1. Periode Klasik Sebelum Abad ke- 20
Dari karya-karya tafsir pada periode ini didapati beberapa kecenderungan, pertama
, penafsiran yang dilakukan bergerak dalam model yang sederhana serta tekhnis penulisan yang tergolong elementer. Dalam naskah Cambridge misalnya, tidak ada
pemisahan ruang antara teks arab al-Quran, terjemah dan tafsirnya. Ketiganya diletakkan dalam halaman yang sama tanpa pemisahan yang tegas kecuali warna tinta. Manuskrip ini
menulis Sûrah al-Kahf dalam tinta merah diiringi dengan terjemah serta komentar dalam tinta hitam. Model seperti ini menurut feener memang terus diterapkan didunia melayu
sampai abad ke-19.
78
Kecenderungan yang kedua adalah tulisan yang dipakai rata-rata adalah hurup pegon meski dalam bahasa Melayu, Jawa maupun Sunda.
79
Hal ini dimungkinkan terjadi karena pada akhir abad ke-16 terjadi pembahasa-lokalan Islam di berbagai wilayah
Nusantara. Misalnya hurup ini dipakai dalam tafsir Tarjumān al-Mustafīd serta naskah
Sûrah al-Kahf dan naskah anonim lainnya yakni
Kitāb Farāid al-Qur’ân.
80
Kecenderungan ketiga yang terjadi pada periode klasik ini adalah terlihat adanya persinggungan para penafsiran al-Quran dengan sufisme yang kala itu kental mewarnai
keberislaman penduduk Nusantara —utamanya kawasan Melayu Sumatra dan Jawa—
Walaupun A. John merasa heran dengan sedikitnya tafsir sufistik yang ditemukan, karena memang awal kegiatan intelektual dikawasan ini masih didomonasi oleh tradisi lisan
78
Feener, :Notes Towards‖, h. 47
79
Aksara pegon adalah teks-teks Jawa, Sunda ataupun Melayu yang ditulis dalam aksara Arab. Di komunitas muslim yang tersebar dalam masa periode klasik ini, aksara pegon menjadi
aksara yang lebih populer dibanding variasinya, yakni hurup gundil hurup gundul. Karena kondisi keilmuan masyarakat muslim pada waktu itu belum begitu tinggi dalam bahasa arab.
Untuk melihat secara lengkap sejarah aksara pegon dalam Jawa dan Sunda, lihat, Ervan Nurtawab, Khazanah Tafsir Al-Quran Klasik di Nusantara: Tradisi Penulisan Tafsir dan Terjemah
Al-Quran dalam Masyarakat Jawa dan Sunda Hingga Abad Ke-19 M Jakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2003
80
Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 61
oral tradition dalam melakukan transmisi ilmunya kepada orang lain, sehingga menelusuri diskursus bidang tafsir sulit dilakukan melalui bukti-bukti karya tulis. Faktor
lain yang menghambat penemuan karya tafsir sufistik adalah adanya benturan tasawuf heterodoks hamzah al-Fansûri dan Syams al-Dîn al-Sumatrâni dengan tasawuf ortodoks
Nurudîn ar-Ranîri yang berujung dengan pembakaran karya-karya tulis. Tetapi, hasil karya persentuhan tasawuf dengan penafsiran al-
Qur‘an dapat dilihat dari fregmen sufistik Tasdîq al-
Ma‘ârif yang tak bertahun.
81
Keempat , karya-karya yang ada cukup kaya rincian cerita, tapi cenderung
mencampurkan teks-teks al- Qur‘an dengan bahan-bahan baca: cerita-cerita yang tidak
sahih . Karya-karya tersebut menampakkan pengaruh Isrâilliyât yang kental. mungkin
Pengaruh Isrâilliyât tersebut karena tafsir ini diilhami oleh Tafsîr al-Baghawî, Tafsîr al- Baydawî
, dan Tafsîr al-Khâzin yang sama-sama banyak memuat kisah Isrāilliyāt. Bahkan
dalam manuskrip sûrah al-Kahf, disana sini terdapat selingan panjang berupa anekdet- anekdot yang berasal dari budaya Melayu.
Akan tetapi patut diingat, bahwa gambaran tentang sebelum abad ke-20 bahkan awal abad 20
– hingga kini masih belum bisa dianggap selesai. Pasalnya, masih banyak terdapat karya atau manuskrip yang belum diteliti secara seksama seperti halnya
Tarjumān al-Mustafīd atau naskah Cambridge. Seperti naskah anonim Kitāb Farāidl al- Qur’ān dan yang lainnya.
2. Periode Modern awal abad 20 Hingga Tahun 1970-an
Pada periode ini penulisan tafsir di Indonesia dari segi tekhnis penulisan lebih sedikit maju dan mencapai produktivitas yang mulai tinggi. Hal ini disebabkan beberapa
faktor. Pertama adalah di akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 kebijakan politik
81
A. H. Jons, ―Islam di Dunia Melayu dalam Azyumardi‖ Azra penterjemah dan penyunting Perspektif Islam Asia Tenggara Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989, h. 126
makro yang dilakukan oleh Kolonial Belanda yakni ―politik etis‖ mulai terasa dampaknya. Kebijakan yang salah satu poinnya adalah memajukan edukasi bangsa
Indonesia ini, mulai memunculkan kesadaran intelektual dari sebagian masyarakat Indonesia. Sehingga kaum terdidik yang naik ke permukaan baik dari bidang politik
ataupun agama mulai menempati pos-posnya sebagai motor penggerak pemikiran. Termasuk dalam hal ini banyak mufassîr-mufassîr yang lahir dan mulai menuliskan
karyanya. Kedua
adalah peranan penting dari dunia percetakan di Indonesia yang memudahkan untuk menulis karya termasuk karya tafsir untuk kemudian disampaikan
kepada masyarakat Indonesia. ketiga dan juga faktor yang paling penting adalah pengaruh dari pemikiran Muh
ammad ‗Abduh yang mempunyai semboyan ―kembali kepada al-
Quran‖ membuat kebutuhan untuk menafsirkan al-Quran semakin diperlukan. Gelombang modernisasi yang sudah mulai menyentuh dalam kehidupan
beragama di kalangan masyarakat Islam di Nusantara ini sangat berjasa dalam pembentukan kemajuan penulisan dalam bidang tafsir. Ciri perkembangannya pun seiring
dengan ciri perubahan intelektual masyarakat ketika itu. Dari segi teknik lay-out misalkan, bila dibandingkan teknik lay-out penulisan tafsir pada periode klasik yang
belum memisahkan ruang teks al-Quran, terjemah dan tafsirnya, dimana ketiganya masih diletakkan dalam halaman yang sama tanpa pemisahan yang tegas kecuali warna tinta,
maka seiring dengan mode, cetakan di awal abad ke-20 mulai dikembangkan tekhnik lain yang lebih sistematis. Yakni penulisan teks Arab al-Quran agak renggang secara
berurutan untuk membagi ruang bagi penulisan terjemahan atau tafsir disela-sela garisnya. Dengan kata lain, teknik yang dikembangkan ini adalah membagi setiap
halaman menjadi 2 ruang, yaitu satu teks Arab dan satunya untuk terjemahan.
82
Bahkan untuk tahun-tahun selanjutnya dikembangkan penempatan tafsir atas teks terjemah
82
Feener, ―Notes Toward‖, h. 55-56
terpisah dalam bentuk catatan kaki atau catatan pinggir. Tafsir yang menggunakan teknik ini salah satu contohnya adalah tafsir Raudat al-
‘Irfân karya Ahmad Sanusi. Pengaruh lain dari gelombang modernisasi ini adalah mulai dilakukannya
terjemahan-terjemahan terhadap al-Quran. sebagai contoh dapat dikemukakan penafsir yang berani melakukan terobosan ini misalnya Mahmud Yunus. Disebut berani karena ia
menerjemahkan al-Quran kedalam bahasa selain bahasa Arab ditengah-tengah masyarakat yang menganggapnya haram. Saat itu menerjemahkan dan menafsirkan al-
Qur‘an diluar bahasa Arab belum dapat diterima oleh semua ulama. Karyanya adalah tafsīr al-Qur’ān al-Karīm 1922 dalam bahasa Indonesia.
83
Tokoh lain yang melakukan hal serupa adalah Ahmad Sanusi yang menerjemahkan al-
Qur‘an dalam bahasa Indonesia dalam karyanya Tamsyiyyat al-Muslimîn dan dengan
karyanya Maljâ’ at-Tâlibîn serta Raudat al-
‘Irfân dalam bahasa Sunda. Selanjutnya ciri dari perkembangan periode modern ini adalah adanya proses
penafsiran yang menggunakan hurup Latin yang menggeser kepopuleran hurup pegon. Apalagi setelah diintrodusinya aksara Roman oleh Pemerintah Belanda. Proses
Romanisasi atau Latinisasi ini, pada akhirnya menjadi dominan dari pusat hingga daerah, terutama sete
lah dihapuskannya ―sistem tanam paksa‖ yang kemudian menerapkan ―politik etis‖. Disamping itu munculnya media massa, terutama koran dan majalah
pribumi, pada dekade 1900-an seperti media massa Medan Prijaji yang terbit pertama kali 1906 dan al-
Islām pada tahun yang terbit 1916 juga mendorong romanisasi lebih jauh.
84
Hal ini juga selanjutnya diikuti oleh karya-karya tafsir. Diantaranya adalah tafsir al-
Furqān1928 karya A. Hassan dan tafsir Tamsyiyyah al-Muslimīn 1934 karya Ahmad Sanusi.
83
Burhanuddin, Hermeneutik al-Quran, h.116-117
84
Gusmian, Khazanah Tafsîr, h. 61-62
Namun demikian, aksara pegon sebagai pengungkap dalam karya tafsir tidak hilang sepenuhnya dan masih bisa dapati sampai setidak-tidaknya dekade 1980-an. Kita
bia menyebut beberapa karya misalnya: tafsir al- Qur’āan al-Karīm 1922 karya
Mahmud Yunus; tafsir al- Burhān 1922, tafsir juz ‗amma karya Hamka; tafsir Malja’ at-
Thālibīn 1931 karya Ahmad Sanusi; dan tafsir al-Ibrīz 1980 karya KH. Mustofa Bisri. Dalam karya-karya periode modern, juga bisa dilihat kecenderungan penafsiran
pada surah-surah tertentu. Misalkan, Taf sīr al-Qurān al-Karīm, Yaasin Medan:
Islāmiyah, 1951 karya Adnan Yahya Lubis; Tafsîr Sûrah Yâsîn Dengan keterangan bangil : Persis 1951 Karya A. Hasan kedua Literatur Tafsir ini berkonsentrasi pada
Sûrah Yâsîn .
Dari segi aspek teknis lainnya kita juga bisa melihat sudah dimulainya sistem penulisan yang menyertakan cara baca dalam hurup latin beserta terjemah dan tafsirnya,
seperti Tafsir Tamsyiyyat al- Muslimīn 1934 karya Ahmad Sanusi, Tafsīr Rahmat
1981, dan Terjemah dan Tafsîr al- Qur’ân: Huruf Arab dan Latin 1978 karya Bachtiar
Surin.
3. Periode Kontemporer Mulai Tahun 1980-an sampai sekarang
Di tahun 1980-an, dapat disaksikan sebuah arah kecenderungan baru dalam bidang tafsir. Yakni satu kecenderungan yang tidak lagi terikat oleh batasan-batasan
literer teks al- Qur‘an, akan tetapi lebih menekankan pada penyelesaian sebuah topik
tertentu yang dikenal dengan metode Tafsîr Maud û‘î.
Bentuk penafsiran tematik ini telah lama dipakai oleh para penulis Islam klasik. Akan tetapi, baru belakangan ini dikembangkan secara sempurna oleh Fazlurrahmân,
seorang tokoh intelektual dunia Islam kontemporer dalam bukunya Mayor Themes of The
Qur’an.
85
Ide pemikirannya banyak diintrodusir di Indonesia oleh Nurcholish Madjid dan Syafi‗i Ma‗arif sangat banyak mempengaruhi perkembangan intelaktual di Indonesia,
khususnya IAIN. Sebagai contoh dalam priode ini misalnya Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif
dari Pelbagai Madzhab, karya Mukhtar Adam. Dalam karyanya ini dibahas satu topik
tentang ibadah haji dengan memakai perpaduan antara metode penafsiran Maud u‘î
dengan metode perbandingan madzhab.
86
Tafsir sejenis yang memakai metode yang hampir serupa adalah Tafsir dan Uraian Perintah-perintah dalam al-
Qur’an, yang ditulis oleh Q.A . Dahlan Saleh.
87
Disamping itu dalam priode kontemporer ini, topik-topik yang dibahas dalam tafsir bertambah melebar. Para penulis tafsir tidak hanya terbatas dari kalangan ahli
agama semata namun dari kalangan ahli komunikasi pun seperti Jalaluddin Rahmat dapat menulis sebuah karya tafsir yang berjudul Tafsîr bi al-
Ma’tsûr: Pesan moral al-Qur’ân. Awalnya buku ini berasal dari serial artikel republika. Di dalam buku ini Jalaluddin
Rahmat mengadopsi metode Tafsîr bi al- ma’tsur atau menafsirkan ayat al-Qur‘an dengan
ayat al- Qur‘an yang relevan. Namun ia tidak menafsirkan seperti para penafsir
konvensional metode riwayat yang lain yang menjelaskan ayat demi ayat dengan tertib ayat. Akan tetapi, ia menjelaskan secara tematik.
88
Masih dalam dekade yang sama muncul karya Dawam Raharjo berjudul Ensiklopedi al-
Qur’ân. Buku ini ditulis setebal 700 halaman yang semula dimuat secara berkala dalam jurnal ‗Ulum al-Qur’ân. Di sini Dawam membahas tema-tema besar yang
aktual seperti ‗adil‘, ‗agama‘, ‗ilmu pengetahuan‘ dan sebagainya.
85
Untuk lebih jelasnya lihat Fazlurrahman, Tema Pokok al- Qur’an Bandung:Pustaka,
1983
86
Mamat S. Burhanudin, al- Qur’an Ala Pesantren: Analisis Terhadap Tafsir Marâh
Labîd Karya K.H. Nawawi Banten Yogyakarta: UII Pres, 2006, h. 128
87
Buku ini diterbitkan di Bandung oleh CV Diponogoro, 1976
88
Mamat S. Burhanudin, al- Qur’an Ala Pesantren, h. 128
Karya terakhir dalam generasi ini yang sangat populer adalah karya Quraish Shihab. Ia sangat dikenal melalui koleksi tulisnnya yang dibukukan yang berjudul
Membumikan al- Qur’an. Buku ini telah banyak memperkenalkan konsep metode
Maud û‘î dengan bahasa Indonesia yang lugas. Disamping itu, penerapan praktis terhadap
metode tematik ini terlihat dalam beberapa karyanya yang lain seperti: Wawasan al- Qur’an, Tafsir al-Qur’an al-Karim dan lain-lain. Karya-karya Quraish Shihab ini banyak
diakui oleh pemerhati perkembangan tafsir Indonesia sebagai inovator baik dalam segi metode penafsirannya maupun isinya.
89
Jelasnya, dapat dikatakan bahwa dimulai abad ke-20 sampai abad yang akan datang, tradisi penulisan tafsir di Indonesia, akan terus mengalami perubahan-perubahan
bentuk sesuai dengan perkembangan kualitas sosio histioris masyarakat di kawasan ini.
C. Aspek Teknik Penulisan Tafsir al-Quran
Aspek teknik penulisan Tafsir al-Quran yang dimaksud disini adalah suatu kerangka teknis yang digunakan penulis tafsir dalam menampilkan sebuah karya tafsir
aspek luar. Jadi, aspek teknis penulisan ini terkait lebih pada penulisan karya tafsir, yang bersifat teknis, bukan pada proses penafsiran yang bersifat metodologis.
Aspek teknis penulisan tersebut, meliputi lima bagian penting. Uraian berikut merupakan penulusuran atas bagian-bagian dalam wilayah teknis penulisan tafsir tersebut
dengan kajian rajutan pada setiap kategori.
1. Sistematika penyajian
Sistematika penyajian adalah rangkaian yang dipakai dalam dalam menyajikan sebuah tafsir, secara teknis bisa dijadikan dalam sistematika yang beragam. Dalam sisi
89
Shihab, Quraish, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 1992
sistematika penyajian ini, dapat dikelompokkan kedalam 2 bagian: 1 sistematika penyajian runtut, 2 Sistematika penyajian Tematik.
Sistematika penyajian runtut adalah model sistematika penyajian penulisan tafsir yang rangkaian penyajiannya mengacu pada: 1 urutan surah yang ada dalam model
mushaf standar , dan 2 mengacu pada turunnya wahyu. Model pertama, telah umum dipakai oleh ulama tafsir. Karya-karya tafsir Timur Tengah klasik, seperti Jalâlayn,
maupun karya tafsir kontemporer, seperti al-Manâr, sistematika penulisannya mengacu pada model sistematika penyajian runtut berdasarkan urutan sûrah yang ada pada mushaf.
Di Indonesia, model runtut seperti ini ini sudah dipakai sejak masa klasik seperti dalam karya tafsir Tarjumân al-Mustafîd
karya ‗Abd al-Ra‘ûf al-Sinkîlî. Pada masa modern, sistematika penulisan model runtut, dipakai Tafsîr al-Furqân karya A.Hassan, tafsir al-
Qur’ân al-Karîm karya Mahmud Yunus dan lain sebagainya. Sedangkan model yang kedua, yakni runtut berdasarkan urutan turunnya wahyu,
tidak banyak ditempuh oleh para ulama tafsir terutama ulama tafsir Indonesia. al-Tafsîr al-Bayân li al-
Qur’ân al-Karîm, karya Bint al-Syâti‘ dan Sûrah al-Rahmân wa Sumar Qisâr,
karya Syawqî Dha‗îf adalah contoh tafsir Timur Tengah yang menggunakan penyajian tafsir model kedua ini.
90
Sedangkan di Indonesia, sistematika model kedua ini baru dilakukan pada periode kontemporer. Seperti yang dilakukan oleh Quraish Shihab
dalam Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm yang mengkaji 24 sûrah pendek.
Selanjutnya, yang disebut dengan sistematika penyajian tematik adalah suatu bentuk rangkaian karya tafsir yang struktur paparannya diacukan pada tema tertentu, atau
pada ayat, surat, dan juz tertentu. Tema atau ayat , surat dan juz tertentu ini, ditentukan sendiri oleh penulis tafsir.
91
90
Gusmian, khazanah Tafsîr, h. 122-123
91
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 122-128
Dalam tradisi penulisan tafsir, penyajian tematik ini lebih dikenal dengan istilah Maud
û‘i—di Indonesia dipopulerkan oleh Quraih Shihab—dengan merujuk pada kerangka-bangun al-Farmâwî.
92
Namun, secara konseptual Gusmian menempatkan istilah ―tematik‖ dalam pemaknaan yang berbeda. Jika selama ini, istilah tematik cenderung
dimaknai sebagai metode tafsir, disini lebih dimaknai sebagai teknik penulisan tafsir. Sebab meskipun penyajian tematik ini mempunyai pengaruh signifikan pada metodologi
tafsir, tetapi pada dasarnya ia tak lebih sebagai teknik penulisan tafsir. Model ini dipakai oleh Muhammad Mahmud al-
Hijâ‗I dalam al-Tafsîr al-Wâdhih dengan membahas satu sûrah al-Quran dengan menghubungkan maksud antar ayat serta
pengertiannya secara menyelu ruh. Selain itu, ‗Abbâs Mahmûd al-‗Aqqad dalam tafsirnya
al- Mar’ah fî al-Qurân yang membahasal dengan cara menghimpun al-Quran yang
mempunyai kesamaan arah dan tema, kemudian dianalisi dan dari sana ditarik kesimpilan.
Di Indonesia, model tematik ini sudah dikenal sejak masa klasik, meskipun dalam bentuknya yang masih sederhana, seperti bisa dilihat dalam karya tafsir anonim yang
berjudul Farâ’id al-Qur’ân yang menafsirkan sûrah al-Nisâ‘ ayat 11 dan 12 yang
berbicara tentang hukum waris.
93
Pada masa modern, sistematika penyajian tematik ini, meskipun sangat sederhana dan tidak memenuhi standar untuk ukuran sekarang, juga
muncul, yaitu: zedeleer uit den Qor’an etika al-Quran, karya syaikh Ahmad Soekarti
Groningen, Den Haag, Batavia: J.B. Wolters‘, 1932, dengan menggunakan bahasa Belanda, Rangkaian Tjerita dalam al-
Qur’an, karya Bey Arifin Bandung: Pelajar, 1963.
94
92
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran Bandung: Mizan, 1992, h.111-117
93
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h 56
94
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h 57