majalah yang diterbitkan oleh organisasi Islam modern, tradisional dan kelompok nasional.
30
Pada generasi sesudahnya perpustakaan ini diberi nama dengan “Perpustakaan Wahid Hasjim”.
Pada tahun 1938, Madrasah Nidhomiyah ditutup, karena ia aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Namun, bukan berarti ini menjadi
akhir dari keikutsertaan beliau dalam bidang pendidikan, beliau tetap melakukan pembaharuan di berbagai sekolah-sekolah Nahdlatul Ulama
di seluruh Indonesia.
2. Aspek Agama
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa Wahid Hasjim adalah seorang yang berlatarbelakang NU. Sebuah organisasi
keagamaan yang berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah Sunny. Hidup di lingkungan keluarga yang mempertahankan tradisi pesantren salaf.
Namun latarbelakang ini tidak sertamerta membuat beliau terkungkung dalam kejumudan berpikir.
Memang tidak mudah untuk mengungkap pemikiran beliau dari segi agama, karena sebagaimana dijelaskan bahwa pemikiran beliau
tidak semua tersusun dalam sebuah buku, namun tersebar di berbagai media masa, ceramah-ceramah dan cerita yang berkembang. Dalam
sub bab ini penulis hanya akan memaparkan sedikit tentang pemikiran
30
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren.
beliau mengenai keagamaan dikarenakan alasan yang penulis telah sampaikan.
Menurut Wahid Hasjim bahwa manusia itu pada dasarnya beragama. Dikatakannya bahwa manusia menurut pembawaannya
tidak mungkin tidak beragama atau mempunyai kepercayaan.
31
Dalam tulisan beliau yang lain juga terdapat kalimat senada yaitu:
“… achirnya harus diingat oleh manusia Indonesia, bahwa menurut pembawaannja, manusia tidak mungkin hidup dengan
tidak mempunjai agama atau kepertjajaan”.
32
Merujuk dari pendapat beliau di atas jelaslah bahwa manusia
pada dasarnya beragama. Fitrahnya manusia tentulah beragama, sudah ada ikatan berupa ikrar yang diucapkan oleh manusia ketika ia masih
di dalam kandungan berupa pengakuan terhadap ketuhanan Allah. Lebih lanjut lagi Wahid Hasjim menjelaskan:
“… sebenarnya orang yang anti Tuhan, yang menamakan dirinja materialisme tulen 24 karatpun, pada waktu lebaran Sjawal
masih pergi membersihkan kuburan orang tuanya, atau di waktu dirinja merasa terantjam bahaja, masih djuga menjebut nama
Allah.
33
Lebih lanjut Wahid Hasjim menjelaskan:
…njatalah dari ini, bahwa orang jang telah meninggalkan membuangkan agama dan lalu menamakan dirinja tidak
beragama itu pada hakikatnja bukanlah membuangkan agama,
31
K.H.A. Wahid Hasjim, Beragamalah dengan Sungguh-sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan, Jakarta : Pertjetakan Kita, 1951, h. 6
32
K.H.A. Wahid Hasjim, Tidak Mudah Memenuhi Tuntunan Otak Jaitu dengan Meninggalkan Hawa Nafsu atau Mendjauhi Kebenaran”, Mimbar Agama, VI dan VII, Djuni-
Djuli, 1951, h. 4
33
Ibid., h. 645
melainkan mengganti agamanja jang lama dengan jang baru, jang namanja agama – tidak beragama.
34
Jadi agama bagi beliau adalah sesuatu yang mutlak harus ada
pada manusia, karena manusia itu pada dasarnya membutuhkan agama. Namun Wahid Hasjim menjelaskan dalam beragama haruslah
mengunakan akal, agar manusia yang beragama itu menjadi sempurna. Dalam hal ini beliau mengatakan bahwa Islam itu bagaikan bibit yang
kuat yang bisa tumbuh dengan subur di tempat yang kering apalagi di tempat yang subur, karena Islam diturunkan berdasarkan wahyu Allah
yang selaras dengan akal pikiran.
35
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa agama Islam tidak saja menghargai atau menghormati akal
pikiran yang sehat, tetapi juga memerintahkan agar manusia itu berpikir, menyelidiki dan mengupas semua ajaran Islam.
36
Dari uraian di atas jelaslah bahwa bagi Wahid Hasjim antara akal dan agama memiliki hubungan yang sangat kuat, akan tetapi dengan
akal semata tidak cukup, karena kalau semata-mata akal saja hanya akan membuat manusia menjadi sombong, sebagaimana beliau
menjelaskan: Allah Maha Besar, manusia adalah makhluk jang dibuat Dia
dalam keadaan lemah; dahulu mereka merasai kelemahanja itu, dan kini mengimbangi kelemahanja itu dengan kekuatan bautan
kusmatig, lalu timbul pembalikan djiwa konpensasi dengan perasaan sombong. Allah Maha Besar: Dia lalu menghukum
manusia jang sombong itu dengan mentjabut ketentraman batinnja; dan karena itu timbul tjuriga mentjurigai antara sesama
34
Ibid.
35
K.H.A. Wahid Hasjim, Kebangkitan Dunia Islam, Mimbar Agama, III dan IV, Maret – Aprilm 1951, h. 24
36
Ibid.
manusia, kemudian timbul persaingan dan perebutan hidup; dan setelah masing-masing tidak mau menjelesaikan perebutannja itu
dengan dama, maka sepakatlah mereka untuk mentjari hakim jang dapat memberikan keputusan; sajang sekali hakim itu
setelah datang untuk mengadili, ternjata ia tidak lain daripada Malaikat Maut, Izrail. Allah Maha Besar; marilah kita ingati
kebesaranNja, agar dapat kembalilah ketentraman batin kita.
37
Dari uraian ringkas di atas dapatlah ditarik kesimpulah bahwa
pemikiran Wahid Hasjim mengenai agama merupakan pemikiran yang berdasarkan pada ilmu dan nalar yang sangat tajam. Pendapat beliau
mengenai keharusan manusia beragama bukanlah sekedar pendapat yang tidak memiliki alasan karena beliau memberikan penjelasan
dengan sangat jelas.
3. Aspek Politik