Faktor-Faktor Disintegrasi DISINTEGRASI TIMOR-TIMUR DARI INDONESIA

49 keadaan di Timor Timur semakin baik dan ketegangan antara kedua pihak yang bertikai berkurang maka pasukan INTERFET ditarik mundur secara perlahan-lahan dan digantikan oleh UNTAET.

D. Faktor-Faktor Disintegrasi

Setelah proses integrasi keadaan yang harus di hadapi oleh Indonesia dan kelompok Pro-Integrasi sangat lah sulit. Banyak konfrontasi yang dilakukan oleh Fretilin dan kelompok Kemerdekaan, baik dari segi diplomasi maupun segi militer, juga ada faktor-faktor lain yang mendasari seperti kekecawaan dari rakyat Timor- Timur terhadap oknum pemerintah, TNIPOLRI, maupun kaum pendatang dari pulau jawa. D.1 Faktor Kegagalan Diplomasi Salah satu faktor yang menjadi penyebab disintegrasi Timor Timur adalah kegagalan Indonesia dalam menangani dan mempertahankan Timor Timur. Kegagalan utama diplomasi Indonesia ialah Pemerintah Indonesia yang percaya bahwa Portugal masih mempunyai itikad dan niat baik dalam menyelesaikan masalah Timor Timur secara jujur sehingga tanpa disadari oleh Pemerintah Indonesia mereka telah terjebak dalam suatu keadaan yang memberatkan Indonesia di mata dunia. Disamping itu dalam penyelesaian maslah tersebut pemerintah terkesan tertutup dan tidak melibatkan rakyat Timor Timur yang pro-integrasi. Indonesia menganggap masalah Timor Timur sebagai masalah nasional oleh sebab itu penanganannya cukup oleh pemerintah pusat saja dalam hal ini Departemen Luar Negeri. Universitas Sumatera Utara 50 Pada kenyataannya orang Timor Timur pro-integrasilah yang tahu tentang masalah integrasi dan merupakan saksi hidup dari kelompok yang bertikai. Pemerintah hanya mengandalkan keahlian diplomasi dan negosiasi tanpa memahami materi dan mengetahui fakta sejarah integrasi tersebut. Ketidakterlibatan kelompok pro-integrasi yang tahu tentang sejarah memberikan celah kepada Portugal dan Fretilin untuk menyudutkan Indonesia di meja perundingan internasional, sehingga dapat memutarbalikkan fakta dan sejarah di mata internasional bahwa Indonesia adalah penjahat dan menghalangi kemerdekaan Timor Timur. Keadaan ini berhasil membentuk opini dunia terhadap Indonesia sebgai pihak yang menginvasi, membunuh rakyat Timor Timur yang tidak berdosa dan sebagai penyebab utama seluruh konflik dan pembumihangusan Timor Timur. Kesalahan diplomasi yang selanjutnya adalah blunder politik yang di lakukan oleh B.J. Habibie yang pada saat itu di lantik sebagai seorang presiden transisi menggantikan Soeharto. Habibie gagal melawan segala tekanan yang datang dari dunia internasional dan dari rakyat Timor Timur yang pro-kemerdekaan. Hingga akhirnya Habibie mengeluarkan suatu opsi yang selalu dihindari pada masa Soeharto yaitu pemberian Otonomi Khusus kepada Timor Timur dan mengeluarkan kembali opsi ke II yaitu Referendum jika rakyat Timor Timur tidak menghendaki opsi yang pertama. Ini merupakan suatu “blunder” politik, dimana secara tidak langsung Habibie memberikan keuntungan kepada pihak-pihak pro-kemerdekaan yang selama ini telah memperjuangkan referendum untuk kemerdekaan bagi Timor Timur. Pada tanggal 30 Universitas Sumatera Utara 51 Agustus 1999 dilaksanakan referendum atau jajak pendapat bagi rakyat Timor Timur untuk memilih apakah masih ingin bergabung dengan Indonesia atau lepas dari Indonesia. Hasilnya Timor Timur lepas dari NKRI. 62 D.2 Faktor Militer Salah satu yang persoalan utama dalam operasi-operasi TNI di Timor Timur adalah ketidaksesuaian antara doktrin operasional pelaksanaan, pada level petunjuk lapangan yang selama ini dianut TNI dalam hal ini khusunya Angkatan Darat dengan persenjataan dan teknologi militer yang di miliki dan ancaman yang harus di hadapi. 63 Diawal pasukan TNI masuk ke daerah Dili pasukan langsung diterjunkan di daerah sasaran di tengah kota Dili yang merupakan pemusatan kekuatan dari pasukan Fretilin dan milisi Timor Portugis pasukan TNI diterjukan dengan dukungan yang sangat minim pada saat itu, jauh dari mampu mendisorganisasi musuh sehingga menimbulkan banyak korban dari pihak TNI. Tembakan pendahulu yang dilakukan tidak mampu mengacaukan dan melumpuhkan musuh. Malah sebaliknya membuat musuh semakin siaga, akibatnya pasukan TNI yang sedang melayang dengan parasut menjadi sasaran empuk bagi pasukan Fretilin dan milisi Timor Portugis. Disampng itu, Fretilin memiliki pasukan dan persenjataan yang cukup memadai. Pasukan mereka terdiri dari 2.500 Tropas eks kolonial Timor Portugis yang memiliki pengalaman tempur di Mozambik dan Guinea, serta didukung sekitar 7.000 62 Basilio Dias Araujo, Ibid. hal 71 63 Kiki Syahnakri.2013. Timor Timur The Untold Story. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hal. 329 Universitas Sumatera Utara 52 milisi dan 10.000 tentara cadangan yang tidak bisa dipandan remeh yang di persenjatai dengan kelengkapan militer berstandar NATO, baik itu dalam bentuk senjata, mortir, kendaraan perang dan lain sebagainya yang cocok dengan medan Timor Timur. Hal ini merupakan suatu keunggulan bagi pihak Fretilin dalam melawan pasukan TNI. 64 Dari semua hal diatas terlihat jelas bahwa pada saat itu pasukan militer kita menganut doktrin yang tidak sesuai, juga banyak terjadi kesalahan dalam kalkulasi taktis dan cara bertindak sehingga banyaknya prajurit TNI yang gugur pada saat itu. D.3 Faktor Kekecewaan Masyarakat Kepada Pemerintah, TniPolri, Dan Kaum Pendatang Salah satu faktor yang menjadi penyebab kegagalan Pemerintah Indonesia di Timor Timur adalah adanya perilaku individu baik dari anggota TNIPOLRI, aparat sipil dan kaum pendatang kepada masyarakat Timor Timur yang tidak membantu Pemerintah memenangkan hati rakyat, tapi sebaliknya menciptakan keadaan yang semakin memojokkan dan menghina rakyat Timor Timur baik itu rakyat biasa, tokoh adat maupun pemuka agama. Selama ini situasi yang selalu terlihat adalah para pendatang terutama aparat pemerintah, TNI dan POLRI yang cenderung bersikap arogan. 65 Mereka selalu memperlihatkan sikap atau perasaan superioritas atas warga setempat, bersikap seolah mereka adalah penakluk atau kaum kolonial yang berhasil 64 Kiki Syahnakri, Ibid. hal 331 65 Kiki Syahnakri, Ibid. hal. 346 Universitas Sumatera Utara 53 menduduki jajahan baru. Mereka merasa pantas untuk menyombongkan diri dalam menjalankan peran pemerintah dan menggolongkan warga Timor Timur sebagai lapisan kelas dua dalam tatanan sosial masyarakat di Timor Timur. Hal –hal seperti ini yang selalu terjadi di lapangan menimbulkan rasa kecewa dan menciptakan kebencian di hati masyarakat yang merasa tersingkir atau teralienasi dan mendorong mereka untuk mencari kenyamanan di tempat lain, sehingga banyak dari masyarakat ini yng lambat laun mendekatkan diri kepada kelompok Falintil atau pejuang kemerdekaan Timor Timur yang berjuang di hutan. Salah satu praktek yang membuat masyarakat lokal merasa tersingkir adalah keangkuhan dari aparat sipil, TNI dan POLRI dalam menutup peluang bagi putra putri daerah untuk seleksi masuk IPDN, AKMIL, AKPOL, atau bahkan menjadi calon PNS atau anggota TNIPOLRI dalam tingkatan terendah sekalipun. Bisa dikatakan 90 dari semua kesempatan yang seharusnya diperuntukkan bagi putra-putri daerah Timor Timur, direbut dan dimanfaatkan oleh kaum pendatang bahkan sampai kepada kacung-kacung dari kaum pendatang yang memiliki wewenang di pemerintahan sipil, TNI, dan POLRI di Timor Timur. 66 Situasi seperti ini juga diperparah dengan adanya tindakan kriminal dan asusila yang melibatkan kaum pendatang seperti guru dan anggota TNIPOLRI yang bisa dikatakan kebal hukum. Dalam pengalaman pribadi Basilio Dias Araujo, di kecamatan Aileu Timor Timur perbuatan asusila dialami oleh seorang anak gadis murid SD Kelas VI yang merupakan masa kerabatnya. Anak murid ini diperkosa 66 Basilio Dias Araujo, Op.cit. hal 51-52 Universitas Sumatera Utara 54 oleh gurunya yang merupakan pendatang dari Sulawesi. Tindakan asusila ini ternyata tidak hanya terjadi pada anak ini saja tetapi terdapat sekitar 20 murid yang menjadi korban kebejatan guru ini. Tetapi terhadap guru ini tidak pernah ada tindakan apapun dari pihak kepolisian walau hampir semua orang tua melaporkan kasus ini kepada polres setempat. 67 Murid ini di sekolah menjadi lahapan sementara sore hari menjadi korban Danramil yang kantornya selang 4 rumah dari rumahnya. Orang tua anak ini mengkisahkan bagaimana dia selalu diancam oleh Danramil tersebut sebagai GPK dan bisa dipenjara atau dibunuh setiap saat kalau membuka aib ini. Pengalaman seperti ini adalah sisi gelap dari oknum pemerintah, aparat keamanan bahkan masyarakat sipil atau kaum pendatang yang menambah daftar panjang sakit hati dan kekecewaan di masyarakat yang mengarahkan mereka untuk mencari perlindungan dan harapan hidup lebih baik ke tempat lain dan berbalik mendukung Fretilin dan melawan Indonesia. 68

E. Posisi Australia Selama Masa Referendum Di Timor Timur