mencirikan bahwa penafsirannya yang ditempuh masih bersifat tradisional. Sedangkan teknis penafsirannya mengikuti prosedur Tafsîr Jalâlain. Ia menafsirkan ayat demi ayat
sesuai dengan susunan mushaf ‘Utsmânî. Penjelasannya singkat dan lugas. Motif
kelugasan kalimat didorong oleh kepentingan tafsir ini yang dikhususkan bagi pemula dalam memahami Islam.
Pada abad ke-19 M., muncul sebuah karya tafsir yang menggunakan bahasa Melayu-Jawi, yaitu Kitâb Farâid al-
Qur’ân. Tafsir ini tidak diketahui siapa penulisnya anonim. Ditulis dalam bentuk yang sederhana, dan tampak lebih sebagai artikel tafsir,
sebab hanya terdiri dari dua halaman dengan hurup kecil dan spasi rangkap. Naskahnya masuk dalam sebuah buku koleksi beberapa tulisan ulama Aceh yang diedit oleh Ismâ‗il
ibn ‗Abd al-Mutallib al-Âsyî, Jâm ‘ al-Jawâmi‘ al-Musannafât: Majmû‘, Kitab Karangan
Beberapa Ulama Aceh. Manuskrip buku ini disimpan di perpustakaan Universitas Amsterdam dengan kode katalog: Amst.IT.481922 dan diterbitkan di Bulaq, Mesir.
70
Pada abad ini juga, kita juga bisa menemukan karya tafsir utuh yang ditulis oleh ulama asal Indonesia yakni Syaikh Nawawî al-Bantâni 1815-1897.
71
Tafsir ini berjudul lengkap Marah al-Labîd li Kasyf al-
Ma’na al-Qur’ân al-Majîd atau lebih dikenal dengan Tafsīr al-Munîr yang ditulis di kota Makkah oleh Imam Nawawī sebagai jawaban atas
pemintaan dari beberapa kolegannya. Karya tafsir yang ditulis dengan bahasa Arab ini
70
Gusmian, Khazanah Tafsir Jakarta: Teraju, 2003, h. 54-55
71
Abû ‗Abd al-Mu‘tî Muhammad ibn ‗Umar al-Tanâra al-Bantâni atau lebih dikenal Nawawī al-Bantâni. Ia dilahirkan dikampung Tanara, Serang, Banten. Ia merupakan keturunan
kesultanan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Cirebon. Umur 15 tahun ia pergi ke Makkah dan memperdalam ilmu agama disana, dengan gurunya antara lain Syaikh al-
khâtib al-Sambâsi dan Muhammad al-khâtib al-Hambalî. Kemudian ke Mesir dengan gurunya antara lain Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syaikh Ahmad Nahrawî. Di Mekkah Ia mengajar di
Masjid al- Harâm, Ma
‗had Nasr al-Ma‘ârif al-Dîniyyah. Lihat Mamat S. Burhanuddin, Hermeuneutik al-
Qur’ān ala Pesantren: Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya K.H. Nawawi Banten,
Yogyakarta: UII Press, 2006 h. 19-27. Di Mesir para ulama memberikan gelar kepadanya ―Sayyid ‗Ulama al-Hijāz‖ pemimpin ulama Hizaz. Lihat Didin Hafiduddin, ―Tinjauan
atas ―Tafsīr al-Munīr‖ Karya Imam Muhammad Nawawi Tanara‖ dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia
Bandung: Mizan 1987, h. 44
diselesaikan penulisannya pada periode terakhir masa hidupnya tahun 1884 M.
72
dan diterbitkan pertama kali di Mekkah setelah sebelumnya disodorkan dulu kepada ulama-
ulama Mekkah untuk diteliti pada tahun 1887.
73
Dalam tafsir ini teks al- Qur‘an, terjemah serta komentarnya menggunakan bahasa
Arab. Metode penafsirannya merupakan gabungan antara rinci dan global. Begitu juga dengan sumber penafsirannya, gabungan antara riwayat dan pemikiran. Tafsir ini
mempunyai kecenderungan teologis mazhab Ahl al-sunnah wa al- jamâ‘ah. Sedangkan
corak fiqhnya mempunyai kecenderungan Syâfi‘iyyah, walaupun ia juga suka
memaparkan mazhab-mazhab fiqh lainnya. Dalam tafsir ini, banyak pula ditemukan yang bernuansa sufistik dan tafsir ini pun tak luput dari kisah-kisah Israilliyât.
Pada awal abad ke-20 aktivitas penulisan tafsir semakin meningkat intensitasnya. Hal ini disebabkan beberapa faktor, pertama pada akhir abad ke-19 M. dan awal abad ke-
20 M., Pemerintah Kolonial Belanda sudah mulai menerapkan politik makro yang dikenal dengan ―politik etis‖ yang salah satu poinnya adalah memajukan edukasi masyarakat
Indonesia. Sehingga pada saat itu muncul kesadaran terhadap pendidikan yang mengakibatkan tingkat intelektualitas masyarakat Indonesia mulai meningkat. Kedua
adalah semakin majunya dunia percetakan yang menyebabkan penyampaian informasi lebih mudah dan cepat didapatkan masyarakat Indonesia. Disamping itu faktor yang lebih
penting lainnya adalah besarnya pengaruh pembaruan Islam yang di pelopori oleh Muh
ammad ‗Abduh dengan semboyan ―kembali kepada al-Quran dan hadis sahih‖ di Indonesia. Akibatnya, kebutuhan Umat Islam akan tafsir al-
Qur‘ān semakin diperlukan. Karya-karya tafsir yang muncul pada abad ini cenderung lebih maju. Diantaranya
adalah tafsîr al- Qur’ân al- karîm yang ditulis pada tahun 1922 oleh mahmud yunus,
Tafsīr al-Furqān 1928 M karya A. Hassan, Tafsīr Tamsyiyyat al-Muslimīn 1934 M
72
Burhanuddin, Hermeuneutik al- Qur’ān, h. 40
73
Hafiduddin, ―Tinjauan atas‖. h. 44
karya Ahmad Sanusi, dan lain-lain. Untuk membahas aspek teknis dan metodologis karya-karya tafsir pada abad ini, sebelumnya penulis akan menguraikan periodisasi
penulisan tafsir di Indonesia.
B. Periodisasi Karya Tafsir di Indonesia
Sudah banyak sekali para peneliti kajian tafsir Indonesia yang memaparkan periodesasi penulisan tafsir di Indonesia. Salah Satunya adalah Howard M. Federspiel
dalam bukunya yang berjudul Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraish Shihab
yang melakukan pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir al- Quran di Indonesia dari segi generasi. Ia membagi periodisasi tersebut berdasarkan pada
tahun, dalam tiga generasi. Generasi ke-1, kira-kira dari permulaan abad ke-20 sampai awal tahun 1960-an, yang ditandai dengan adanya penerjemahan secara terpisah dan
cenderung pada sûrah-sûrah tertentu sebagai objek tafsir. Generasi ke-2, merupakan penyempurnaan atas generasi pertama yang muncul pada pertengahan 1960-an sampai
tahun 1970-an, yang mempunysi ciri diantaranya terdapat beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata perkata, dan kadang-kadang disertai dengan indeks yang sederhana.
Sedangkan generasi ke-3 dimulai antara pertengahan tahun 1970-an, merupakan penafsiran lengkap dengan uraian yang sangat luas.
74
Menurut Gusmian periodisasi yang diberikan oleh Federspiel ini memang bermanfaat dalam rangka melihat dinamika penulisan tafsir di Indonesia. Namun, dari
segi tahun pemilahannya dinilai agak kacau oleh Gusmian. Misalnya, ketika Federspiel memasukkan tiga karya tafsir, yaitu: 1 Tafsîr al-Furqân karya A. Hassan 1962; 2
Tafsîr al-Qurân karya H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs.1959, dan 3 Tafsîr
74
Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraisy Syihab, terj. Tajul Bandung: Mizan, 1994, h. 129
Qur-ân al-Karîm karya H. Mahmud Yunus, sebagai karya tafsir yang representatif untuk
mewakili generasi ke-2. Padahal menurut Gusmian, ketiga tafsir itu muncul pada pertengahan dan akhir 1950-an, yang dalam kategorisasi yang ia susun masuk dalam
generasi pertama.
75
Setelah mengkritisi periodisasi federspiel. Gusmian memaparkan kategori tafsir al-Quran di Indonesia dengan mengacu pada periodisasi tahun, yaitu: 1
Periode ke-1, yakni antara awal abad ke-20 hingga tahun 1960; 2 Periode ke-2, tahun 1970-an sampai tahun 1980-an. 3 Periode ke-3, antara 1990-an hingga seterusnya.
76
Selanjutnya Nashruddin Baidan dalam bukunya yang berjudul Perkembangan tafsir al-Quran di Indonesia
memaparkan periodisasi yang agak berbeda dengan Federspiel maupun Gusmian. Baidan membagi periodisasi perkembangan tafsir di
Indonesia dalam empat periode, yaitu: 1 periode klasik, dimulai antara abad ke-8 hingga abad ke-15 M. 2 periode tengah, yang dimulai antara abad ke-16 sampai abad ke-18, 3
periode pramodern yang terjadi pada abad ke-19, 4 adalah periode Modern, yang dimulai abad ke-20 hingga seterusnya. Periode modern ini dibagi lagi oleh Baidan
menjadi tiga bagian yaitu: kurun waktu pertama 1900-1950, kurun waktu ke-2 1951- 1980, dan terakhir adalah kurun waktu ke-3 1981-2000.
77
Perbedaan periodesasi diatas, bisa terjadi antara lain disebabkan karena terdapat perbedaan data yang diperoleh oleh para peneliti perkembangan tafsir di Indonesia. Selain
itu perbedaan sudut pandang tentang objek kajian, bisa menjadi salah satu sebab timbulnya perbedaan pemilahan tahun yang terjadi diantara-tafsir-tafsir diatas.
Sejatinya, penulis disini bukan berada dalam posisi sebagai pengkritik terhadap periodisasi yang telah dipaparkan diatas. Tetapi disini penulis mencoba melakukan
periodisasi sendiri guna relevansi bagi objek penelitian penulis.
75
Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 65
76
Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 66-69
77
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia Solo: Tiga Serangkai, 2003, h. 31-109
1. Periode Klasik Sebelum Abad ke- 20
Dari karya-karya tafsir pada periode ini didapati beberapa kecenderungan, pertama
, penafsiran yang dilakukan bergerak dalam model yang sederhana serta tekhnis penulisan yang tergolong elementer. Dalam naskah Cambridge misalnya, tidak ada
pemisahan ruang antara teks arab al-Quran, terjemah dan tafsirnya. Ketiganya diletakkan dalam halaman yang sama tanpa pemisahan yang tegas kecuali warna tinta. Manuskrip ini
menulis Sûrah al-Kahf dalam tinta merah diiringi dengan terjemah serta komentar dalam tinta hitam. Model seperti ini menurut feener memang terus diterapkan didunia melayu
sampai abad ke-19.
78
Kecenderungan yang kedua adalah tulisan yang dipakai rata-rata adalah hurup pegon meski dalam bahasa Melayu, Jawa maupun Sunda.
79
Hal ini dimungkinkan terjadi karena pada akhir abad ke-16 terjadi pembahasa-lokalan Islam di berbagai wilayah
Nusantara. Misalnya hurup ini dipakai dalam tafsir Tarjumān al-Mustafīd serta naskah
Sûrah al-Kahf dan naskah anonim lainnya yakni
Kitāb Farāid al-Qur’ân.
80
Kecenderungan ketiga yang terjadi pada periode klasik ini adalah terlihat adanya persinggungan para penafsiran al-Quran dengan sufisme yang kala itu kental mewarnai
keberislaman penduduk Nusantara —utamanya kawasan Melayu Sumatra dan Jawa—
Walaupun A. John merasa heran dengan sedikitnya tafsir sufistik yang ditemukan, karena memang awal kegiatan intelektual dikawasan ini masih didomonasi oleh tradisi lisan
78
Feener, :Notes Towards‖, h. 47
79
Aksara pegon adalah teks-teks Jawa, Sunda ataupun Melayu yang ditulis dalam aksara Arab. Di komunitas muslim yang tersebar dalam masa periode klasik ini, aksara pegon menjadi
aksara yang lebih populer dibanding variasinya, yakni hurup gundil hurup gundul. Karena kondisi keilmuan masyarakat muslim pada waktu itu belum begitu tinggi dalam bahasa arab.
Untuk melihat secara lengkap sejarah aksara pegon dalam Jawa dan Sunda, lihat, Ervan Nurtawab, Khazanah Tafsir Al-Quran Klasik di Nusantara: Tradisi Penulisan Tafsir dan Terjemah
Al-Quran dalam Masyarakat Jawa dan Sunda Hingga Abad Ke-19 M Jakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2003
80
Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 61