Aspek Teknis Penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-

Kemudian setelah memberi penjelasan tentang hal-hal yang terkait dengan surat, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini memulai kajiannya dengan masuk pada ayat demi ayat dalam setiap surat. Setiap kata atau kalimat dalam suatu ayat yang dipenggal, teks arabnya ditulis lalu mencantumkan terjemahannya disamping teks Arab ayat tersebut. Di bawah redaksi ayat dan teks terjemahnya, diberikan eksplorasi secara luas atas ayat-ayat yang dikaji tersebut. Selanjutnya ia menjelaskan ayat pertama sûrah al-fâtihah, lapadz نمحرلا ها مسب ميحرلا , apakah termasuk ayat pertama sûrah al-Fâtihah atau bukan. Ahmad Sanusi menjelaskannya dengan mengutif pendapat para ahli dalam seperti Imam Syafii‘, Imam Hanbalî dan sebagian sahabat dan Tâbi‘în seperti sepert Ibnu ‗Abbâs, Ibnu ‗Umar, Abû Hurairah dan lain sebagainya dan juga beberapa kutipan hadist yang berpendapat bahwa lapadz diatas, merupakan bagian atau satu ayat dari sûrah-sûrah dalam al-Quran termasuk dalam Sûrah al-Fâtihah selain dari Sûrah al-Taubah. Kemudian ia mengemukakan pendapat kedua dari Imam H anafî, Imam Mâlik, dan Aizâ‗î yang berpendapat bahwa lapadz diatas bukan bagian ayat dari Sûrah al-Fâtihah, juga bukan dari sûrah-sûrah lainnya, melainkan satu ayat dari Sûrah al-Naml. 122 Disini bisa dilihat bahwa Ahmad sanusi tidak membenarkan salah satu dari pendapat diatas. Dia sengaja memaparkan perbedaan tersebut agar pembaca dapat memilih pendapat yang memang dianggap benar oleh pembaca dan dijadikan bahan renungan serta tambahan wawasan bagi para pembacanya. Contoh lain adalah ketika ia menjelaskan tentang pembukaan sûrah, seperti dalam Sûrah al-Baqarah ayat 1: ــ 122 Sanusi, Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 1, Oktober 1934, h. 19-20. mengenai ayat pertama ini para ahli tafsir terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1 kelompok pertama berpendapat bahwa ــ itu hakikatnya merupakan ilmu yang terbungkus dan rahasia yang terhalang, yang tiada yang mengetahui selain Allah SWT, dan 2 maka mereka menetapkan bahwa ــ itu diketahui maksudnya, pendapat inipun terbagi lagi: pertama, dari para kelompok mutakallimîn, Imam Sibaweh, dan Imam Kholîl yang berpendapat bahwa huruf itu sebagai nama sûrah, kedua, tanpa menyebut sumber bahwa huruf itu adalah setengah dari nama Allah. Ketiga, kelompok ini berpendapat bahwa setiap hurufnya merupakan isyarah dari nama-nama Allah; alifnya bermakna ahad , aww al, Akhir, azallî, ‘Abadî, dan lain-lain. Lamnya merupakan isyarah dari Latîf, dan mimnya, merupakan isyarah dari mâlik, mâjid, dan mannân. 123 Dengan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa Sistematika penyajian tafsir yang ditempuh oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsir Tamsyiyyat adalah runtut berdasarkan tertib susunan surat yang ada dalam Mushaf Utmani atau Tartîb al-Mushaf, bukan berdasarkan atas turunnya wahyu atau Tartîb al-Nuzuli.

2. Bentuk penyajian

Bentuk penyajian tafsir yang dimaksud disini adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian tafsir yang ditempuh Mufassir dalam menafsirkan al- Qur‘an. Dalam bentuk penyajian ini ada dua bagian: 1 Bentuk penyajian global, dan 2 bentuk penyajian rinci, yang masing-masingnya mempunyai ciri-ciri tersendiri. Bentuk penyajian yang ditempuh oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah bentuk penyajian global. Yang dimaksud dengan bentuk penyajian global adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian karya tafsir dimana penjelasan yang 123 Sanusi, Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 1, Oktober 1934, h. 25-28 dilakukan cukup singkat dan global, yang biasanya bentuk ini lebih menitik beratkan kepada inti dan maksud ayat ayat yang dikaji. Bentuk ini bisa diidentifikasi melalui model analisis tafsir yang digunakan, yang hanya menampilkan bagian terjemah, sesekali asbâb al-Nuzûl, dan perumusan pokok-pokok kandungan dari ayat-ayat yang dikaji. Misalnya, ketika Ahmad Sanusi menafsirkan Sûrah al-Baqarah ayat 26. ف ء ف ف ف ض ا ا ا ف ا ―Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau syang lebih besar daripadanya, adapun orang-orang yang beriman, maka mereka mengetahui bahwa perumpamaan itu adalah benar tuhan mereka, tetapi mereka yang kâfir mengatakan: ―apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?‖ . Dengan perumpamaan itulah banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu pula banyak orang yang diberi petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fâsiq ‖ Asbâb al-Nuzûl ayat ini adalah di zaman Nabi, orang-orang musyrik dan Yahudi, tatkala diturunkannya Sûrah al-Nahl tawon, Sûrah al- ‗Ankabût laba-laba, dan juga Sûrah al- Naml semut, maka mereka berkata: ―buat apa Tuhan menceritakan sagala perkara- perkara yang rendah itu?‖. Maka diturunkanlah ayat ini. 124 Karena dalam pandangan akal binatang yang kecil itu nyata, aneh dan ajaib. Misalnya seumpama nyamuk, tengoe dan agas, yang semuanya itu hampir tidak terlihat oleh mata kita kerena ukurannya yang memang sangat kecil. Padahal hakikatnya semua binatang kecil juga mempunyai gigi, mulut, tenggorokan, berurat, bertulang dan berusus. Maka menurut ilmu pengetahuan dan pemeriksaan, tidak akan ada alat yang bisa membuat yang seperti itu, bahkan walaupun dikumpulkan seluruh manusia sedunia untuk membuat yang seperti itu, tentu mereka tidak akan berdaya. Maka perumpamaan yang 124 Sanusi, Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 4, Januari 1935, h. 99-101 demikian itu sungguh nyata, menunjukkan kekuasaan yang luar biasa, yaitu kekuasaan Tuhan. 125 Kemudian Ahmad sanusi menggarisbawahi kata Yastahyî asal katanya malu, tetapi makna itu mustahil buat Allah, karena malu itu terbitnya daripada takut dicela. Maka ia mengambil maknanya dengan ‗aqibah malu, yaitu berpaling atau meninggalkan. Selanjutnya ketika ia menjelaskan kata idlâl yang mempunyai makna menyesatkan atau bid ‘ah, ia terlihat memasukkan wacana keindonesiannya. Ia mengatakan bahwa tidak semua perkara yang tidak dilakukan pada zaman Nabi adalah bid ‘ah. Sambil mengutip sebuah hadis, ia mengemukakan bahwa bid‘ah itu tidak semuanya menyesatkan. Ada juga bid ‘ah yang baik. 126 Dalam suatu karya tafsir jarang ditemukan memiliki metode penafsiran. Dengan menggunakan tehnik atau bentuk penafsiran yang tunggal. Suatu tafsir tidak selamanya dalam menafsirkan bentuk global atau terperinci saja. Suatu tafsir dapat disebut mempunyai bentuk penyajian global tetapi terkadang ia juga termasuk ke dalam bentuk penyajian rinci, sebab seringkali ketika ia menjelaskan suatu ayat, ia menafsirkan ayat itu dengan sangat detail dan jelas. Tetapi terkadang dalam menjelaskan ayat lain ia juga hanya memakai bentuk penyajian yang global. 127 Begitu pula dengan tafsir Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, Ahmad Sanusi terlihat menggunakan bentuk penyajian rinci ketika menafsirkan Q.S 2:183 sampai menghabiskan dua puluh dua halaman penuh. 128 Sementara ia menjelaskan ayat lainnya hanya menjelaskan secara singkat saja. Hanya saja frekuensinya lebih banyak menggunakan penyajian global daripada bentuk penyajian rinci. 125 Sanusi, Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 4, Januari 1935, h.101 126 Sanusi, Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 4, Januari 1935, h.102-104 127 Lihat Mamat S. Burhanuddin, Hermeuneutik al- Qur a ala Pesa tre : A alisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya K.H. Nawawi Banten Yogyakarta: UII Press, 2006, h.49 128 Ahmad Sanusi, TafsirTamsiyyah al-muslmîn, no. 16, Januari 1936, h. 509-531

3. Bentuk penulisan

Yang dimaksud dengan bentuk penulisan sebuah karya tafsir di sini adalah mekanisme penulisan yang menyangkut aturan tekhnis dalam penyusunan keredaksian sebuah literatur tafsir. Aturan yang dimaksud adalah tatacara mengutip sumber seperti, penulisan catatan kaki, penyebutan catatan kaki, penyebutan buku-buku yang dijadikan rujukan serta hal-hal lain yang menyangkut konstruksi keredaksionalan. Dalam kaitan ini, ada 2 hal pokok: 1Bentuk penulisan ilmiah, dan 2 bentuk penulisan non ilmiah. 129 Dalam bentuk penulisan yang terdapat dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, aturan di atas tidak terlihat. Walaupun di beberapa tempat Ahmad Sanusi menyebutkan sumber rujukannya, tetapi ia tidak memenpatkannya dalam bentuk catatan kaki, catatan perut, dan lain sebagainya seperti halnya tatacara penulisan ilmiah. Hal ini disebabkan, pertama, pada waktu tafsir ini ditulis sekitar tahun 1930-an, tata cara penulisan ilmiah belum sepopuler tahun-tahun sesudahnya terutama periode kontemporer. Kedua, motivasi semula penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah untuk dikonsumsi masyarakat Indonesia, yang waktu itu pendidikannya masih rata-rata dibawah bangsa lain terutama tentang cara tulis menulis, dan bukan untuk kepantingan akademisi yang mengharuskan memakai tata cara penulisan ilmiah. Dengan kata lain Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini bisa dikatakan mempunyai bentuk penulisan tafsir yang disebut bentuk penulisan non ilmiah.

4. Sifat Mufasir

Dalam menyusun sebuah karya tafsir, seorang pengarang bisa melakukannya secara individual, kolektif dua orang atau lebih dan bahkan penyusun tafsir tersebut bisa membentuk tim atau panitia khusus secara resmi. 129 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 172 Adapun Ahmad Sanusi ketika menulis Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini hanya seorang diri baik dari awal sampai akhir atau dengan kata lain Ahmad Sanusi dalam menulis tafsir mempunyai sifat individual.

5. Sumber-sumber rujukan

Sumber rujukan adalah literatur tafsir yang digunakan sebagai sumber rujukan oleh penafsir, baik dari segi bahasa, generasi. Literatur tafsir tersebut bisa berupa karya tafsir berbahasa arab, literatur bahasa arab yang jadi acuan, literatur bahasa Inggris, literatur bahasa Indonesia atau karya-karya lain yang berhubungan. 130 literalatur tafsir yang digunakan oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimîn hampir seluruhnya didominasi oleh referensi klasik Timur Tengah. Ini bisa dilihat ketika dia menjelaskan sebuah kisah dalam Sûrah al-Baqarah ayat 102: ……… ……. Dalam menjelaskan kisah tentang Hârût dan Marût, Ahmad Sanusi mengutif penjelasannya dari beberapa tafsir klasik. Diantaranya Tafsîr Mafâtih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razî, Tafsîr Rûh al- Ma‘anî karya al-Alûsi, Tafsir Lubâb al-ta’wîl karya al- Khâzin, Tafsir Ma’alim al-Tanzîl karya husain ibn Mas‗ud al-Bagawî, Tafsîr Ibn Katsîr karya Ibn Katsîr dan lain sebagainya. 131 Walaupun di beberapa tempat ia memakai referensi tafsir modern, seperti Tafsîr al-Jawâhir karya Tantowi Jauhari, ketika menyimpulkan semua kisah-kisah dalam Sûrah al-Baqarah bahwa serita itu tidaklah nyata dan umat Islam diperintahkan untuk mengambil hikmah dari cerita tersebut. 132 130 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 186-188 131 Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 9, Juni 1935, h. 297-304 132 Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, no.16, Januari 1936, h. 487-489 Berikut adalah daftar tafsir-tafsir yang dijadikan sumber rujukan dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn: a. Tafsir Ma’alim al-Tanzîl karya husain ibn Mas‗ud al-Bagawi b. Tafsîr Ibn Katsir karya Ibn Katsir c. Tafsîr Tanwîr al-Miqbâs karya Fairuzabadi d. Tafsîr Mafâtih al-Ghaib karya Fachruddin al-Razy e. Tafsir Madârik al-Tanzîl karya al-Nasafi f. Tafsir Lubâb al-ta’wîl karya al-Khâzin g. Tafsîr Rûh al-Ma‘anî karya al-Alûsi h. Tafsîr al-Jawâhir karya Tantowi Jauhari Dominasi literatur tafsir klasik Timur Tengah ini tidak hanya terjadi pada penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn . Federspiel dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa, ketergantungan terhadap referensi dari dunia Arab ini telah mewabah dalam literalatur tafsir di Indonesia semenjak sebelum dan pada masa awal abad ke-20. 133 D . Aspek Metodologis Penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn Yang dimaksud dengan aspek metodologis penulisan adalah konstruksi ―dalam‖ yang berkaitan dengan prinsip metodologis yang digunakan dalam proses penafsiran. Dalam aspek metodologis ini, arah kajian bergerak pada tiga wilayah: 1 metode penafsiran, 2 nuansa penafsiran, dan 3 pendekatan tafsir. 133 Howard M.Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraisy Syihab, terj. Tajul Bandung: Mizan, 1994, h. 280-28

1. Metode Penafsiran

Metode tafsir yang dimaksud disini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran al-Quran. Dalam hal ini, metode penafsiran terbagi tiga, yaitu: 1 metode tafsir riwayat, 2 metode tafsir pemikiran, dan 3 metode tafsir interteks. Metode penafsiran yang ditempuh oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah metode tafsir tafsir riwayat. Hal ini karena dalam metode penafsirannya, Ahmad Sanusi banyak sekali menjadikan riwayat Nabi maupun sahabat yang dijadikan sebagai sumber penafsiran dalam menafsirkan ayat al-Quran. Walaupun dibeberapa tempat ia memakai metode pemikiran seperti ketika ia menafsirkan Sûrah al- Taubah ayat 60: ف ء ح ه ه ف ه ف غ ―Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan, yang diwajibkan Allah; dan Allah maha mengetahui lagi maha bij aksana.‖ Ayat ini menerangkan tentang orang-orang yang berhak menerima zakat. Menurut Ahmad Sanusi mustahiq menurut ayat ini adalah: pertama, fakir, yaitu orang yang penghasilannya hanya bisa memenuhi setengah atau kurang dari kebutuhannya sehari-hari. Kedua, miskin, yaitu orang yang penghasilannya hanya bisa menutupi lebih sedikit dari setengah dari keperluannya sehari-hari. Ketiga, ‘âmilîn, yaitu orang yang ditunjuk oleh ulama setempat sebagai pengumpul dan pembagi zakat kepada para mustahiq nya. Hak sebagai ‘âmilîn ini bisa gugur apabila, 1 para wajib zakat itu membagikannya sendiri tanpa melalui ‘âmilîn, 2, dengan mengutif kitab jika ternyata para ‘âmilîn tersubut adalah arang yang mampu dari segi materi. Keempat, golongan mu’allaf , yaitu orang yang lemah imannya, dengan ukuran jika dia dibujuk untuk pindah kepada agama lain, maka kemungkinan besar ia akan menjadi murtad. Oleh karena itu, zakat tersebut harus diberikan kepadanya sebagai penguat imannya. Kelima, budak, yaitu semua budak orang yang dibeli yang sudah perjanjian dengan tuannya buat menebus kebudakannya dengan cara mencicil. Keenam, golongan ghârimîn, yaitu orang yang berhutang akibat menyelesaikan perselisihan dua pihak yang muslim. walaupun orang itu mampu, tetap berhak menerima zakat. Ketujuh, golongan sabîl Allah, yaitu orang yang berperang dijalan Allah. Kedelapan, ibn al-sabîl, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan jauh dan sedang berkunjung ketempat pengumpulan zakat, sementara orang tersebut tidak mempunyai uang tidak mempunyai biaya untuk kembali ketempat asalnya. 134

7. Nuansa tafsir

Yang dimaksud dengan nuansa tafsir adalah ruang dominan sebagai sudut pandang dari suatu karya tafsir. Misalnya nuansa kebahasaan, teologi, sosial, kemasyarakatan, fiqh, psikologis dan lain-lain. Nuansa tafsir dapat disebut juga dengan corak tafsir. Karena dari corak yang dominan inilah sebuah karya tafsir yang satu dapat dibedakan dengan karya tafsir lain. Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini bisa dikatakan sebagai tafsir yang memiliki nuansacorak fiqhi. Walaupun dalam cover belakang dari setiap edisi yang dikeluarkan oleh penerbitnya, tetapi banyak masalah-masalah mengenai fiqh yang diprioritaskan untuk dibahas lebih mendetail. Sehingga dominasi nuansa fiqh sangat kental dan terasa 134 Ahmad Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 2, November 1934, h. 54 dalam Tafsîr Tamsyiyyat. Hal ini bisa terlihat ketika Ahmad Sanusi menjelaskan Sûrah al- Baqarah ayat 3: …… ―……..dan menafkahkan sebahagian rezeki kepada mereka.‖ Dalam menjelaskan penggalan ayat diatas, Ahmad Sanusi menggaris bawahi kata yang ditafsirkan olehnya sebagai zakat. Selanjutnya ia menjelaskan segala aspek zakat beserta hukum-hukumnya seperti: definisi zakat, macam-macam benda yang wajib dikeluarkan zakatnya, macam-macam zakat, tempat mengeluarkan zakat, mustahiq zakat, rahasia dibalik zakat, keutamaan zakat dan lain sebagainya, yang pembahasannya menghabiskan sebelas halaman. 135 Contoh lainnya adalah ketika Ahmad sanusi menafsirkan Sûrah al-Baqarah ayat 183, yang membicarakan tentang puasa. Ia membahas segala aspek tentang puasa tersebut mencapai dua puluh dua halaman, 136 dan juga ketika menjelaskan Sûrah al-baqarah ayat 196-198, yang berbicara mengenai ketentuan haji dan umrah, ia membahasnya sampai menghabiskan empat puluh tujuh halaman. Dari gambaran diatas, kita bisa menilai bahwa Ahmad Sanusi cenderung tertarik menjelaskannya lebih detil dan memberikan porsi yang lebih banyak terhadap ayat-ayat al-Quran yang berbicara mengenai persoalan hukum.sengga penulis berasumsi bahwa nuansa tafsir yang dominan mewarnai Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah nuansa fiqh. 135 Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, no.2, November 1934, h.. 47-58 136 Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 16-17, Januari-Pebruari 1936, h. 509-531

8. Pendekatan Tafsir

Pendekatan tafsir di sini dimaknai sebagai titik pijak keberangkatan dari proses tafsir. Itu sebabnya, dengan pendekatan tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir yang berbeda-beda. Ada dua pendekatan yang dimaksud yaitu yang berorentasi pada teks dalam dirinya pendekatan tekstual dan berorentasi pada konteks pembaca penafsir yang dikenal dengan pendekatan kontekstual. 137 Pendekatan yang dilakukan oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimîn adalah pendekatan kontekstual. Ini bisa terlihat ketika ia menafsirkan surat al- Taubah ayat 60 yang berhubungan dengan masalah mustahiq zakat. 138 Menurut Ahmad Sanusi, mustahiq zakat yang ada di pulau Jawa pada masa itu hanya lima golongan di antaranya: fakir, miskin, ,muallap, gharîm dan Ibnu Sabil. Sedangkan dalam surat al- Taubah tadi yang berhak menerima zakat ada tujuh golongan sisanya al-riqâb budak dan amil. Yang dua golongan terakhir ini tidak layak menerima zakat karena perbudakan hanya berlaku pada zaman Nabi. Adapun alasan amil tidak berhak menerima zakat karena pada masa Ahmad Sanusi amil zakat diurus oleh para pihak ‗pekauman‘ yang notabene orang mempunyai jabatan dan berasal dari keturunan ningrat yang sangat mampu dari segi materi.Contoh lainnya adalah ketika menafsirkan Sûrah al-Baqarah ayat 29: أ ف خ …………. ―Dialah Allah yang telah menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…….‖ Menurutnya, bahwa segala sesuatu yang ada di bumi semuanya untuk umat manusia umumnya dan khususnya umat Islam dalam rangka melaksanakan perintah Allah, akan tetapi orang-orang Islam tersebut menyia-nyiakan pemberian tersebut. 137 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 247-248 138 Ahmad Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat, no.2, 1934, h. 55 Kemudian, ia mengkritik sikap umat Islam —terutama guru-guru agama—yang tidak berusaha untuk mencari ilmu pengetahuan yang akibatnya umat Islam terjerumus ke dalam jurang kemelaratan dan kehinaan, padahal Allah menyuruh hambanya untuk mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat. 139 Kemudian dengan nada keras ia berkata bahwa: ―Goeroe-goeroe dan santri-santri jang lantjoeng, jang mendjadi penipoe agana itoe, berpoera- poera zoehoed, sobar, qana‘ah, dengan mentjeritakan saoempama hadist-hadist itoe, padahal hakekatnja soepaja mereka itoe tiada mendapat maloe daripada kemalesannja, dan soepaja dianggap tapa dari pada mendjadi banjak kepadanya sidekah orang-orang. Inilah goeroe-goeroe yang meroeksakkan ‗alam Islam….‖. Lebih lanjut ia berkata yang khusus ditujukan kepada guru-guru tarekat: ―Teroetama daripada goeroe-goeroetarekat, jang bodo itoelah jang meroeksakkan agama Islam, dan ‗alam Islam dan oemmat Islam. Maka berhati- hatilah kaoem Islam di dalam mengambil ‗ilmoe agama Islam, djanganlah mengambil ‗ilmu itoe, daripada goeroe Islam jang tiada benar kelakoennj. Atau seoempama boenglon tobi‘atnja, lebih-lebih wajib berhati-hati didalam mengambil tarekat, maka lebih dahoeloe wadjib diketahoei bagaimana keadaan goeroe- goeroe itoe, ia tabahhoer dengan ‗ilmu sjara‘, seoempama Tafsier, Hadits, Faqieh dan perabot- perabotnja, dan bagaimana tobi‘at goeroe itoe, gemar daripada pengasih orang atau daripada sidkah-sidkahnja. Maka apabila terdapat goeroe itoe memang bodo atau seorang jang ingin oleh-oleh atau sidkah dari pada anak muridnja, maka djaganlah mengambil tarekat daripadanja, kerna itoelah soeatu ratjun didalam agama Islam‖. 140 Tetapi ia bukan mengkritik sistem tarekatnya, bahkan ia menempatkan ilmu tarekat di atas syari‘ah. Baginya antara tarekat dan syari‘at seperti mahkota dan pakaian, jika seorang memakai mahkota tanpa pakaian, tentu orang itu tidak 139 Ahmad Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat, no. 4, Januari 1935, h.105 140 Ahmad Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat, no. 4, Januari 1935, h. 114 disebut raja melainkan orang gila. Dengan mengutip ayat al- Qur‘an, hadist dan pendapat ulama, Ahmad Sanusi meredefinisi arti- arti seperti zuhud, qana‘ah, sabar, tawakkal, fakir dan miskin. Menurutnya zuhud itu bukanlang membuang dunia sama sekali, tetapi maksudnya adalah dunia itu jangan terus berada dalam hati atau menjadi penghalang dalam kekhusuan beribadah. ―dan adapun artinya kona‘ah, maka wadjib ridlo akan segala pendapetan pentjahariannja, dan djangan moering-moering atau keloe-kesah atau menjantel hati akan harta benda orang, boekan sekali-kali berarti wadjib memboeang doenia atau harta benda,… dan adapoen artinja sobar, maka berkata Imam Djoenaedi al- Bagdadi…artinya: ‗jaitoe menahan napsoe, atas perkara jang tiada disoekainja, dengan menghilangkan kaloe-kesah dan kedjengkelan dan boekan artinja sobar itoe melemahkan diri atau memboeang doenia‖. Setelah mendefinisikan kembali arti-arti di atas, Ahmad Sanusi mengusulkan agar umat Islam cukup dan sempurna kehidupan dunianya, ia berkata: ―jang mandjadi oesoel didalam ketjoekoepan dan kasampoernaan kehidoepan itoe tiga perkara: 1 ‗Zaro‘ah‘, jaitoe perkara pertanian, karena pertanian itoe jang mendjadi dasarnja kehidoepan, kerna sebagian besar daripada makanan, itoe perhasilan pertanian, maka sekalian bangsa jang tiada menjampernakan akan pertaniannja, tentoe kahidoepannja koerang tjoekoep, 2 ‗tidjaroh‘, jaitoe perdagangan, kerna berdagang itoe jang mendatangkan segala kekajaan, saperti jang telah terseboet di dalam hadist:‖Bahwasanja dagang itoe, jang mendatangkan 90 pCt. Rizki dan kekajaan, maka tiap-tiap bangsa jang kurang madjoe dan koerang loeas perdagannja, nistjaja tiada sampoerna kekajaannja atau tiada bisa djadi kaja, 3 ‗sona‘at, jaitoe segala pekerjaan tangan daripada segala pabriek-pabriek masin- masin, karena sona‘at itoe chadamnja segala peroesahaan dan pergaoelan hidoep, bilamana suatu bangsa koeat dan tegoeh dan sona‘atnja, nistjaja tinggi dan moelia daradjat kahidoepannja, oleh karena sona‘a menjadi chadamnja segala peroesahaan dan pergaoelan hidoep, makaj djoendjoengan kita nabi Moehammad memoedji dan menggemarkan akan sona‘at itoe‖. 141 Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa ahmad sanusi menafsirkan ayat dengan menarik maksud ayat ke dalam konteks pembaca penafsir dimana ia hidup dan 141 Ahmad Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat, no. 4, Januari 1935, h. 119 berada, dengan pengalaman budaya,sejarah dan sosialnya sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendekatan tafsir yang digunakan dalam Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimîn ini adalah pendekatan tafsir kontekstual. Pembahasan tentang aspek teknis dan aspek metodologis tafsir yang dipaparkan diatas untuk lebih mudahnya penulis merangkumnya dalam sebuah tabel yang dibandingkan dengan dua karya tafsir Ahmad Sanusi lainnya seperti sederhana dibawah ini: Aspek Teknis penulisan Tamsyiyyat al- Muslimîn Raudat al- ‘Irfân Maljâ’ al- Tâlibîn 1.Sistematika Penyajian Tafsir 1.Berdasarkan Urutan Mushaf x x x 2.Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu 3.Tematik 2.Bentuk Penyajian Tafsir 1.Rinci 2.Global X x x

3.Bentuk Penulisan

Tafsir 1.Ilmiah 2.Nonilmiah X x x 4.Sifat Mufassîr 1.Individual X x x 2.Kolektif 5.Sumber Rujukan 1.Buku Tafsir X x x 2.Buku Bukan Tafsir Aspek Metodologis

1.Metode Tafsir

1.Metode Tafsir Riwayat X 2.Metode Tafsir Pemikiran X x x 3.Metode Tafsir Interteks

2.Nuansa Tafsir

1.Fiqh X x 2.Theologi x 3.Pendekatan Tafsir 1.Tekstual x x 2.Kontekstual X Bila dilihat dari tabel di atas, dari ketiga tafsir yang ditulis oleh Ahmad Sanusi baik dari segi aspek teknis maupun metodologisnya, tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Perbedaan-perbedaan yang ada tersebut, pertama, dari segi bahasa. Bahasa yang dipakai dalam Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimīn adalah bahasa melayu dengan huruf latin, sedangkan dalam Tafsîr Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn dan Tafsîr Raudat al- ‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân bahasa yang dipakai adalah bahasa sunda dengan menggunakan huruf Arab pegon . Kedua, dari segi paparan penjelasan yang diberikan. Dalam Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimīn, pertama-tama diberikan pendahuluan, kemudian menjelaskan nama sûrah, menafsirkan penggalan kata dalam satu ayat, mencantumkan asbâb al-Nuzûl jika ada, dan memberikan penjelesan umum seputar kajian ayat. Sedangkan dalam Tafsîr Maljâ’ al-T âlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al- ‘Âlamîn, pendahuluan diberikan penjelasan yang lebih luas, seperti, nama-nama al-Quran, jumlah sûrah dalam al-Quran, jumlah ayat dalam al- Quran, jumlah kata, jumlah kalimat, jumlah huruf, dan sejarah pengumpulan al-Quran. Kemudian setelah itu menafsirkan penggalan kata dalam satu ayat, mencantumkan asbâb al-Nuzûl jika ada, dan memberikan penjelesan umum seputar kajian ayat, dan yang terakhir dijelaskan tentang perbedaan qira’ah. Adapun dalam Tafsîr Raudat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân tidak diberikan pendahuluan seperti halnya dua tafsir lainnya. Dalam menjelaskan ayat, tafsir ini menggunakan metode catatan kaki disamping kiri dan kanan ayat al-Quran. Tafsir ini bisa dikatakan lebih mendekati terjemah al-Quran dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, perbedaan yang ketiga adalah dari segi nuansa tafsir. Bila tafsir Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimīn dan Tafsîr Raudat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân lebih cenderung bernunsa fiqh, maka tafsir Tafsîr Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al- ‘Âlamîn lebih cenderung kepada nuansa theologi. Hal ini dikarenakan tafsir ini ketika akan membahas ayat tentang teologi, maka Ahmad sanusi memberikan penjelasan yang lebih luas dan mendetail. Perbedaan yang keempat adalah, Dari segi pendekatan tafsir. Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimīn dalam pendekatannya lebih terlihat cenderung kontekstual. Sedangkan Tafsîr Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn dan Tafsîr Raudat al- ‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân lebih cenderung tekstual.

E. Analisis Penulis

Yang dimaksud dengan analisis disini adalah penjelasan kelebihan dan kekurangan dari Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn karya Ahmad Sanusi. Adapun kelebihannya adalah, pertama, tafsir ini salah satu pelopor dalam penulisan tafsir yang memakai bahasa MelayuIndonesia khususnya didaerah Jawa Barat. Kedua, penulisan tafsir ini dalam pembahasannya menyertakan transliterasi al-Quran mendobel huruf Arabnya dengan cara baca latin yang memudahkan bagi pembacanya yang tidak bisa membaca huruf Arab. Ketiga, tafsir ini diterbitkan dengan memakai format yang berbeda dari tafsir konvensional lainnya, yakni seperti format sebuah majalah yang dikeluarkan dalam satuan edisi satu bulan sekali. Hal ini pada masa itu, merupakan terobosan baru bagi penulisan karya tafsir di Indonesia. Adapun kekurangan tafsir ini adalah, pertama, tafsir ini dalam tampilannya tidak mencantumkan nomor urut ayat. Hal ini bisa membuat kesulitan bagi para pembacanya untuk menentukan nomor urut ayat yang sedang dibahas. Kedua, tafsir ini —dengan format majalahnya —disamping mempunyai kelebihan, juga mempunyai kekurangan. Dengan bentuk yang diterbitkan tiap edisi satu bulan sekali ini, bisa mengakibatkan tafsir ini mudah dilupakan oleh para pembacanya karena sifatnya yang terpisah-pisah, tidak seperti layaknya tafsir konvensional lainnya. Adapun kekurangan yang ketiga, adalah tafsir ini tidak selesai penulisannya secara keseluruhan 30 Juz. BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian bab-bab yang telah dipaparkan dalam bab-bab yang lalu telah dijelaskan bahwa sebuah tafsir terdiri dari aspek teknis penafsiran serta aspek metodologis penafsiran. Penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Aspek teknis Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah bisa dijabarkan sebagai berikut: pertama, sistematika penyajian Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah runtut sesuai dengan urutan tertib ayat dan sûrah seperti dalam Mush af ‘Usmâni. Kedua, bentuk penyajian yang digunakan adalah rinci walaupun dalam tempat lain terkadang global. Ketiga, bentuk penulisan yang dipakai oleh tafsir ini adalah non ilmiah, yakni tidak seperti skripsi atau tesis yang ditulis untuk keperluan akademik. Keempat, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini mempunyai sifat individual atau ditulis oleh satu orang penulis, dan yang terakhir, Kelima, tafsir ini memakai sumber-sumber rujukan buku tafsir klasik sepert Tafsir Ma’alim al-Tanzîl karya Husain ibn Mas‗ûd al-Bagawi, Tafsîr Ibn Katsir karya Ibn Katsîr, Tafsîr Mafâtih al-Ghaib karya Fachruddin al- Razy, Tafsir Lubâb al- ta’wîl karya al-Khâzin, dan Tafsîr Rûh alMa‘ani karya al- Alûsi. 2. Sedangkan aspek Metodologis Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah, Pertama, Tafsir ini memakai metode penafsiran riwayat. Kedua, Tafsir Tamsyiyyat ini memiliki nuansa atau corak fiqh, karena pembahasan dalam tafsir tersebut banyak menitikberatkan terhadap masalah fiqh. Ketiga, pendekatan tafsir yang dipakai dalam tafsir ini adalah metode pendekatan kontekstual.