kebingungan karena bahasa-bahasa yang dipelajari adalah bahasa penjajah yang kerap menyulitkan dunia Islam, akan tetapi Wahid Hasjim berpegang teguh
kepada sebuah hadis yang menyatakan: “barang siapa mengetahui bahasa suatu golongan, ia akan aman dari perkosaan golongan itu”, dan pepatah bahwa,
bahasa itu adalah kunci ilmu pengetahuan. Banyak kritik dan serangan yang diterima oleh Wahid Hasjim berkenaan
dengan pembaharuannya, akan tetapi tidak dihiraukannya. Semua disambut dengan tenang dan ia berjalan dengan keyakinannya sebagai seorang idealis.
C. Pengalaman Berorganisasi
Pada tahun 1934, Wahid Hasjim pulang dari luar negeri. Pada masa ini banyak sekali permintaan dari berbagai perhimpunan-perhimpunan dan partai-
partai Islam agar beliau masuk ke dalamnya, akan tetapi beliau tidak segera menerima permintaan tersebut.
Ada dua kemungkinan mengapa beliau tidak segera menerima permintaan dari berbagai perhimpunan dan partai politik, kemungkinan pertama adalah
mendirikan partai sendiri sedang kemungkinan kedua adalah memasuki salah satu partai-partai Islam atau perhimpunan-perhimpunan yang telah ada.
1. Wahid Hasjim dan Ikatan Pelajar Islam IKPI
Setelah beliau menyelidiki partai-partai ataupun perhimpunan yang telah ada, tidak satupun yang dapat memuaskan beliau hingga
100, semua partai dan perhimpunan yang ada terdapat kekurangannya, maka untuk tahap pertama pada tahun 1936 beliau
mendirikan perhimpunan kecil yang bernama Ikatan Pelajar-pelajar Islam IKPI.
12
Dalam perhimpunan ini beliau langsung bertindak sebagai ketua.
Dalam waktu singkat organisasi ini telah beranggotakan lebih dari 300 orang. Lalu ia mendirikan taman bacaan atau bibliotheek,
yang menyediakan tidak kurang dari 500 buah buku bacaan untuk anak-anak dan pemuda. Kitab-kitab bacaan ini terdiri dari bahasa
Indonesia, Arab, Jawa, Madura, Sunda, Belanda dan Inggris yang menjadi prestasi tersendiri bagi pesantren ini pada masa itu. Pada masa
awal pergerakannya ini Wahid Hasjim telah menunjukkan langkah positif untuk memajukan pendidikan bagi pemuda-pemuda Islam.
Terjunnya Wahid Hasjim dalam dunia pendidikan menunjukkan kepeduliannya terhadap ilmu pengetahuan.
2. Wahid Hasjim dan Nahdlatul Ulama NU
Setelah Jepang mengalahkan Sekutu lalu menduduki Indonesia, ketika itu Jepang melarang semua organisasi yang ada, baik yang
bersifat politik maupun tidak. Dua organisasi yang diizinkan tetap beroperasi adalah NU dan Muhammadiyah. Perbedaan antara Jepang
dengan penjajah sebelumnya yaitu Jepang memilih bekerjasama dengan tokoh-tokoh Islam untuk memperkuat posisinya dalam
peperangan Asia Timur Raya. Sebab itu Jepang banyak memberikan
12
Aboe Bakar, Sejarah Hidup…, h. 739
konsesi dan menggantikan posisi kalangan bangsawan dan priyai pada masa Belanda. Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat
Jepang yang menerapkan kebijakan memilih bekerjasama dengan kalangan agama di daerah-daerah yang didudukinya.
13
Pada tahun 1938, Wahid Hasjim bergabung dengan Nahdlatul Ulama. Alasan yang dikemukakan beliau adalah tidak ada satupun
pehimpunan-perhimpunan yang dapat memuaskan 100, masing- masing ada kekurangannya, maka harus dipilih yang paling ringan
kekurangannya. Pada awalnya beliau memakai ukuran keradikalan ketangkasan dan kecepatan, namun ukuran ini tidak terdapat di dalam
NU, karena NU menurut beliau adalah perhimpunan orang-orang tua yang geraknya lambat, tidak terasa, tidak revoluioner. Akan tetapi
beberapa kenyataan tidak dapat dibantah, yaitu bahwa berbagai perhimpunan-perhimpunan selain NU selama kurang waktu 10 tahun
baru memiliki 20 cabang yang letaknya berdekatan, sedangkan NU sudah menjalani hampir 60 wilayah Indonesia. Melihat kenyataan ini
beliau mengenyampingkan ukuran radikalisme, beliau memandang bahwa yang terpenting bukanlah kegagahan di dalam berjuang,
melainkan hasil dari perjuangan itu sendiri.
14
Dari sini dapat dilihat gaya berpikir Wahid Hasjim, yang di satu sisi ia terlihat sebagai sosok
yang tradisionalis yang tentuanya jalur perjuangan radikal adalah jalan
13
Azyumardi Azra dan Saiful Umam e.d, Menteri Agama; Biografi Politik, Jakarta : PPIM, 1998, h. 18
14
Ibid.
yang mungkin cocok buatnya, namun lebih condong kepada NU, dikarenakan ia melihat bahwa NU lebih memiliki prospek ke depan
ketimbang organisasi lainnya. Beliau memulai karirnya di NU dengan aktif sebagai penulis
ranting Nahdlatul Ulama Cukir, lalu beliau diangkat menjadi ketua NU di Jombang, akhirnya padatahun 1940 beliau dipilih sebagai anggota
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU bagian Ma’arif.
3. Wahid Hasjim dan al-Majlis al-Islam al-A’la al-Indonesia MIAI