BAB II BIOGRAGI KH. ABDUL WAHID HASJIM
Wahid Hasjim lahir dan dibesarkan di lingkungan yang berlatar belakang pesantren tradisional. Namun latar belakang pendidikan tradisional ini tidak
membuat ia larut dalam kehidupan yang membesarkannya ini. Beliau melakukan perubahan baik dari segi pendidikan maupun politik. Baik dalam dunia
pendidikan maupun politik beliau tampil sebagai sosok pembaharu. Segala sikap, perjuangan dan pemikiran beliau menjadi perhatian publik yang pada akhirnya
membuat nama beliau tercatat dalam sejarah sebagai salah seorang tokoh penting di negeri ini. Dalam bab ini akan dipaparkan biografi beliau mulai dari lahir
hingga wafatnya.
A. Riwayat Hidup
Nama lengkap beliau adalah Abdul Wahid Hasjim. Beliau lahir di desa Tebuireng Jombang, Jawa Timur pada tanggal 1 Juni 1914 M. bertepatan dengan
5 Rabiul Awal 1333 H. buah perkawinan dari KH. Hasjim Asy’ari dengan Nayi Nafiqah.
Kalau ditelusuri, garis keturunan baik dari ayah maupun ibunya masih memiliki hubungan kekeluargaan. Keduanya bertebu pada Lembu Peteng
Brawijaya VI. Dari pihak ayahnya melalui Joko Tingkir sedangkan dari pihak ibu melalui Kiayi Tarub I.
Pada awalnya Hasjim Asy’ari berniat memberikan nama buat putranya ini dengan mengambil nama dari neneknya yaitu Muhammad Asy’ari, akan tetapi
konon nama itu tidak serasi dikarenakan bayi tersebut dianggap tidak tahan memikul nama itu. Oleh karena itu nama bayi ini diganti dengan Abdul Wahid,
pengambilan dari nama datuknya. Sungguhpun demikian ibunya kerap memanggilnya dengan nama Mudin, sedangkan kemenakannya yang masih kecil
menyebutnya Pak It.
10
Beliau menikah pada tahun 1938 dalam usia kurang lebih 25 tahun dengan Solehah buah dari perjodohan oleh orang tua mereka. Sama seperti kedua orang
tuanya, istrinya pun masih memiliki hubungan kekeluargaan dengannya. Sholehah adalah putri KHM. Bisri
11
dengan istrinya bernama Siti Nur Chadjijah adik kandung dari KH. Abdul Wahab Chasbullah dan suadara sepupu dari KH. Hasjim
Asy’ari. Pada awal perikahan mereka menetap selama kurang lebih 10 hari di Denajar lalu pindah ke Tebu Ireng hingga tahun 1942 pada masa pendudukan
Jepang.
B. Pengalaman Pendidikan dan Keintelektualan
Ketika Wahid Hasjim masih dalam kandungan, ibunya Nyai Nafiqah merasa sangat lemah. Badannya tak berdaya dan tak bertenaga. Hingga pada suatu
hari ibunya mengeluarkan kata-kata nazar: “Bila bayi dalam kandunganku ini
10
Aboe Bakar, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, Jakarta : Panitia Buku Peringatan alm. K.H.A. Wahid Hasjim, 1957, h. 139
11
KHM. Bisri adalah salah seorang ulama besar yang terkenal di Jawa Timur, pimpinan Pesantren Denajar di Jombang.
nanti lahir dengan selamat tiada kurang suatu apa, setelah badanku segar dan kuat kembali, akan bubawa ia menghadap kepada bekas guru ayahnya di Madura, yaitu
KH. M. Cholil Bangkalan”. KH. M. Cholil adalah seorang ulama besar pada jamanya, seorang yang sangat salih dan zahid, sehingga oleh murid-muridnya
sangat dicintai dan namanya disebut dengan Waliyullah KH. M. Cholil, dengan maksud hendak menunjukkan kehormatan dan ketaatannya.
Ketika bayi ini lahir dan ibunya sudah merasa sehat, maka ia menjalankan nazarnya untuk menemui KH. M. Cholil, namun konon kabarnya KH. M. Cholil
menolaknya. Selanjutnya pendidikan Wahid Hasjim langsung ditangani oleh ayahnya
yaitu Hasjim Asy’ari. Pada usia 5 tahun beliau belajar membaca al-Qur’an, sambil bersekolah di waktu pagi di Madrasah Salafiah di Tebuireng. Pada usia 7 tahun ia
belajar kitab Fath al-Qarib, Minhaj al-Qawim dan Mutammimah kepada ayahnya juga. Pada usia 12 tahun ia telah tamat dari madrasah dan mulai mengajar adiknya
A. Karim Hasjim. Pada masa itu ia giat mempelajari bahasa Arab dan sastra Arab. Akan tetapi pelajaran lebih banyak dengan cara muthala’ah dan membaca
sendiri. Pada usia 13 tahun ia pergi belajar ke Pondok Siwalan Pandji, Sidoarjo, di
Pondok Kiyai Hasjim bekas mertuanya. Di sana ia mempelajari kitab-kitab Bidayah, Sulan al-Taufiq, Taqrib dan Tafsir Jalalain. Akan tetapi beliau belajar di
sana tidak lama, hanya sekitar 25 hari. Pada tahun berikutnya ia mondok di Lirboyo Kediri, akan tetapi mondok yang kedua kali inipun hanya beberapa hari
saja.
Umur 15 tahun ia baru mengenal huruf latin, dan dengan bersungguh- sungguh ia belajar bermacam-macam ilmu pengetahuan secara belajar sendiri.
Sejak itu ia berlangganan “Penebar Semangat”, Daulat Rakyat, dan Pandji Pustaka”, sedang di luar negeri belangganan “Ummul Qura, Shaut al-Hijaza, al-
Lathaif al-Musawwarah, Kullu Syaiin wa al-Dunya, dan al-Istnain”. Sejak itu pula ia belajar bahasa Belanda dan Arab dengan belangganan majalah Tiga
Bahasa. Lalu setelah ia tamat mempelajari bahasa Arab dan Belanda lalu beliau belajar bahasa Inggris. Pada usia 15 tahun ini beliau benar-benar menjadi
penggemar bacaan yang sesungguhnya dengan meluangkan waktu 5 jam seharinya.
Sebelum berangkat haji selama setelah bulan ia bekeliling untuk meninjau pondok-pondok pesantren. Di antara pondok-pondok pesantren yang didatanginya
adalah Pondok Termas dan Jamsaren di Solo. Dan di antara kedua pondok ini yang paling banyak mendapat perhatian beliau adalah Pondok Jamsaren, terutama
persatuan palajar-pelajarnya dan cara mereka menghargai tamu. Pada tahun 1932 Wahid Hasjim berangkat ke Makah untuk menunaikan
ibadah haji. Di tempat ini beliau tidak hanya sekedar menuaikan ibadah haji, namun kesempatan ini dipergunakan untuk memperlancar bahasa Arabnya, karena
Makah memiliki dialek Quraisy yang merupakan bahasa al-Qur’an, hingga bahasa Arab tersebut sebagai bahasa al-Qur’an.
Pengalaman intelektual beliau yang pertama adalah mengajar adiknya sendiri yaitu A. Karim pada usia 12 tahun. Pada tahun 1930 bertepatan usia beliau
26 tahun beliau mengajar kitab al-Dur al-Bahiyahdan Kafrawi di muka pelajar-
pelajar pada malam hari, dan kadang-kadang beliau diminta untuk berpidato kalau kebetulan ada rapat umum.
Sepulang dari Makah tepatnya 1933, Wahid Hasjim mulai memasuki masyarakat dan mulai memimpin serta mendidik. Pekerjaan ini dimulainya dari
dalam Pondok Pesantren Tebuireng. Dari ratusan pelajar yang ada di pesantren ini beliau memilih empat orang pelajar yang diasuhnya secara khusus. Keempat
pemuda itu adalah: A. Wahab Turham dari Surabaya, A. Moghni Rais dari Cirebon, Meidari dari Pekalongan dan Faqih Hassan dari Sepanjang.
Wahid Hasjim merombak sistim pendidikan dan pengajaran pesantren dari semula berbentuk salafi belaka yang hanya mempelajari ilmu-ilmu agama dan
dengan metode tradisional dengan memasukkan pelajaran umum serta bahasa yaitu Arab, Belanda dan Inggris dan dengan sistem pendidikan modern. Hal ini ia
lakukan dikarenakan kenyataan di tengah masyarakat yang menganggap rendah para pelajar pesantren di banding pelajar Barat.
Pada tahun 1935 Wahid Hasjim membuka besar-besaran sekolah baru yang modern yang bernama Madrasah Nizhamiyah, suatu perguruan hasil ciptaan
Wahid Hasjim sendiri, dengan cara dan daftar pelajaran yang belum pernah terjadi dan belum pernah orang berani menciptakan sebagai salah satu cabang pesantren
Islam. Di samping pengajaran agama Islam, di dalam madrasah itu diadakan bidang-bidang pengetahuan umum, yang masih asing bagi dunia alim ulama
ketika itu, di samping pengajaran dalam bahasa Arab, bahasa agama yang dianggap suci, diadakan pengajaran bahasa Belanda dan Inggris. Terobosan yang
dilakukan oleh Wahid Hasjim membuat orang-orang tua masa itu menjadi
kebingungan karena bahasa-bahasa yang dipelajari adalah bahasa penjajah yang kerap menyulitkan dunia Islam, akan tetapi Wahid Hasjim berpegang teguh
kepada sebuah hadis yang menyatakan: “barang siapa mengetahui bahasa suatu golongan, ia akan aman dari perkosaan golongan itu”, dan pepatah bahwa,
bahasa itu adalah kunci ilmu pengetahuan. Banyak kritik dan serangan yang diterima oleh Wahid Hasjim berkenaan
dengan pembaharuannya, akan tetapi tidak dihiraukannya. Semua disambut dengan tenang dan ia berjalan dengan keyakinannya sebagai seorang idealis.
C. Pengalaman Berorganisasi