Hambatan Pengajaran Literasi Informasi pada Perguruan Tinggi di Indonesia
hanya untuk hiburan, tetapi mereka juga menggunakannya untuk kebutuhan akademis.
Ada beberapa alasan mengapa internet populer dikalangan mahasiswa dan dosen, di antaranya :
a. Mereka dapat mengakses informasi yang belum ada dalam bentuk tercetak dan informasi yang belum diterbitkan.
b. Mereka dapat mengakses kapan saja, tidak dibatasi oleh waktu. c. Mereka dapat berinteraksi dengan para ahli melalui internet.
d. Mereka dapat mengakses informasi dari universitas, badan pemerintah dan sumber-sumber lainnya.
Namun sayangnya, penggunaan internet oleh mahasiswa tidak dibarengi dengan kemampuan mahasiswa dalam mengevaluasi secara kritis
informasi yang didapat melalui internet. Beberapa penelitian Rothemberg, 1999; Damton, 1999; Thome, 1996 pada Browne, 2000 menunjukkan bahwa
penggunaan internet oleh para mahasiswa untuk tugas mereka tidak selalu meningkatkan kualitas tugas tersebut. Karena mudahnya mendapatkan
informasi seringkali tugas mereka hanya merupakan kumpulan hasil-hasil copy dan paste dari beberapa sumber di internet yang belum tentu merupakan
sumber yang dapat dipercaya. Internet merupakan teknologi yang dapat membantu proses belajar dan mengajar jika dipergunakan secara tepat guna.
Karenanya penyediaan fasilitas internet perlu dibarengi dengan pengajaran penggunaan internet melalui program literasi informasi di perguruan tinggi.
Tidak dapat dipungkiri kehadiran internet merupakan salah satu sumber informasi yang banyak digunakan di kalangan mahasiswa di
Indonesia. Beberapa perpustakaan perguruan tinggi memberikan layanan internet gratis sementara beberapa yang lainnya memberikan layanan internet
dengan mengenakan biaya pada penggunanya. Ada juga perpustakaan yang tidak memberikan layanan internet tetapi mahasiswa mempunyai tempat
alternatif untuk menggunakan informasi melalui layanan yang diberikan oleh warung internet warnet. Situasi seperti ini memberikan gambaran bahwa
mahasiswa di Indonesia memerlukan pengajaran bagaimana mencari dan menelusur informasi di internet dan menggunakannya untuk kepentingan
akademis melalui pengajaran literasi informasi. Namun demikian, pengajaran literasi informasi di kebanyakan
perguruan tinggi di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala yang beragam, seperti terbatasnya Sumber Daya Manusia Perpustakaan yang
mumpuni dalam pengajaran literasi informasi, anggaran perpustakaan yang terbatas untuk menyediakan informasi yang up to date melalui penyediaan
teknologi informasi yang terkini, sistem pendidikan Indonesia yang masih berorientasi pada guru dan tidak adanya kebijakan nasional mengenai
pengajaran literasi informasi. a. Sumber Daya Manusia
Pengajaran literasi informasi membutuhkan pustakawan yang mempunyai wawasan luas mengenai teknologi informasi terkini
sehingga dapat mengajarkan kepada pemakainya. Selain itu,
pustakawan harus mempunyai keterampilan dalam mengajar dan berkolaborasi dengan fakultas untuk mengintegrasikan pengajaran ke
dalam kurikulum pendidikan. Sayangnya, jumlah pustakawan Indonesia yang memiliki keterampilan sebagai pakar informasi dan
sebagai pendidik literasi informasi masih sangat terbatas. b. Anggaran Perpustakaan yang Terbatas
Anggaran perpustakaan untuk Perguruan Tinggi menurut Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi adalah minimal 5 dari total
anggaran universitas. Sebenarnya jumlah ini sudah cukup memadai, namun sayangnya kebanyakan perguruan tinggi tidak merealisasikan
kebijakan ini. Hal ini juga berkaitan erat dengan kedudukan perpustakaan yang kebanyakan masih setara dengan kepala bagian
sehingga seringkali mereka tidak diikutkan dalam mengambil kebijakan penting yang berkaitan dengan anggaran perpustakaan.
Anggaran yang ada di perpustakaan yang ada kebanyakan diperuntukkan untuk mengembangkan koleksi tercetak perpustakaan.
Hanya segelintir perpustakaan yang mampu untuk berlangganan online service, membeli CD ROM database, dan menyediakan layanan
internet secara gratis. Padahal pengajaran literasi informasi membutuhkan dana untuk menyediakan fasilitas, mendesain
pengajaran dan mempromosikan kegiatan tersebut.
c. Sistem Pendidikan Sistem pendidikan di Indonesia masih menggunakan pola yang
berorientasi kepada guru atau dosen. Guru adalah sumber informasi sementara peserta didik atau mahasiswa adalah penerima informasi
yang pasif, mereka hanya menerima saja apa yang diberikan oelh gurunya. Meskipun kurikulum Berbasis Kompetensi telah diterapkan
dalam sistem pendidikan di Indonesia. Salah satu perangkat untuk menuju suksesnya kurikulum tersebut yaitu perpustakaan tidak
menjadi agenda utama sehingga kurikulum yang ada hanya menjadi asesori belaka. Sementara dalam realitasnya pembelajaran secara pasif
masih berlangsung dihampir sebagian besar institusi pendidikan termasuk di dalamnya Perguruan Tinggi. Metode pembelajaran seperti
ini membuat mahasiswa tidak tertantang untuk mendapatkan pengetahuan di luar kelas. Mahasiswa sangat bergantung pada
ceramah dosen, catatan mata kuliah, buku teks dan menghapal pengetahuan tanpa memahaminya.
d. Kebijakan Nasional mengenai Pengajaran Literasi Informasi Sejauh ini belum ada kebijakan nasional mengenai pengajaran
literasi informasi pada lembaga pendidikan dari mulai pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Perhatian kebijakan
pemerintah masih berkisar pada banyaknya koleksi perpustakaan dan jumlah judul buku yang dimiliki oleh perpustakaan berbanding dengan
jumlah siswa atau mahasiswanya. Bagaimana sivitas akademikanya
dapat melakukan riset dengan baik tanpa didukung fasilitas dan keterampilan literasi informasi yang baik.
28