Aspek Teknik Penulisan Tafsir al-Quran

Dalam tradisi penulisan tafsir, penyajian tematik ini lebih dikenal dengan istilah Maud û‘i—di Indonesia dipopulerkan oleh Quraih Shihab—dengan merujuk pada kerangka-bangun al-Farmâwî. 92 Namun, secara konseptual Gusmian menempatkan istilah ―tematik‖ dalam pemaknaan yang berbeda. Jika selama ini, istilah tematik cenderung dimaknai sebagai metode tafsir, disini lebih dimaknai sebagai teknik penulisan tafsir. Sebab meskipun penyajian tematik ini mempunyai pengaruh signifikan pada metodologi tafsir, tetapi pada dasarnya ia tak lebih sebagai teknik penulisan tafsir. Model ini dipakai oleh Muhammad Mahmud al- Hijâ‗I dalam al-Tafsîr al-Wâdhih dengan membahas satu sûrah al-Quran dengan menghubungkan maksud antar ayat serta pengertiannya secara menyelu ruh. Selain itu, ‗Abbâs Mahmûd al-‗Aqqad dalam tafsirnya al- Mar’ah fî al-Qurân yang membahasal dengan cara menghimpun al-Quran yang mempunyai kesamaan arah dan tema, kemudian dianalisi dan dari sana ditarik kesimpilan. Di Indonesia, model tematik ini sudah dikenal sejak masa klasik, meskipun dalam bentuknya yang masih sederhana, seperti bisa dilihat dalam karya tafsir anonim yang berjudul Farâ’id al-Qur’ân yang menafsirkan sûrah al-Nisâ‘ ayat 11 dan 12 yang berbicara tentang hukum waris. 93 Pada masa modern, sistematika penyajian tematik ini, meskipun sangat sederhana dan tidak memenuhi standar untuk ukuran sekarang, juga muncul, yaitu: zedeleer uit den Qor’an etika al-Quran, karya syaikh Ahmad Soekarti Groningen, Den Haag, Batavia: J.B. Wolters‘, 1932, dengan menggunakan bahasa Belanda, Rangkaian Tjerita dalam al- Qur’an, karya Bey Arifin Bandung: Pelajar, 1963. 94 92 Quraish Shihab, Membumikan al-Quran Bandung: Mizan, 1992, h.111-117 93 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h 56 94 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h 57 Pada sisi lain, berkembang pula model sistematika penyajian tafsir yang berkonsentrasi pada sûrah-sûrah tertentu. Misalnya, untuk sûrah al-Fâtihah, lahir Ushûl al-Islâm fî Tafsîr Kalâm al-Mulk al- ‘alâm fî Tafsîr Sûrat al-Fâtihah Bogor: ichtiyar, 1935 karya Ahmad Sanusi dan Tafsîr al- Qur’ân Karîm, Sûrah al-Fâtihah, Jakarta: Widjaja, 1955 karya Muhammad Nur Idris. Khusus sûrah Yâsîn, misalnya, Tafrîj Qulûb al- Mu’minîn fî Tafsîr Kalimât Sûrat Yâsîn Tanah Abang: Sayyid Yahya, 1936, karya Ahmad Sanusi dan Tafsîr Sûrah Yasien dengan Keterangan Bangil: Persis, 1959.

2. Bentuk Penyajian Tafsir

Bentuk penyajian tafsir yang dimaksud disini adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian tafsir yang ditempuh Mufassir dalam menafsirkan al- Qur‘an. Dalam bentuk penyajian ini ada dua bagian: 1 Bentuk penyajian global, dan 2 bentuk penyajian rinci, yang masing-masingnya mempunyai ciri-ciri tersendiri. Bagian pertama dari bentuk penyajian tafsir adalah bentuk global. Yang dimaksud dengan bentuk penyajian global adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian karya tafsir dimana penjelasan yang dilakukan cukup singkat dan global. Biasanya, bentuk ini lebih menitikberatkan kepada inti dan maksud dari ayat-ayat al-Quran yang dikaji. Bentuk penyajian global ini, dalam batas tertentu bermanfaat bagi pembaca muslim yang tidak punya kesempatan waktu banyak belajar al-Quran. Dalam penulisan tafsir, bentuk penyajian global ini dikenal dengan nama ijmâlî yang dipopulerkan oleh al- Farmâwî dalam bukunya yang berjudul al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû ‗î. Tetapi disini, Gusmian tidak mengkategorikannya sebagai metode tafsir, tetapi lebih kepada bentuk penyajian tafsir. Salah satu tafsir di Indonesia yang menggunakan penyajian global adalah Tafsîr al- Qur’ân karya Mahmud Aziz. 95 95 Baidan, Perkembangan Tafsîr, h. 88 Sedangkan bagian kedua dari bentuk penyajian tafsir adalah penyajian rinci. Yang dimaksud dengan penyajian rinci adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian karya tafsir dimana penjelasannya dilakukan secara detail, mendalam dan konfrehensif. Terma terma kunci disetiap ayat dianalisis untuk menemukan makna yang tepat dan sesuai dalam suatu konteks ayat. Setelah itu, penafsir menarik kesimpulan dari ayat yang ditafsirkan, yang sebelumnya ditelisik aspek asbâb al-Nuzûl dengan kerangka analisis yang beragam. 96 Salah satu contohnya adalah Tafsir al- Qur’ân al-Karîm karya Mahmud yunus.

3. Bentuk Penulisan

Yang dimaksud dengan bentuk penulisan tafsir adalah mekanisme penulisan yang menyangkut aturan teknis dalam penyusunan keredaksian sebuah litelatur tafsir. Aturan yang dimaksud adalah adalah tata cara mengutp sumber, penulisan catatan kaki, penyebutan buku-buku yang dijadikan rujukan, serta hal-hal lain yang menyangkut konstruksi keredaksionalan. Dalam kaitan ini, ada 2 hal pokok: 1Bentuk penulisan ilmiah, dan 2 bentuk penulisan non ilmiah. 97 Bagian pertama dari bentuk penulisan tafsir adalah bentuk penulisan ilmiah. Yang dimaksud dengam penulisan ilmiah adalah suatu penulisan tafsir yang sangat ketat dalam memperlakukan mekanisme penyusunan redaksionalnya. Dalam bentuk ini, kalimat maupun pengertian yang didapat dari beberapa literalatur lain diberi catatan kaki ataupun catatan perut untuk menunjukkan pada pembaca sumber asli pengertian yang dirujuk tersebut. judul, buku, tempat, tahun, penerbit, serta nomor halaman buku menjadi penting untuk dituturkan dalam bentuk penulisan ilmiah ini. 98 Bentuk ini kebanyakan 96 Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 148-152 97 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 172 98 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 172 didominasi oleh karya tafsir yang ditulis untuk kepentingan akademik seperti Tafsîr Kebencian, Jiwa dalam al- Qur’ân, dan lain-lain Bagian kedua dari bentuk penulisan tafsir adalah penulisan nonilmiah. Yang dimaksud dengan istilah nonilmiah adalah bentuk penulisan tafsir yang tidak menggunakan kaidah kaidah penulisan ilmiah yang mensyaratkan adanya adanya: footnote, endnote, maupun catatan perut, dalam menjelaskan literalatur yang dirujuk. Meskipun tidak menggunakan bentuk penulisan ilmiah, bukan berarti sebuah karya tafsir lalu diklaim, dari segi isi tidak ilmiah. Kategori ilmiah dalam pengertian ini tidak ada kaitannya dengan isi. Kategori ini hanya digunakan hanya digunakan dalam konteks memetakan bentuk penulisan, bukan isi sebuah buku tafsir. Salah satu contoh tafsir dalam bentuk penulisan ini adalah Tafsîr Raudat al- ‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân karya Ahmad Sanusi. 99

4. Sifat Mufassir

Dalam menyusun sebuah karya tafsir, seseorang bisa melakukannya secara individual, kolektif —dua orang atau lebih—atau bahkan dengan membentuk tim atau panitia khusus secara resmi. Model inilah yang dimaksud dengan sifat mufassir. Dalam konteks sifat mufassir ini, karya tafsir Indonesia terbagi menjadi dua macam: 1 Individual dan 2 kolektif atau tim. 100 99 Lihat Ahmad Sanusi, Raudat al- Irfâ fî Ma rifat al-Qur â , Sukabumi: Yayasan Asrama Pesantren Gunung Puyuh, t.th. 100 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 176-177 Istilah mufassir individual digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu karya tafsir lahir dan ditulis oleh satu orang. Misalnya, Tafsîr Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al- ‘Âlamîn karya Ahmad Sanusi. 101 Sedangkan yang dimaksud dengan mufassir kolektif adalah untuk menunjukkan bahwa karya tafsir disusun oleh lebih dari satu orang. Sifat kolektif ini, terbagi menjadi dua bagian: 1 kolektif resmi, dan 2 kolektif tidak resmi. Yang pertama adalah kolektivitas yang dibentuk secara resmi oleh lembaga tertentu dalam bentuk tim atau panitia khusus, dalam rangka menulis tafsir. Adapun bentuk kolektif yang kedua tidak bersifat forma, dan dalam kolektivitas itu hanya terdiri dari dua orang penyusun.

5. Sumber-Sumber Rujukan

Sumber rujukan adalah literatur tafsir yang digunakan sebagai sumber rujukan oleh penafsir, baik dari segi bahasa, generasi. Literatur tafsir tersebut bisa berupa karya tafsir berbahasa arab, literatur bahasa arab yang jadi acuan, literatur bahasa Inggris, literatur bahasa Indonesia atau karya-karya lain yang berhubungan. 102

D. Aspek Metodologis Penulisan

Yang dimaksud dengan aspek metodologis penulisan adalah konstruksi ―dalam‖ yang berkaitan dengan prinsip metodologis yang digunakan dalam proses penafsiran. Dalam aspek metodologis ini, arah kajian bergerak pada tiga wilayah: 1 metode tafsir, 2 nuansa penafsiran, dan 3 pendekatan tafsir. 101 Lihat Ahmad Sanusi, Maljâ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al- Âla î , Jakarta: Habib Usman, 1931 102 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 186-188

1. Metode Tafsir

Metode tafsir yang dimaksud disini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran al-Quran. Dalam hal ini, metode penafsiran terbagi tiga, yaitu: 1 metode tafsir riwayah, 2 metode tafsir pemikiran, dan 3 metode tafsir interteks. Bentuk pertama dari metode penafsiran adalah metode tafsir riwayah ma‘sur. Dalam tradisi al- Qur‘an klasik, riwayat merupakan sumber penting dalam memahami teks al- Qur‘an. Sebab Nabi Muhammad SAW. diyakini sebagai penafsir pertama terhadap al- Qu r‘an. Dalam konteks inilah, muncul istilah ―metode tafsir riwayat‖ bi al-ma’tsur‖ pengertian metode riwayat., dalam sejarah al- Qur‘an klasik, merupakan suatu proses penafsiran al- Qur‘an yang menggunakan data riwayat dari Nabi Saw. dan atau sahabat, menafsirkan ayat al- Qur‘an dengan hadis, dengan riwayat sahabat ataupun kisah israiliyyat. Sebagai variabel penting dalam proses penafsiran al- Qur‘an. Model metode tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dan atau sahabat. Ini dapat ditemukan dalam beberapa literatur klasik maupun salaf. Misalnya tafsir karya al-Thabari, Ibnu Katsir dan yang lainnya. 103 Metode tafsir riwayah disini adalah bisa diartikan sebagai metode penafsiran yang data materialnya mengacu pada hasil penafsiran Muhammad SAW. yang ditarik dari riwayat pernyataan nabi atau dalam bentuk asbâb al-Nuzûl sebagai data otoritatif. Di Indonesia penggunaan metode riwayah secara sempurna baru dilakukan pada periode kontemporer. Salah satu contoh tafsir yang menggunakan metode ini adalah jalaluddin Rakhmat dalam Tafsîr bi al- Ma’sur. Buku tafsir ini dari judulnya telah mengklaim diri sebagai Tafsîr bi al- Ma’tsur. Dari metode yang digunakan, secara umum 103 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 197 karya ini menggunakan data riwayat sebagai variabel penting dalam menguraikan maksud ayat. 104 Bentuk kedua dari metode penafsiran adalah metode tafsir pemikiran. metode tafsir pemikiran. Al-Qattan mencatat bahwa sejak berakhirnya masa salaf, sekitar abad ke-3 H, dimana peradaban umat Islam semakin berkembang, telah dibarengi juga oleh lahirnya berbagai madzhab di kalangan umat Islam. Masing-masing madzhab itu berusaha meyakinkan pengikutnya dengan memberikan penjelasan dari ayat-ayat al- Qur‘an. Terks al-Qur‘an kemuidian ditafsirkan dalam kerangka corak kepentingan dan ideologinya tersebut. Dalam konteks inilah, sejarah tafsir mencatat adanya perkembangan berbagai corak tafsir. Misalnya muncul tafsir al-Razi dengan corak filsafatnya, al- Kasysyaf dengan corak teologi Mu‘tazilahnya, tafsir al-Manar dengan corak sosiologisnya dan seterusnya. 105 Namun dalam konteks pengertian metode tafsir pemikiran yang dimaksud di sini bukan seperti yang diuraikan oleh al-Qattan di atas. Metode tafsir pemikiran di sini, didefinisikan sebagai suatu penafsiran al- Qur‘an yang didasarkan pada kesadaran bahwa al- Qur‘an, dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak lepas dari wilayah budaya dan sejarah disamping bahasa itu sendiri. Dalam metode tafsir pemikiran, penafsir beruasaha menjelaskan pengertian dan maksud dari suatu ayat berdasarkan hasil sari proses intelektualisasi dengan langkah epistimologis yang mempunyai pijakan pada teks dengan konteks-konteksnya. 106 Ketiga , metode tafsir interteks. Dalam sebuah teks selalu ada teks-teks lain. Oleh karena itu, setiap tek secara niscaya merupakan sebuah interteks. Dalam literatur tafsit Indonesia pun mengalami hal demikian. Dalam proses penafsiran yang dilakukan oleh 104 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 198 105 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 201-201 106 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 202