Kontroversi Penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn
Namun setelah diadakan musyawarah di atas, kenyataannya, tetap saja masih terjadi celaan-celaan terhadap diri Ahmad Sanusi. Namun dengan nada keras dan
sindiran, Ahmad Sanusi menyebut celaan- celaan tersebut sebagai ―gonggongan-
gonggongan anjing‖. Sikap reaktif atas terbitnya Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn tidak terbatas pada
perdebatan oral saja, melainkan sudah pada perseteruan media cetak. Salah satu contohnya adalah terbitnya sebuah buku yang kontra terhadap Ahmad Sanusi yang ditulis
oleh H Mansur yang berjudul Tasfiyat al-Afkâr.Terbitnya buku itu mendapat reaksi dan jawaban dari Ahmad Sanusi sendiri dengan menerbitkan buku yang berjudul Tahzîr al-
Afkâr.
114
Di samping dari kelompok tradisional, reaksi terhadap Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimîn
juga datang dari pihak ‗pekauman‘.
115
Reaksinya pun tidak kalah sengitnya, misalnya pada 4 Oktober tahun 1936 diadakan diskusi yang dilaksanakan di Cipelang
Sukabumi. Dalam diskusi itu dibentuk sebuah badan netral yang bernama Comite Permoesjawaratan Menoelis
Qoeran. Dalam diskusi tersebut, tidak hanya dihadiri oleh pihak pekauman yang mewakili pihak yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang
menulis al-Quran dengan huruf latin. Di samping itu, hadir pula kelompok yang kontra terhadap Ahmad Sanusi lainnya seperti pengurus sekolah Ahmadiyah Sukabumi, Umar
Sanusi Pengurus al-Rabitah al-Alawiyah, Sayyid Yahya bin Utsman, Sayyid Ali bin Yahya, Sayyid Ali bin Sahab ketiganya dari Batavia, Tubagus Arsyad Rangkasbitung,
Banten, Sayyid Alawi bin Tohir, Sayyid M. Sodik al-Jufri, Wirasanjaya Surat Kabar al- Mu‘min dan H. Fachrurraji Surat Kabar al-Mukhtar. Kemudian komite tersebut
mengajukan surat permohonan kepada pihak pemerintah —yang waktu itu Indonesia
114
Lajnah Ta’lif, Mindzarat al-Islâm, h. 4-9
115
Disebut juga menak kaum adalah elit birokrasi keagamaan di daerah Priangan, umumnya para Menak Kaum yang bertitel Hoofd penghulu yang mempunyai hubungan
kekerabatan dengan bupati. Biasanya kelompok pekauman mengurus mesjid raya di tingkat kecamatan dan kabupaten yang saat itu berfungsi sebagai KUA. Lihat Mohammad Iskandar, Para
pengemban Amanah, h. 49
masih dikuasai Belanda —agar Ahmad Sanusi dalam status tahanannya diberi izin untuk
menghadiri diskusi yang diadakan itu.
116
Menurut koran ‖Perbitjangan‖ seperti yang dikutup oleh Muhammad Iskandar, diskusi itu menghasilkan keputusan yang dikeluarkan oleh komite yang menyatakan
bahwa transliterasi itu hukumnya boleh.
117
Selanjutnya diskusi-diskusi lainnya sering diadakan, tetapi selalu diakhiri oleh keributan. Seperti misalnya perdebatan yang terjadi
di al-Azhâr School Sukabumi pada tanggal 2 november 1936. perdebatan berakhir dengan kerusuhan dan terpaksa dibubarkan oleh polisi.
118
Peristiwa perdebatan dan polemik antara Ahmad sanusi dengan kelompok tradisi dan pihak ulama pekauaman di pihak lain, seperti yang telah dijelaskan di pembahasan
bab II, merupakan kelanjutan di polemik sebelumnya yang menyangkut masalah agama. Motif-motif pro-kontra dan perbedaan tentang masalah agama
—menurut Gobee seperti yang dikutip oleh muhammad Iskandar
—merupakan pertarungan antara ide antara di antara pemuka agama dalam merebut ―hegemoni‖ sosial politik di wilayah tersebut.
119
Walaupun fihak yang kontra terhadap penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimīn
terus bertambah, Ahmad Sanusi tetap menulis tafsir tersebut sampai dia meninngal dunia.