Faktor Sekolah Pengertian Penalaran Moral

2.4.2. Faktor Eksternal

a. Faktor Keluarga

Anak yang melihat orang tuanya atau saudaranya melakukan bullying sering akan mengembangkan perilaku bullying juga. Ketika anak menerima pesan negatif berupa hukuman fisik di rumah, mereka akan mengembangkan konsep diri dan harapan diri yang negatif, yang kemudian dengan pengalaman tersebut mereka cenderung akan lebih dulu meyerang orang lain sebelum mereka diserang. Bullying dimaknai oleh anak sebagai sebuah kekuatan untuk melindungi diri dari lingkungan yang mengancam.

b. Faktor Sekolah

Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan masukan yang negatif pada siswanya misalnya, berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah. c. Faktor Kelompok Sebaya Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman sekitar rumah kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Kadang kala beberapa anak melakukan bullying pada anak yang lainnya dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.

2.5. Pengertian Penalaran Moral

Moral berasal dari kata latin mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan Gunarsa, 1986 dalam Ali, Asrori, 2009. Sedangkan menurut Hurlock 1981 moral berasal dari bahasa latin “Mores”, yang berarti budi bahasa, adat istiadat, dan cara kebiasaan rakyat. Perilaku moral merupakan perilaku di dalam konformitas dengan suatu tata cara moral kelompok sosial. Menurut Yusuf 2002, Istilah moral dari bahasa Latin “mos” Moris, yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturannilai-nilai, atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Seseorang dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Moral menurut Rogers 1986, dalam Ali, Asrori, 2009 merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. moral merupakan standar baik dan buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial. Kohlberg menegaskan bahwa moral merupakan bagian dari penalaran. Maka ia pun menamakannya penalaran moral. Dengan demikian orang yang bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang mendasarkan tindakannya atas penilaian baik buruknya sesuatu dalam Lickona, 1976, dalam Sarwono, 2005. Menurut Kohlberg perkembangan moral bersangkut-paut dengan bertambahnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan atau kaidah- kaidah yang ada dalam lingkungan hidupnya atau dalam masyarakatnya. Seseorang telah memperkembangkan aspek moral, bilamana ia telah menginternalisasikan atau telah mempelajari aturan-aturan atau kaidah-kaidah kehidupan di dalam masyarakat dan bisa memperhatikan dalam perilaku yang terus-menerus atau menetap Gunarsa, 1997 Penalaran moral berhubungan dengan peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang dilakukan seseorang dalam interaksinya dengn orang lain, yang diteliti dalam 3 domain Santrock : 2003 : 1. Bagaimana remaja mempertimbangkan dan memikirkan peraturan-peraturan melakukan tingkah laku etis. 2. Bagaimana remaja bertingkah laku dalam situasi moral yang sebenarnya? 3. Bagaimana perasaan remaja mengenai perasaan moral? Dari beberapa pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud penalaran moral adalah pertimbangan individu mengenai baik dan buruk suatu hal untuk memperkuat aturan, norma atau nilai etis yang dianut yang diterapkan dalam berbagai situasi yang melibatkan proses kognitif.

2.5.1. Teori Penalaran Moral Piaget

Piaget membagi perkembangan penalaran moral menjadi dua tahap, yaitu: 1. Heteronomous morality ialah tahap pertama perkembangan moral Piaget, yang terjadi kira-kira umur 4 – 7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh diubah, yang lepas dari kendali manusia. 2. Autonomous morality ialah tahap kedua perkembangan moral Piaget, yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua kira-kira usia 10 tahun dan lebih. Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. Anak usia 7 -10 tahun berada di dalam suatu transisi diantara dua tahap, menunjukkan ciri dari keduanya. Pemikir heteronomous juga yakin akan keadilan yang immanen immanent justice, yakni suatu konsep bila aturan dilanggar, maka hukuman akan dikenakan segera. Anak-anak kecil yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman. Oleh karena itu, anak-anak kecil seringkali melihat disekitar dengan kuatir setelah melakukan suatu pelanggaran, sambil mengharapkan hukuman yang tidak terelakkan. Anak-anak yang lebih tua yakni pemikir yang otonomous, menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi bila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan dan bahwa, hukuman tidak terelakkan Santrock, 2002. Piaget berpendapat bahwa, seraya berkembang anak-anak juga menjadi lebih canggih dalam berpikir tentang persoalan-persoalan sosial, khususnya tentang kemungkinan-kemungkinan dan kondisi-kondisi kerjasama. Piaget yakin bahwa pemahaman sosial ini terjadi melalui relasi-relasi teman sebaya yang saling memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya, dimana semua anggota memiliki kekuasaan dan status yang sama, rencana-rencana dirundingkan dan di kordinasikan, dan ketidaksetujuan diungkapkan sehingga pada akhirnya disepakati. Relasi orang tua–anak, dimana orang tua memiliki kekuasaan sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter. Santrock, 2002.

2.5.2. Teori Psikoanalisa Freud

Freud menyebutkan bahwa struktur kepribadian seseorang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu id, ego, dan super ego. Super ego merupakan cabang moral dan salah satu dari tiga struktur utama kepribadian. Terbentuk ketika anak mengatasi konflik Oedipus dan mengidentifikasi dirinya dengan orang tua yang berjenis kelamin sama di awal masa kanak-kanak. Melalui identifikasi anak-anak dan remaja memasukan standar orang tua mereka terhadap apa yang benar dan apa yang salah. Individu menyesuaikan diri mereka dengan standar masyarakat untuk menghindari rasa bersalah. Dalam pandangan Freud, Super ego terdiri dari dua komponen utama yaitu ego ideal dan concience kata hati. Ego ideal merupakan persepsi manusia mengenai sosok manusia yang didambakan. Seseorang akan memberikan reward dengan memunculkan rasa bangga, dan nilai pribadi bila ia melakukan tindakan yang sesuai dengan standar moral. Sementara concience kata hati akan menghukum individu tersebut bila ia melakukan tindakan yang tidak bermoral, dengan cara membuat dirinya merasa bersalah dan tidak berharga Santrock, 2003.

2.5.3. Teori Erikson

Erikson dalam Santrock, 2003 mengemukakan bahwa ada tiga tahap perkembangan moral yaitu pembelajaran moral yang spesifik di masa anak-anak, perhatian terhadap ideologi pada masa remaja, dan konsolidasi etis di masa dewasa. Menurut Erikson selama masa remaja individu melakukan pencarian identitas. Bila remaja dikecewakan oleh keyakinan moral dan keagamaan yang mereka peroleh selama masa kanak-kanak, mereka merasa kehilangan tujuan dan merasa hidup mereka kosong setidaknya untuk sementara. Hal ini dapat membawa remaja ke usaha mencari ideologi yang akan memberikan tujuan dalam hidup mereka. Agar suatu ideologi dapat diterima harus ada bukti nyata dan haruslah sesuai dengan kemampuan remaja untuk berpikir logis. Bila orang lain juga memiliki ideologi yang sama maka perasaan sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakatpun terbentuk. Bagi Erikson ideologi berperan sebagai pelindung identitas selama masa remaja karena ideologi memberikan perasaan adanya tujuan, membantu menghubungkan masa kini dengan masa depan, dan memberi arti bagi tingkah laku.

2.5.4. Teori Kohlberg

Menurut teori Kohlberg dalam Santrock, 2002 telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak- anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana tokoh- tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer: ” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar 200 dan menjualnya 2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan 1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.” Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak- anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri?. Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap. Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal. Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut : Tingkat satu : Penalaran Pra-konvensional Penalaran Pra-konvensional preconventional reasoning adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral. Penalaran moral dikendalikan oleh imbalan hadiah atau hukuman eksternal. Tahap 1. Orientasi hukuman dan ketaatan punishment and obedience orientation ialah tahap pertama dalam teori perkembangan Kohlberg. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Tahap 2. Individualisme dan tujuan individualism and purpose ialah tahap kedua dalam perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan hadiah dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah. Tingkat dua: Penalaran Konvensional Penalaran Konvensional conventional reasoning adalah tingkat kedua atau menengah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini internalisasi individual ialah menengah. Seseorang mentaati standar-standar internal tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar orang lain eksternal, seperti orang tua atau aturan masyarakat. Tahap 3. Norma-norma interpersonal interpersonal norms ialah tahap ketiga dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orangtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oleh orangtuanya sebagai “perempuan yang baik” atau seorang “laki-laki yang baik”. Tahap 4. Moralitas sistem sosial social system morality ialah tahap keempat dari perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini pertimbangan-pertimbangan didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban. Tingkat Tiga: Penalaran Pasca-konvensional Penalaran Pasca-Konvensional postconventional reasoning ialah tingkat tertinggi dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternaltif, menjajaki pilihan- pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi. Tahap 5. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual community rights versus individual rights ialah tahap kelima dalam perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, seseorang memahami bahwa nilai-nilai dan aturan- aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Seseorang menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat, tetapi juga mengetahui bahwa hukum dapat diubah. Seseorang percaya bahwa beberapa nilai, seperti kebebasan, lebih penting daripada hukum. Tahap 6. Prinsip-prinsip etis universal universal ethical principles ialah tahap keenam dan tertinggi dalam perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak- hak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi. Kohlberg percaya bahwa seluruh tingkatan dalam tahap perkembangannya terjadi secara berurutan sesuai dengan usia. Sebelum mencapai usia 9 tahun kebanyakan penalaran anak dalam menghadapi dilema moral dilakukan dengan cara yang pra-konvensional. Pada awal masa remaja, penalaran mereka dilakukan dengan cara yang lebih konvensional. Kebanyakan penalar remaja berada pada tahap 3, dengan menunjukkan adanya ciri-ciri pada tahap 2 dan 4. pada awal masa dewasa, sejumlah kecil individu berpikir dengan cara pasca konvensional Santrock, 2002. Akan tetapi tahap pasca-konvensional tidak terjadi pada semua remaja, tetapi hanya terjadi pada sebagian dari mereka. Mereka yang mencapai tahap ini mendasarkan penilaian terhadap aturan harapan masyarakat pada prinsip-prinsip moral umum sesuai dengan tingkat 5 dan 6 Sarwono, 2008. Skema 2.1 Tahap Perkembangan Moral menurut Kohlberg Gunarsa, 1997 : Tingkat Tahap Ciri Khusus Tingkat I : Pra-konvensional Tahap 1. Orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman. Tahap 2. Relativistik hedonism Harus patuh agar tidak di hukum. Ada faktor pribadi yang relatif dan prinsip kesenangan. Tingkat II : Konvensional Tahap 3. Orientasi mengenai anak yang baik. Tahap 4. Mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas. Agar menjadi anak yang baik, perbuatannya harus diterima oleh masyarakat. Menyadari kewajibannya untuk ikut melaksanakan norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya ada norma-norma. Tingkat III : Pasca-konvensional Tahap 5. terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Tahap 6. Prinsip universal. Perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Berbuat baik agar diperlakukan baik. Berkembangnya norma etik kata hati untuk menentukan perbuatan moral dengan prinsip uiversal. Menurut Kohlberg 1995 dalam penelitian empirisnya memperlihatkan bahwa tidak semua orang akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas kecil yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan kemudian angka inipun masih diragukannya. Diakui pula, suatu saat orang dapat jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebutnya sebagai “regresi fungsional”. Kohlberg menambahkan, semua tahap-tahap perkembangan tidak ditentukan oleh pendapat atau pertimbangan-pertimbangan khusus, melainkan oleh cara berpikir mengenai soal-soal dan dasar-dasar moral untuk mengadakan pilihan. Tahap 1 dan 2 yang khas bagi anak-anak muda dan anak-anak nakal, dilukiskan sebagai tahap “pra-moral” sebab semua putusan sebagian besar dibuat atas dasar kepentingan diri dan pertimbangan-pertimbangan material. Tahap 3 dan 4 yang berorientasi pada kelompok merupakan tahap “konvensional”, pada tingkat inilah kebanyakan orang dewasa bertingkah laku. Dua tahap akhir yang mengacu pada “prinsip” merupakan ciri khas dari 20 hingga 25 persen populasi orang dewasa, dengan kemungkinan hingga 5 hingga 10 persennya mencapai tahap 6.

2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penalaran Moral.