2.8. Kerangka Berpikir
Pesantren merupakan salah satu model pendidikan yang sudah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan pesantren merupakan cikal bakal
dari sistem pendidikan Islam yang ada di tanah air ini. Namun begitu, peristiwa bullying di pesantren terkadang bisa dilihat tapi sulit dibuktikan karena, sering
diselesaikan secara kekeluargaan. Lantas mengapa praktik tersebut sering terjadi dilembaga yang bertugas mencetak pada agamawan?
Tindakan bullying ini dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau
kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Bentuknya bisa bersifat fisik seperti
memukul, menampar, dan memalak. Bersifat verbal seperti memaki, menggosip, dan mengejek, serta psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan,
mengabaikan, dan mendiskriminasi Coloroso, 2007. Akibatnya,
para korban
bullying merasa terisolasi dan dikucilkan oleh kelompok, teman-teman, dan hubungan sosialnya, tetapi juga menyebabkan
mereka merasa tidak mampu dan tidak menarik. Orang-orang yang telah diintimidasi sering mengalami kesulitan membentuk hubungan yang baik, dan
cenderung sulit untuk hidup secara normal Sullivan, 2001. Dengan banyaknya fenomena perilaku remaja melakukan tindak kekerasan
atau bullying, menimbulkan pertanyaan mengenai alasan, pola pikir dan nilai- nilai moral yang mereka anut sehingga muncul perilaku tersebut. Terlebih mereka
hidup di lingkungan pondok pesantren.
Menurut teori Kohlberg perkembangan moral manusia terdiri dari tiga tingkat. Yaitu tingkat pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.
Masing-masing tingkat diikuti dengan dua tahap perkembangan moral Santrock, 2002.
Kohlberg menambahkan bahwa, moralitas pasca-konvensional seharusnya dicapai selama masa remaja. dalam tahap ini individu mempunyai keyakinan
moral dan dapat menyesuaikan diri dengan standar sosial yang diinternalisasikan dengan didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain Hurlock, 1980.
Hurlock menambahkan, bahwa remaja diharapkan mampu mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus dimasa kanak-kanak dengan prinsip
moral yang berlaku umum dan merumuskannya kedalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Remaja yang tidak berhasil
melakukan peralihan ke dalam tahap moralitas dewasa, maka tugas tersebut di selesaikan pada awal masa dewasa. Sehingga mereka membentuk kode moral
berdasarkan tahapan konsep moral sebelumnya yang secara sosial belum tentu dapat di terima.
Menurut Yusuf 2002, Proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur yang linier, lurus atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai
yang dianut, karena banyak faktor yang menghambatnya. Ini artinya bahwa dengan masih adanya remaja pada tingkat pra-konvensional atau konvensional,
maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan dekadensi moral termasuk didalamnya perilaku bullying.
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat penalaran moral santri, maka semakin rendah perilaku bullyingnya dan semakin
rendah tingkat penalaran moral santri, maka semakin tinggi perilaku bullyingnya. Skema 2.2
Ke g a g a la n me mb e ntuk
ko d e mo ra l Be na r
Sa la h Ke g a g a la n
me rub a h ko nse p mo ra l
Khusus Umum
Po nd o k Pe sa ntre n
Bully ing Penalaran Moral
No n-Fisik Fisik
Konvensional Pra-konvensional
Pasca-konvensional
Tid a k te rja d i Bully ing
Psiko lo g is
2.9. Hipotesa Penelitian