sehingga tunduk pada warisan sistem feodal tradisi kerajaan yang bersifat turun-temurun. Kedua, ketika perkataaan “Khalifah Al- Rasul ” sebagai konsep filosofis. 10 9 Hari Wibowo, Islam dan Pembangunan Hukum Nasional, http:bhariwibowo.blogspot. com200612Islam-dan-pembangunan-hukum-nasional.html-ftn3. Artikel diakses pada tanggal 12 Desember 2008. 10 Ibid. Dalam memahami pemikiran dalam politik Islam maka seharusnya pula memahami terminologi dari istilah gelar kepala Negara dalam sistem pemerintahan Islam. Di antara gelar Negara tersebut ialah Khalifah, Amirul Mukminin, Imam, Sultan, Perdana Menteri dan Presiden. Dalam penelitian ini penulis akan mengurai-kan istilah, karakter dan latar belakang historis dari gelar kepala Negara tersebut. Empat istilah pertama biasanya digunakan dalam masa pemerintahan Islam klasik mulai dari masa khalifah hingga masa Abbasiyah, walaupun pada masa kontemporer ini salah satu istilah tersebut masih digunakan seperti gelar Sultan, Imam atau Imamah. Namun, dua gelar terakhir lebih banyak dipakai pada masa kontemporer ini daripada masa klasik, baik itu di Negara muslim maupun non muslim. Setelah kita melihat apa itu Majelis Raja-Raja menurut Perlembagaan Persekutuan Malaysia, kemudian seperti apakah Islam mengkaji mengenai masalah, istilah, wewenang dan gelar kepala negara. Untuk penulis terdorong untuk mengangkat sebuah tema skripsi dengan judul “Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia dan Relevansinya dengan Doktrin Ketatanegaraan Islam”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah