manusia, kemudian timbul persaingan dan perebutan hidup; dan setelah masing-masing tidak mau menjelesaikan perebutannja itu
dengan dama, maka sepakatlah mereka untuk mentjari hakim jang dapat memberikan keputusan; sajang sekali hakim itu
setelah datang untuk mengadili, ternjata ia tidak lain daripada Malaikat Maut, Izrail. Allah Maha Besar; marilah kita ingati
kebesaranNja, agar dapat kembalilah ketentraman batin kita.
37
Dari uraian ringkas di atas dapatlah ditarik kesimpulah bahwa
pemikiran Wahid Hasjim mengenai agama merupakan pemikiran yang berdasarkan pada ilmu dan nalar yang sangat tajam. Pendapat beliau
mengenai keharusan manusia beragama bukanlah sekedar pendapat yang tidak memiliki alasan karena beliau memberikan penjelasan
dengan sangat jelas.
3. Aspek Politik
Aspek politik adalah aspek yang paling menonjol pada diri beliau, karena beliau sendiri di samping seorang tokoh agama beliau
adalah seorang politisi yang handal. Dalam dunia politik beliau tidak hanya sekedar berbicara melainkan ikut terlibat dalam proses
kemerdekaan RI hingga sesudah kemerdekaan. Pemikiran beliau mengenai politik tercermin dari jiwa dan sikap
beliau yang tegas. Karena latar belakang beliau adalah seorang agamawan, maka pemikiran beliau selalu berdasarkan kepada ajaran
agama yang beliau pahami. Beliau adalah sosok yang sangat gigih ingin memperjuangkan Indonesia menjadi negara Islam.
37
K.H.A. Wahid Hasjim, Beragamalah dengan., h. 10
Beliau adalah sosok yang kuat dalam pendiriannya. Jika ia telah menetapkan sesuatu pendirian maka ia akan bela pendirian itu mati-
matian. Meskipun pendirian yang ia tetapkan itu menimbulkan reaksi berupa kritik dari lawan politiknya, namun tidak membuat ia mundur
dalam pendiriannya. Jadi tak heran meskipun ia memiliki banyak pendukung akan tetapi tidak sedikit pula yang menentangnya.
38
Namun demikian meskipun beliau adalah sosok yang keras dalam pendirian, segala bentuk pemikiran yang ia sampaikan serta
bantahan yang ia lontarkan disampaikan dengan cara yang sportif, hingga orang-orang yang menentangnya hanya sebatas wacana tidak
sampai menimbulkan benturan fisik.
39
Sepintas Wahid Hasjim terlihat sebagai sosok yang konservatif, mungkin penilaian sementara ini dapat dilihat dari latarbelakang beliau
sebagai seorang NU yang bepaham tradisionalis. Namun kalau diperhatikan lebih jauh lagi beliau adalah sosok yang sangat moderat,
bahkan lebih jauh lagi oleh putra beliau Gusdur disebut sebagai sosok yang liberal.
40
Pernyataan yang pada pada akhirnya membuat Gus Dur mendapat kritik tajam dari adik kandungnya yaitu Gus Sholah.
41
38
Aboe Bakar, Riwayat Hidup., h. 209
39
Ibid.
40
Gus Dur dan Gus Sholah, K.H.A. Wahid Hasjim Dalam Pandangan Dua Putranya, Jakarta : FNKS, 1998, h. 6
41
Mengenai perdebatan antara Gus Dur dan Gus Sholah, baca: K.H.A. Wahid Hasjim Dalam Pandangan Dua Putranya, Jakarta : FNKS, cet. I November 1998
Salah satu ide beliau mengenai politik adalah lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Untuk lebih jelasnya perlu kiranya penulis
menjelaskan persoalan mengenai Piagam Jakarta, karena dari Piagam Jakarta inilah akan terlihat pemikiran politik Wahid Hasjim.
Piagam Jakarta lahir atas usulan Wahid Hasjim dan Kahar Mudzakir. Permasalah berawal dari persoalan ideologi negara.
Terdapat dua kelompok yang sangat bersebrangan dalam melihat masalah ini. Kelompok pertama datang dari dari golongan kebangsaan
yang disebut sebagai kelompok nasionalis sekuler yang menginginkan negara ini terlepas dari idioliogi agama. Sedangkan kelompok yang
kedua yang dimotori oleh golongan agamawan muslim nasionalis islami menghendaki Islam sebagai dasar negara.
42
Masing-masing kelompok ini memiliki argumen dengan latar belakang sejarah yang panjang. Kelompok pertama yang merupakan
kelompok nasionalis berargumen bahwa perjuangan pergerakan bangsa dimulai oleh golongan nasionalis dengan berdirinya Budi Utomo pada
tanggal 20 Mei 1908 yang menurut golongan nasionalis sebagai organisasi modern pertama di tanah air ini.
43
Budi Utomo merupakan akar sejarah yang melahirkan gerakan-gerakan nasionalis sekuler
lainnya, seperti: Partai Nasionalis Indonesia PNI 4 Juli 1927, Partai
42
Endang Sefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Jakarta : CV. Rajawli, 1986, h. 3
43
A.K. Paringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta : Dian Rakyat, 1967, h. 1
Indonesia Partindo 26 Desember 1931, Partai Indonesia Raya Parindra 26 Desember 1935, Gerakan Rakyat Indonesia Gerindo 24
Mei 1937.
44
Sementara kelompok kedua yang diwakili golongan agamawan muslim mengajukan argumen dengan menjadikan Sarekat
Islam yang berdiri pada tanggal 16 Oktober 1905 sebagai titik tolak pergerakan nasional, bahkan pergerakan telah dimulai pada awal abad
ke-20 dalam bentuk pembelaan diri terhadap kekuasaan asing. KH. M. Isa Ansyary, seorang tokoh Masyumi, menekankan bahwa perjuangan
dan peperangan untuk kemerdekaan Indonesia itu bukanlah dimulai pada generasinya; bukan juga hanya menyangkut pahlawan-pahlwan
10 November 1945, melainkan merupakan riwayat perlawanan ratusan tahun, yakni pada masa-masa Abdul Hamid Diponegoro, Imam
Bonjol, Sultan Babullah Ternate, Teuku Tjik Di tiro, dan masih banyak lagi pahawan lain yang mana jihad dan perjuangan menjadi benang
merah dalam sulaman sejarah di tanah air.
45
Dari argumen yang dipaparkan oleh kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islam di atas terlihat perbedaan dari sudut pandang
menilai cikal-bakal lahirnya pergerakan nasional walaupun kedua kelmpok tersebut sama-sama mengemukakan argumen sejarah. Walau
pada dasarnya terlihat golongan nasionalis di sini mengenyampingkan begitu saja peranan umat Islam sebelum lahirnya Budi Utomo. Padahal
44
Sebagaimana dikutip oleh Endang Saefuddin Anshari dalam Piagam Jakarta...h. 4
45
Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta…h. 6
kenyataannya Budi Utomo lahir bukanlah atas dasar persatuan bangsa melainkah lebih pada perjuangan kesukuan seperti yang digambarkan
oleh Harun Nasution: Boedi Oetomo walaupun dianggap sebagai cikal-bakal gerakan
nasionalis namun dalam perjuangannya gerakan ini tidak mengarahkan perhatiannya pada seluruh Indonesia, organisasi ini
semata-mata merupakan suatu himpunan untuk seluruh Jawa, pandangan dan perhatiannya secara sosio-kultural hanya menarik
penduduk Jawa Tengah, itupun terbatas pada orang-orang terpelajar dan ningrat.
46
Sementara perjuangan umat Islam terdahulu yang perlu dicermati
lebih mendalam lagi, yaitu pemersatuan berbagai suku. Menjawab argumen yang dikemukakan oleh kelompok Nasionalis M. Natsir
memaparkan: Pergerakan Islam pulalah yang pertama-tama merentas jalan di
negeri ini bagi kegiatan poiltik yang mencita-citakan kemerdekaan, yang telah menebarkan benih kesatuan Indonesia,
yang telah mengubah wajah-wajah isolasi pelbagai pulau dan juga roman muka provinsialis, yang juga pertama-tama
menanamkan benih persaudaraan dengan orang-orang seiman sekeyakinan di luar batas-batas Indonesia.
47
Lebih lanjut lagi Harun Nasution menjelaskan bahwa:
Islamlah terutama yang menciptakan pada diri mereka kesadaran berkelompok yang satu. Melalui Islamlah kelompok kesukuan
yang berbeda-beda itu disatukan dalam satu masyarakat yang luas dan menyeluruh. Islam telah mampu mendobrak kekuatan
nasionalisme lokal.
48
Terlepas dari perselisihan mengenai cikal-bakal lahirnya
pergerakan nasional, kenyataannya argumen tersebutlah yang pada akhirnya memunculkan konsep pemikiran mengenai Piagam Jakarta.
46
Sebagaimana dikutip oleh Endang Saefuddin Anshari dalam Piagam Jakarta...h.4-5
47
Ibid., h. 8
48
Ibid., h. 5
Piagam Jakarta lahir atas prakarsa panitia kecil yang dikenal dengan panitia sembilan. Panitia sembilan ini beranggotakan:
Soekarnom Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad
Soebardjo, Wahid Hasjim dan Muhammad Yamin. Panitia sembilan ini dibentuk setelah sidang Badang Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia BPUPKI pertama berakhir pada tanggal 2 Juni 1945. Sidang BPUPKI beranggotakan sebanyak 62 orang yang
termasuk delapan orang Jepang, seorang di antaranya menjadi wakil ketua.
49
Selama persidangan terjadi perdebatan panjang hingga akhirnya setelah sidang berakhir 38 orang dari seluruh anggota
mengadakan pertemuan, kemudian mereka membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang.
50
Selama sidang pertama BPUPKI pertentangan yang paling keras berasal dari pihak Soekarno sebagai pihak nasionalis sekuler sementara
dari pihak nasionalis Islam adalah Kahar Muzakkir dan Wahid Hasjim.
51
Soekarno adalah tokoh nasionalis yang menginginkan negara Indonesia berdasarkan kebangsaan dengan tidak memasukkan unsur
agama, dengan kata lain memisahkan peranan agama dan negara yang lebih dikenal dengan istilah sekulerisme. Soekarno sebagaimana telah
49
Deliar Noor, Mohammad Hatta; Biografi Politik, Jakarta : LP3ES, 1990, h. 219
50
Endang Saefuddin Anshari dalam Piagam Jakarta...h.30
51
Deliar Noor, Mohammad Hatta;...,h. 223
diketahui bahwa yang menjadi idamannya adalah Indonesia bisa menjadi negara seperti Turki yang dipimpin Kemal Attaturk,
sedangkan Kahar Muzakkir dan Wahid Hasjim adalah orang yang paling keras menginginkan Indonesia berasaskan Islam.
52
Perdebatan mengenai arah negara ini yang pada akhirnya harus diselesaikan
dengan pembentukan panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang.
Panitia sembilan bertugas untuk mencari jalan tengah antara golongan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Setelah melalui
perdebatan panjang, maka diperolehlah hasil dari rapat panitia sembilan ini yang menyetujui sebulat-bulatnya rancangan naskah yang
disusun oleh anggota-anggota panitia ini. Kesepakatan ini disampaikan oleh Soekarno dalam sidang paripurna Badan Penyelidik:
Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita. Sebenarnya ada kesukaran mula-mula, antara golongan yang
dinamakan Islam dan golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan
faham antara kedua golongan ini, terutama yang mengenai soal agama dan negara, tetapi sebagaimana tadi saya katakan, Allah
Subhana wa Ta’ala memberkati kita sekarang ini, kita sekarang sudah ada persetujuan.
53
Selanjutnya Soekarno membacakan hasil rancangan panitia
sembilan yang isinya: “Pembukaan : Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan
dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
52
Ibid.
53
Ibid., h. 31
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemedekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia merdeka
yang melindungin segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan – perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
54
Dalam Piagam Jakarta di atas terdapat tuju kata “dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang pada akhirnya menimbulkan pro dan kontra yang dapat berakibat
disintegrasi bangsa. Tujuh kata ini adalah hasil kerja keras dari A. Kahar Muzakkir dan Wahid Hasjim.
55
Dalam hal-hal yang bisa menjadi perbedaan pendapat ini kelihatan Hatta lebih memperlihatkan
pendirian menengah agar tidak memperuncing keadaan. Walaupun tujuh kata yang terdapat di dalam Piagam Jakarta
telah disepakati oleh seluruh panitia kecil, namun sebagaimana disinggung di atas pada akhirnya tetap menimbulkan pro dan kontra,
54
Ibid., h. 31-32
55
Deliar Noor, Mohammad Hatta;…, h. 223
alasannya karena tujuh kata tersebut dianggap menyakiti perasaan umat selain Islam.
Wacana ini muncul ketika Hatta didatangi seorang opsir Kaigun Angkatan Laut Jepang yang mengatakan bahwa wakil-wakil
Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun sangat berkeberatan atas anak kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk- pemeluknya”.
Walaupun pada dasarnya mereka tahu bahwa anak kalimat tersebut tidak mengikat mereka yang bukan beragama Islam. Untuk
mengatasi permasalahan ini Hatta sebagai salah satu dari panitia kecil keesokan harinya pada tanggal 1 Agustus 1945 sebelum sidang Paniti
Persiapan bermula mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr. Kasman Singodimendjo dan Mr. Teuku Hasan untuk mengadakan
rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah pro dan kontra ini. Akhirnya diperolehlah kesepakatan untuk menghapus anak-kalimat
tersebut dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
56
Namun perlu dipaparkan bahwa mengenai kehadiran Wahid Hasjim dalam sidang mendadak yang diadakan oleh Hatta pada tanggal
18 Agustus 1945 ternyata menjadi tanda tanya. Hal ini karena pernyataan yang dilontarkan oleh Prawoto tentang kealpaan Wahid
Hasjim, alasan yang dikemukakan oleh Prawoto adalah pada tanggal
56
Moh. Hatta, Sekitar Porkalmasi 17 Agustus 1945, Jakarta : tintamas, 1969, h. 57-59
18 Agustus 1945 Wahid Hasjim sedang dalam perjalanan ke Jawa Timur. Sementara Hatta dalam hal ini meyakini kehadiran Wahid
Hasjim.
57
Kalau memang Wahid Hasjim ketika itu tidak hadir, maka dalam hal ini perlu dipertanyakan posisi Wahid Hasjim, apakah beliau
betul-betul menerima sepenuhnya hasil perubahan tersebut atau sebaliknya, mengingat sebelumnya beliau adalah orang yang paling
keras memperjuangkan kalimat yang sarat nilai keislaman tersebut. Bahkan lebih jauh lagi Wahid Hasjim adalah orang yang memiliki cita-
cita kuat agar Indonesia berdasarkan syari’at Islam. Atau penerimaan Wahid Hasjim terhadap perubahan pada Piagam Jakarta karena jiwa
toleran beliau, apalagi dihubungkan dengan persatuan dan kesatuan bangsa.
Walau terdapat pro dan kontra mengenai kehadiran Wahid Hasjim dalam rapat tersebut namun jelaslah bahwa Wahid Hasjim
adalah satu seorang tokoh muslim yang memiliki peranan penting dalam proses pembuatan Piagam Jakarta hingga perubahan yang
terjadi dalam Piagam Jakarat tersebut. Dari uraian mengenai perjalan Piagam Jakarta dapat dilihat
bahwa Wahid Hasjim telah memberikan sumbangan sangat besar dalam pemikiran politik di Indonesia. Walau apa yang ia cita-citakan
sebelumnya tidak sepenuhnya berhasil, namun Sila Ketuhanan Yang
57
Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta…, h. 58
Maha Esa merupakan hasil dari pengkajian terhadap Piagam Jakarta salah seorang pencetusnya adalah Wahid Hasjim.
B. Kiprah dan Perjuangan KH. Abdul Wahid Hasjim