Latar Belakang Intelektual dan Pemikiran
                                                                                mempelajari  buku-buku  tentang  modernisme  Islam  dan  juga  pelajaran  umum  seperti fisika.
22
Bulan  Juli  1915  Ahmad  Sanusi  kembali  ke  Pesantren  Cantayan  dan  membantu pekerjaan ayahnya mengajar para santri. Di sana ia mencoba memperbaharui kurikulum
dengan mulai menerapkan sistem klasikal termasuk teknik mengajar Pesantren Cantayan. Di  samping  itu,  dengan  bekal  keilmuan  dan  pengalaman  hasil  pergaulannya  yang  luas
selama  di  Makkah,  ia  sering  mengadakan  diskusi-diskusi  keilmuan  seputar  persoalan- persoalan yang berkembang pada waktu itu. Kebebasan akademik pun diberikan kepada
murid-muridnya  sehingga  mereka  bebas  bertanya  dan  mengeluarkan  pendapat  untuk mendalami agama Islam. Sehingga dalam waktu yang tak begitu lama, Ia mulai disenangi
para santri.
23
Pengaruhnya di wilayah Sukabumi lebih terasa ketika pada tahun 1917 ia mulai menerbitkan  sebuah  buku  yang  berjudul  al-
Lu’lu’  al-Nadîd,  sebuah  kitab  yang menguraikan persoalan tauhîd dalam bentuk tanya jawab. Ini adalah buku pertama yang
ditulis  oleh  Ahmad  Sanusi  ketika  ia  kembali  ke  tanah  kelahirannya.  Setelah  buku  itu beredar luas, Ahmad Sanusi mulai dikenal oleh kalangan di wilayah ini yang lebih luas
lagi cakupannya. Akibatnya banyak para santri yang mulai membanjiri pesantren ayahnya sehingga  kapasitas  pesantren  itu  tidak  dapat  menampung  lagi.  Kemudian  ayahnya
menganjurkan  Ahmad  Sanusi  untuk  mendirikan  pesantren  sendiri  di  daerah  Genteng, Sukabumi yang kemudian dikenal dengan Pesantren Genteng.
24
Timur. Ia adalah salah satu guru besar ahli qirâ‘ah di Masjid al-Harâm dan juga ulama Indonesia
pertama  yang  mengajarkan  kitab  shahih  al-Bukhârî.  Untuk  lebih  jelas  tentang  profil  syaikh Mahfuzh,  lihat  Martin  Van  Bruinessen,  Kitab  Kuning  Pesantren  dan  Tarekat:  Tradisi-Tradisi
Islam di Indonesia Bandung: Mizan, 1999, h. 38-39
22
Basri,  Laporan  penelitian  dan  Penulisan ‖,  Proyek  Penelitian  Departemen  Agama,
1986, h. 5
23
Iskandar, Kyai Haji Ajeungan Ahmad Sanusi, h. 4
24
Basri,  Laporan  Penelitian  dan  Penulisan ‖,  Proyek  Penelitian  Departemen  Agama,
h.10
Pesantren Genteng bagi Ahmad Sanusi dijadikan tempat untuk merefleksikan dan memformulasikan  ide-ide  yang  terkandung  dalam  al-Quran.  Maka,  tak  heran  kalau
Ahmad  Sanusi  menjadikan  tafsir  sebagai  mata  pelajaran  yang  utama  di  Pesantren Genteng.  Sebelumnya  juga  di  pesantren ayahnya  di Cantayan ia  memegang  spesialisasi
pelajaran  tafsir,  di  mana  ia  menekankan  dalam  mengajar  tafsir  itu  agar  ajaran-ajaran Islam  di  Sukabumi  khususnya  dan  di  priangan  umumnya  dapat  terlihat  membumi.
Keinginanya  itu  bukan  hanya  sebatas  teori  saja,  lebih  jauh  lagi  ia mengimplementasikannya dalam bentuk aksi.
Misalnya  ia  berani  mengkritisi  intitusi-institusi  keagamaan  yang  dibentuk  dan dilegitimasi  oleh  pemerintah  Belanda  sebagai  lembaga  kepenghuluan.  Di  antara
pemikiran-pemikiaran kritisnya ini adalah: pertama, pendapatnya tentang tidak wajibnya zakat  fitrah  dikumpulkan  oleh  para
‘âmil  dari  pekauman  untuk    kemudian  disetorkan kepada  na
‘ib  dan  diteruskan  ke  penghulu  kepala  di kabupaten.
25
Kedua  Ahmad  Sanusi berpendapat mengenai makruhnya tradisi selametan ketiga harinya, ketujuh harinya, dan
seterusnya  bagi  yang  telah  meninggal  yang  menurut  asumsinya,  tradisi  itu  berasal  dari pengaruh  agama  Hindu,  bukan  murni  ajaran  Islam.  Ketiga,  pendapatnya  tentang  tidak
wajibnya  mendoakan  bupati  dalam  khutbah  jum‘at  yang  terkenal  dengan  peristiwa ‘abdaka maulânâ.
26
Disamping  itu,  pemikiran  Kritis  Ahmad  Sanusi  lainnya  adalah  ia  berusaha menafsirkan  al-Quran  kedalam  bahasa  selain  bahasa  Arab,  padahal  pada  waktu  itu
penafsiran  al-Quran  kedalam  bahasa  selain  arab  adalah  jarang  dilakukan,  bahkan
25
Pekauman  atau  menak  kaum  adalah  elit  birokrasi  keagamaan.  Didaerah  priengan, umunya para menak kauum yang bertitel Hoofd penghulu mempunyai hubungan keluarga dengan
bupati dan dekat sekali dengan pemjajah Belanda. Biasanya kelompok pekauman mengurus masjid raya di tingkat  kecamatan atau kabupaten yang saat itu berfungsi sebagai Kantor Urusan Agama
KUA. Lihat Iskandar, Para pengemban Amanah, h. 49.  Untuk melihat lebih jelas kajian tentang penghulu, lihat, G.F. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 Jakarta: UII-
Press, 1985, h. 67-100
26
K.H.  Ahmad  Sanusi  Qowânin  al-Dîniyyah  Sukabumi:  Sajjid  Yahya  bin  Oestman, 1928, h. 8-9 dan 16
dianggap  menyalahi  ajaran  Islam.  Tetapi  peda  tanggal  28  Januari  1931  Ahmad  Sanusi berani  menerbitkan  sebuah  buku  tafsir  pertamanya  dalam  bahasa  Sunda  dengan
menggunakan huruf Arab aksara pegon yang berjudul Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm
Rabb al- ‘Âlamîn, walaupun ia harus berhadapan dengan para ulama setempat yang masih
berpendapat  bahwa  menafsirkan  al-Quran  ke  bahasa  selain  Bahasa  Arab  adalah  haram hukumnya.
Tindakan  antagonis  yang  dilakukan  ulama  setempat  menjadi  lebih  keras  lagi ketika  ia  menerbitkan  buku  tafsir  keduanya  yang  mentransliterasi  hurup  Arab  al-Quran
kedalam bahasa Indonesia dengan judul Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al- ‘ÂlamÎn.  Bahkan  selanjutnya  ia  dianggap  telah  menjadi  kafir  dan  dirinya  halal  untuk
dibunuh.  Tetapi  keadaan  demikian  tidak  menyurutkan  niatnya  untuk  menerbitkan  tafsir tersebut.  Karena  ia  berkeyakinan  tindakannya  itu  adalah  benar  demi  memajukan
pemikiran  dan  apresiasi  umat  Islam  terhadap  al-Quran  sebagai  dasar  hukum  pertama dalam agama Islam.
27
Bila  dilihat  dari  guru-gurunya,  baik  itu  yang  menjadi  guru  ketika  ia  belajar  di Jawa Barat maupun ketika ia bermukim di Tanah Suci dan juga isi dari buku-buku yang
diterbitkannya dapat diketahui bahwa ia adalah seorang penganut Asy‘âriah atau Ahl al-
Sunnah wa al- Jamâ‘ah dalam bidang teologi,
28
dan bermazhab Syafi‗î dalam bidang fiqh.
Aliran  inilah  yang  selanjutnya  banyak  mempengaruhi  jalan  pikirannya  untuk mengaplikasikan  semua  kegiatannya  sehari-hari  termasuk  dalam  menulis  semua  karya
yang ditulisnya Jika kita lihat kembali ide-ide reformasi yang dikemukakan oleh Ahmad Sanusi,
sebenarnya  mempunyai  kesamaan  dengan  yang  dikemukakan  reformis  lainnya  yang
27
Iskandar, Para Pengemban Amanah, h. 192-205
28
Untuk  melihat  lebih  jauh  pemikiran  Ahmad  Sanusi  dalam  bidang  teologi,  lihat  A. Saipudin,  ―Perbuatan  Manusia  dalamTeologi  Haji  Ahmad  Sanusi:Studi  Mengenai  Pemikiran
Teologi  Islam  Seorang  Ulama  Indonesia ‖  Tesis  Megister,  Progam  Pascasarjana  Institut  Agama
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1993
berdomisili  di  Jawa  Barat,  seperti  Persatuan  Islam  PERSIS  dan  Majelis  Ahli  Sunnah Cilame  MASC.
29
Namun  demikian,  Ahmad  Sanusi  mengatakan  bahwa  pintu  ijtihâd masih  terbuka,  ia  sendiri  mengaku  tidak  berijtihâd  dan  masih  berpegang  kepada  Imam
yang Empat, sehingga ia pun mendapat serangan dari organisasi diatas. Oleh sebab itu, Ahmad Sanusi pada waktu itu mendapat lawan dari dua arah. Disatu sisi ia bersebrangan
dengan Islam tradisional yang diwakili oleh fihak pekauman, disisi lain, ia pun membela Islam  tradisional  dari    gempuran  organisasi  tajdîd
yang  mempunyai  jargon  ―kembali kepada al-Quran dan Hadis Sahîh
‖.