Hubungan antara penalaran moral dengan perilaku bullying para santri Madrasah Aliyah Pondok Pesantern Assa'adad Serang Banten

(1)

Skripsi diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Disusun Oleh:

FARKHAN BASYIRUDIN 104070002346

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya Farkhan Basyirudin, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini adalah hasil karya asli sendiri, guna mendapatkan gelar sarjana Strata 1 (S 1) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tanpa meniru karya lainnya baik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atau Universitas lainnya.

2. Semua sumber penulisan yang tercantum sudah sesuai dengan kebijakan atau aturan yang sudah di tentukan oleh Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti melanggar aturan yang ada, penulis siap mengikuti aturan atau kebijakan yang telah di tetapkan oleh Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 9 Desember 2010


(3)

HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU BULLYING PARA SANTRI MADRASAH ALIYAH PONDOK

PESANTREN ASSA’ADAH SERANG BANTEN

Skripsi diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Disusun Oleh: FARKHAN BASYIRUDIN

104070002346

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Diana Mutiah, M.Si Gazi Saloom, M.Si. NIP 196710291996032001 NIP 19711214 2007011 014

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU BULLYING PARA SANTRI MADRASAH ALIYAH PONDOK PESANTREN ASSA’ADAH SERANG BANTEN telah di ujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 9 Desember 2010 Sidang Munaqasyah

Dekan/ Pembantu Dekan/

Ketua Merangkap Anggota Sekertaris Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 552 NIP. 195612231983032001

Anggota :

Penguji II

Gazi Saloom, M.Si NIP. 19711214 2007011 014

Pembimbing I

Dra. Diana Mutiah, M.Si NIP. 196710291996032001


(5)

MOTTO

Keep on trying

Keep on moving

Keep on fighting


(6)

Hadiah kecil ini aku persembahkan untuk

Bapak dan Ibu serta kakak-kakakku tercinta

Semoga Tuhan selalu mendampingi setiap

langkah keluarga ini…


(7)

ABSTRAK (A)Fakultas Psikologi

(B)Desember, 2010 (C)Farkhan Basyirudin

(D)Hubungan Antara Penalaran Moral Dengan Perilaku Bullying Para Santri Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Assa’adah Serang Banten

(E)Halaman xviii + 73

Nilai-nilai keagamaan yang di ajarkan di pesantren bertujuan membentuk kepribadian santri yang sesuai dengan standar moral yang berlaku di masyarakat. Ternyata hal itu tidak mempengaruhi dan menekan perilaku

bullying di kalangan santri. Ini disebabkan adanya kegagalan dalam pembentukan kode moral benar atau salah, dan kegagalan dalam merubah konsep moral khusus ke umum. Moralitas pasca-konvensional seharusnya dicapai selama masa remaja. Tapi dengan masih adanya remaja pada tingkat pra-konvensional atau konvensional, maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan perilaku bullying.

Perilaku bullying adalah tindakan negatif, yang bersifat agresif atau manipulatif dalam rangkaian tindakan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain selama periode waktu tertentu yang didasarkan pada ketidakseimbangan kekuatan. Jenis penindasan (bullying): verbal, fisik, dan relasional/psikologis yang melibatkan pelaku bullying, korban

bullying, dan penonton/saksi. Penalaran moral adalah suatu bentuk pertimbangan atau pemikiran yang digunakan dalam menilai dan mengambil keputusan apakah tindakan yang dilakukan tersebut benar atau salah yang didasari oleh prinsip moral yang dimilikinya. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral yaitu pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari secara empirik hubungan antara penalaran moral dengan perilaku bullying. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian korelasi. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 100 orang santri pondok pesantren Assa’adah, Serang, Banten. Dari jumlah tersebut dipilih 80 orang responden sebagai sampel penelitian dengan menggunakan teknik simple random sampling. Instrumen pengumpulan data adalah Skala model Likert. Bentuk pengolahan dan analisa data menggunakan analisa statistika dengan menggunakan program SPSS 18.00, pada uji validitas menggunakan korelasi Product Moment

dari Pearson dan untuk menguji reliabilitas instrument dengan Alpha Cronbach. Sedangkan untuk menguji hipotesis penelitian digunakan

Korelasi Product Moment. Jumlah item yang valid untuk skala penalaran moral 25 item dan 11 item yang tidak valid. Reliabilitas skala penalaran moral adalah 0.923. sedangkan pada skala perilaku bullying terdapat 29 item yang valid dan 7 ietm yang tidak valid. Reliabilitas perilaku bullying

adalah 0.908. Berdasarkan analisa korelasi Product Moment dari Pearson

terhadap hipotesis yang diajukan, diperoleh hasil bahwa terdapat


(8)

perilaku bullying. Karena r hitung (- 0.298) p < 0.01 yang berarti jika penalaran moralnya rendah maka perilaku bullyingnya tinggi.

Disarankan agar pembina pondok pesantren lebih meningkatkan penalaran moral santri sehingga dapat menekan perilaku bullying. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan menguji faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku bullying seperti situasi sosial, pola asuh, dan tipe kepribadian. (F)Daftar Pustaka : 26 buku (1980-2009) + 1 jurnal + 5 website


(9)

ABSTRACT (A) Faculty of Psychology

(B) December, 2010 (C) Farkhan Basyirudin

(D) The correlation Between Moral Reasoning With Bullying behavior in students.

(E) Pages xviii + 73

(F) Religious values that induced in the boarding school students aimed at creating a personality that fit with the prevailing moral standards in society. Apparently it did not affect and reduce bullying behavior among students. This is due to the failure in forming a moral code of right or wrong, and failure to change the moral concepts specific to the general. Post-conventional morality should be achieved during adolescence. But with still there are teenagers at the pre-conventional or pre-conventional, it would not be surprised if among adolescents are still many who do the bullying behavior.

Bullying behavior is a negative action, that is aggressive or manipulative in a series of actions taken by one or more persons against another person during a specified time period based on the imbalance of power. Type of persecution (bullying): verbal, physical, and relational / psychological bullying involving the perpetrator, victim of bullying, and spectators / witnesses. Moral reasoning is a form of consideration or thought that is used to evaluate and make a decision whether the action taken is right or wrong based on moral principles he had. Stages of development of moral reasoning is pre-conventional, conventional, and post-conventional.

This research was conducted to study empirically the correlation between moral reasoning with bullying behavior. This type of research used in this study is the quantitative approach with correlation research method. The population in this study were 100 people boarding school students Assa'adah, Serang, Banten. Of these respondents 80 people selected as the study sample using random sampling

technique. Data collection instruments are Likert Scale model. Forms processing and data analysis using statistical analysis using SPSS 18.00, on the validity test using the correlation Product Moment from Pearson and to test the reliability of the instrument with Cronbach Alpha. Meanwhile, to test the research hypothesis using the Product Moment. The number of valid items for the scale of moral reasoning are 25 items and 11 items that are not valid. Reliability scale of moral reasoning is 0923. Whereas on the scale of bullying behavior there are 29 valid items and 7 items invalid. Reliability of bullying behavior is 0908. Based on the correlation analysis of Product Moment from Pearson to the hypothesis proposed, results showed there is a negative and significant relationship between moral reasoning with bullying behavior. Because the count r (- 0298) <r table (p <0.01) which means that if the low moral reasoning, the behavior of high its bullying.


(10)

bullying behavior. For further research is expected to examine other factors that influence bullying behavior such as social situation, parenting, and personality type.

(G) References: 26 books (1980-2009) + 1 journal + 5 websites


(11)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU BULLYING PARA SANTRI MADRASAH ALIYAH PONDOK PESANTREN ASSA’ADAH SERANG BANTEN” untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian Sarjana Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum dapat dikatakan sempurna, karena keterbatasan penulis dalam hal pengetahuan, kemampuan, pengalaman, dan juga waktu. Namun demikian penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dorongan serta saran dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Jahja Umar,Ph.D Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dra. Diana Mutiah, M.Si dosen pembimbing I dan Bapak Gazi Saloom, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing II serta sebagai dosen penasehat akademik,


(12)

bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Seluruh dosen, staf administrasi dan keluarga besar Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendukung dan membantu penulis selama penulis mengikuti perkuliahan.

4. Pimpinan Pondok pesantren Assa’adah Ust. Mujib, para staf ustadz/ustadzah, dan para santriwan/i yang telah memberikan bantuan pada penulis dalam pengumpulan informasi dan data penelitian ini. Segenap pengurus dan santri pondok pesantren Bina Tahfiz Al Qur’an yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan Try Out penelitian.

5. Penulis secara khusus menyampaikan terimakasih yang sangat pribadi kepada kedua orang tua penulis, Bapak Nasikin, Ibu Harsunah, kakak-kakaku Mas Yazid, Mba Khusnul, Mas Badruz, Bang Saiman, Mba Lasmi, Nur, Iis, Keponakanku Najma, Najah, dan Yasmine serta saudara-saudara yang selalu memberikan doa, dorongan, kepercayaan dan dukungan baik secara moril maupun materil serta kasih sayang yang tiada terkira.

6. Kawan-kawan seperjuangan di KPA. Arkadia, FP2I, Alumni MWI ’04, teman-teman kelas C ’04. Teruslah berkarya dalam bendera keilmuan, semoga persahabatan kita tidak terputus oleh ruang dan waktu.


(13)

yang setimpal dari Allah SWT. Akhir kata penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan, kekurangan atau kekeliruan dalam menyusun skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca umumnya. Amin ya Robbal’alamin.

Jakarta, Desember 2010

Penulis


(14)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERNYATAAN HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN MOTTO

PERSEMBAHAN

ABSTRAK ……… i

KATA PENGANTAR ……….. v

DAFTAR ISI………. viii

DAFTAR SKEMA……… x

DAFTAR TABEL ………. xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN………. xiii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1. Latar Belakang Masalah………..……….. 1

1.2. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah……….……. 10

1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ……….………... 12

1.4. Sistematika Penulisan ………..………. 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….………. 14

2.1. Bullying……….…….. 14

2.5. Pengertia Penalaran Moral………..………. 26

2.8. Kerangka Berpikir………...……… 43

2.9. Hipotesis ………. 43

BAB III METODE PENELITIAN ……..………. 44

3.1. Jenis dan Tipe Penelitian ……….……….……. 44

3.2. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel……… 45

3.3. Definisi konseptual dan operasional variabel.………... 45

3.4. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel……… 46


(15)

3.6. Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian……….……….. 50

3.7. Teknik Uji Instrumen Penelitian………..……… 53

3.8. Teknik Analisa Data………. 53

3.9. Prosedur Penelitian……….……… 54

BAB IV HASIL PENELITIAN ……… 56

4.1. Gambaran Umum Sample Penelitian... ………. 56

4.2. Uji Persyaratan………..………….. 58

4.3. Distribusi Penyebaran Skor Responden..………. 63

4.4. Hasil Utama Penelitian atau Uji Hipotesis…………..…… 66

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN ………….………….. 70

5.1. Kesimpulan ...……….….……… 70

5.2. Diskusi ……….……...……… 70

5.3. Saran…………...……….………... 72

DAFTAR PUSTAKA……… 75


(16)

DAFTAR SKEMA

Halaman SKEMA 1 Tahap Perkembangan Moral Kohlberg ………..….. 34 SKEMA 2 Kerangka berpikir ………..……….. 42


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1. Rasio populasi dan sample………. 45

Tabel 3.2. Bobot Nilai Skala………... 47

Tabel 3.3.. Blue Print Skala Perilaku Bullying... 48

Tabel 3.4 Blue Print Skala Perilaku Moral... 48

Tabel 3.5 Kisi-kisi Skala Perilaku Bullying... 49

Tabel 3.6. Kisi-kisi Skala Penalaran Moral... 50

Tabel 3.7 Klasifikasi Reliabilitas... 51

Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jenis Kelamin … 55 Tabel 4.2 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia ……… 56

Tabel 4.3 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jurusan …… 56

Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas Skala Penalaran Moral 58 Tabel 4.5. Hasil Uji Normalitas Skala Perilaku Bullying 59 Tabel 4.6. Hasil Uji Homogenitas Penalaran Moral……….. 61

Tabel 4.7. Hasil Uji Homogenitas Perilaku Bullying...... 61

Tabel 4.8 Statistik Deskriptif... 62

Tabel 4.9 Norma Penalaran Moral... 63

Tabel 4.10 Norma Perilaku Bullying... 63

Tabel 4.11 Kategorisasi Skor Penalaran Moral Berdasarkan Usia... 64

Tabel 4.12 Kategorisasi Skor Perilaku Bullying Berdasarkan Usia... 65

Tabel 4.13 Hasil Uji Hubungan Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying.. 66

Tabel 4.14 Regresi Sederhana... 67

Tabel 4.15 Uji Beda Penalaran Moral Berdasarkan Jenis Kelamin... 67

Tabel 4.16 Uji Beda Perilaku Bullying Berdasarkan Jenis Kelamin... 68


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 4.1 Skatterplot skala Penalaran Moral……… 58 Gambar 4.2 Skatterplot skala Perilaku Bullying……… 59


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Try Out skala Penalaran Moral Lampiran 2 Hasil Try Out skala Prilaku Bullying

Lampiran 3 Validitas dan Reliabilitas skala Penalaran Moral Lampiran 4 Validitas dan Reliabilitas skala Prilaku Bullying

Lampiran 5 Hasil penelitian skala Penalaran Moral Lampiran 6 Hasil penelitian skala Prilaku Bullying

Lampiran 7 Kategori skor Penalaran Moral dan Perilaku Bullying Lampiran 8 Frekuensi Penalaran Moral dan Perilaku Bullying Lampiran 9 Normalitas Penalaran Moral dan Perilaku Bullying Lampiran 10 Homogenitas Penalaran Moral dan Perilaku Bullying Lampiran 11 Korelasi antara Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying Lampiran 12 Regresi Sederhana

Lampiran 13 Uji Beda

Lampiran 14 Skala try out Penelitian Lampiran 15 Skala Penelitian


(20)

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal yang paling penting dalam penentuan masa depan suatu bangsa dimana pendidikan adalah sebagai alat atau metode untuk membentuk kepribadian dan karakter bangsa. Sukses tidaknya dunia pendidikan bergantung pada peserta didik, tenaga pendidik dan pemerintah sebagai regulasi pendidikan.

Oleh karena itu, peran pemerintah dalam memperhatikan dunia pendidikan dengan meningkatkan mutu pendidikan sesuai Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab II Pasal 4 menjelaskan bahwa standar nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat (LeKDiS, 2005),

Namun, dewasa ini banyak beredar berita baik di media cetak maupun elektronik mengenai kasus tindak kekerasan yang ditimbulkan oleh para pelajar. Mulai dari kasus tawuran antar sekolah, geng, sampai tindak kekerasan dan penindasan siswa sekolah yang dilakukan para senior kepada juniornya.

Pada dasarnya perilaku-perilaku yang mengandung unsur tindakan agresivitas yang sistematis, terencana dan bertujuan dari satu pihak dengan pihak lain melalui penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang, terjadi secara


(22)

berulang selama periode waktu tertentu baik berupa kekerasan fisik maupun psikologis, merupakan karakteristik khusus yang dikenal dengan istilah bullying (Sullivan, 2001).

Masih menurut Sullivan (2005) Bullying adalah tindakan negatif, yang bersifat agresif atau manipulatif dalam rangkaian tindakan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain. Biasanya selama periode waktu tertentu yang didasarkan pada ketidakseimbangan kekuatan.

Sedangkan menurut Coloroso (2007), bullying adalah tindakan intimidasi yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Tindakan penindasan inidapatdiartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Bentuknya bisa bersifat fisik seperti memukul, menampar, dan memalak. Bersifat verbal seperti memaki, menggosip, dan mengejek, serta psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasi. Kekerasan dan perilaku negatif ini dapat terjadi di luar maupun di dalam sekolah.

Coloroso (2007) menambahkan, perilaku bullying/bullies tidak memperhitungkan alasan mengapa mereka melakukan bullying tersebut. Terkadang pelaku hanya mencari alasan yang dapat diterima atas tindakan yang ia lakukan, misalnya melakukan bullying untuk mendisiplinkan adik kelas atau korban. Tetapi perilaku tersebut berlangsung selama periode yang cukup lama dan membuat korban mengalami luka baik fisik maupun psikologis.


(23)

Menurut Lipkins (2008), kebanyakan mereka menjadi pelaku karena terbentuk, bukan karena berbakat. Mereka terbentuk karena pernah menjadi korban penindasan. Mereka pernah di tindas, menyaksikan penindasan, dan pada akhirnya sampai tiba giliran mereka untuk menindas. Mereka itulah para anggota senior yang mempunyai kedudukan penting, kemampuan yang lebih, atau kepribadiannya yang disegani.

Biasanya siswa-siswa senior bergerak dalam satu angkatan. Mereka melakukan bullying terhadap siswa-siswa juniornya karena mereka merasa mendapatkan kesempatan melakukannya lantaran pernah menjadi korban bullying saat menjadi siswa junior. Sementara siswa-siswa korban mereka pun dibina untuk menyimpan dendam dan kejengkelan yang akan mereka lampiaskan saat mereka menjadi siswa senior pada angkatan yang akan datang (SEJIWA, 2008).

Seperti halnya kasus yang menyita banyak perhatian masyarakat terjadi di SMAN 82 (3/11/2009). Korban adalah Ade Fauzan, siswa kelas I yang menjadi korban kekerasan dari siswa kelas III. terpaksa dirawat di RS Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan karena di pukul dan dikeroyok oleh siswa kelas III hingga pingsan selama 3 jam. (www.detiknews.com).

Pada kenyataannya, tindak kekerasan pada remaja tidak hanya berlaku pada institusi pendidikan SMA saja, melainkan sudah merambah ke dunia pesantren. Sebagai contoh kasus, dua santri Pondok Pesantren (Ponpes) Assalaam di Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, masuk RS Panti Waluyo dipukuli seniornya (13/7/2007). Pemukulan itu dilakukan oleh para santri pembimbing usai


(24)

santri-santri Takhassus belajar malam. Sebab siswa Assalaam berasal dari berbagai suku di Indonesia (www.suaramerdeka.com).

Setidaknya berdasarkan data yang dikumpulkan Komnas Perlindungan Anak (KPA) angka kekerasan di sekolah pada tahun 2009 meningkat hinga 20% dibanding pada tahun 2008. Menurut Sekjen KPA, Sirait (2009) telah terjadi aksi bullying atau kekerasan di sekolah sebanyak 472 kasus. Angka ini meningkat dari tahun 2008, yang jumlahnya sebanyak 362 kasus. (www.detiknews.com)

Di Indonesia belum ada data memadai karena penelitian tentang fenomena bullying masih baru. Akan tetapi dari hasil studi yang dilakukan ahli intervensi bullying asal Amerika, Huneck (2006) mengungkapkan bahwa 10-16 persen siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan ataupun didorong, sedikitnya sekali dalam seminggu. (http://run18.multiply.com)

Dijkstra dkk, (2008) menyebutkan bahwa, dari 3.312 subjek laki-laki dan perempuan, yang terbagi antara kelompok remaja populer dan non-populer menunjukkan perilaku bullying oleh remaja populer berhubungan pada alasan perbedaan status sosial yang melekat pada mereka.

Menurut penelitian dari Yayasan Sejiwa sebuah lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan masalah kekerasan di sekolah, melakukan survey pada workshop antibullying pada 28 April 2006. hasil survey yang di hadiri oleh 250 peserta tersebut, 94,9 % peserta yang hadir menyatakan bahwa bullying


(25)

memang terjadi di sekolah-sekolah Indonesia. Namun jenis-jenis tindakan bullying yang mereka laporkan dalam workshop tersebut amat beragam (SEJIWA, 2008).

Dengan banyaknya fenomena perilaku remaja melakukan tindak kekerasan dan penindasan atau bisa disebut dengan perilaku bullying, menimbulkan pertanyaan mengenai penalaran dan nilai-nilai moral yang mereka anut sehingga muncul perilaku tersebut.

Menurut Kohlberg perkembangan penalaran moral manusia terdiri dari tiga tingkat, yaitu tingkat pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Masing-masing tingkat diikuti dengan dua tahap perkembangan moral (Santrock, 2002).

Kohlberg menambahkan bahwa moralitas pasca-konvensional seharusnya dicapai selama masa remaja dalam tahap ini individu mempunyai keyakinan moral dan dapat menyesuaikan diri dengan standar sosial yang diinternalisasikan dengan didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain (Hurlock, 1980).

Akan tetapi Kohlberg (1995) dalam penelitian empirisnya menyebutkan bahwa tidak semua orang akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas kecil yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan kemudian angka inipun masih diragukannya. Diakui pula, suatu saat orang dapat jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebutnya sebagai “regresi fungsional”.


(26)

Senada dengan hal tersebut, Hurlock (1980) menjelaskan bahwa remaja yang tidak berhasil melakukan peralihan ke dalam tahap moralitas dewasa, maka tugas tersebut di selesaikan pada awal masa dewasa. Sehingga mereka membentuk kode moral berdasarkan tahapan konsep moral sebelumnya yang secara sosial belum tentu dapat di terima.

Artinya, sesuai yang dikatakan oleh Yusuf (2002), dengan masih adanya remaja pada tingkat pra-konvensional atau konvensional, maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan dekadensi moral termasuk didalamnya perilaku bullying.

Hal ini dikarenakan masa remaja sebagai periode badai dan tekanan. Suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Adapun meningginya emosi terutama karena masa remaja berada dibawah tekanan sosial menghadapi kondisi baru, sedangkan saat masa kanak-kanak kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan itu (Hurlock, 1980).

Pada dasarnya remaja diharapkan sudah mampu menggali konsep-konsep yang berlaku khusus di masa kanak-kanak, dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Sekarang ia akan membentuk kode moral sendiri berdasarkan konsep benar dan salah yang telah diubah dan diperbaikinya agar sesuai dengan tingkat perkembangan yang lebih matang dan telah dilengkapi


(27)

dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dipelajari dari orangtua dan gurunya (Hurlock, 1980).

Oleh karena itu, remaja diharapkan mampu mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua atau guru. Namun terkadang remaja mudah dipengaruhi oleh stimuli yang bersifat negatif dari lingkungannya tanpa berfikir panjang terhadap akibat yang akan ditimbulkannya. Apabila ia mengalami ketidakmatangan dalam proses perkembangan perilaku sosialnya.

Selain itu pada sisi kognitif, remaja mempunyai persepsi untuk bersikap dan mencari nilai ideal dengan berbagai perangkat untuk meraihnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Piaget bahwa, semakin orang terbuka dengan banyak pengalaman di dunia luar, maka ia akan semakin dibantu untuk mengembangkan pengetahuan dan cara berfikirnya (Suparno, 2001).

Selanjutnya menurut Gunarsa (1989), remaja hendaknya mampu bersikap kritis terhadap tata cara yang pernah diterimanya, dan menyadari penilaian baik dan buruk yang telah dianutnya. Akan tetapi jika remaja belum memperoleh azas-azas baru yang lebih bersifat umum dan belum terikat pada sistem penilaian yang pasti, maka ia masih akan mengalami kebimbangan dan keraguan. Sehingga ia akan melakukan segala sesuatunya dengan semaunya. Ini menandakan bahwa moralitas pada masa ini masih dipengaruhi oleh dirinya sendiri, dan belum mencapai taraf objektivitas.


(28)

Hal ini menunjukkan bahwa proses perkembangan tidak selalu berjalan dalam alur yang linier, lurus atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut, karena banyak faktor yang menghambatnya. Faktor penghambat ini bisa bersifat internal maupun eksternal (Yusuf, 2002).

Adapun Usia remaja ditandai dengan terjadinya perubahan yang besar dalam aspek biologis, perubahan kognitif, maupun perubahan sosio-emosional (Santrock, 2003). Remaja pada umumnya berada pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA ), atau setara dengan santri pada tingkat Aliyah.

Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan agama yang kurikulumnya lebih banyak ilmu-ilmu keagamaan dibanding ilmu-ilmu umum. Selanjutnya, tujuan Pondok pesantren adalah membentuk kepribadian Muslim yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat dan Negara (Qomar, 2005).

Pada kenyataannya, kebanyakan alasan para orang tua menyekolahkan anaknya di pesantren, mereka ingin membina atau memperbaiki akhlak anaknya. Terlebih untuk masuk pesantren belum ada test masuk. Sehingga semua orang bebas masuk asal membayar biaya administrasi. Anak-anak dari keluarga broken home dan anak-anak nakal pun seringkali dititipkan ke pesantren agar insaf. Akibatnya, anak-anak yang “bermasalah” ini kerap kali mempengaruhi teman-temannya, termasuk didalamnya memicu perilaku bullying.


(29)

Sebagaimana dari pengamatan dan observasi penulis pada salah satu pondok pesantren, di Pondok Pesantren Assa’adah di daerah Serang, Banten, terkait dengan hal tersebut di atas, ada beberapa tindak kekerasan dan penindasan yang sering terjadi pada sebagian santri. Perilaku negatif tersebut berupa pemalakan yang biasa dilakukan para senior kepada juniornya. Sebagaimana pengakuan salah seorang santri yang bernama SH (nama samaran), siswa kelas 1 Takhassus atau sederajat tingkat kelas satu SMA bahwa sering kali setiap baru mendapat kiriman uang, beberapa dari santri senior meminta uang. Biasanya diikuti dengan intimidasi, pengucilan, bahkan kekerasan fisik jika kemauan para seniornya tidak terpenuhi. Santri baru atau junior seringkali tidak mampu berbuat apapun selain membentuk kelompok sendiri untuk menghindari penindasan dari para senior.

Selain kasus tersebut, masih banyak kasus-kasus lain yang lebih kompleks mengenai penindasan senior dengan alasan demi mendisiplinkan juniornya. Pada akhirnya mereka tidak memandang aturan-aturan atau nilai-nilai yang berlaku di sekolah maupun masyarakat sehingga para santripun dapat melakukan tindakan demikian.

Sebagaimana dikatakan Kohlberg bahwa perkembangan moral bersangkutan dengan bertambahnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan dalam masyarakatnya. Seseorang telah memperkembangkan aspek moral, bilamana ia telah menginternalisasikan atau telah mempelajari


(30)

aturan-aturan kehidupan di dalam masyarakat dan bisa memperhatikan dalam perilaku yang terus-menerus atau menetap (Gunarsa, 1997).

Maka jelaslah bahwa, ternyata banyaknya nilai-nilai keagamaan yang di tanamkan di pesantren untuk menciptakan kepribadian-kepribadian santri yang sesuai dengan standar moral yang berlaku di masyarakat, tidak mempengaruhi dan menekan perilaku bullying di kalangan santri.

Melihat fenomena tersebut diatas, terjadinya perilaku bullying pada santri merupakan salah satu topik yang menarik untuk dibahas, apalagi jika hal tersebut dikaitkan dengan dengan penalaran moral. Oleh karena itu, timbullah persoalan yang menarik untuk diteliti yaitu tentang hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying para santri Aliyah

1.2. Perumusan dan Pembatasan Masalah

A. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

”Apakah ada hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying para santri Aliyah pondok pesantren Assa’adah Serang Banten?”


(31)

B. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini tidak meluas maka perlu adanya pembatasan masalah sebagai berikut :

a. Perilaku Bullying disini merupakan perilaku kekerasan yang terjadi di pesantren, yang dilakukan oleh santri senior terhadap juniornya dilakukan secara berulang-ulang dan dalam periode waktu tertentu. Bentuk dari perilaku Bullying dapat berupa fisik, psikologis, baik verbal maupun non verbal, atau gabungan dari keduanya (Coloroso, 2007).

b. Penalaran moral adalah pertimbangan individu mengenai baik dan buruk suatu hal untuk memperkuat aturan, norma atau nilai etis yang dianut yang diterapkan dalam berbagai situasi yang melibatkan proses kognitif (Kohlberg, 1995).

c. Santri yang dimaksud, adalah Santri yang meliputi santri laki-laki dan perempuan kelas 3 pada jenjang Aliyah Pondok Pesantren Assa’adah, Serang, Banten. Menurut Gunarsa (1989), pada jenjang ini merupakan masa remaja, yang meliputi adanya perubahan fisik dan psikis, seperti halnya pelepasan diri dari ikatan emosionil dengan orang tua dan pembentukan rencana hidup dan sistem nilai sendiri


(32)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian A. Tujuan

Penelitan ini mempunyai tujuan untuk mencari hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying para santri Aliyah pondok pesantren Assa’adah Serang Banten.

B. Manfaat Praktis.

Penelitian ini diharapkan memberi maanfaat secara pragmatis secara khusus kepada para santri, pembina pondok pesantren, dan bagi masyarakat luas pada umumnya. Hal tersebut supaya dapat dijadikan suatu bahan pengetahuan tentang hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying pada santri.

Teoritis

Pada tataran teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang pengetahuan ilmu Psikologi yang mengkaji tentang penalaran moral dan perilaku bullying santri, serta keterkaitan antara keduanya.

1.4. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini, yang berjudul “Hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying pada santri” yang terdiri dari lima bab pembahasan, yaitu:


(33)

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang didalamnya mencakup pembahasan dari latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat, serta sistematika penulisan.

BAB II : Adalah bab yang membahas kajian pustaka mengenai Definisi penalaran moral, Tahapan-tahapan penalaran moral, faktor-faktor yang mempengaruhi penalaran moral, definisi perilaku bullying, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying, definisi santri, pondok pesantren, kerangka berpikir dan keterkaitan antara ketiganya, serta hipotesis.

BAB III : Adalah bab metodologi penelitian yang didalamnya mencakup jenis penelitian, subjek penelitian, teknik pengambilan sample, metode dan instrument penelitian, prosedur penelitian, teknik pengolahan dan analisa data.

BAB IV : Berisi tentang hasil penelitian, yaitu gambaran umum subjek penelitian, pelaksanaan penelitian, dan analisis data.

BAB V : Berisi kesimpulan yang mengemukakan uraian tentang pernyataan mengenai hasil penelitian sebagai jawaban atas tujuan dan masalah penelitian. Kemudian dilanjutkan diskusi dan saran.


(34)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Bullying

Kamus Marriem Webster menjelaskan bully sebagai to treat abusively (perlakuan secara tidak sopan) atau to affect by means of force or coercion (mempengaruhi dengan paksaan dan kekuatan).

(www.e-psikologi.com).

Sullivan (2005) memberikan definisi bullying sebagai berikut: Bullying is a negative and often aggressive or manipulative act or series of acts by one or more people against another person or people usually over a period of time. it is abusive and is based on imbalance of power.

Bullying adalah tindakan negatif, yang bersifat agresif atau manipulatif dalam rangkaian tindakan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain. Biasanya selama periode waktu tertentu yang didasarkan pada ketidakseimbangan kekuatan.

Menurut Coloroso (2007) Penindasan atau Bullying adalah aktivitas sadar, disengaja, dan keji yang dimaksudkan untuk melukai, menanamkan ketakutan melalui ancaman agreasi lebih lanjut, dan menciptakan teror. Apakah penindasan ini direncanakan lebih dulu atau terjadi tiba-tiba saja, nyata atau tersembunyi, dihadapan anda atau dibelakang punggung anda, mudah diidentifikasi atau


(35)

terselubung dibalik pertemanan yang tampak, dilakukan oleh seorang anak atau sekelompok anak.

Sedangkan menurut Lipkins (2008) bullying atau penindasan adalah tindakan penyerangan dengan sengaja yang tujuannya melukai korban secara fisik atau psikologis, atau keduanya.

Istilah bullying diilhami dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti “banteng” yang suka menanduk. Pihak pelaku bullying biasa disebut bully. Sedangkan pengertian Bullying itu sendiri adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang/kelompok (SEJIWA, 2008).

Menurut Sullivan (2001), bullying mengandung unsur-unsur berikut : 1. Dimaksudkan untuk merugikan

2. Ketidakseimbangan kekuatan 3. Terorganisasi dan sistematis

4. Dilakukan berulang, terjadi selama periode waktu tertentu

5. Kekerasan yang dialami oleh korban bullying dapat bersifat eksternal (fisik) dan internal (psikologis).

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa perilaku Bullying merupakan perilaku kekerasan yang sistematis dilakukan oleh senior terhadap juniornya dilakukan secara berulang-ulang dan dalam periode waktu tertentu. Bentuk dari perilaku Bullying dapat berupa fisik, psikologis, baik verbal maupun non verbal, atau gabungan dari keduanya.


(36)

Selanjutnya Coloroso (2007) menambahkan ada empat tanda-tanda penindasan :

1.Ketidak seimbangan kekuatan: penindas bisa saja orang yang lebih tua, lebih besar, lebih kuat, lebih mahie secara verbal, lebih tinggi dalam status sosial, berasal dari ras yang berbeda, atau tidak berjenis kelamin sama. Sejumlah besar anak yang berkumpul bersama-sama untuk menindas dapat menciptakan ketidakseimbangan. Penindasan bukan persaingan antar saudara kandung dan bukan pula perkelahian yang melibatkan dua pihak yang setara.

2.Niat untuk mencederai: penindasan berarti menyebabkan kepedihan emosional dan/atau luka fisik, memerlukan tindakanuntuk dapat melukai, dan menimbulkan rasa senang di hati sang penindas saat menyaksikan luka tersebut. Tidak ada kecelakaan atau kekeliruan, tidak ada keseleo lidah atau godaan yang main-main, tidak ada kaki yang salah tempat, tidak ada ketidaksengajaan dalam pengucilan.

3.Ancaman agresi lebih lanjut: baik pihak penindas maupun pihak yang tertindas mengetahui bahwa penindasan dapat dan kemungkinan akan terjadi kembali. Penindasan tidak dimaksudkan sebagai peristiwa yang hanya terjadi sekali saja.

Ketika eskalasi penindasan meningkat tanpa henti, elemen keempat muncul: 4.Teror: penindasan adalah kekerasan sistematik yang digunakan untuk

mengintimidasi dan memelihara dominasi. Terror yang menusuk tepat dijantung korban penindasan bukan hanya merupakan sebuah cara untuk mencapai tujuan penindasan, terror itulah yang menjadi tujuan penindasan. Ini


(37)

bukanlah suatu insiden agresi sekali saja yang dikeluarkan oleh kmarahan karena sebuah isu tertentu, bukan pula tanggapan impulsive atas suatu celaan.

Para penindas (bullies) biasanya bertindak sendirian atau dalam kelompok kecil dan memilih orang-orang yang mereka anggap rentan untuk mereka jadikan korban. Dan biasanya menginginkan sesuatu bisa berupa uang, bekal makan seorang siswa, jawaban pekerjaan rumah, atau mungkin cuma perhatian. Atau mungkin penindas bertingkah hanya untuk memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, dengan demikian mereka menandaskan status sebagai “jagoan” (Lipkins, 2008). Pihak yang kuat di sini bukan saja kuat secara fisik, tapi juga kuat secara mental (SEJIWA, 2008).

Dalam dunia anak-anak, bullying biasanya terjadi karena adanya kerjasama yang bagus dari ketiga pihak, yang oleh Coloroso (2007), disebutnya dengan istilah tiga mata rantai penindasan. Pertama, bullying terjadi karena ada pihak yang menindas. Kedua, ada penonton yang diam atau mendukung, entah karena takut atau karena merasa satu kelompok. Ketiga, ada pihak yang dianggap lemah dan menganggap dirinya sebagai pihak yang lemah (takut bilang sama guru atau orangtua, takut melawan, atau malah memberi permakluman). Atas kerjasama ketiga pihak itu biasanya praktek bullying sangat sukses dilakukan oleh anak yang merasa punya punya power atau kekuatan. Dari penjelasan sejumlah pakar tentang korban bullying, umumnya para korban itu memiliki ciri-ciri "ter", misalnya: terkecil, terbodoh, terpintar, tercantik, terkaya, dan seterusnya.


(38)

Abraham Maslow (1970, dalam Sullivan, 2001) mengembangkan teori bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sebelum mencapai tahapan kebutuhan selanjutnya. Teori Maslow berguna untuk menjelaskan beberapa kemungkinan efek bullying. Jika anak-anak diintimidasi, kebutuhan rasa aman mereka belum dipenuhi. Sebaliknya, mereka berusaha untuk menghindari perilaku bullying atau melarikan diri dengan mencari tempat aman di sekolah dan masyarakat. jika mereka secara emosional mendapat intimidasi, dikucilkan atau terisolasi, maka mereka sulit untuk mendapatkan teman di sekolah.

2.2. Jenis-jenis Perilaku Bullying

Coloroso (2007) menyebutkan terdapat tiga jenis penindasan: verbal, fisik, dan relasional. Pada dasarnya secara substansi, masing-masing dapat menimbulkan masalah sendiri-sendiri. Namun ketiganya kerap membentuk kombinasi untuk menciptakan tekanan yang lebih kuat.

2.2.1. Penindasan Verbal

Kekerasan secara verbal mungkin adalah bentuk penindasan yang paling umum digunakan baik oleh anak perempuan maupun anak laki-laki. Penindasan verbal dapat diteriakan di sekolah dan bercampur dengan hingar-bingar yang terdengar oleh para guru, diabaikan karena hanya dianggap sebagai dialog yang bodoh dan tidak simpatik diantara rekan sebaya. Ketika seorang anak menjadi sasaran lelucon, ia kerap diabaikan oleh yang lain, terutama dalam aktivitas sosial, menjadi yang terakhir dipilih dan menjadi yang pertama dieliminasi (untuk kegiatan tertentu).


(39)

Penindasan verbal dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan baik bersifat pribadi maupun rasial, dan pernyataan berupa ajakan-ajakan seksual atau pelecehan seksual. Selain itu penindasan verbal dapat berupa perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon yang kasar, e-mail yang mengintimidasi, surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji dan keliru, serta gosip bisa menjadi bentuk penindasan.

2.2.2. Penindasan Fisik

Yang termasuk jenis penindasan ini adalah memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar, meludahi, menekuk anggota tubuh anak yang ditindas hingga posisi yang menyakitkan, dan merusak serta menghancurkan pakaian dan barang-barang milik anak yang tertindas. Semakin kuat dan dewasa sang penindas, semakin berbahaya jenis penindasan ini, bahkan walaupun tidak dimaksudkan untuk menciderai secara serius.

2.2.3. Penindasan Relasional/Psikologis

Jenis penindasan ini paling sulit dideteksi dari luar. Penindasan relasional adalah pelemahan harga diri si korban penindasan secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian, atau penghindaran. Penghindaran suatu tindakan penyingkiran adala alat penindasan yang terkuat. Anak yang digunjingkan mungkin tidak mengetahui gosip tersebut, namun tetap akan mengalami efeknya.

Penindasan relasional dapat digunakan untuk mengasingkan atau menolak seorang teman atau secara sengaja untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat mencakup sikap-sikap tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata,


(40)

helaan nafas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar.

Menurut Smith (1999, dalam Sullivan, 2001) perilaku bullying anak laki-laki dan perempuan berbeda. Anak laki-laki-laki-laki lebih cenderung melakukan secara langsung yaitu bullying secara fisik, dan anak perempuan lebih cenderung melakukan secara tidak langsung, seperti menyebarkan gosip tentang korban.

2.3. Komponen-komponen dalam Perilaku Bullying

Pada dasarnya perilaku bullying merupakan sebuah situasi yang tercipta ketika tiga komponen atau karakter bertemu di satu tempat, yaitu pelaku bullying, korban bullying, dan penonton/saksi (Coloroso, 2007). Situasi ini bagaikan sebuah pertunjukan dengan tiga aktor yang memainkan perannya masing-masing.

2.3.1. Pelaku Bullying

Inilah aktor utama perilaku bullying. Dialah sang agresor, provokator, sekaligus inisiator situasi bullying. Si pelaku bullying umumnya seorang anak atau murid yang berfisik besar dan kuat, namun tidak jarang juga ia bertubuh kecil atau sedang namun memiliki dominasi psikologis yang besar di kalangan teman-temannya. Selain itu pelaku bullying umumnya temperamental. Mereka melakukan bullying terhadap orang lain sebagai pelampiasan kekesalan dan kekecewaannya. Ada kalanya karena mereka merasa tidak punya teman, sehingga menciptakan situasi bullying supaya memiliki pengikut dan kelompok sendiri. Atau mereka takut menjadi korban bullying, sehigga menggambil inisiatif sebagai pelaku bullying untuk keamanan sendiri (SEJIWA, 2008).


(41)

Menurut Sullivan (2005), karakteristik dari pelaku bullying adalah mereka tahu bagaimana menggunakan kekuasaan, dan menggunakan kepemimpinan yang dimiliki sebagai kekuatan untuk menindas.

Menurut Lipkins (2008), mereka adalah para anggota senior kelompok atau anggota-anggota yang punya kedudukan penting karena besar badan, kedudukan, kemampuan, atau kepribadian. Kebanyakan dari mereka menjadi pelaku karena terbentuk, bukan karena berbakat. Mereka terbentuk karena pernah menjadi korban.

2.3.2. Korban Bullying

Korban bullying bukanlah sekedar pelaku pasif dari situsi bullying. Ia turut berperan serta memelihara dan melestarikan situasi bullying dengan bersikap diam. Sang korban umumnya tidak berbuat apa-apa dan membiarkan saja perilaku bullying berlangsung padanya, karena ia tidak memiliki kekuatan diri untuk membela diri atau melawan. Sikap diam sang korban ini tentunya beralasan. Alasan yang utama, mereka berpikir bila melaporkan kegiatan bullying yang menimpanya tidak akan menyelesaikan masalah. Karena jika guru menindak pelaku bullying, hasilnya justru akan memperparah situasi bullying pada sang korban.

Selain itu, anak-anak bisa jadi telah mempunyai sistem nilai bahwa dengan mengadukan orang lain adalah wujud sifat kekanak-kanakan, manja, lemah dan sama sekali tidak dewasa. Bagi sang korban, lebih baik menanggung beban penderitaan ini daripada harus melanggar tata nilai di kalangan anak-anak dan mengadukan anak lain.


(42)

Akibatnya, para korban bullying merasa terisolasi dan dikucilkan oleh kelompok, teman-teman, dan hubungan sosialnya, tetapi juga menyebabkan mereka merasa tidak mampu dan tidak menarik. Orang-orang yang telah diintimidasi sering mengalami kesulitan membentuk hubungan yang baik, dan cenderung sulit untuk hidup secara normal (Sullivan, 2001).

2.3.3. Saksi Bullying/Penonton

Menurut Lipkins (2008), Penonton adalah orang-orang yang diterima kelompok dan sudah dilantik menjadi anggota. Dalam beberapa kasus, mereka yang juga baru bergabung dalam kelompok bisa menjadi penonton, atau beberapa anggota senior bisa menjadi penonton dengan tipe yang beraneka ragam.

Lipkins (2008) menambahkan, pada dasarnya ada dua jenis penonton, yakni aktif dan pasif. Saksi aktif biasanya ikut berseru dan turut menertawakan korban bullying yang tengah dianiaya, atau bisa jadi telah menjadi anggota kelompok yang di pimpin oleh pelaku bullying. Atau hanya sekedar ikut-ikutan untuk menyelamatkan dirinya daripada menjadi korban atau nalurinya untuk bergabung dengan pelaku bullying.

Saksi pasif yang juga berada di arena bullying lebih memilih diam karena alasan yang wajar yaitu takut. Jika ia melakukan intervensi, atau melaporkan kepada orang dewasa, ia tidak mau mengambil resiko sebagai korban pelaku bullying selanjutnya. Situasi seperti ini biasanya menumpulkan empati para saksi demi keselamatan dirinya.

Ada banyak alasan mengapa beberapa anak menggunakan kecakapan dan bakat mereka untuk menindas orang lain. Para penindas tidak muncul dari rahim


(43)

sebagai penindas, tapi temperamen sejak lahir merupakan sebuah faktor. Namun ada faktor lain, yaitu apa yang dikatakan oleh Bronfenbrenner (dalam Coloroso, 2007), seorang ilmuwan sosial, sebagai pengaruh lingkungan: kehidupan di rumah si penindas, kehidupan di sekolah, masyarakat, serta budaya (termasuk media) yang mengizinkan atau mendorong perilaku semacam itu. Satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa para penindas diajari untuk menindas. Penindasan bukanlah tentang kemarahan, tetapi juga bukan konflik. Penindasan adalah sebuah penghinaan, yaitu sebuah perasaan tidak suka yang kuat terhadap seseorang yang dianggap tidak berharga, lemah, atau tidak layak, mendapatkan penghargaan.

Dengan kata lain, penindasan adalah arogansi yang terwujud dalam tindakan. Anak-anak yang menindas memiliki semacam hawa superioritas yang kerap merupakan sebuah topeng untuk menutupi luka yang dalam dan ketidakmampuannya. Mereka berdalih bahwa superioritas yang dimilikinya membolehkan mereka melukai seseorang yang mereka anggap hina, padahal ini merupakan dalih untuki merendahkan seseorang sehingga mereka dapat merasa lebih unggul (Coloroso, 2007).

2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying

Kebanyakan perilaku bullying berkembang dari berbagai faktor lingkungan yang kompleks. Tidak ada faktor tunggal menjadi penyebab munculnya bullying. Faktor-faktor penyebabnya antara lain:


(44)

2.4.1. Faktor Internal

Secara internal pada dasarnya perilaku bullying muncul dari penalaran moral anak yang rendah. Anak yang melakukan bullying pada temannya karena anak ingin mendapatkan penghargaan diri dari orang lain dan anak belum memahami suatu perbuatan benar atau salah berdasarkan norma moral. Sebagaimana pendapat Budiningsih (2004) mengatakan bahwa penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Penalaran moral ini yang menjadi indikator dari tahapan kematangan moral seseorang.

Adanya penalaran moral anak tersebut dapat mengakibatkan anak memiliki kemampuan untuk menilai tindakan bullying yang menyakiti orang lain sebagai perbuatan yang tidak boleh di lakukan, sehingga anak dengan penalaran moral yang tinggi tidak melakukan perilaku bullying. Akan tetapi bagi anak yang kurang memiliki penalaran moral, tidak memikirkan setiap tindakannya apakah mengandung nilai-nilai yang baik atau buruk. Anak tersebut tidak mau tahu apakah perbuatannya akan melukai temannya atau tidak. Sebagaimana yang di katakan Bukhim (2008) bahwa perilaku menyimpang yang dilakukan anak disebabkan oleh minimnya pemahaman anak terhadap nilai diri yang positif. Akibatnya anak tersebut memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku bullying.


(45)

2.4.2. Faktor Eksternal a. Faktor Keluarga

Anak yang melihat orang tuanya atau saudaranya melakukan bullying sering akan mengembangkan perilaku bullying juga. Ketika anak menerima pesan negatif berupa hukuman fisik di rumah, mereka akan mengembangkan konsep diri dan harapan diri yang negatif, yang kemudian dengan pengalaman tersebut mereka cenderung akan lebih dulu meyerang orang lain sebelum mereka diserang. Bullying dimaknai oleh anak sebagai sebuah kekuatan untuk melindungi diri dari lingkungan yang mengancam.

b. Faktor Sekolah

Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan masukan yang negatif pada siswanya misalnya, berupa hukuman yang tidak membangun

sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah.

c. Faktor Kelompok Sebaya

Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman sekitar rumah kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Kadang kala beberapa anak melakukan bullying pada anak yang lainnya dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.


(46)

2.5. Pengertian Penalaran Moral

Moral berasal dari kata latin mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan (Gunarsa, 1986 dalam Ali, Asrori, 2009).

Sedangkan menurut Hurlock (1981) moral berasal dari bahasa latin “Mores”, yang berarti budi bahasa, adat istiadat, dan cara kebiasaan rakyat. Perilaku moral merupakan perilaku di dalam konformitas dengan suatu tata cara moral kelompok sosial.

Menurut Yusuf (2002), Istilah moral dari bahasa Latin “mos” (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai, atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Seseorang dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.

Moral menurut Rogers (1986, dalam Ali, Asrori, 2009) merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. moral merupakan standar baik dan buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial.

Kohlberg menegaskan bahwa moral merupakan bagian dari penalaran. Maka ia pun menamakannya penalaran moral. Dengan demikian orang yang bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang mendasarkan tindakannya atas penilaian baik buruknya sesuatu ( dalam Lickona, 1976, dalam Sarwono, 2005).


(47)

Menurut Kohlberg perkembangan moral bersangkut-paut dengan bertambahnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam lingkungan hidupnya atau dalam masyarakatnya. Seseorang telah memperkembangkan aspek moral, bilamana ia telah menginternalisasikan atau telah mempelajari aturan-aturan atau kaidah-kaidah kehidupan di dalam masyarakat dan bisa memperhatikan dalam perilaku yang terus-menerus atau menetap (Gunarsa, 1997)

Penalaran moral berhubungan dengan peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang dilakukan seseorang dalam interaksinya dengn orang lain, yang diteliti dalam 3 domain (Santrock : 2003) :

1. Bagaimana remaja mempertimbangkan dan memikirkan peraturan-peraturan melakukan tingkah laku etis.

2. Bagaimana remaja bertingkah laku dalam situasi moral yang sebenarnya? 3. Bagaimana perasaan remaja mengenai perasaan moral?

Dari beberapa pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud penalaran moral adalah pertimbangan individu mengenai baik dan buruk suatu hal untuk memperkuat aturan, norma atau nilai etis yang dianut yang diterapkan dalam berbagai situasi yang melibatkan proses kognitif.

2.5.1. Teori Penalaran Moral Piaget

Piaget membagi perkembangan penalaran moral menjadi dua tahap, yaitu:

1. Heteronomousmorality ialah tahap pertama perkembangan moral Piaget, yang terjadi kira-kira umur 4 – 7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan


(48)

sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh diubah, yang lepas dari kendali manusia.

2. Autonomous morality ialah tahap kedua perkembangan moral Piaget, yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun dan lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. Anak usia 7 -10 tahun berada di dalam suatu transisi diantara dua tahap, menunjukkan ciri dari keduanya.

Pemikir heteronomous juga yakin akan keadilan yang immanen (immanent justice), yakni suatu konsep bila aturan dilanggar, maka hukuman akan dikenakan segera. Anak-anak kecil yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman. Oleh karena itu, anak-anak kecil seringkali melihat disekitar dengan kuatir setelah melakukan suatu pelanggaran, sambil mengharapkan hukuman yang tidak terelakkan. Anak-anak yang lebih tua yakni pemikir yang otonomous, menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi bila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan dan bahwa, hukuman tidak terelakkan (Santrock, 2002).

Piaget berpendapat bahwa, seraya berkembang anak-anak juga menjadi lebih canggih dalam berpikir tentang persoalan-persoalan sosial, khususnya tentang kemungkinan-kemungkinan dan kondisi-kondisi kerjasama. Piaget yakin bahwa pemahaman sosial ini terjadi melalui relasi-relasi teman sebaya yang saling memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya, dimana semua anggota


(49)

memiliki kekuasaan dan status yang sama, rencana-rencana dirundingkan dan di kordinasikan, dan ketidaksetujuan diungkapkan sehingga pada akhirnya disepakati. Relasi orang tua–anak, dimana orang tua memiliki kekuasaan sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter. (Santrock, 2002).

2.5.2. Teori Psikoanalisa Freud

Freud menyebutkan bahwa struktur kepribadian seseorang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu id, ego, dan super ego. Super ego merupakan cabang moral dan salah satu dari tiga struktur utama kepribadian. Terbentuk ketika anak mengatasi konflik Oedipus dan mengidentifikasi dirinya dengan orang tua yang berjenis kelamin sama di awal masa kanak-kanak. Melalui identifikasi anak-anak dan remaja memasukan standar orang tua mereka terhadap apa yang benar dan apa yang salah. Individu menyesuaikan diri mereka dengan standar masyarakat untuk menghindari rasa bersalah.

Dalam pandangan Freud, Super ego terdiri dari dua komponen utama yaitu ego ideal dan concience (kata hati). Ego ideal merupakan persepsi manusia mengenai sosok manusia yang didambakan. Seseorang akan memberikan reward dengan memunculkan rasa bangga, dan nilai pribadi bila ia melakukan tindakan yang sesuai dengan standar moral. Sementara concience (kata hati) akan menghukum individu tersebut bila ia melakukan tindakan yang tidak bermoral, dengan cara membuat dirinya merasa bersalah dan tidak berharga (Santrock, 2003).


(50)

2.5.3. Teori Erikson

Erikson (dalam Santrock, 2003) mengemukakan bahwa ada tiga tahap perkembangan moral yaitu pembelajaran moral yang spesifik di masa anak-anak, perhatian terhadap ideologi pada masa remaja, dan konsolidasi etis di masa dewasa. Menurut Erikson selama masa remaja individu melakukan pencarian identitas. Bila remaja dikecewakan oleh keyakinan moral dan keagamaan yang mereka peroleh selama masa kanak-kanak, mereka merasa kehilangan tujuan dan merasa hidup mereka kosong setidaknya untuk sementara. Hal ini dapat membawa remaja ke usaha mencari ideologi yang akan memberikan tujuan dalam hidup mereka. Agar suatu ideologi dapat diterima harus ada bukti nyata dan haruslah sesuai dengan kemampuan remaja untuk berpikir logis. Bila orang lain juga memiliki ideologi yang sama maka perasaan sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakatpun terbentuk. Bagi Erikson ideologi berperan sebagai pelindung identitas selama masa remaja karena ideologi memberikan perasaan adanya tujuan, membantu menghubungkan masa kini dengan masa depan, dan memberi arti bagi tingkah laku.

2.5.4. Teori Kohlberg

Menurut teori Kohlberg (dalam Santrock, 2002) telah menekankan bahwa

perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana


(51)

tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:

” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”

Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri?. Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap.


(52)

Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.

Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :

Tingkat satu : Penalaran Pra-konvensional

Penalaran Pra-konvensional (preconventional reasoning) adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral. Penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) atau hukuman eksternal.

Tahap 1. Orientasi hukuman dan ketaatan (punishment and obedience

orientation) ialah tahap pertama dalam teori perkembangan Kohlberg. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat.

Tahap 2. Individualisme dan tujuan (individualism and purpose) ialah tahap

kedua dalam perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.


(53)

Tingkat dua: Penalaran Konvensional

Penalaran Konvensional (conventional reasoning) adalah tingkat kedua atau menengah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini internalisasi individual ialah menengah. Seseorang mentaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar orang lain (eksternal), seperti orang tua atau aturan masyarakat.

Tahap 3. Norma-norma interpersonal (interpersonal norms) ialah tahap ketiga

dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orangtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oleh orangtuanya sebagai “perempuan yang baik” atau seorang “laki-laki yang baik”.

Tahap 4. Moralitas sistem sosial (social system morality) ialah tahap keempat

dari perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini pertimbangan-pertimbangan didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.

Tingkat Tiga: Penalaran Pasca-konvensional

Penalaran Pasca-Konvensional (postconventional reasoning) ialah tingkat tertinggi dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternaltif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.


(54)

Tahap 5. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual (community rights

versus individual rights) ialah tahap kelima dalam perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, seseorang memahami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Seseorang menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat, tetapi juga mengetahui bahwa hukum dapat diubah. Seseorang percaya bahwa beberapa nilai, seperti kebebasan, lebih penting daripada hukum.

Tahap 6. Prinsip-prinsip etis universal (universal ethical principles) ialah tahap

keenam dan tertinggi dalam perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi.

Kohlberg percaya bahwa seluruh tingkatan dalam tahap perkembangannya terjadi secara berurutan sesuai dengan usia. Sebelum mencapai usia 9 tahun kebanyakan penalaran anak dalam menghadapi dilema moral dilakukan dengan cara yang pra-konvensional. Pada awal masa remaja, penalaran mereka dilakukan dengan cara yang lebih konvensional. Kebanyakan penalar remaja berada pada tahap 3, dengan menunjukkan adanya ciri-ciri pada tahap 2 dan 4. pada awal masa dewasa, sejumlah kecil individu berpikir dengan cara pasca konvensional (Santrock, 2002).

Akan tetapi tahap pasca-konvensional tidak terjadi pada semua remaja, tetapi hanya terjadi pada sebagian dari mereka. Mereka yang mencapai tahap ini


(55)

mendasarkan penilaian terhadap aturan harapan masyarakat pada prinsip-prinsip moral umum sesuai dengan tingkat 5 dan 6 (Sarwono, 2008).

Skema 2.1

Tahap Perkembangan Moral menurut Kohlberg (Gunarsa, 1997) :

Tingkat Tahap Ciri Khusus

Tingkat I : Pra-konvensional

Tahap 1. Orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman.

Tahap 2. Relativistik hedonism

Harus patuh agar tidak di hukum. Ada faktor pribadi yang relatif dan prinsip kesenangan.

Tingkat II : Konvensional

Tahap 3. Orientasi mengenai anak yang baik.

Tahap 4. Mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas.

Agar menjadi anak yang baik, perbuatannya harus diterima oleh masyarakat.

Menyadari kewajibannya untuk ikut melaksanakan norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya ada norma-norma.

Tingkat III : Pasca-konvensional

Tahap 5. terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial.

Tahap 6. Prinsip universal.

Perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Berbuat baik agar diperlakukan baik.

Berkembangnya norma etik (kata hati) untuk menentukan perbuatan moral dengan prinsip uiversal.

Menurut Kohlberg (1995) dalam penelitian empirisnya memperlihatkan bahwa tidak semua orang akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas kecil yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan kemudian angka inipun masih diragukannya. Diakui pula, suatu saat orang dapat jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebutnya sebagai “regresi fungsional”.


(56)

Kohlberg menambahkan, semua tahap-tahap perkembangan tidak ditentukan oleh pendapat atau pertimbangan-pertimbangan khusus, melainkan oleh cara berpikir mengenai soal-soal dan dasar-dasar moral untuk mengadakan pilihan. Tahap 1 dan 2 yang khas bagi anak-anak muda dan anak-anak nakal, dilukiskan sebagai tahap “pra-moral” sebab semua putusan sebagian besar dibuat atas dasar kepentingan diri dan pertimbangan-pertimbangan material. Tahap 3 dan 4 yang berorientasi pada kelompok merupakan tahap “konvensional”, pada tingkat inilah kebanyakan orang dewasa bertingkah laku. Dua tahap akhir yang mengacu pada “prinsip” merupakan ciri khas dari 20 hingga 25 persen populasi orang dewasa, dengan kemungkinan hingga 5 hingga 10 persennya mencapai tahap 6.

2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penalaran Moral.

Menurut Kohlberg (1995) faktor-faktor utama yang didapat dari pengalaman bagi perkembangan moral, tampaknya berupa jumlah dan keanekaragaman pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan untuk berjumpa dengan sudut pandang yang lain.

Senada apa yang telah disebutkan Kohlberg, Gunarsa (1989) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral erat kaitannya dengan proses kemampuan menentukan sesuatu peran dalam pergaulan dan menjalankan peran tersebut. Kemampuan berperan memungkinkan individu menilai berbagai situasi sosial dari berbagai sudut pandangan. Dengan perkembangan moral, cara berperan bertambah luas sehingga semakin


(57)

bertambahnya peran yang di pegang, semakin banyak pengalaman yang merangsang perkembangan moral.

2.6.1. Perubahan Konsep Moral

Menurut Hurlock, (1980) salah satu tugas penting yang harus diakuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus dimasa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya kedalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Tidak kalah pentingnya, remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orangtua dan guru.

Hurlock (1980) menambahkan, ada dua kondisi yang membuat penggantian konsep moral khusus ke dalam konsep yang berlaku umum tentang benar dan salah yang lebih sulit daripada yang seharusnya

1. Kurangnya bimbingan dalam mempelajari prinsip pokok tentang benar dan salah, orangtua dan guru jarang menekankan dalam usaha pembinaan remaja untuk melihat hubungan antara prinsip khusus yang dipelajari sebelumnya dengan prinsip umum yang penting untuk mengendalikan perilaku dalam kehidupan orang dewasa.

2. Kondisi kedua yang membuat sulitnya penggantian konsep moral yang berlaku khusus dengan konsep moral yang berlaku umum berhubungan dengan jenis disiplin yang diterapkan dirumah dan disekolah. Karena


(58)

orangtua dan guru mengasumsikan bahwa remaja mengetahui apa yang benar, maka penekanan kedisiplinan hanya terletak pada pemberian hukuman pada perilaku salah yang dianggap sengaja dilakukan. Penjelasan mengenai alasan salah tidaknya suatu perilaku jarang ditekankan dan bahkan jarang memberi ganjaran bagi remaja yang berperilaku benar.

2.6.2. Pembentukan Kode Moral

Selanjutnya Hurlock (1980) menjelaskan, ketika memasuki masa remaja, anak-anak tidak lagi begitu saja menerima kode moral dari orangtua, guru, bahkan teman-teman sebaya. Sekarang ia sendiri ingin membentuk kode moral sendiri berdasarkan konsep benar dan salah yang telah diubah dan diperbaikinya agar sesuai dengan tingkat perkembangan yang lebih matang dan telah dilengkapi dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dipelajari dari orangtua dan gurunya. Beberapa remaja bahkan melengkapi kode moral mereka dengan pengetahuan yang diperoleh dari pelajaran agama.

Pembentukan kode moral terasa sulit bagi remaja karena ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan salah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ketidakkonsistenan membuat remaja bingung dan terhalang dalam proses pembentukan kode moral yang tidak hanya memuaskan tetapi akan membimbingnya untuk memperoleh dukungan sosial. Bagi anak-anak berbohong merupakan hal yang buruk, namun bagi banyak remaja “berbohong sosial” atau berbohong untuk menghindari kemungkinan menyakikan hati orang lain kadang-kadang dibenarkan (Hurlock, 1980).


(59)

2.7. Pondok Pesantren

Menurut Qomar (2005), Pesantren adalah suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen.

Dhofier (1994, dalam Qomar, 2005) memandang membagi pesantren menjadi dua kategori yaitu pesantren salafi dan khalafi. Pesantren salafi tetap mengajarkan pengajaran kitab-kitab islam klasik sebagai inti pendidikannya. Penerapan sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorongan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Sedang pesantren khalafi telah memasukan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di lingkungan pesantren.

Disamping itu Dhofier juga membagi berdasarkan jumlah santri dan pengaruhnya. Ada pesantren kecil, menengah dan besar. Pesantren kecil biasanya mempunyai santri mempunyai santri di bawah seribu dan pengaruhnya terbatas pada tingkatan kabupaten. Pesantren menengah biasanya mempunyai seribu sampai dua ribu santri, yang mempunyai pengaruh dan menarik santri-santri dari berbagai kabupaten. Pesantren besar biasanya memiliki lebih dari dua ribu santri yang berasal dari berbagai kabupaten dan propinsi.

Pesantren pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan lain seperti sekolah. Bedanya, di pesantren para pelajar disediakan tempat untuk menginap. Tindak kekerasan di pesantren muncul karena para santri dalam jumlah besar tinggal di satu tempat. Dalam satu kamar kecil bisa dihuni oleh banyak


(60)

santri. Mereka beraktivitas, mandi, mencuci, makan, dan tidur bersama. Mulai dari santri junior maupun senior.

Terlebih untuk masuk pesantren belum ada test masuk. Sehingga semua orang bebas masuk asal membayar biaya administrasi. Anak-anak dari keluarga broken home dan anak-anak nakal pun seringkali dititipkan ke pesantren agar insaf. Sehingga para santri dan santriwati bermasalah ini kadangkala mempengaruhi teman-temannya.

Ada dugaan bahwa pengelolaan konflik tidak penting di pesantren, mengingat secara demonstratif di lembaga pendidikan tersebut tidak nampak adanya konflik. Hal itu karena semua hal yang terkait dengan pesantren tunduk pada inisiatif dan kebijakan Kiyai. Akan tetapi perlu dicatat bahwa di lingkungan pendidikan apapun sebenarnya akan ditemukan dua macam konflik. Yaitu konflik yang nyata (manifested conflict) dan konflik tersembunyi (hidden or latent conflict) (Mastuki dkk, 2004).

Namun begitu, pada dasarnya peran kependidikan menurut Haedari (2007), pesantren tidak terhenti pada mobilitas vertikal saja (materi-materi agama), tetapi juga berkembang hingga memasuki wilayah mobilitas horizontal (kesadaran sosial).

Banyaknya nilai-nilai keagamaan yang di tanamkan di pesantren hendaknya mampu menciptakan kepribadian-kepribadian santri yang sesuai dengan standar moral yang berlaku di masyarakat.


(61)

2.8. Kerangka Berpikir

Pesantren merupakan salah satu model pendidikan yang sudah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan pesantren merupakan cikal bakal dari sistem pendidikan Islam yang ada di tanah air ini. Namun begitu, peristiwa bullying di pesantren terkadang bisa dilihat tapi sulit dibuktikan karena, sering diselesaikan secara kekeluargaan. Lantas mengapa praktik tersebut sering terjadi dilembaga yang bertugas mencetak pada agamawan?

Tindakan bullying ini dapatdiartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Bentuknya bisa bersifat fisik seperti memukul, menampar, dan memalak. Bersifat verbal seperti memaki, menggosip, dan mengejek, serta psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasi (Coloroso, 2007).

Akibatnya, para korban bullying merasa terisolasi dan dikucilkan oleh kelompok, teman-teman, dan hubungan sosialnya, tetapi juga menyebabkan mereka merasa tidak mampu dan tidak menarik. Orang-orang yang telah diintimidasi sering mengalami kesulitan membentuk hubungan yang baik, dan cenderung sulit untuk hidup secara normal (Sullivan, 2001).

Dengan banyaknya fenomena perilaku remaja melakukan tindak kekerasan atau bullying, menimbulkan pertanyaan mengenai alasan, pola pikir dan nilai-nilai moral yang mereka anut sehingga muncul perilaku tersebut. Terlebih mereka hidup di lingkungan pondok pesantren.


(62)

Menurut teori Kohlberg perkembangan moral manusia terdiri dari tiga tingkat. Yaitu tingkat pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Masing-masing tingkat diikuti dengan dua tahap perkembangan moral (Santrock, 2002).

Kohlberg menambahkan bahwa, moralitas pasca-konvensional seharusnya dicapai selama masa remaja. dalam tahap ini individu mempunyai keyakinan moral dan dapat menyesuaikan diri dengan standar sosial yang diinternalisasikan dengan didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain (Hurlock, 1980).

Hurlock menambahkan, bahwa remaja diharapkan mampu mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus dimasa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya kedalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Remaja yang tidak berhasil melakukan peralihan ke dalam tahap moralitas dewasa, maka tugas tersebut di selesaikan pada awal masa dewasa. Sehingga mereka membentuk kode moral berdasarkan tahapan konsep moral sebelumnya yang secara sosial belum tentu dapat di terima.

Menurut Yusuf (2002), Proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur yang linier, lurus atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut, karena banyak faktor yang menghambatnya. Ini artinya bahwa dengan masih adanya remaja pada tingkat pra-konvensional atau konvensional, maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan dekadensi moral termasuk didalamnya perilaku bullying.


(63)

Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat penalaran moral santri, maka semakin rendah perilaku bullyingnya dan semakin rendah tingkat penalaran moral santri, maka semakin tinggi perilaku bullyingnya.

Skema 2.2

Ke g a g a la n me mb e ntuk

ko d e mo ra l Be na r/

Sa la h

Ke g a g a la n me rub a h ko nse p mo ra l

Khusus/ Umum Po nd o k

Pe sa ntre n

Bully ing

Penalaran Moral

No n-Fisik Fisik

Konvensional

Pra-konvensional Pasca-konvensional

Tid a k te rja d i Bully ing

Psiko lo g is

2.9. Hipotesa Penelitian

a. Hipotesis Nihil (Ho)

“Tidak ada hubungan yang signifikan antara Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying

b. Hipotesis Alternatif (Ha)

“Ada hubungan yang signifikan antara Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying


(64)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Tipe Penelitian

Penelitian ini mengkaji hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying pada santri. Berdasarkan pendekatan penelitian, peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menjelaskan, meramalkan dan/atau mengontrol fenomena melalui pengumpulan data terfokus dari data numerik (Santoso, 2000).

Pada penelitian kuantitatif ini menggunakan metode deskriptif dengan jenis penelitian korelasional (descriptive correlational study), sebab peneliti ingin mencari hubungan antara penalaran moral dengan perilaku bullying. Menurut Suryabrata (2006), penelitian korelasional adalah penelitian yang bertujuan menyelidiki sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain berdasarkan koefisien korelasi. Dengan penelitian korelasional, pengukuran terhadap beberapa variabel serta saling hubungan antara variabel-variabel tersebut dapat dilakukan secara serentak dalam kondisi yang realistik. Hal ini juga memungkinkan bagi peneliti untuk memperoleh informasi mengenai taraf hubungan yang terjadi, bukan mengenai ada tidaknya efek variabel satu dengan variabel yang lain.


(65)

3.2. Identifikasi dan klasifikasi variabel

Yang menjadi variabel bebas (independence variable) adalah penalaran moral, sedangkan yang menjadi variable terikat (dependence variable) adalah perilaku Bullying.

3.3. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel 3.3.1. Definisi Konseptual

Perilaku Bullying merupakan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap juniornya dilakukan secara berulang-ulang dan dalam periode waktu tertentu. Bentuk dari perilaku Bullying dapat berupa fisik, psikologis, baik verbal maupun non verbal, atau gabungan dari keduanya(Coloroso, 2007).

Penalaran moral adalah pertimbangan individu mengenai baik dan buruk suatu hal untuk memperkuat aturan, norma atau nilai etis yang dianut yang diterapkan dalam berbagai situasi yang melibatkan proses kognitif (Kohlberg, 1995).

3.3.2. Definisi Operasional

Perilaku Bullying adalah skor yang diperoleh dari responden melalui skala perilaku Bullying yang diajukan kepada santriwan dan santriwati tingkat Aliyah (SMA) berdasarkan penilaiannya yang mencakup penindasan secara fisik, penindasan verbal, dan penindasan psikologis.


(1)

LA M PIRA N 1 5 : SKA LA PEN ELITIA N

PENDAHULUAN

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Responden yang terhormat,

Saya adalah mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang melaksanakan tugas skripsi mengenai remaja.

Dalam rangka mengumpulkan data, Saya memohon kesediaan Anda meluangkan waktu untuk menjawab kuesioner ini. Data ini sangat tergantung jawaban Anda yang sejujurnya dan sesuai dengan diri Anda. Bantuan Anda sangat berharga bagi penelitian yang sedang saya lakukan.

Atas segala bantuan dan kerjasama yang Anda berikan, saya ucapkan terima kasih. Hormat saya,

Peneliti

IDENTITAS RESPONDEN

Nama (inisial) : ... Usia : ... Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

Jakarta, September 2010


(2)

Data Diri Responden

1. Usia : ... 2. Jenis Kelamin : L / P 3. Suku : ... 4. Tingkat Pendidikan: ... 5. Masa Kerja : ...

Berikut ini terdapat sejumlah pernyatan. Baca dan pahami dengan baik setiap pernyataan tersebut. Anda diminta untuk mengemukakan apakah pernyataan-pernyataan tersebut sesuai dengan diri Anda, dengan cara memberi tanda silang (X) dalam kotak di depan salah satu pilihan jawaban yang tersedia, yaitu

SS = Sangat Sesuai

S = Sesuai

TS = Tidak Sesuai

STS = Sangat Tidak Sesuai

Setiap orang dapat mempunyai jawaban yang berbeda dan tidak ada jawaban yang di anggap salah, karena itu pilihlah jawaban yang paling sesuai dengan diri Anda.

Contoh :

No Pernyataan STS TS S SS 1

Saya merasakan ketenangan

setelah selesai shalat

X


(3)

Skala Perilaku

Bullying

Pertimbangan No Pernyataan

SS S TS STS 1 Saya akan mendorong adik kelas/teman yang tidak saya sukai,

agar ia tidak mendekati saya.

2 Saya menendang adik kelas/teman karena kesal kepadanya 3 Saya akan memukul adik kelas/teman yang tidak saya sukai, agar

tidak mengganggu saya dan kelompok geng saya

4 Saya merasa berani untuk menampar orang yang tidak saya sukai, ketika bersama teman-teman saya.

5 Saya merasa sangat puas jika bisa memukul/menendang

musuh/teman yang tidak saya sukai di depan teman-teman saya. 6 Bagi saya, mengganggu adik kelas/ teman yang lebih lemah

sama saja sebagai pengecut.

7 Bagi saya, tindakan memukul/menendang, dan menampar teman adalah tindakan diluar batas.

8 Mengancam orang yang tidak saya sukai dengan hal-hal yang membuatnya merasa takut, merupakan hal yang diluar batas. 9 Meski tidak mempunyai uang, saya tidak akan memaksa meminta

uang kepada adik kelas/teman.

10 Bagi saya merusak/atau memeras barang milik orang lain merupakan tindakan kriminal

11 Saya memanggil nama teman/adik kelas saya dengan nama yang jelek

12 Saya mengejek teman-teman lain dengan ejekan yang

menyangkut bentuk tubuh, seperti sebutan ‘gendut/cungkring’. 13 Saya langsung membentak jika adik kelas/teman ada yang

menertawakan kesalahan saya

14 Saya menggertak adik kelas/teman yang tidak saya sukai jika memandang ke arah saya

15 Jika teman-teman mengolok-olok adik kelas/teman, saya ikut bergabung karena menyenangkan

16 Saya selalu memanggil nama teman saya dengan nama aslinya. 17 Saya mengabaikan untuk ikut bersorak ketika adik kelas/teman

sedang di olok-olok/berkelahi dengan teman

18 Bagi saya, sangat tidak penting mengejek teman yang tidak kita sukai dengan kekurangan atau kelebihan dari bentuk badannya (seperti sebutan: gendut/cungkring).

19 Jika ada teman yang menjadi bahan ejekan, maka saya akan mencoba untuk merangkulnya

20 Jika ada teman yang mengejek, maka saya cukup membalasnya dengan senyuman tipis.


(4)

21 Saya bersikap biasa kepada orang yang saya benci

22 Saya akan membuat gerakan ejekan sambil berkata ‘bencong’ pada teman yang tidak saya sukai.

23 Tanpa memperdulikan perasaan sahabat/teman sekamar saya, saya akan memilih teman baru yang menguntungkan bagi saya. 24 Saya akan mempengaruhi teman dari musuh saya untuk

membuat persahabat mereka retak.

25 Saya akan mencoba ramah pada orang yang tidak saya sukai/musuh saya sekalipun.

26 Jika teman yang tidak saya sukai datang menghampiri saya, maka saya akan memberikan senyuman manis padanya.

27 Saya rasa teman yang aneh (bencong) itu bukan untuk dikucilkan, tapi ditemani dan diarahkan

28 Menurut saya, rasa setia kawan antar teman tidak perlu jika hal tersebut hanya akan menyakiti orang lain

29 Saya akan memandang dengan ramah, teman yang tidak saya sukai lewat di depan saya.


(5)

Skala Penalaran Moral

Pertimbangan No Pernyataan

SS S TS STS 1 Saya patuh pada peraturan Pondok Pesantren karena takut

mendapat hukuman

2 Saya tidak menyukai segala bentuk hukuman yang diberikan oleh ustadz/pengurus pondok

3 Saya sangat takut untuk kabur dari pesantren karena hukuman yang di terapkan oleh pihak pondok pesantren sangat keras 4 Saya mengabaikan peraturan yang di terapkan oleh pengurus

pondok pesantren

5 Saya kabur dari asrama tanpa memperdulikan hukuman yang diterapkan jika saya ketahuan oleh pengurus pondok

6 Saat ustadz favorit saya sedang mengajar, saya selalu berusaha aktif di dalam kelas supaya dapat menarik perhatiannya dan dapat nilai bagus

7 Saat pelajaran berlangsung, saya lebih memilih diam karena takut di tunjuk oleh ustadz untuk mengerjakan soal di depan santri lain 8 Bagi saya, menjadi pengurus OSIS merupakan hal yang tidak

penting karena hanya membuang-buang waktu saja. 9 Saya selalu merasa malu jika prestasi saya mendapat

pujian/sanjungan dari teman-teman dan para ustadz

10 Saya sangat senang membuat teman saya merasa bahagia walau kadang saya sedang merasa sedih

11 Jika ada berita tidak baik tentang teman saya, sebisa mungkin saya menyimpannya sendiri

12 Saya merasa gengsi jika saya yang terlebih dahulu untuk meminta maaf kepada santri lain

13 Bagi saya, menceritakan gosip terbaru mengenai santri lain merupakan suatu hal yang menyenangkan di waktu luang 14 Ketika saya sedang sedih, saya merasa cuek dengan

permasalahan teman-teman saya

15 Saya akan menolak ajakan teman untuk menghisap rokok secara sembunyi-sembunyi

16 Kadang-kadang saya ingin melanggar peraturan sekolah yang menyebalkan

17 Bagi saya, mengerjakan piket kelas/asrama merupakan aktifitas paling menyebalkan

18 Saya suka mencuri waktu ketika sedang istirahat untuk dapat menghisap rokok

19 Saya ikut mengantri saat mengambil makan di asrama, walaupun banyak yang menyerobot antrian


(6)

merupakan hal yang biasa terjadi pesantren

21 Saya merupakan orang yang susah untuk menepati janji karena banyaknya kesibukan saya

22 Jika saya kehabisan bekal, saya mengambil barang milik teman saya

23 Saya semangat untuk masuk kelas, walau sedang malas/sakit. 24 Jika saya kehabisan bekal, maka saya puasa

25 Jika saya tidak di beri izin untuk pulang secara mendadak karena orang tua saya sakit, saya akan nekat untuk kabur dari pesantren