supaya Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn terus diterbitkan dan ditingkatkan. Ke-4, ketentuan-ketenyuan bagi para pelanggan.
B. Kontroversi Penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn
Terbitnya Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn pada awal abad ke-20 tidak lepas dari pro kontra dari pihak ―kelompok tradisional‖.
110
Hal ini terjadi karena tafsir tersebut berbahasa melayu dan berhuruf latin serta tafsir ringkasnya yang didobel tulisan al-Quran
nya dengan huruf Latin. Bagi masyarakat priangan, penerjemahan dan penafsiran al- Quran
apalagi transliterasi al-Quran ke dalam tulisan latin merupakan hal yang baru untuk masa tahun 30-an. Sikap reaktif yang ditujukan oleh pihak kelompok tradisional
terutama dari kyai-kyai yang berdomisili di Priangan terhadap Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimîn
dapat digambarkan sebagai berikut:
110
Istilah ‗tradisi‘ dan ‗modern‘ pertama kali diperkenalkan oleh Deliar Noer ketika menjelaskan perkembangan-perkembangan dan sifat gerakan modern di Indonesia. Bagi Noer
bahwa yang disebut kaum tradisi adalah kyai yang ada di pedesaan dan bertempat tinggal di pesantren atau surau, dalam praktek keagamannya berfaham taklid dan menolak berijtihad. Dan
dalam masalah politik, kaum tradisi pada umumnya tidak ikut serta walaupun mereka anti penjajahan dan banyak juga dan mereka yang menjabat birokrasi keagamaan yang dibuat oleh
penjajah. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1940 Jakarta: LP3S, 1980. Kajian Noer yang cenderung berat sebelah
—karena terlalu dilihat dalam perspektif modern orientid
—dikritisi oleh Zamakhsari Dhofier dengan cara melakukan penelitian langsung ke lapangan, ke beberapa pesantren yang ada di JawaTengah dan Jawa Timur, ia menganggap bahwa
Noer tidak melihat realitas keadaan yang sebenarnya di pesantren. Dengan bantuan antrofologi, Dhofier berhasil mendekonstuksi konsepsi Noer. Lihat Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren:
Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai Jakarta: LP3S, 1982. Namun studi Zamakhsari bukan
tanpa kritikan, misalnya Mohammad Iskandar menganggap bahwa gambaran Kyai dan pesantre yang digambarkan oleh Dhofier tidak selalu cocok dengan yang ada di Priangan. Misalnya definisi
Kyai yang cenderung dilihat secara antrofologis yakni keterikatannya terhadap pesantren. Lihat Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah:Pergulatan Pemikiran Para Kyai dan Ulama di
Jawa Barat, 1950
Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001, h. 3- 63. Adapun yang dimaksud ‗kelompok
tradisional‘ khusus di Sukabumi, Bogor dan Cianjur pada masa itu adalah kelompok yang mempertahankan pola madzhab dan menolak ijtihad dalam masalah ibadah dan cenderung tidak
memperaktekan pembaharuan-pembaharuan dalam kegiatan praktis dan pro pemerintah Belanda. Kelompok ini berpusat di Gentur Cianjur. Kelompok ini berbeda dengan kelompok yang berpusat
di Cantayan Sukabumi yang dipimpin oleh Ahmad Sanusi. Walaupun kelompok ini berpola madzhab dalam masalah ibadah seperti kelompok tradisional juga, tapi kelompok ini mengadopsi
pembaharuan-pembahruan dalam kegiatan yang bersifat praktis seperti sistem pendidikan klasikal, pembentukan organisasi dan termasuk penerjemahan dan penafsiran al-
Qur’an, untuk mengetahui pola kehidupan sosial keagamaan di Sukabumi pada waktu Ahmad Sanusi hidup. Lihat A.
Mukhtar Mawardi, H. Ahmad Sanusi:Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Skripsi Sl Fakultas Adab, Universitas Islam Negeri Jakarta, 1985:
―Tina lantaran eta tafsir meunang perhatian ti jalma-jalma di unggal-unggal tempat. Tayohna eta sawareh Kyai Cicurug reunjeung Bogor beuki tambah-tambah
ngambekna reujeung karisihna, celaan-celaan reujeung hinaan-hinaan reujeung ngadolah-ngadolahkeun malah nepika ngufur-ngufurkeun ka Ajengan H. Ahmad Sanusi
dina saban-saban pangdiukan-pangdiukanana sahengga ka di pasar-pasar sarta ku Ajengan H. Ahmad Sanusi Heunteu dikuping sagala omongan eta ajengan ajengan…”.
111
Walaupun sikap reaktif kelompok tradisional oleh Ahmad Sanusi, tetapi para pengikut dan murid-muridnya terpanggil untuk merespon sikap kyai-kyai itu dengan
mengusulkan agar Ahmad Sanusi menolak perkataan-perkataan mereka. Karena celaan- celaan dan hinaan itu kepadanya tidak berhenti juga, maka Ahmad Sanusi menerima
usulan dari pengikutnya dengan memerintahkan kepada para anggota majlis al-Ittihâd di Sukabumi dan Bogor supaya mengadakan musyawarah tentang menulis al-Quran dengan
huruf Latin.
112
Dalam musyawarah itu —diadakan di majlis al-Ittihad Sukabumi sebanyak dua
kali dan di majlis al-Ittihad Bogor sebanyak tiga kali —diundang kyai-kyai yang
mempersoalkan masalah tersebut. Tetapi dalam beberapa musyawarah yang beberapa kali dilakukan tersebut tidak seorang pun dari pihak yang kontra datang, kecuali ketika
musyawarah yang diadakan di Bogor. Adapun yang datang adalah H. Usman Perak. Pada waktu itu dari pihak yang pro terhadap Ahmad Sanusi dan yang paling banyak
berkomentar adalah Kyai Damanhuri.
113
111
Terjemahnya :oleh karena tafsir tersebut mendapat perhatian dari orang-orang di setiap tempat. Akibatnya sebagian kyai-kyai CiCurug dan Bogor semakin tambah kemarahannya
dan kehawatirannya, celaan-celaan, hinaan hinaan dan bahkan sampai mengkafirkan Ahmad Sanusi di setiap tempat sampai di pasar-pasar. Tetapi oleh Ahmad Sanusi tidak didengarkan
perkataan kyai-kyai tersebut. Lihat Laj ah Ta lif wa al-Nasr AII, Mindzarat al-Islâm wa al Îmân
Sukabumi: al-Ittihad, 1935, h. 1
112
Lihat K.H. Ahmad Sanusi, ‗Ilan Pemberian Tahu dalam Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimîn,
no.1, oktober 1934 Sukabumi: al-Ittihad,1935
113
Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah; Pergulatan pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950 Yogyakarta: Matabangsa, 2001, Cet. 1, h. 198-199
Namun setelah diadakan musyawarah di atas, kenyataannya, tetap saja masih terjadi celaan-celaan terhadap diri Ahmad Sanusi. Namun dengan nada keras dan
sindiran, Ahmad Sanusi menyebut celaan- celaan tersebut sebagai ―gonggongan-
gonggongan anjing‖. Sikap reaktif atas terbitnya Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn tidak terbatas pada
perdebatan oral saja, melainkan sudah pada perseteruan media cetak. Salah satu contohnya adalah terbitnya sebuah buku yang kontra terhadap Ahmad Sanusi yang ditulis
oleh H Mansur yang berjudul Tasfiyat al-Afkâr.Terbitnya buku itu mendapat reaksi dan jawaban dari Ahmad Sanusi sendiri dengan menerbitkan buku yang berjudul Tahzîr al-
Afkâr.
114
Di samping dari kelompok tradisional, reaksi terhadap Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimîn
juga datang dari pihak ‗pekauman‘.
115
Reaksinya pun tidak kalah sengitnya, misalnya pada 4 Oktober tahun 1936 diadakan diskusi yang dilaksanakan di Cipelang
Sukabumi. Dalam diskusi itu dibentuk sebuah badan netral yang bernama Comite Permoesjawaratan Menoelis
Qoeran. Dalam diskusi tersebut, tidak hanya dihadiri oleh pihak pekauman yang mewakili pihak yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang
menulis al-Quran dengan huruf latin. Di samping itu, hadir pula kelompok yang kontra terhadap Ahmad Sanusi lainnya seperti pengurus sekolah Ahmadiyah Sukabumi, Umar
Sanusi Pengurus al-Rabitah al-Alawiyah, Sayyid Yahya bin Utsman, Sayyid Ali bin Yahya, Sayyid Ali bin Sahab ketiganya dari Batavia, Tubagus Arsyad Rangkasbitung,
Banten, Sayyid Alawi bin Tohir, Sayyid M. Sodik al-Jufri, Wirasanjaya Surat Kabar al- Mu‘min dan H. Fachrurraji Surat Kabar al-Mukhtar. Kemudian komite tersebut
mengajukan surat permohonan kepada pihak pemerintah —yang waktu itu Indonesia
114
Lajnah Ta’lif, Mindzarat al-Islâm, h. 4-9
115
Disebut juga menak kaum adalah elit birokrasi keagamaan di daerah Priangan, umumnya para Menak Kaum yang bertitel Hoofd penghulu yang mempunyai hubungan
kekerabatan dengan bupati. Biasanya kelompok pekauman mengurus mesjid raya di tingkat kecamatan dan kabupaten yang saat itu berfungsi sebagai KUA. Lihat Mohammad Iskandar, Para
pengemban Amanah, h. 49