karya ini menggunakan data riwayat sebagai variabel penting dalam menguraikan maksud ayat.
104
Bentuk kedua dari metode penafsiran adalah metode tafsir pemikiran. metode tafsir pemikiran. Al-Qattan mencatat bahwa sejak berakhirnya masa salaf, sekitar abad
ke-3 H, dimana peradaban umat Islam semakin berkembang, telah dibarengi juga oleh lahirnya berbagai madzhab di kalangan umat Islam. Masing-masing madzhab itu
berusaha meyakinkan pengikutnya dengan memberikan penjelasan dari ayat-ayat al- Qur‘an. Terks al-Qur‘an kemuidian ditafsirkan dalam kerangka corak kepentingan dan
ideologinya tersebut. Dalam konteks inilah, sejarah tafsir mencatat adanya perkembangan berbagai corak tafsir. Misalnya muncul tafsir al-Razi dengan corak filsafatnya, al-
Kasysyaf dengan corak teologi Mu‘tazilahnya, tafsir al-Manar dengan corak sosiologisnya dan seterusnya.
105
Namun dalam konteks pengertian metode tafsir pemikiran yang dimaksud di sini bukan seperti yang diuraikan oleh al-Qattan di atas. Metode tafsir pemikiran di sini,
didefinisikan sebagai suatu penafsiran al- Qur‘an yang didasarkan pada kesadaran bahwa
al- Qur‘an, dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak lepas dari wilayah budaya dan sejarah
disamping bahasa itu sendiri. Dalam metode tafsir pemikiran, penafsir beruasaha menjelaskan pengertian dan maksud dari suatu ayat berdasarkan hasil sari proses
intelektualisasi dengan langkah epistimologis yang mempunyai pijakan pada teks dengan konteks-konteksnya.
106
Ketiga , metode tafsir interteks. Dalam sebuah teks selalu ada teks-teks lain. Oleh
karena itu, setiap tek secara niscaya merupakan sebuah interteks. Dalam literatur tafsit Indonesia pun mengalami hal demikian. Dalam proses penafsiran yang dilakukan oleh
104
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 198
105
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 201-201
106
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 202
penafsir dalam berbagai karyanya, hampir tidak bisa melepaskan kaitan dengan karya lain yang lebih dulu.
107
Proses interteks ini bisa tampil dalam dua bentuk. Pertama, teks-teks lain yang ada di dalam teks tersebut diposisikan sebagai panutan dalam teks tafsir, sehingga
tafsirnya sebagai penguat. Kedua, teks-teks di dalam teks tersebut diposisikan sebagai teks pembanding atau bahkan sebagai obyek krtik untuk memberikan suatu pembacaan
baru, yang menurutnya lebih sesuai dengan dasar dan prinsip epistimologis yang bisa dipertanggungjawabkan.
108
2. Nuansa Tafsir
Yang dimaksud dengan nuansa tafsir adalah ruang dominan sebagai sudut pandang dari suatu karya tafsir. Misalnya nuansa kebahasaan, teologi, sosial,
kemasyarakatan, fiqh, psikologis dan lain-lain. Nuansa tafsir dapat disebut juga dengan corak tafsir. Karena dari corak yang dominan inilah sebuah karya tafsir yang satu dapat
dibedakan dengan karya tafsir lain.
3. Pendekatan Tafsir
Pendekatan tafsir di sini dimaknai sebagai titik pijak keberangkatan dari proses tafsir. Itu sebabnya, dengan pendekatan tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir
yang berbeda-beda. Ada dua pendekatan yang dimaksud yaitu yang berorentasi pada teks dalam dirinya pendekatan tekstual dan berorentasi pada konteks pembaca penafsir
yang dikenal dengan pendekatan kontekstual.
109
107
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 228
108
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 228
109
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 247-248
Contoh tafsir yang memakai pendekatan tekstual adalah Tafsîr al-Misbâh karya Quraish Shihab. Sedangkan contoh tafsir dengan pendekatan kontekstual adalah tafsîr
ayat-ayat politik karya Syu‗bah Asa.
BAB IV ANALISIS TERHADAP KARYA TAFSIR
TAMSYIYYAT AL-MUSLIMÎN
A. Gambaran Umum Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn
Tafsir yang bernama lengkap Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimîn fî Tafsīr kalām Rabb
al- ‘Alamīn ini adalah karya tafsir yang ditulis oleh Ahmad Sanusi sewaktu dia menjalani
tahanan kota di Sukabumi. Dalam tafsir ini tulisan ayat al- Qur‘annya memakai bahasa
Arab dan dibawahnya dicantumkan alat bantu cara baca dengan tekhnik penuliasan transliterasi Arab-Latin. Terjemah serta uraian global tentang tentang tafsirnya ditulis
dengan hurup Latin dan berbahasa melayu dengan menggunakan ejaan Van Ophusyen. Berbeda dengan karya tafsir pada umumnya, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini
adalah sebuah karya tulis yang memuat tentang tafsir tetapi memakai format seperti majalah atau buletin yang terbit secara berkala. Hal ini dalam abad itu mungkin sebuah
terobosan baru yakni, sebuah kitab tafsir memakai format sebuah majalah. Terbitan perdananya dikeluarkan pada 1 oktober 1934 yaitu setelah 2 bulan status
tahanan Ahmad Sanusi dipindahkan dari Batavia ke Sukabumi. Untuk terbitan pertama tafsir tersebut dicetak di percetakan Masduki dan hanya beredar di wilayah kota
sukabumi saja. Pada penerbitan nomor dua bualan November 1934, percetakannya dipindahkan ke percetakan al-Ittihâd. Sejak diambil alih oleh percetakan tersebut, Tafsîr
Tamsyiyyat al-Muslimîn dapat beredar luas di wilayah Bandung, Sukabumi sampai ke
Jakarta. Pada terbitan yang ke 9 peredaran tafsir ini sudah mencapai ke daerah Sumatra Selatan dan mempunyai agen tetap di kota Bengkulu.
Beberapa sumber menyebutkan tidak diketahui berapa jumlah edisi yang pernah terbit. Penulis mencatat Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn memiliki edisi tahun ke-1 no.1
1934 hingga tahun ke-5 no.53 1939. Sedangkan yang ada di tangan penulis hanya sampai jilid ke-25 sehingga antara jilid ke-26 sampai jilid ke-53 penulis sampai saat ini
belum menemukannya. Dari ke-25 jilid yang dipunyai penulis, tiap jilidnya berjumlah 31 halaman kecuali jilid ke-1 yang berjumlah 34 halaman, jilid ke-2 berjumlah 32 halaman,
jilid ke-3 berjumlah 33 halaman dan jilid ke-4 berjumlah 28 delapan halaman. Di dalam cover depan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn terdapat secara berurutan;
nomor terbit, judul kitab, pengarang, harga langganan, alamat pengarang, agen-agen Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn,
pengumuman, dan penerbit. Baru terbit empat nomor telah ada permintaan dari pelanggan agar Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn diterbitkan satu
bulan dua kali, tetapi dari pihak penerbit keberatan karena alat percetakannya tidak memadai. Dalam cover depan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn nomor enam, tertulis
pengumuman bagi para pelanggan agar mengirimkan uang langganannya dan menjadi pelanggan baru. Dalam cover depan bagian dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn nomor
sepuluh dicantukan surat dari Wedana Batavia yang mengusulkan agar Tafsir Tamsyiyyat terbit sebulan empat kali dan dinaikkan harganya. Dalam cover depan Tafsîr Tamsyiyyat
al-Muslimîn nomor sebelas, tertera pemberitahuan mengenai; agen-agen yang masih
punya tunggakan uang langganan, hanya enam pelanggan yang setuju Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn
terbit satu bulan empat kali. Dalam cover depan bagian luar Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn
nomor tiga belas diberitahukan bahwa yang setuju Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn
terbit satu bulan empat kali telah mencapai enam belas agen. Dalam setiap Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn secara umum
—dan ada pula nomor- nomor yang tidak ada
—dalam cover belakang bagian luarnya ditulis sebuah peringatan- peringatan; pertama, meminta agar setiap kesalahan dalam redaksi dan struktur bahasanya
dapat dikritisi. Ke-2, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah tafsir yang memuat hadis- hadis, kisah-kisah dan madzha-madzhab baik fiqh maupun theologi. Ke-3, meminta
supaya Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn terus diterbitkan dan ditingkatkan. Ke-4, ketentuan-ketenyuan bagi para pelanggan.
B. Kontroversi Penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn
Terbitnya Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn pada awal abad ke-20 tidak lepas dari pro kontra dari pihak ―kelompok tradisional‖.
110
Hal ini terjadi karena tafsir tersebut berbahasa melayu dan berhuruf latin serta tafsir ringkasnya yang didobel tulisan al-Quran
nya dengan huruf Latin. Bagi masyarakat priangan, penerjemahan dan penafsiran al- Quran
apalagi transliterasi al-Quran ke dalam tulisan latin merupakan hal yang baru untuk masa tahun 30-an. Sikap reaktif yang ditujukan oleh pihak kelompok tradisional
terutama dari kyai-kyai yang berdomisili di Priangan terhadap Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimîn
dapat digambarkan sebagai berikut:
110
Istilah ‗tradisi‘ dan ‗modern‘ pertama kali diperkenalkan oleh Deliar Noer ketika menjelaskan perkembangan-perkembangan dan sifat gerakan modern di Indonesia. Bagi Noer
bahwa yang disebut kaum tradisi adalah kyai yang ada di pedesaan dan bertempat tinggal di pesantren atau surau, dalam praktek keagamannya berfaham taklid dan menolak berijtihad. Dan
dalam masalah politik, kaum tradisi pada umumnya tidak ikut serta walaupun mereka anti penjajahan dan banyak juga dan mereka yang menjabat birokrasi keagamaan yang dibuat oleh
penjajah. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1940 Jakarta: LP3S, 1980. Kajian Noer yang cenderung berat sebelah
—karena terlalu dilihat dalam perspektif modern orientid
—dikritisi oleh Zamakhsari Dhofier dengan cara melakukan penelitian langsung ke lapangan, ke beberapa pesantren yang ada di JawaTengah dan Jawa Timur, ia menganggap bahwa
Noer tidak melihat realitas keadaan yang sebenarnya di pesantren. Dengan bantuan antrofologi, Dhofier berhasil mendekonstuksi konsepsi Noer. Lihat Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren:
Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai Jakarta: LP3S, 1982. Namun studi Zamakhsari bukan
tanpa kritikan, misalnya Mohammad Iskandar menganggap bahwa gambaran Kyai dan pesantre yang digambarkan oleh Dhofier tidak selalu cocok dengan yang ada di Priangan. Misalnya definisi
Kyai yang cenderung dilihat secara antrofologis yakni keterikatannya terhadap pesantren. Lihat Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah:Pergulatan Pemikiran Para Kyai dan Ulama di
Jawa Barat, 1950
Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001, h. 3- 63. Adapun yang dimaksud ‗kelompok
tradisional‘ khusus di Sukabumi, Bogor dan Cianjur pada masa itu adalah kelompok yang mempertahankan pola madzhab dan menolak ijtihad dalam masalah ibadah dan cenderung tidak
memperaktekan pembaharuan-pembaharuan dalam kegiatan praktis dan pro pemerintah Belanda. Kelompok ini berpusat di Gentur Cianjur. Kelompok ini berbeda dengan kelompok yang berpusat
di Cantayan Sukabumi yang dipimpin oleh Ahmad Sanusi. Walaupun kelompok ini berpola madzhab dalam masalah ibadah seperti kelompok tradisional juga, tapi kelompok ini mengadopsi
pembaharuan-pembahruan dalam kegiatan yang bersifat praktis seperti sistem pendidikan klasikal, pembentukan organisasi dan termasuk penerjemahan dan penafsiran al-
Qur’an, untuk mengetahui pola kehidupan sosial keagamaan di Sukabumi pada waktu Ahmad Sanusi hidup. Lihat A.
Mukhtar Mawardi, H. Ahmad Sanusi:Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Skripsi Sl Fakultas Adab, Universitas Islam Negeri Jakarta, 1985: