pada jamannya, karena banyak pada masa beliau hidup, tokoh-tokoh yang hanya terfokus pada salah satu aspek.
1. Aspek Pendidikan
Dari segi aspek pendidikan, Wahid Hasjim merupakan sosok yang tak luput dari pro dan kontra. Beliau memiliki cara pandang yang
berbeda dengan orang tua beliau dan para mubaligh di jamannya. Padahal beliau sendiri adalah sosok yang berlatar belakang pesantren
tradisional dan hidup di lingkungan yang sangat mempertahankan tradisi. Wahid Hasjim mengadakan perubahan yang signifikan di
lembaga pendidikan pesantren salafi. Dan hal yang paling mengejutkan orang ketika itu ialah ketika ia memasukkan pelajaran umum dan
merubah sistem pendidikan yang semula tradisionalis menjadi modern. Hal yang tidak berani dilakukan oleh para kiyai ketika itu.
Wahid Hasjim berpendapat bahwa selama di kalangan rakyat masih banyak yang buta huruf atau tidak bisa membaca dan menulis,
maka rakyat akan tetap bodoh dan rusak seperti pada masa penjajah.
20
Pendapat yang dikumukakan oleh Wahid Hasjim adalah sebagai pernyataan keprihatinan atas kenyataan yang terjadi di tengah
masyarakat Indonesia. Di mana beliau melihat dari segi sejarah yang dialami oleh bangsa ini yang begitu mudahnya dijajah oleh kolonialis
disebabkan kebodohan bangsa ini sendiri.
20
K.H.A. Wahid Hasjim, “Perbaikan Perdjalanan Hadji, Mimbar Agama, Agustus 1950, h. 16
Pada masa penjajahan belanda di Indonesia terdapat dua sistem pendidikan yaitu:
a. Sistem pesantren atau sistem lama yang hanya diberikan
pelajaran-pelajaran agama semata. b.
Sistem Barat yang sekuler, yang tidak mengenal ajaran agama.
Dari kedua sistem yang ada ini tak dapat disangkal bahwa sistem pendidikan Barat ternyata lebih efisien.
21
Perbedaan yang mencolok ini bukan membuat umat Islam ketika itu sadar dengan melakukan reformasi di bidang pendidikan, malah
sebaliknya memusuhi sistem pendidikan ala Barat. Terdapat perbedaan yang mencolok antara kaum santri dan terpelajar. Santri yang hanya
mengetahui ilmu-ilmu agama dan buta sama sekali mengenai ilmu pengetahuan umum, hingga para santri hidup seperti layaknya katak
dalam tempurung. Pendidikan Barat dicurigai karena berasal dari penjajah,
sehingga dimusuhi dan akhirnya umat Islam semakin larut dalam kebodohan.
Wahid Hasjim memang bukanlah orang pertama yang memasukkan pelajaran umum di pesantren Tebuireng. Sebelumnya
pejalaran umum telah diperkenalkan oleh menantu KH. Hasjim Asy’ari yang bernama Kyai Ma’sum yang dilakukan pada tahun 1916.
21
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia, Jakarta : Nida, 1972, h. 28
Kemudian pada tahun 1919 beliau memasukkan pelajaran ilmu bumi dan matematika. Selanjutnya pada tahun 1926 KH. Ilyas memasukkan
pelajaran sejarah dan bahasa Belanda.
22
Namun Wahid Hasjim belum melihat perubahan yang signifikan dalam pesantren Tebuireng. Beliau yang banyak dikenal memiliki ilmu
pengetahuan agama dan umum serta mengetahui sistem pengajaran baik di dalam maupun di luar negeri masih melihat kekurangan dari
segi pengetahuan umum di pesantren Tebuireng. Ia tidak ingin melihat para santri kedudukannya lebih rendah dalam masyarakat daripada
golongan terpelajar Barat.
23
Keprihatinan ini membuat ia mengusulkan kepada ayahnya untuk merubah sistem pengajaran di pesantren. Sistem yang
pengajaran yang selama ini monoton diubah menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan
kepribadian para santri. Pada tahun 1950, Wahid Hasjim menjelaskan usul itu sebagai berikut: kebanyakan santri yang belajar di lembaga-
lembaga pesantren bukan bertujuan untuk menjadi ulama. Mereka tidak perlu mempelajari kitab-kitab klasik dalam bahasa Arab, tetapi
cukup mempelajari Islam yang ditulis dalam bahasa Indonesia, sedangkan waktunya yang lain lebih baik dipergunakan untuk
mempelajari berbagai pengetahuan dan keterampilan praktis. Ia
22
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta : LP3ES, 1983, h. 104
23
Aboe Bakar, Riwayat Hidup. H. 151
berpendapat bahwa pengajaran kitab-kitab Islam klasik dalam bahasa Arab itu hendaknya terbatas kepada para santri yang memang akan
dicetak menjadi ulama.
24
Wahid Hasjim seakan menilai bahwa pengajaran kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab memakan waktu yang cukup lama.
Karena, dalam mempelajari kitab tersebut para santri harus terlebih dahulu mempelajari bahasa Arab yang meliputi Nahwu dan Sharaf
serta Balaghah. Padahal ilmu-ilmu tersebut bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
25
Namun usul perubahan yang sangat radikal itu tidak diterima oleh ayahnya. Hal ini membuat ia mengambil inisiatif mengambil
empat orang santri yang akan didiknya secara khusus mengenai pengetahuan agama dan umum. Dari percobaan itu hanya dua orang
santri yang berhasil, yang satu menjadi anggota Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bagian Ma’arif dan yang lain menjadi guru dalam
salah satu sekolah Muhammadiyah, sedangkan yang dua lagi gagal karena tidak mampu memahami maksud dari Wahid Hasjim.
26
Usulah pertaama yang ia ajukan kepada ayahnya untuk melakukan perubahan radikal di pesantren Tebuireng memang tidak
diterima oleh ayahnya, namun tidak membuat niatnya untuk melakukan reformasi di bidang pendidikan menjadi surut. Pada tahun
24
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 105-106
25
Ibid.h. 106
26
Aboe Bakar, Riwayat Hidup..., h. 51-53
1934 ia mengusulkan kepada ayahnya untuk mendirikan madrasah modern yang bernama “Nizhomiyah” di mana pelajaran umum
diberikan sebanyak 70 persen termasuk bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Usul yang kedua ini ternyata diterima ayahnya.
27
Mungkin inilah masa di mana Wahid Hasjim mendapat kritik tajam dari para kiyai ketika itu. Namun semua kritik yang dilontarkan
ia terima dengan tenang. Beliau memulai kelas baru dengan satu kelas dengan murid
berjumlah 29 orang. Namun jumlah ini kian bertambah karena masyarakat mulai merasakan manfaat dari sistem pengajaran baru ini.
Tujuan Wahid Hasjim tak lain adalah ingin mencetak kiyai intelek yang pandai agama dan ilmu pengetahuan umum.
28
Pembaharuan yang paling mendapat perhatian utama adalah bahasa. Karena menurut beliau bahasa itu adalah kunci ilmu
pengetahuan, ditambah lagi beliau berpegang kepada hadis nabi yang berbunyi: “barang siapa mengetahui bahasa suatu golongan, ia akan
aman dari perkosaan golongan itu”.
29
Kemudian untuk menunjang kemajuan di bidang pendidikan di madrasah Nidhomiyah, pada tahun 1934 Wahid Hasjim mendirikan
perpustakaan yang di dalamnya terdapat 1000 judul buku yang sebagian besar buku-buku agama Islam ditambah dengan berbagai
27
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren..., h. 106
28
Aboe Bakar, Riwayat Hidup..., h. 153
29
Ibid.
majalah yang diterbitkan oleh organisasi Islam modern, tradisional dan kelompok nasional.
30
Pada generasi sesudahnya perpustakaan ini diberi nama dengan “Perpustakaan Wahid Hasjim”.
Pada tahun 1938, Madrasah Nidhomiyah ditutup, karena ia aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Namun, bukan berarti ini menjadi
akhir dari keikutsertaan beliau dalam bidang pendidikan, beliau tetap melakukan pembaharuan di berbagai sekolah-sekolah Nahdlatul Ulama
di seluruh Indonesia.
2. Aspek Agama