BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Selama kurang lebih tiga ratus lima puluh tahun bangsa Indonesia dijajah oleh Kolonial Belanda disusul dengan tiga setengah tahun oleh Jepang telah
meninggalkan banyak kenangan pahit bagi bangsa Indonesia. Perjuangan yang sangat berat telah dilalui oleh bangsa Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan.
Kemerdekaan dari berbagai bentuk penindasan dalam bentuk fisik maupun mental terutama penindasan yang dilakukan oleh para penjajah.
Penjajah yang begitu lama dialami oleh bangsa ini membuat lahirnya tunas-tunas bangsa yang berusaha memperjuangkan kemerdekaan negeri ini.
Diskursus yang dikenal dengan nasionalisme ini, membangkitkan semangat masyarakat untuk membangun negara dengan harapan dapat dipimpin oleh orang
pribumi sendiri. Bangkitnya semangat nasionalisme ini tidak terlepas dari peran Islam. Dengan kata lain, Islam secara tidak langsung memberi warna tersendiri
dalam pergerakan nasional.
1
Fenomena ini muncul seiring dengan berdirinya organisasi politik Islam pertama yang dikenal dengan Sarikat Islam SI pada tahun 1905. Gerakan ini
berorientasi pada upaya melepaskan diri dari kungkungan penjajahan Belanda.
1
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadian, 1998, h. 62
Walau perjuangan dititikberatkan pada wilayah perdagangan, hal ini dikarenakan penjajah ketika itu mulai memonopoli perdagangan, hingga membuat kewalahan
para pedagang pribumi. Di saat yang sama juga muncul gerakan Islam yang lebih bersifat kultural, namun memiliki orientasi yang sama seperti: Muhammadiyah,
al-Irsyad, Persisi, Nahdlatul Ulama, dll. Cita-cita agar negeri ini dipimpin oleh kalangan pribumi tidaklah menjadi
hal yang mustahil. Berbagai gerakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pribumi ternyata mampu mengantarkan bangsa Indonesia menuju kemerdekaannya.
Dengan memunculkan ide Islamisasi ataupun nasionalisasi mambuat rakyat bangkit dan berjuang untuk kemerdekaan negeri ini. Walaupun kemudian ide
Islamisasi dan nasionalisasi ini menjadi polemik dalam mempersatukan negeri ini seperti perumusan dasar negara oleh BPUPKI Badan Pelaksana Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, kemudia dikenal dengan Piagam Jakarta Jakarta Charter, yang disahkan pada tanggal 22 Juni 1945 oleh panitia yang terdiri dari
9 anggota, yaitu: Sukarno, Muhammad Hatta, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Achmad Subardjo, Kahar Muzakir, Muhammad Yamin, KH. Abdul Wahid
Hasjim, Agus Salim dan A.A. Maramis. Piagam Jakarta, yang hingga kini masih menjadi polemik, tetap menjadi
suatu supremasi hukum terhadap tegaknya syari’at Islam bagi sebagian golongan. Namun bagi sebagian golongan, Piagam Jakarta merupakan bukti awal bahwa
politik Islam terlihat sebagai ancaman ideologis.
2
Pasca dihapusnya Piagam Jakarta, perseteruan mengenai dasar negara semakin meruncing. Terlihat dari
2
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, h. 25
pergolakan politik yang terjadi di masa orde lama, seperti pemberontakan yang terjadi di beberapa wilayah. Pergolakan yang hampir mengancam disintegrasi
bangsa ini telah menjadi polemik yang berkepanjangan. Namun polemik ini tidak sampai membuat Indonesia gagal dalam mempertahankan kemerdekaan.
Sosok Bung Karno dan Hatta sebagai tokoh Proklamator memang sangat membanggakan bagi tercapainya cita-cita bangsa Indonesia. Namun tidak untuk
mendiskreditkan kedua tokoh ini, perjuangan bangsa ini menuju kemerdekaannya tak telepas pula dari banyak sekali tokoh-tokoh lainnya yang telah memberikan
sumbangsih demi tercapainya cita-cita bangsa ini yaitu kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan.
Salah satu tokoh yang tak kalah pentingnya yaitu KH. Abdul Wahid Hasjim selanjutnya disebut Wahid Hasjim. Beliau adalah tokoh yang sangat
cerdas, tegas dan berani. Sebagai tokoh yang ikut dalam perumusan Pancasila, Wahid Hasjim
memandang bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang perlu dipertahankan. Dengan kata lain, Hukum Islam tidak mesti harus diterapkan dalam suatu dasar
negara, karena itu hukum Islam sudah termaktub dalam Pancasila.
3
Menurutnya, hal itu bisa dilihat pada Ketuhanan Yang Maha Esa yang sesuai dengan tauhid
dalam Islam.
4
3
Andree Feilard, NU vis-avis Negara; Pencarian isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LkiS, 1999, h. 40-41
4
Deliar Noer, Partai Islam Dipentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987, h. 41
Dalam perjalanan sejarahnya, Wahid Hasjim memang termasuk salah satu tokoh yang mengusulkan agar negara Indonesia harus berdasarkan Islam. Juga
diusulkan agar negara Indonesia harus berdasarkan Islam. Juga diusulkan agar Presiden harus beragama Islam di samping asli bangsa Indonesia. Selain itu juga
diusulkan bahwa agama negara adalah Islam. Tawaran yang diusulkan oleh kalangan Islam diterima oleh Soekarno saat itu. Namun karena kondisi saat itu
tidak menguntungkan bagi upaya mempersatukan bangsa Indonesia yang baru saja merdeka, beberapa persoalanan yang berkaitan dengan wacana Islam
diperbincangkan kembali. Dari kontek ini, terlihat bahwa Wahid Hasjim termasuk orang yang gigih
memperjuangkan dasar negara yang berlandaskan pada syari’at Islam. Namun, bagi beliau Islam bukan harga mati.
5
Hal itu terlihat ketika Piagam Jakarta ternyata tidak digunakan, beliau dengan lapang dada menerima usulan yang
ditawarkan Mohamad Hatta.
6
Pada masa sebelum kemerdekaan beliau betul-betul mampu tampil sebagai politisi yang handal dengan berhasil mengelabui pemerintahan Jepang. Walaupun
beliau wafat pada usia yang masih muda nanum beliau adalah tokoh yang sempat mencicipi tiga jaman, yaitu jaman pergerakan nasional, jaman revolusi hingga
jaman pemulihan kedaulatan.
5
Azyumardi Azra dan Umam Saiful, ed., Menteri-menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik, Jakarta : PPIM, 1998, h. 111
6
Hatta mengusulkan agar rumusan yang memuat Islam secara eksplisit supaya dihapus dari pembukaan dan batang tubuh UUD. Hal ini dikhawatirkan dapat memecah kesatuan negara
yang baru berdiri, khususnya bagi penduduk Indonesia bagian timur yang tidak ingin bergabung jika Indonesia berdasarkan Islam. Lih. Deliar Noer, Muhammad Hatta: Biografi Politik, jakarta:
LP3ES, 1990, h. 256-257
Sosok Wahid Hasjim yang merupakan tokoh kelahiran pesantren akan tetapi memiliki pemikiran yang moderat. Beliau melakukan pembaharuan dalam
berbagai bidang, baik dari bidang pendidikan yang dapat dibuktikan dengan perombakan sistim pendidikan pesantren Tebuireng yang didirikan oleh ayahnya
KH. Hasjim Asy’ari yang semula hanya mempelajari ilmu agama dengan memasukkan pendidikan umum ditambah dengan pengetahuan bahasa yaitu Arab,
Inggris dan Belanda, maupun bidang politik dengan menunjukkan sikap terbuka dalam menerima Pancasila sebagai idiologi negara ini, meskipun pada dasarnya ia
sangat menginginkan negara Islam, karena beliau adalah salah satu perumus Piagam Jakara. Penerimaan ini juga dikarenakan dalam kacamata beliau di dalam
Pancasila terdapat nilai-nilai Islam yang sangat kental ditambah lagi harus berhadapan dengan realitas bahwa negara Islam tidak dapat direalisasikan di
negara yang baru merdeka ini. Sikap moderat beliau dapat juga dilihat, ketika Bung Karno mengangkat
beliau yang berlatar belakang pesantren menjadi meteri Agama pertama, padahal Bung Karno adalah tokoh nasionalis yang sangat kental terlihat dari Partai
Nasionalis PNI yang beliau jadikan sebagai kendaraan politiknya. Kembali ke masa Wahid Hasjim di era Pergerakan Nasional. Sebelum
beliau terjun ke dunia politik beliau memulai pergerakannya dari jalur pendidikan, barulah setelah merasa mapan dalam memilih dan memilah partai yang akan ia
masuki, ia memulai karir politiknya dengan membawa Nahdlatul Ulama NU ke dunia Politik. Beliau menjadikan NU sebagai wadah pengepakan sayap politiknya
dengan berbagai alasan dan penegasan seperti ucapan beliau dalam sebuah ceramah:
Terus terang, saya uraikan di sini; bahwa perhimpunan-perhimpunan atau partai-partai di waktu itu saya pandang tidak memuaskan. Perhimpunan A.
kurang radikal, Partai B. kurang pengaruh, Partai C. kurang banyak kaum terpelajarnya, Partai D. kurang jujur pimpinannya. 1001 kukurangan-
kekurangannya di dalam pandangan saya.
7
Pada masa karirnya di dunia politik inilah beliau banyak mendapatkan
rintangan, terutama dengan berhasilnya Jepang menduduki Indonesia secara keseluruhan pada tahun 1942. Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 memberikan
larangan untuk mengadakan berbagai bentuk rapat pergerakan disusul dengan keputusan pada tahun 20 Maret 1942 yang berisikan pembatasan setiap bentuk
pergerakan. Semua partai politik serta segala bentuk dan alirannya dilarang berdiri bahkan yang telah berdiripun dibubarkan. Pada masa ini kehidupan berpolitik dan
beragama mengalami penurunan drastis karena Jepang dengan sistem pemerintahan militer bersikap diktatator dengan tidak memberi ruang sama sekali
bagi tokoh pergerakan bangsa ini untuk bergerak. Meskipun pada tanggal 15 Juli 1942 larangan ini diperlunak dengan meberikan ruang untuk mendirikan
perkumpulan dan melakukan berbagai rapat tetapi tetap tidak diperkenankan mendirikan perkumpulan dan melakukan rapat-rapat yang berkenaan dengan
pergerakan politik.
8
Namun pada masa ini Jepang masih berusaha mengambil hati umat Islam, dengan cara menghidupkan kembali Majlis Islam A’la Indonesia,
7
Sebagaimana dinukil dari mukaddimah dari salah satu ceramah almarhum Wahid Hasjim oleh H. Aboe Bakar dalam buku Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan
Tersiar, Jakarta : Panitia Buku Peringatan alm. K.H.A. Wahid Hasjim, 1957. H. 739
8
Susanto Tirtoprodjo, Sedjarah Pergerakan Nasional Indonesia, Jakarta : PT. Pembangunan, 1984, h. 56
yang pada tanggal 24 Oktober 1943 namanya diganti menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia yang disingkat menjadi Masyumi
9
yang diketuai oleh KH. Hasjim Asy’ari, sedangkan putra beliau Wahid Hasjim ditugaskan untuk
mengasuh pesantren Tebuireng. Akan tetapi meskipun beliau mengasuh pesantren bukan berarti membuat ruang gerak beliau dalam dunia politik menjadi terhambat.
Bahkan kemampuan berpolitik beliau lebih terlihat jelas. Hal ini dapat dilihat dengan berhasilnya beliau menggalkan upaya Jepang untuk menjadikan Masyumi
sebagai senjata untuk kemenangan Asia Timur Raya. Wahid Hasjim malah mengarahkan Masyumi untuk melakukan aktivitas-aktivitas pergerakan Islam di
Indonesia. Dari wacana yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk
menganalisa lebih jauh mengenai perjuangan KH. Abdul Wahid Hasjim.
Karenanya penulis mencoba membuat skripsi ini dengan judul: “KH. Abdul Wahid Hasjim; Studi Analisis Tentang Pemikiran, Kiprah dan Perjuangan”.
B. Tujuan Penelitian