Hubungan Peran Perawat dengan Kemampuan Bersosialisasi pada Pasien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan

(1)

Hubungan Peran Perawat dengan Kemampuan Bersosialisasi pada Pasien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Prov. Sumatera Utara Medan

Skripsi Oleh Dini arti 091101018

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

Judul : Hubungan Peran Perawat dengan Kemampuan

Bersosialisasi pada Pasien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan.

Nama : Dini Arti

NIM : 091101018

Jurusan : S – 1 Keperawatan

Tahun Akademik : 2013

Abstrak

Gangguan jiwa merupakan masalah yang cukup serius di Indonesia, salah satunya masalah isolasi sosial. Pasien isolasi sosial cenderung menarik diri dari lingkungan sekitarnya, sehingga diperlukan peran perawat dalam menangani masalah dari klien isolasi sosial tersebut. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui hubungan peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumut Medan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan teknik sampel purposive sampling. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini ialah 40 orang dan hasil analisa data yang digunakan ialah dengan menggunakan uji korelasi spearman rho’. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil p – value 0.004 artinya bahwa terdapat hubungan antara peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial. Bagi Perawat diharapkan dapat menerapkan standart asuhan Keperawatan yang ada.


(3)

Title : The Relation between Nurse and the Social Interaction Ability of The Patients In Social Isolation Therapy at The Psychiatric Hospital of The North Simatera Utara

Province

Name : Dini Arti

Std.Reg.Numb : 091101018

Major : S-1 Nursing

Academy Year : 2013

Abstract

Mental disorders are serious problems in Indonesia. One of the problems is social Isolation. The patient of social isolation therapy tends to withdraw him/her surrounding, so the help of a nurse is needed to handle the problems of social interaction of the client. The purpose of this research is to find out more about the relation between the rule of a nurse and social interaction ability of the patient in social isolation therapy at The Psychiatric Hospital of The North Sumatera Province. The design used in this research is descriptive correlation with purpose sampling technique. The number of samples taken in this research is 40 persons and the result of the data analysis used correlation test spearmans rho. Based on the result of the resarch, it revealed that p – value is 0.004 which meant that there was a relation between the rule of a nurse and the social interaction ability of the patients in social isolation therapy. For the nurse, it is hope that she can apply the standardized treatments to the clients she takes care of.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat

Rahmat serta Hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

“Hubungan peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi

sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan“ sebagai

sebuah tugas akhir sebagai seorang mahasiswa dari Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

Pada saat penyelesaian skripsi ini peneliti mengucapkan Terima Kasih

yang setulus-tulusnya kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan,

bimbingan serta dorongan kepada peneliti.

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan di Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

2. Erniyati S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

3. Evi karota bukit S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Ikhsanudin A. Harahap, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

5. Wardiyah Daulay, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktunya serta memberikan masukan dan dorongan dalam

penyelesaian skripsi ini.


(5)

7. Sri Eka Wahyuni S.Kep, Ns, M.Kep selaku penguji II.

8. Seluruh staf pegawai dan pengajar di Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

9. Kepada pihak Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan yang

telah memberi izin dan informasi bagi penulis.

10. Dan yang teristimewa kepada kedua Orangtua saya, Ibunda tercinta Halimah

Harahap dan Ayahanda Suhartono yang tiada henti-hentinya selalu

memberikan do’a, nasihat serta motivasi yang luarbiasa sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan dengan baik. Serta kepada kedua saudaraku Febri

Nugroho dan Ayu Wardani yang selalu menjadi motivasiku untuk maju.

11. Terima kasih kepada Nenek tercinta yang selalu memberikan dukungan yang

tiada henti.

12. Dan teruntuk FC sahabat – sahabatku, suatu hal yang luarbiasa bisa bertemu

dan berjuang bersama dengan kalian di fakultas ini. Terima kasih atas

dukungan dan semangat serta doa yang selalu kalian berikan.

13. Kepada seluruh pihak terkait yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu,

saya ucapkan Terima kasih.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kata sempurna

seperti hasil yang diharapkan. Maka dari itu dengan segala kerendahan hati

penulis mengharapkan masukan serta kritik dari pihak terkait guna

penyempurnanaan skripsi ini. Akhir kata saya ucapkan Terima Kasih.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman judul ...

Halaman Persetujuan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel ... vii

Daftar Skema ... viii

Daftar Lampiran ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peran ... 5

2.1.1 Defenisi Peran ... 5

2.1.2 Peran Perawat ... 5

2.1.3 Fungsi Perawat ... 7

2.1.4 Manfaat Peran Perawat ... 9

2.2 Kemampuan Bersosialisasi ... 10

2.2.1 Defenisi Sosialisasi ... 10

2.2.2 Jenis-jenis komunikasi ... 11

2.2.3 Interaksi Sosial ... 12

2.3 Ketidakmampuan Bersosialisasi ... 15

2.3.1 Pengertian ... 15

2.3.2 Aspek ketidakmampuan bersosialisasi ... 18

2.4 Isolasi Sosial ... 21

2.4.1 Pengertian ... 21

2.4.2 Faktor Pencetus Terjadinya Isolasi Sosial ... 22

2.4.3 Faktor yang mempengaruhi terjadinya isolasi sosial ... 24

2.4.4 Tanda dan Gejala ... 27

2.4.4.1 Gejala Subjektif ... 27

2.4.4.2 Gejala Objektif ... 28

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Penelitian ... 29

3.2 Defenisi Operasional ... 30

3.3 Hipotesa ... 30

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian ... 31


(7)

4.2.2 Sampel dan Teknik Penelitian ... 31

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

4.4 Pertimbangan Etik Penelitian ... 33

4.5 Instrumen Penelitian ... 34

4.5.1 Data Demografi ... 34

4.5.2 Kuesioner peran perawat ... 35

4.5.3 Kuesioner Kemampuan Bersosialisasi ... 35

4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 36

4.6.1 Uji Validitas ... 36

4.6.2 Uji Reliabilitas ... 37

4.7 Teknik Pengumpulan Data ... 37

4.8 Analisa Data ... 38

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 41

5.2 Pembahasan Penelitian ... 44

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 50

6.2 Saran ... 51


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tugas perkembangan ... 24

Tabel 3.1 Defenisi Operasional ... 30

Tabel 4.1 Kriteria penafsiran korelasi ... 41

Tabel 5.1 Karakteristik Umur Responden ... 42

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Responden .... 42

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Peran Perawat ... 43

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi dan Persentase Kemampuan Bersosialisasi . 43 Tabel 5.5 hasil uji korelasi ... 44


(9)

DAFTAR SKEMA


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 inform consent Lampiran 2 kuesioner penelitian Lampiran 3 hasil SPSS

Lampiran 4 riwayat hidup Lampiran 5 Taksasi Dana Lampiran 6 jadwal penelitian Lampiran 7 surat izin penelitian


(11)

Judul : Hubungan Peran Perawat dengan Kemampuan

Bersosialisasi pada Pasien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan.

Nama : Dini Arti

NIM : 091101018

Jurusan : S – 1 Keperawatan

Tahun Akademik : 2013

Abstrak

Gangguan jiwa merupakan masalah yang cukup serius di Indonesia, salah satunya masalah isolasi sosial. Pasien isolasi sosial cenderung menarik diri dari lingkungan sekitarnya, sehingga diperlukan peran perawat dalam menangani masalah dari klien isolasi sosial tersebut. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui hubungan peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumut Medan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan teknik sampel purposive sampling. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini ialah 40 orang dan hasil analisa data yang digunakan ialah dengan menggunakan uji korelasi spearman rho’. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil p – value 0.004 artinya bahwa terdapat hubungan antara peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial. Bagi Perawat diharapkan dapat menerapkan standart asuhan Keperawatan yang ada.


(12)

Title : The Relation between Nurse and the Social Interaction Ability of The Patients In Social Isolation Therapy at The Psychiatric Hospital of The North Simatera Utara

Province

Name : Dini Arti

Std.Reg.Numb : 091101018

Major : S-1 Nursing

Academy Year : 2013

Abstract

Mental disorders are serious problems in Indonesia. One of the problems is social Isolation. The patient of social isolation therapy tends to withdraw him/her surrounding, so the help of a nurse is needed to handle the problems of social interaction of the client. The purpose of this research is to find out more about the relation between the rule of a nurse and social interaction ability of the patient in social isolation therapy at The Psychiatric Hospital of The North Sumatera Province. The design used in this research is descriptive correlation with purpose sampling technique. The number of samples taken in this research is 40 persons and the result of the data analysis used correlation test spearmans rho. Based on the result of the resarch, it revealed that p – value is 0.004 which meant that there was a relation between the rule of a nurse and the social interaction ability of the patients in social isolation therapy. For the nurse, it is hope that she can apply the standardized treatments to the clients she takes care of.


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gangguan jiwa adalah respon maladaptif dari lingkungan internal dan

eksternal, yang dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan perilaku yang tidak

sesuai dengan norma lokal atau budaya setempat dan menganganggu fungsi

sosial, pekerjaan dan atau fisik (Townsend, 2005). Pengertian ini menjelaskan

bahwa klien dengan gangguan jiwa akan menunjukan perilaku yang tidak sesuai

dengan norma masyarakat dimana perilaku tersebut mengganggu fungsi sosialnya

sehingga klien mengalami ketidakmampuan dalam beradaptasi dengan

lingkungannya sosialnya.

Ketidakmampuan klien beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dapat

menjadi salah satu gangguan kejiwaan, yaitu isolasi sosial. Isolasi sosial itu

sendiri merupakan suatu kondisi dimana klien mungkin merasa ditolak atau tidak

diterima dilingkungan sekitar sehingga klien menarik diri dan klien tidak mampu

bersosialisasi dengan lingkungannya.

Berdasarkan Hasil Penelitian Hatfield (1998) menunjukan bahwa sekitar

72% pasien gangguan jiwa yang mengalami isolasi sosial dan 64% tidak mampu

memelihara diri sendiri. Umumnya keterampilan sosial pasien buruk, biasanya

disebabkan karena onset dini penyakitnya. Penilaian yang salah terhadap interaksi

sosial, kecemasan yang tinggi dan gangguan pemprosesan informasi (Nasution,

2011).


(14)

bertingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang

dalam kehidupannya menuruti kemauannya sendiri, tanpa mengindahkan

norma-norma sosial yang berlaku, mengganggu lingkungan dan tidak terampil secara

sosial dianggap mengalami gangguan kejiwaan atau perilakunya menyimpang dan

hal ini tidak dapat diterima oleh lingkungannya. Semakin berat gangguannya,

maka semakin keras pula usaha masyarakat untuk mengusir, menolak atau

mengisolasi dengan alasan ketertiban, keamanan dan ketentraman, sehingga

kondisi ini menuntut suatu penanganan yang serius dari berbagai disiplin ilmu.

Gangguan jiwa di Indonesia menjadi masalah yang cukup serius.

Berdasarkan data Depkes (2007) mencapai lebih dari 28 juta orang, dengan

kategori gangguan jiwa ringan 11,6 persen dan gangguan jiwa berat 0,46 persen.

Data dari WHO pada tahun 2006, terdapat 26 juta penduduk Indonesia mengalami

gangguan jiwa. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa angka

gangguan jiwa di Indonesia mencapai 12% - 16% dari populasi penduduk. Hasil

SKMRT menunjukan gangguan mental emosional pada usia diatas lima belas

tahun adalah 140 orang per 1.000 penduduk dan usia lima sampai empat belas

tahun sebanyak 104 orang per 1.000 penduduk (Maramis, 2006).

Dengan mengacu data tersebut, kini jumlah itu diperkirakan jumlah

penduduk yang mengalami gangguan jiwa sudah meningkat. Diperkirakan dari

sekitar 220 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 50 juta atau 22 persennya,

mengidap gangguan kejiwaan (Hawari, 2009). Peningkatan jumlah penderita

gangguan jiwa juga terjadi di Sumatera Utara, jumlah pasien meningkat 100


(15)

dan sekitar 70-80 penderita untuk rawat jalan. Sementara selama kurun waktu

januari 2011 hingga desember 2011 jumlah pasien gangguan jiwa di rumah sakit

tersebut mencapai 2.216, angka untuk gangguan skizofrenia & gangguan waham

itu sendiri mencapai 1.864 ( 83,3% ) dalam kurun waktu Januari hingga Desember

2011.

Berdasarkan peningkatan jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa,

maka dalam hal ini diperlukan peran perawat guna meningkatkan kemampuan

bersosialisasi klien isolasi sosial tersebut. Dalam meningkatkan kemampuan

bersosialisasi klien isolasi sosial tersebut perawat dapat menerapkan standar

asuhan keperawatan sebagai salah satu upaya dalam peningkatan kemampuan

bersosialisasi bersosialisasi klien isolasi sosial.

Adapun survey awal yang telah dilakukan oleh peneliti, didapat bahwa

jumlah perawat yang berada di Rumah Sakit Jiwa tersebut sebanyak 128 orang.

Berdasarkan observasi yang telah dilakukan peneliti saat pengambilan data,

peneliti melihat bahwa penanganan klien gangguan jiwa masih kurang optimal.

Sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan peran

perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial.

1.2. Pertanyaan penelitian

Bagaimana hubungan peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi


(16)

1.3. Tujuan penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan peran

perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial di

Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi peran perawat sebagai pemberi asuhan dan

kolaborator

2. Mengidentifikasi kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial.

1.4. Manfaat penelitian

1.4.1. Bagi praktik keperawatan

Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang peran seorang

perawat terhadap kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial.

1.4.2. Bagi pendidikan keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna serta

bermanfaat dan dapat menambah wawasan yang baru dalam bidang

keperawatan jiwa dalam penerapan intervensi terhadap pasien isolasi

sosial.

1.4.3. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan

ataupun sebagai sumber tambahan bagi peneliti selanjutnya yang ingin


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peran

2.1.1. Definisi peran

Peran adalah tingkah laku yang diharapkan oleh seseorang terhadap orang

lain dalam memenuhi kebutuhannya. Misalnya saja dalam hal ini perawat dapat

memberikan asuhan keperawatan, melakukan pembelaan pada klien, kolaborator

dalam membina kerja sama dengan profesi lain dan sejawat, konsultan dalam

tenaga kerja dan klien dari sistem metodologi, serta sikap.

Peran merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap

seseorang sesuai dengan kedudukan dalam sistem, dimana dapat dipengaruhi oleh

keadaan sosial yang baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi

keperawatan yang bersifat konstan (Hidayat, 2007).

2.1.2. Peran perawat

Peran perawat menurut konsorium 1989 dalam Hidayat (2007) terdiri dari :

1) Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan

Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan

memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui

pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan

sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan

dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar

manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian


(18)

2) Peran sebagai advokat klien

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam

menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberian pelayanan atau

informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan

keperawatan yang diberikan pada pasien, juga dapat berperan mempertahankan

dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan

sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk

menentukan nasibnya sendiri, dan hak untuk menerima ganti rugi akibat

kelalaian.

3) Peran sebagai edukator

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat

pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan,

sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan

kesehatan.

4) Peran sebagai koordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta

mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian

pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.

5) Peran sebagai kolaborator

Peran perawat di sini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan

yang terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya

mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi


(19)

Konsultasi merupakan suatu interaksi interpersonal untuk membuat perubahan

perilaku yang konstruktif. Tujuannya adalah untuk merangsang klien agar lebih

bertanggung jawab, merasa lebih aman, dan membimbing perilaku yang

konstruktif.

Peran di sini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan

keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan

klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.

7) Peran sebagai pembaharu

Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perncanaan,

kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode

pemberian pelayanan keperawatan.

2.1.3. Fungsi perawat

Fungsi peran perawat adalah salah satunya dapat menjalankan atau

melaksanakan perannya secara mandiri , tidak tergantung pada orang lain atau tim

kesehatan lainnya. Perawat dapat memberikan bantuan terhadap adanya

penyimpangan atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia baik bio,

psiko-sosio/kultur maupun spiriatual. dimana perawat bertanggung jawab serta

bertanggung gugat atas rencana dan keputusan tindakannya ( novita, 2012 ).

Fungsi merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan perannya.

Fungsi tersebut dapat berubah disesuaikan dengan keadaan yang ada. Dalam

menjalankan perannya, perawat akaan melaksanakan berbagai fungsi diantaranya :

fungsi independen, fungsi dependen dan fungsi interdependen.


(20)

Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, di mana

perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan

keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka memenuhi

kebutuhan dasar manusia seperti penuhan kebutuhan fisiologis (pemenuhan

kebutuhan oksigen, pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit, pemenuhan

kebutuhan nutrisi, penuhan kebutuhan aktivitas dan lain-lain), pemenuhan

kebutuhan keamanandan kenyamanan, kebutuhan cinta dan mencintai,

pemenuhan kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri.

2) Fungsi dependen

Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas peran dan

instruksi dari perawat lain. Sehingga sebagai pelimpahan tugas yang diberikan.

Hal ini biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum, atau

dari perawat primer ke perawat pelaksana.

3) Fungsi interdependen

Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan

diantara tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk

pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan seperti

dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang mempunyai

penyakit kompleks. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja

melainkan juga dari dokter ataupun lainnya, seperti dokteer dalam memberikan

tindakan pengobatan bekerjasama dengan perawat dalam pemantauan reaksi

obat yang telah diberikan.


(21)

Komunikasi dan sikap adalah merupakan hal yang penting diperhatikan

ketika seorang perawat merawat penderita skizofrenia, Menurut (Suliswati,2009).

manfaat dari peran perawat terdiri dari:

1. Komunikasi

Dalam keperawatan jiwa komunikasi merupakan alat untuk membina hubungan

karena komunikasi mencakup penyampaian informasi penukaran pikiran,

perasaan. dan yang penting dilakukan atau diperhatikan perawat ketika

berkomunikasi dengan penderita skizofrenia adalah : perawat berusaha

mengungkapkan perasaan, mengindentifikasi dan mengkaji masalah dan

mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam perawatan dan juga secara aktif

mendengarkan dan memberi respon kepada penderita serta berfokus kepada

pasien yang membutuhkan bantuan.

2. Sikap

Dalam keperawatan jiwa yang penting dilakukan atau diperhatikan perawat

dengan penderita skizofrenia yaitu : berhadapan adalah sikap yang menunjukan

kesiapan dalam melayani dan mendengarkan keluhan pasien, mempertahankan

kontak mata sikap yang menandakan parawat menghargai pasien dan menyatakan

keinginan untuk tetap berkomunikasi serta dapat dipercaya, membungkuk kearah

pasien sikap ini menunjunkan keinginan untuk menyataka atau mendengarkan

semua apa yang dikatankan pasien, mempertahankan sikap terbuka pada saat

berkomunikasi dengan pasien perawat sebaiknya jangan melipat kaki atau

menyilangkan tangan. hal ini menunjukkan kertebukaan untuk berkomunikasi dan


(22)

situasi tidak menyenangkan , perawat harus mengontrol ketenangan, kecemasan

dan rilaksasi dalam berkomunikasi dengan pasien.

3. Melakukan tindakan perawatan

Dalam melakukan tindakan keperawatan pada pasien perawat akan menghargai

berbagai macam perasaan antara lain senang melihat pasien mulai menunjukkan

prilaku dan perasaan jengkel ketika pasien tidak mau minum obat, sehingga

perawat terbuka dan sadar akan perasaan dan perawat dapat menggunakan

kesulitan pasien dalam membina hubungan saling percaya.

2.2. Kemampuan bersosialisasi 2.2.1. Pengertian

Sosialisasi diartikan sebagai sebuah proses seumur hidup bagaimana

seorang individu mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang meliputi cara-cara hidup,

nilai-nilai, dan norma-norma social yang terdapat dalam masyarakat agar dapat

diterima oleh masyarakatnya. Berikut pengertian sosialisasi menurut para ahli.

1. Charlotte Buhler

Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan

menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia

dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.


(23)

Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami

norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk

kepribadiannya.

3. Paul B. Horton

Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami

norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk

kepribadiannya.

4. Soerjono Soekanto

Sosialisasi adalah proses mengkomunikasikan kebudayaan kepada warga

masyarakat yang baru.

Kemampuan sosialisasi adalah merupakan kesanggupan atau kecakapan seseorang

dalam menjalani hubungan saling berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang

lain. Manfaat berkomunikasi adalah untuk mendorong dan menganjurkan pasien

agar dapat bekerja sama dan dapat mengungkap perasaannya (Abdul Hafizh,

2007).

2.2.2.Jenis-jenis komunikasi

1. Komunikasi Verbal

Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan keperawatan di

rumah sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan

dengan tatap muka. Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu.

Kata-kata adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau

perasaan, membangkitkan respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi


(24)

minat seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu

memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung.

2. Komunikasi Non Verbal

Komunikasi non-verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan kata-kata.

Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada

orang lain. Perawat perlu menyadari pesan verbal dan non-verbal yang

disampaikan klien mulai dan saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan,

karena isyarat non verbal menambah arti terhadap pesan verbal (Tappen DKK,

1995).

2.2.3. Interaksi sosial

1. Pengertian

Interaksi sosial adalah suatu proses hubungan timbal balik yang dilakukan oleh

individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok

dengan individu, antara kelompok dengan kelompok dalam kehidupan sosial.

( pamujie, 2007 )

Kemampuan berinteraksi merupakan suatu kemampuan berhubungan yang

dinamis yang menyangkut hubungan antara individu dengan individu,

kelompok dengan kelompok maupun antara individu dengan kelompoknya

dalam melakukan suatu hubungan tertentu. Berinteraksi sebagai alat mencapai

tujuan dalam kaitannya untuk memberi perhatian, komunikasi, motivasi dan

menguasai diri sendiri dalam berkomunikasi. ( Sri Wahyuningsih, 2005 )

Gillin mengartikan bahwa interaksi sosial sebagai hubungan-hubungan sosial


(25)

antar kelompok. Menurut Charles P. Loomis sebuah hubungan bisa disebut

interaksi jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Jumlah pelakunya dua orang atau lebih

2. Adanya komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbol atau

lambang-lambang.

3. Adanya suatu dimensi waktu yang meliputi masa lalu, masa kini, dan masa

yang akan datang.

4. Adanya tujuan yang hendak dicapai.

Berdasarkan pengertian di atas pada dasarnya tiap individu mempunyai potensi

untuk terlibat dalam interaksi dengan orang lain pada berbagai tingkat

hubungan, dari hubungan intim biasa sampai hubungan saling ketergantungan.

Dalam hal ini individu tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya

tanpa adanya interaksi dengan lingkungan sosial. Sehingga untuk mendapatkan

kebutuhan yang optimal, individu perlu membina hubungan interpersonal yang

memuaskan. Kepuasan hubungan yang dimaksud dapat dicapai jika individu

terlihat aktif dalam proses berhubungan dengan orang lain diiringi suasana

lingkungan yang kondusif akan semakin meningkatkan rasa memiliki, saling

bekerja sama, hubungan timbal balik yang mutualisme (Stuart Sundeen, 1998).

Penampilan individu dalam berinteraksi sosial dapat berfluktuasi sepanjang

rentang respon sosial dari adaptif sampai maladaptif.

2. Syarat terjadinya interaksi adalah

1. Adanya kontak sosial


(26)

1. Kontak sosial bisa bersifat positif dan bisa bersifat negatif. Jika kontak

sosial mengarah pada kerjasama berarti positif, jika mengarah pada

suatu pertentangan atau konflik berarti negatif.

2. Kontak sosial dapat bersifat primer dan bersifat sekunder. Kontak sosial

primer terjadi apabila peserta interaksi bertemu muka secara langsung,

jika kontak sekunder terjadi apabila interaksi berlangsung melalui

perantara.

2. Komunikasi

Ada lima unsur pokok dalam komunikasi yaitu :

1. Komunikator yaitu orang yang menyampaikan informasi atau pesan

atau perasaan atau pemikiran pada pihak lain.

2. Komunikan yaitu orang atau sekelompok yang dikirimi pesan, pikiran,

informasi.

3. Pesan yaitu sesuatu yang disampaikan oleh komunikator kepada

komunikan.

4. Media yaitu alat untuk menyampaikan pesan

5. Efek/feed back yaitu tanggapan atau perubahan yang diharapkan

terjadi pada komunikan setelah mendapat pesan dari komunikator.

3. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya interaksi sosial

Menurut Khairulmaddy, 2008 :

1. Imitasi yaitu meniru tindakan orang lain.

2. Sugesti berlangsung apabila seseorang memberikan pandangan atau


(27)

muncul ketika si penerima sedang dalam kondisi yang tidak netral

sehingga tidak dapat berpikir rasional.

3. Identifikasi yaitu merupakan kecenderungan atau keinginan seseorang

untuk menjadi sama dengan orang lain ( meniru secara keseluruhan ).

4. Simpati yaitu merupakan suatu proses dimana seseorang merasa

tertarik dengan pihak lain. Melalui proses simpati orang merasa

dirinya seolah-olah berada dalam keadaan orang lain

5. Empati yaitu merupakan simpati yang mendalam yang dapat

mempengaruhi kejiwaan dan fisik seseorang.

Kemampuan berinteraksi yang diharapkan pada klien isolasi sosial,

yang terkait dengan; motivasi berhubungan dengan orang lain,

inisiatif berkelompok atau berbicara dengan oarng lain, sikap dalam

kelompok, kemampuan berkomunikasi, keakraban, konsentrasi selama

berinteraksi, kemampuan mengungkapkan perasaan atau pendapat

kepada orang lain, kemampuan mengontrol perilaku dalam

berinteraksi, kemampuan menghargai pendapat orang lain serta sikap

saat berinteraksi.

2.3. Ketidakmampuan bersosialisasi 2.3.1. Pengertian

Menurut World Health Organization (WHO, 1989) ketidakmampuan

bersosialisasi (social disability) adalah ketidakmampuan individu dalam melakukan hubungan sosial secara sehat dengan orang orang disekitarnya. Karena


(28)

masalah untuk menjalani hidup bersama dengan individu normal. Mereka sulit

untuk melakukan semua aktivitas seperti yang dilakukan oleh individu normal

yang ada di sekitarnya.

Kuntjoro (1989) menjelaskan bahwa kemunduran sosial atau ketidak

mampuan bersosialisasi adalah ketidakmampuan individu untuk bersikap dan

bertingkahlaku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang

dalam kehidupannya menuruti kemauannya sendiri tanpa mengidentifikasikan

norma sosial dan mengganggu lingkungan dianggap tidak terampil secara sosial

atau disebut mengalami ketidakmampuan bersosialisasi atau kemunduran sosial.

Individu hidup dalam dunianya sendiri (autistik) yang tidak dapat dimengerti dan

tidak dapat diterima oleh orang lain. Hal ini berarti pula individu tidak

mengindahkan tuntutan lingkungan sosialnya atau tidak mampu menyesuaikan

diri yang selanjutnya oleh WHO (1980) disebut sebagai catatan psikososial

(psycosocial disability).

Pengertian yang lebih rinci mengenai ketidakmampuan bersosialisasi

diungkapkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa (1996), yaitu suatu keadaan dimana

individu bertingkah laku yang tidak lazim, kacau atau secara sosial tidak dapat

diterima atau tidak pantas muncul. Tingkah laku yang tidak lazim adalah tingkah

laku yang diperlihatkan oleh pasien yang sifatnya tidak biasa, aneh dan kadang

kadang tidak dapat diterima oleh masyarakatnya. Namun perlu diperhatikan pula

bahwa gaya hidup individu yang berbeda dari gaya hidup orang lain, terutama jika

ia berasal dari suku atau masyarakat kebudayaan tertentu. Di Indonesia istilah


(29)

Asean merekomendasikan penggunaan defenisi-defenisi yang ditetapkan oleh

WHO (1989) dengan maksud untuk memudahkan kepentingan komunikasi.

Istilah-istilah tersebut didefenisikan sebagai berikut:

1. Impairment

Impairment adalah hilangnya atau adanya kelainan (abnormalitas) dari pada struktur atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik. Cacat

dapat bersifat sementara (temporer) ataupun menetap (permanen). Dan yang

dikatakan cacat adalah apa saja yang biasa disebut dengan anomaly defect yang terjadi pada anggota gerak, organ, jaringan atau struktur tubuh, termasuk system

fungsi mental. Kondisi cacat merupakan eksteriorasi keadaan patologik yang

prinsipnya mencerminkan gangguan kesehatan yang terjadi pada tingkat organ.

2. Disabilities

Disability merupakan keterbatasan atau kurangnya kemampuan (akibat dari adanya cacat) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas dan cara yang

dianggap nomal bagi manusia. Kondisi ini dapat bersifat sementara, menetap dan

membaik atau memburuk. Disabilities juga timbul sebagai akibat langsung adanya cacat atau secara tak langsung sebagai reaksi individu, khususnya secara

psikologik pada cacat fisik dan sensorik.

3. Handicap

Handicap adalah kemunduran pada seseorang akibat adanya cacat atau disabilitas yang membatasi atau mencegahnya untuk dapat berperan normal bagi

individu (sesuai umur, seks dan faktor sosial budaya). Kondisi ini ditandai dengan


(30)

disabilitas dan mencerminkan konsekuensi bagi individu dalam budaya, sosial,

ekonomi, dan lingkungannnya yang berpangkal pada adanya cacat dan disabilitas.

2.3.2. Aspek-aspek ketidakmampuan bersosialisasi

Menurut Kuntjoro (1989), aktivitas klien yang mengalami ketidakmampuan

bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan atas tiga yaitu (1) Tingkah laku

yang berhubungan dengan kegiatan kebutuhan hidup sehari-hari (Activity Daily

Living = ADL), (2) tingkah laku sosial dan (3) tingkah laku sosial okupasional

yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Activity Daily Living (ADL)

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan

sehari-hari yang meliputi:

1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan klien sewaktu bangun

tidur.

2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk

tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK.

3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan

mandi dan sesudah mandi.

4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan

berganti pakaian.

5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu, sedang

dan setelah makan dan minum.

6) Kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan


(31)

7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauh mana klien mengerti dan dapat

menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti tidak menggunakan/menaruh

benda tajam sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat di

tempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif.

8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang klien untuk pergi tidur.

Pada klien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini perlu diperhatikan

karena sering merupakan gejala primer yang muncul pada gangguan jiwa.

Dalam hal ini yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi

bagaimana klien mau mengawali tidurnya.

2. Tingkah laku sosial

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial klien dalam

kehidupan masyarakat yang meliputi

1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku klien untuk melakukan

hubungan sosial dengan sesama klien, misalnya menegur kawannya,

berbicara dengan kawannya dan sebagainya.

2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku klien untuk melakukan

hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa, menjawab pertanyaan

waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan sebagainya.

3) Kontak mata waktu bicara, yaitu sikap klien sewaktu bicara dengan orang

lain seperti memperhatikan dan saling menatap sebagai tanda adanya

kesungguhan dalam berkomunikasi.

4) Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kemampuan bergaul


(32)

5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan

ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.

6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama atau

sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain.

7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku klien yang bersifat

mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti tidak

meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok sembarangan dan

sebagainya.

3. Tingkah laku okupasional

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan seseorang untuk

melakukan pekerjaan, hobi dan rekreasi sebagai salah satu kebutuhan

kehidupannya yang meliputi:

1) Tertarik pada kegiatan/pekerjaan, yaitu timbulnya rasa tertarik untuk

berbuat sesuatu, baik berupa pekerjaan, hobi dan rekreasi, seperti

menyapu, membantu orang lain, bermain, menonton dan sebagainya.

2) Bersedia melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu bentuk kegiatan yang

dilakukan klien untuk bekerja, berekreasi, melaksanakan hobi atau

melakukan kegiatan positif lainnya, seperti sembahyang dan membaca.

3) Aktif/rajin melakukan kegiatan atau pekerjaan, yaitu tingkah laku klien

yang bersedia melakukan kegiatan dengan menunjukkan

keaktifan/kerajinannya.

4) Produktif dalam melakukan kegiatan, yaitu adanya hasil perbuatan yang


(33)

5) Terampil dalam melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu sejauhmana klien

memiliki kemampuan, kecakapan dan keterampilan dalam melakukan

tindakannya (wajar, tidak kaku, enak dilihat orang sehingga tidak

menimbulkan rasa khawatir bagi petugas/orang lain).

6) Menghargai hasil pekerjaan dan milik pribadi, yaitu tingkah laku klien untuk

menghargai (punya tenggang rasa) terhadap hasil pekerjaannya sendiri dan

hasil pekerjaan orang lain.

7) Bersedia menerima perintah, larangan dan kritik, yaitu sikap dan perbuatan

pasien terhadap perintah, larangan maupun kritik dari orang lain. Sikap dan

perbuatan tersebut berupa reaksi klien bila diperintah/disuruh,

dilarang/dikritik, reaksi tersebut dapat lambat, cepat, menolak, tak

mengindahkan dan sebagainya

2.4. Isolasi sosial 2.4.1. Pengertian

Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami

penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain

disekitarnya.

Isolasi sosial merupakan upaya klien untuk menghindari interaksi dengan

orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan

orang lain ( Keliat, 1998 ).

Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi

akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku


(34)

Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami

penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain

disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak

mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial adalah ketidakmampuan

seseorang dalam melakukan interaksi dengan orang lain, klien mungkin merasa

ditolak ataupun merasa tidak diterima sehingga menimbulkan perilaku maladaptif.

2.4.2. Faktor pencetus terjadinya isolasi sosial Rentang respon perilaku

Rentang adaptif Respon maladaptif

Menyendiri merasa sendiri manipulasi

Otonomi menarik diri impulasif

Bekerjasama tergantung pada orang lain membanggakan diri

Saling tergantung curiga

Gambar 3.1. rentang respons isolasi sosial Berikut ini akan dijelaskan respon yang terjadi pada isolasi sosial.

1) Respons adaptif

Respons adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh norma – norma

sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu

tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut ini

adalah sikap yang termasuk respons adaptif.


(35)

2) Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide,

pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.

3) Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan satu sama

lain.

4) Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang lain

dalam membina hubungan interpersonal

2) Respons maladaptif

Respons maladaptif adalah respons yang menyimpang dari norma sosial dan

kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respons

maladaptif.

1) Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina

hubungan secara terbuka dengan orang lain.

2) Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri

sehingga tergantung dengan orang lain.

3) Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu

sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.

4) Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.

Beberapa faktor cenderung memberikan respon maladaptif, namun belum

ada kesimpulan yang spesifk tentang penyebab gangguan hubungan interpersonal

tersebut.

2.4.3. Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya Isolasi sosial

1) Faktor predisposisi


(36)

Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan

yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial.

Bila tugas – tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan

menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat

menimbulkan masalah

Tahap perkembangan Tugas

Masa Bayi Menetapkan landasan rasa percaya

Masa Bermain Mengembangkan otonomi dan awal

perilaku mandiri

Masa Prasekolah Belajar menunjukkan inisiatif, rasa

tanggung jawab, dan hati nurani.

Masa Sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama,

dan berkompromi.

Masa Praremaja Menjalin hubungan intim dengan

teman sesama jenis kelamin

Masa Remaja Menjadi intim dengan teman lawan

jenis atau bergantung pada orang tua.

Masa Dewasa Muda Menjadi saling bergantung antara

orangtua dan teman, mencari pasangan, menikah, dan mempunyai anak.

Masa Tengah Baya Belajar menerima hasil kehidupan

yang sudah dilalui

Masa Dewasa Tua Berduka karena kehilangan dan

mengembangkan perasaan keterkaitan dengan budaya.

Tabel 2.1 Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal (Stuart dan Sundeen 1998).


(37)

2) Faktor komunikasi dalam keluarga

Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung

terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk

masalah dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan

(double bind) yaitu suatu keadaan dimana seorang anggota keluarga

menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan atau

ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk

berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga.

3) Faktor sosial budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan

suatu pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini

disebabkan oleh norma – norma yang salah dianut oleh keluarga, di mana

setipa anggota keluarga yang tidak produktif seperti usia lanjut, berpenyakit

kronis, dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.

4) Faktor biologis

Faktor biologis juga merupakan salah satu pendukung terjadinya gangguan

dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi terjadinya

gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien skhizofrenia

yang mengalami masalah dalam hubungan sosial memiliki struktur yang

abnormal pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk


(38)

2) Faktor presipitasi

Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor

internal dan eksternal seseorang. Faktor stresor presipitasi dapat di

kelompokkan sebagai berikut.

1) Stresor sosial budaya

Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitandalam berhubungan,

terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti : perceraian, berpisah

dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian

karna ditinggal jauh, dirawat di rumah sakit atau penjara. Semua hal ini

dapat menimbulkan isolasi sosial.

2) Stresor biokimia

1) Teori dopamin

Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta traktus

saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.

2) Menurunnya MAO ( Mono Amino Oxidase ) di dalam darah akan

meningkatkan jumlah dopamin dalam otak.

3) Faktor Endokrin

Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien skizofrenia.

Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena dihambat oleh

dopamin.

Hipertyroidism, adanya peningkatan maupun penurunan hormon


(39)

4) Viral hipotesis

Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala – gejala psikotik

diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah struktur sel otak.

3) Stresor biologik dan Lingkungan sosial

Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi

akibat interaaksi antara individu, lingkungan, maupun biologis.

4) Stresor psikologis

Kecemasan yang tinggin akan menyebabkan menurunnya kemampuan

individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan yang

ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk

mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan

berhubungan pada tipe psikotik.

2.4.4. Tanda dan gejala 2.4.4.1. Gejala subjektif

1. Klien menceritakan perasaan kesepian atau di tolak oleh orang lain.

2. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.

3. Respon verbal kurang dan sangat singkat

4. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain

5. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu

6. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan

7. Klien merasa tidak berguna

8. Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.


(40)

2.4.4.2. Gejala objektif

1. Klien banyak diam dan tidak mau bicara

2. Tidak mengikuti kegiatan

3. Banyak berdiam diri di kamar

4. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.

5. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.

6. Kontak mata kurang

7. Kurang spontan

8. Apatis ( acuh terhadap lingkungan )

9. Ekspresi wajah kurang berseri

10. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri

11. Mengisolasi diri

12. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya

13. Masukan makanan dan minuman terganggu

14. Retensiurine dan feses

15. Aktivitas menurun


(41)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1. Kerangka penelitian

Kerangka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peran

perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial di Rumah

Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan.

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan seseorang terhadap

orang lain, sesuai dengan kedudukannya dalam suatu sistem. Peran perawat disini

ialah sebagai pelaksana pelayanan keperawatan.

Dalam proses penelitian ini, dapat dilihat hubungan peran perawat tersebut

dalam melatih pasien isolasi sosial untuk bersosialisasi dengan lingkungannya.

Skema 3.1. kerangka penelitian

Peran perawat

• Sebagai pemberi asuhan • Sebagai kolaborator

Kemampuan bersosialisasi • Tingkah laku sosial • Tingkah laku okupasional


(42)

3.2. Defenisi operasional

No. Variabel Defenisi

operasional

Alat ukur Skala Hasil ukur

1. Peran perawat

peran perawat jiwa disini dibagi atas peran perawat sebagai pemberi asuhan yaitu perawat dapat memperhatikan keadaan umum dan kebutuhan dasar dari pasien melalui pemberian pelayanan keperawatan, peran perawat sebagai kolaborator yaitu perawat dapat berdiskusi dengan tim kesehatan lain dalam menangani masalah kesehatan pasien. kuesioner dengan 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban SL;4, SR;3, KD;2, TP;1

Ordinal Score

10 – 19

buruk 20–29 cukup 30-40 baik 2. Kemampuan bersosialisasi Kesanggupan klien yang mengalami gangguan isolasi

sosial dalam

menjalani

hubungan saling berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.

Kuesioner dengan 15 pertanyaan dengan pilihan jawaban SL;4, SR;3, KD;2, TP;1

Ordinal Score 15-29 buruk 30-44 cukup 45-60 baik

3.3. Hipotesa penelitian

Hipotesa yang digunakan pada penelitian ini adalah hipotesa alternatif (Ha),

dimana terdapat hubungan antara peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi

pada pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara


(43)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif

korelatif, yaitu suatu jenis rancangan yang mengkaji hubungan antara variabel

yang satu dengan variabel yang lain. Variabel ini digunakan untuk melihat

hubungan antara peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pasien isolasi

sosial.

4.2. Populasi dan Sampel 4.2.1. Populasi

Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu

yang akan diteliti, bukan hanya subjek atau objek yang dipelajari saja tetapi

seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki subjek atau objek tersebut ( Alimul,

2007 ).

Populasi dalam penelitian ini adalah perawat yang berada di Rumah Sakit Jiwa

Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan yang berjumlah 128 orang perawat.

4.2.2. Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara

populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah dalam

penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang


(44)

Besarnya sampel yang diambil sebanyak 30% dari jumlah populasi yang

berada di Rumah Sakit Jiwa tersebut yaitu 128 orang perawat. Sehingga jumlah

sampel yang akan diambil sekitar 40 orang perawat yang akan dijadikan

responden oleh peneliti, yaitu perawat yang bekerja diruang rawat inap yang

bersedia dijadikan responden.

Adapun kriteria yang ditetapkan ialah :

1). Perawat yang bekerja di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov.

Sumut Medan

2). Perawat yang masa kerjanya di atas 3 tahun.

3). Perawat yang merupakan perawat pelaksana.

4.3.Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara

Medan. Pemilihan Rumah Sakit Jiwa tersebut oleh peneliti sebagai tempat untuk

dilakukannya penelitian karena Rumah Sakit Jiwa tersebut merupakan pusat

pelayanan pasien gangguan jiwa di Prov. Sumatera Utara Medan. Selain itu,

Rumah Sakit Jiwa tersebut juga merupakan Rumah Sakit pendidikan yang

merupakan lahan praktik bagi tenaga kesehatan dan medis karena telah memiliki

fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai.


(45)

4.4. Pertimbangan etik

Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti terlebih dahulu mengajukan

permohonan izin kepada Fakultas untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit

Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan. Setelah mendapatkan surat izin

penelitian dari Fakultas, kemudian peneliti meminta izin kepada pihak Rumah

Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan dengan menyertakan surat

permohonan izin yang telah diperoleh dari Fakultas untuk mendapatkan

persetujuan melakukan penelitian. Setelah peneliti mendapatkan izin dari Direktur

Rumah Sakit Jiwa Daerah Sumatera Utara Medan, peneliti mulai melakukan

pengambilan data yang bertujuan untuk menentukan sampel yang akan dijadikan

responden. Setelah melakukan pengambilan data, kemudian peneliti memberikan

kuesioner kepada calon responden yang telah di tetapkan.

1. Informed consent

Informed consent adalah lembar persetujuan yang diberikan kepada

responden, tujuannya ialah agar responden mengetahui maksud dan tujuan

serta proses yang dilakukan pada penelitian tersebut.

Sebelum peneliti memberikan lembar persetujuan menjadi responden, peneliti

terlebih dahulu menjelaskan maksud dan tujuan dilakukannya penelitian

tersebut. Kemudian peneliti menanyakan ketersediaan perawat tersebut untuk

menjadi responden dalam penelitian yang akan dilakukan. Jika perawat

tersebut bersedia menjadi responden dalam penelitian tersebut, maka perawat

tersebut harus menandatangani lembar persetujuan sebagai responden.


(46)

peneliti maka peneliti tidak akan memaksa perawat tersebut, dan peneliti akan

tetap menghargai keputusan si perawat.

2. Anominity

Untuk menjaga kerahasiaan identitas dari responden, peneliti tidak akan

mencantumkan nama dari responden tersebut pada lembar kuesioner yang

akan diberikan. Lembar kuesioner tersebut hanya berisi inisial dari nama

responden tersebut.

3. Kerahasiaan

Peneliti akan menjaga kerahasiaan dari responden, baik dari segi informasi

yang didapat maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah

dikumpulkan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu saja yang akan

dilaporka pada hasil riset nantinya.

4.5. Instrument penelitian

Instrument penelitian yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 3

bagian yaitu data demografi, kuesioner peran perawat, dan kuesioner kemampuan

bersosialisasi.

4.5.1. Kuesioner data demografi

Kuesioner data demografi terdiri dari inisial nama dari responden, usia, jenis

kelamin, agama, suku, dan tingkat pendidikan.

4.5.2. Kuesioner peran perawat

Kuesioner peran perawat ini terdiri dari 10 pernyataan dengan pilihan


(47)

= 3 dan TP = 4 sedangkan pada pernyataan 2 – 10 berisi pernyataan positif dengan

penilaian SL = 4, SR = 3, KD = 2 dan TP = 1 dan kemudian hasil penilaian

tersebut dianalisa dengan menggunakan skala likert, untuk melihat rentang dari

jawaban tersebut digunakan rumus :

panjang kelas = rentang kelas banyak kelas

Dari rumus diatas didapati hasil adalah 10. Jadi, responden yang memiliki

score 10 – 19 dikatakan buruk, responden yang memiliki score 20 – 29 dikatakan

cukup dan responden yang memiliki score 30 – 40 dikatakan baik.

4.5.3. Kuesioner kemampuan bersosialisasi

Kuesioner kemampuan bersosialisasi ini terdiri dari 15 pertanyaan dengan

pilihan jawaban selalu (SL), sering (SR), kadang – kadang (KD), dan tidak pernah

(TP). Pada pertanyaan 1 – 10 berisi pertanyaan yang bersifat positif dengan

penilaian SL = 4, SR = 3, KD = 2 dan TP = 1 dan kemudian hasil penilaian

tersebut akan dianalisa dengan menggunakan skala likert, untuk melihat rentang

dari jawaban tersebut digunakan rumus :

panjang kelas = rentang kelas banyak kelas

Dari rumus diatas didapati hasil adalah 15. Jadi, responden yang memiliki

score 15 – 29 dikatakan buruk, responden yang memiliki score 30 – 44 dikatakan


(48)

4.6. Uji Validitas dan Reliabilitas 4.6.1. Uji Validitas

Uji validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana kecepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.

Suatu tes atau instrument pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang

tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil

ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Alat ukur

yang valid adalah yang memiliki varians eror yang kecil (karena eror

pengukurannya kecil) sehingga angka yang dihasilkannya dapat dipercaya sebagai

angka yang “ sebenarnya “ atau angka yang mendekati angka yang sebenarnya

(Azwar, 2003).

Kuesioner ini divalidasi dengan kuesioner isi yang merujuk kepada

hubungan peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pasien isolasi sosial di

Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan. Kuesioner ini telah

divalidasi oleh salah satu Dosen di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

Utara yang ahli dibidang Keperawatan Jiwa. Sehingga kuesioner ini telah layak

untuk dilakukannya penelitian

4.7. Uji reliabilitas

Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukun atau pengamatan yang

dilakukan oleh orang yang berbeda dan waktu yang berbeda ( Setiadi, 2007 ).

Reliabilitas instrument pengukuran mengacu pada kemampuannya untuk mendapatkan hasil yang konsisten saat dipakai ulang. Reliabilitas biasanya


(49)

menunjukkan reliabilitas yang tinggi. Instrument pengukuran yang memiliki

reliabilitas sempurna, koefisiennya 1,00. Akan tetapi, jarang sekali instrument

pengukuran yang benar – benar reliabel ( Dempsey, 2002 ).

Uji reliabilitas ini dilakukan untuk mengetahui hubungan peran perawat

dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial, kemudian jawaban

yang diberikan oleh responden diolah dengan menggunakan bantuan

komputerisasi. Setelah dilakukan uji reliabilitas, jika diperoleh nilai cronbach’s

alpha 0,70 terhadap 30 klien maka instrument dikatakan reliabel (Polit & Hungler,

2001). Namun, karena keterbatasan jumlah perawat jiwa yang berada di kota

Medan. Peneliti hanya mengambil 10 responden yang bekerja di Rumah Sakit

Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan diluar dari jumlah responden yang

dijadikan sampel. Hasil reliabilitas yang diperoleh dari 10 responden ialah 0.90.

Berdasarkan hasil tersebut maka instrument dikatakan reliabel.

4.8. Teknik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara

1. Mendapatkan izin dari Fakultas Keperawatan USU

2. Mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada pihak Rumah Sakit

Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan sebagai tempat akan

dilakukannya penelitian yang diperoleh dari institusi pendidikan di

Fakultas Keperawatan USU ke tempat penelitian ( Rumah Sakit Jiwa


(50)

3. Setelah memperoleh izin dari pihak Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov.

Sumatera Utara Medan, peneliti mulai melaakukan pengumpulan data

penelitian.

4. Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu menjelaskan

kepada responden tentang tujuan dilakukannya penelitian dan cara

pengisian kuesioner tersebut. Jika responden bersedia maka responden

diminta untuk menandatangani informed consent.

5. Setelah responden menandatangani informed consent, responden diminta

untuk mengisi lembar kuesioner selama 20 menit. Selama proses pengisian

berlangsung, responden diberi kesempatan untuk bertanya jika ada hal

yang tidak dimengerti dari isi kuesioner tersebut.

6. Setelah seluruh responden selesai mengisi data demografi dan kuesioner

yang diberikan oleh peneliti, kuesioner dikumpulkan kembali kepada

peneliti. Maka akan diperoleh data yang kemudian akan dilakukan analisa

lebih lanjut.

4.9. Analisa Data

Proses analisa data dilakukan setelah seluruh data terkumpul melalui

beberapa tahap, yaitu editing yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk melakukan pengecekan dan perbaikan isian formulir/kuesioner, apakah data

tersebut lengkap dan semua data terisi sesuai dengan petunjuk. Coding setelah semua kuesioner diedit/disunting, selanjutnya dilakukan kalimat/huruf menjadi


(51)

untuk memeriksa kembali data yang telah di-entry apakah terjadi kesalahan atau tidak.

Metode statistik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini ialah

1. Statistik Univariat

Analisa univariat ini digunakan untuk menganalisa variabel independen

(data demografi dan peran perawat) dan variabel dependen (kemampuan

bersosialisasi pasien isolasi sosial) secara tersendiri. Data tentang variabel

dependen dan independen akan ditampilkan dalam tabel distribusi frekuensi. Data

demografi juga ditampilkan dalam table distribusi frekuensi.

2. Statistik bivariat

Untuk melihat hubungan antara variabel independen (peran perawat) dan

variabel dependen (kemampuan bersosialisasi pasien isolasi sosial).

Analisa terhadap data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 16.0. Dan

prosedur statistik yang digunakan adalah korelasi Spearman (rank-order correlation Spearman’s rho). Hasil analisa ditampilkan dalam bentuk tabel hasil

uji interpretasi yang terdiri dari nilai ρ, nilai ρ dan arah korelasi. Nilai ρ menginterpretasikan kekuatan hubungan, nilai signifikan (ρ) untuk uji satu arah. Jika nilai ρ lebih kecil atau sama dengan nilai α (0,05) berarti terdapat hubungan yang signifikan dan bila nilai ρ lebih dari nilai α (0,05) berarti terdapat hubungan

yang tidak signifikan. Arah korelasi diinterpretasikan dengan nilai korelasi (+)

atau searah apabila semakin besar nilai satu variabel, makin besar pula variabel

lainnya dan nilai korelasi (-) atau berlawanan arah yaitu semakin besar nilai satu


(52)

Interpretasi hasil uji korelasi didasarkan pada nilai p, kekuatan korelasi,

serta arah korelasi menurut Dahlan (2008). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

tabel berikut.

Tabel 4.1. Kriteria Penafsiran Korelasi

No. Parameter Nilai Interpretasi

1. Kekuatan korelasi (r) 0,00-0,199 0,120-0,399

0,40-0,599 0,60-0,799 0,80-1,000

Sangat lemah Lemah Sedang Kuat Sangat kuat

2. Nilai p p<0,05

p>0,05

Terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji.

Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji.

3. Arah korelasi (+) positif

(-) negatif

Searah, semakin besar nilai satu variabel lainnya. Berlawanan arah, semakin besar nilai satu variabel, semakin kecil variabel lainnya.


(53)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil serta pembahasan tentang hubungan peran

perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial di Rumah

Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan.

5.1. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan tentang hubungan peran perawat dengan

kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Prov. Sumatera Utara Medan. Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian

ini berjumlah 40 orang responden yang sesuai dengan kriteria yang telah

ditetapkan oleh peneliti.

5.1.1.Analisa Univariat

Analisa Univariat pada penelitian ini menggambarkan karakteristik

demografi dan peran perawat yang digambarkan dalam tabel distribusi frekuensi.

a. Karakteristik demografi

Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah perawat yang bekerja

di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan yang memiliki

masa kerja di atas 3 tahun. Adapun karakteristik yang digambarkan seperti

usia, jenis kelamin, agama, suku, dan tingkat pendidikan.

Data yang ditampilkan menunjukkan bahwa rata – rata usia perawat yang

bekerja di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara adalah 36 tahun,

dengan usia terbanyak yaitu 35 tahun (10%) dan usia terkecil yaitu 23 tahun


(54)

(50%), mayoritas responden bersuku batak toba yaitu sebanyak 13 orang

(32,5%), dan rata – rata tingkat pendidikan yang dimiliki responden

D3-Keprawatan sebanyak 21 orang (52,5%).

Hasil penelitian tentang karakteristik demografi lebih jelas dapat dilihat

pada tabel berikut ini.

Tabel 5.1 : karakteristik perawat berdasarkan umur (n=40)

Data demografi Mean Median Standar

deviasi

Minimum Maximal

Umur 36 35 8 23 54

Tabel 5.2. : Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik perawat berdasarkan jenis kelamin, agama, suku, dan tingkat pendidikan

(n = 40)

karakteristik frekuensi Persentase (%)

Jenis kelamin Perempuan Laki – laki

33 7 82.5 17.5 Agama Islam Kristen Protestan Kristen Katolik 20 19 1 50 47.5 2.5 Suku Batak toba Batak mandailing Batak karo Jawa Melayu Aceh Lainnya 13 5 9 5 2 2 4 32.5 12.5 22.5 12.5 5.0 5.0 5.0 Tingkat pendidikan

D3 – Kep S1 – Kep

21 19

52.5 47.5

b. Peran Perawat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 40 orang responden


(55)

dengan baik sebanyak 38 responden (95%), dan yang menjalankan perannya

sebagai seorang perawat dengan cukup sebanyak 2 responden (5%),

sedangkan perawat yang menjalankan perannya dengan buruk sebanyak 0

responden (0%). Jadi, secara umum perawat yang bekerja di Rumah Sakit

Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan menjalankan perannya dengan

baik.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Peran Perawat di Rumah sakit jiwa daerah prov. Sumatera utara medan (n=40)

Peran Perawat Frekuensi Persentase (%)

Baik 38 95

Cukup 2 5

Buruk _ _

c. Kemampuan Bersosialisasi

Hasil penelitian ini menunjukkan dari 40 responden bahwa pasien isolasi

sosial yang memiliki kemampuan bersosialisasi baik sebanyak 14 responden

(35%), dan pasien isolasi sosial yang memiliki kemampuan bersosialisasi

cukup sebanyak 23 responden (57.5%), sedangkan pasien isolasi sosial yang

memiliki kemampuan bersosialisasi buruk sebanyak 3 responden (7.5%).

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Kemampuan Bersosialisasi pasien Isolasi Sosial (n=40)

Kemampuan bersosialisasi Frekuensi Persentase (%)

Baik 14 35

Cukup 23 57.5


(56)

5.1.2.Analisa Bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan yang

signifikan antara dua variabel yang diteliti. Analisa data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah uji spearman rho’. Uji spearman ini bertujuan untuk melihat hubungan peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi

sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Jiwa

Daerah Prov. Sumatera Utara Medan, ternyata terdapat hubungan yang signifikan

antara peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pasien isolasi sosial.

Berdasarkan tabel penafsiran korelasi menurut Dahlan (2008) dapat dikatakan

bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan dengan arah

yang positif dimana nilai yang diperoleh adalah 0.004 ( p – 0.05) dan dengan

kekuatan korelasi sedang (0.449).

Tabel 5.5. : hasil Uji korelasi Spearman rho’ antara peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial di Rumah Sakit

Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan (n=40)

Variabel 1 Variabel 2 R P - Value Keterangan

Peran Perawat Kemampuan

bersosialisasi

0.449 0.004 Terdapat hubungan yang

bermakna positif antata dua variabel yang diuji, dengan kekuatan korelasi sedang.

5.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh maka akan dilakukan

pembahasan atas pertanyaan penelitian tentang hubungan peran perawat dengan


(57)

5.2.1.Peran Perawat

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari tabel distribusi frekuensi

dan persentase peran perawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara

bahwa 38 responden (95%) yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa tersebut telah

menjalankan perannya dengan baik dan 2 responden (5%) lainnya telah

menjalankan perannya dengan cukup baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

secara keseluruhan perawat yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov.

Sumatera Utara telah menjalankan perannya sebagai sorang perawat dengan baik.

Menurut (Hidayat, 2007) Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang

diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukannya

dalam suatu sistem. Peran dalam bidang keperawatan adalah suatu cara dalam

melakukan pelaksanaan praktik pelayanan kesehatan (Kozier Barbara, 2011).

Peran perawat itu sendiri ialah berupa suatu cara untuk menyatakan aktivitas

perawat dalam melakukan pelaksanaan praktik pelayanan perawatan.

Perawat yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara

Medan telah melakukan perannya sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang

ada. Dari penelitian ini ditunjukkan bahwa sebanyak 95% perawat yang bekerja di

Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan telah menjalankan

peranny sebagai seorang perawat dengan baik. Hal ini sesuai dengan tingkat

pendidikan yang dimiliki oleh perawat yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa tersebut

yang mayoritas mempunyai pendidikan D3 – Keperawatan yaitu sebanyak 21


(58)

semakin banyak pula pengetahuan yang dimilki. hal ini juga didukung dengan

tingkat usia perawat yang berada di Rumah Sakit Jiwa tersebut yang mayoritas

berusia 35 tahun, dimana usia tersebut merupakan usia produktif dalam bekerja.

Menurut badan statistika dikatakan bahwa usia proktif untuk bekerja adalah antara

15 – 50 tahun (Prianti, 2011).

5.2.2.Kemampuan Bersosialisasi

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari tabel distribusi frekuensi

dan persentase kemampuan bersosialisasi pasien isolasi sosial didapati 14 orang

responden (35%) menjawab bahwa klien isolasi sosial memilki kemampuan

bersosialisasi secara baik, 23 responden (57.5%) menjawab bahwa klien isolasi

sosial memilki kmampuan bersosialisasi secara cukup baik, sedangkan 3

responden (7.5%) lainnya menjawab bahwa klien isolasi sosial memiliki

kemampuan bersosialisasi yang buruk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara

keseluruhan klien isolasi sosial yang berada di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov.

Sumatera Utara Medan telah memiliki kemampuan bersosialisasi cukup baik

dengan lingkungan sekitarnya.

Sosialisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses seumur hidup dimana

seorang individu mempelajari kebiasaan – kebiasaan yang meliputi cara – cara

hidup, nilai – nilai dan norma sosial yang terdapat di dalam masyarakat agar dapat

diterima oleh masyarakat sekitarnya (Purba, 2009). Sedangkan kemampuan

bersosialisasi adalah kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam menjalankan

hubungan saling berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain atau


(59)

Klien yang mengalami gangguan sosialisasi memiliki kesulitan dalam

melakukan interaksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Klien

mungkin merasa dirinya ditolak sehingga klien menarik diri dari lingkungannya.

Biasanya individu yang mengalami isolasi sosial akan memiliki dampak negatif

dari lingkungan tempat tinggalnya, sehingga hal ini dapat memperburuk kondisi

klien tersebut. Dalam hal penanganan klien isolasi sosial ini dibutuhkan waktu

yang cukup lama agar dapat berinteraksi secara langsung. Hal ini sesuai dengan

pendapat (Keliat, 2009) bahwa dalam melakukan penanganan terhadap klien

isolasi sosial dibutuhkan waktu yang cukup lama dalam berinteraksi. Terlebih

dahulu sebaiknya membina hubungan saling percaya dengan klien karena klien

isolasi sosial itu sendiri sangat sulit untuk mempercayai orang lain.

Berdasarkan hal penanganan klien isolasi sosial penting bagi perawat untuk

membuat pertemuan terjadwal dengan klien untuk mengatasi masalah yang

dihadapinya. Bentuk pertemuan yang dapat dilakukan oleh perawat ialah dengan

memberikan intervensi kepada klien isolasi sosial tentang pentingnnya

bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dan melatih klien untuk berkenalan

dengan teman – teman disekitarnya. Dengan melakukan pendekatan yang baik

dan pemberian intervensi yang konsisten pada klien isolasi sosial maka hal

tersebut dapat meningkatkan kemampuan bersosialisasi klien tersebut.

5.2.3.Hubungan peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien

isolasi sosial


(60)

dengan nilai p – value adalah 0.004 dimana jika nilai p < 0.05 maka terdapat

hubungan yang searah antara dua variabel tersebut. Kekuatan korelasi yang

ditunjukkan adalah 0.499 dimana jika nilai r berada pada 0.40 – 0.599 maka

kekuatan korelasi tersebut sedang, hal ini mungkin dapat dipengaruhi oleh faktor

usia dan tingkat pendidikan perawat yang berada di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Prov. Sumatera Utara Medan yang secara keseluruhan memiliki jenjang

pendidikan d-3, dan pada pasien isolasi sosial sendiri yang masih sulit untuk

melakukan interaksi dengan perawat yang berada di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Prov. Sumatera Utara Medan. Arah korelasi yang diperoleh berdasarkan hasil

penelitian tersebut ialah positif, dimana semakin tinggi peran perawat yang

dilakukan maka semakin tinggi pula kemampuan bersosialisasi klien isolasi sosial

tersebut.

Hasil penelitian diperoleh bahwa perawat yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa

Daerah Prov. Sumatera Utara Medan telah melakukan perannya sebagai seorang

perawat dengan baik sesuai dengan standar asuhan keperawatan dan klien isolasi

sosial yang berada di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan

memiliki kemampuan bersosialisasi yang cukup baik. Berdasarkan hasil tersebut

dapat dilihat bahwa semakin baik peran perawat yang dilakukan maka semakin

baik pula kemampuan bersosialisasi klien isolasi sosial tersebut.

Hal ini sesuai dengan pendapat (Viedebeck,2008) bahwa di Indonesia

sendiri penanganan gangguan jiwa telah menangani peningkatan karena perawat

telah berperan secara langsung dalam melakukan tindakan kepada klien gangguan


(61)

mendalam kepada klien isolasi sosial tersebut agar perawat dapat mengetahui

masalah yang dialami klien sehingga dapat diberikan intervensi kepada klien

isolasi sosial tersebut agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Keliat (2009) juga berpendapat bahwa perawat juga tidak mungkin secara

drastis dapat mengubah kebiasaan dari klien isolasi sosial itu sendiri, karena klien

isolasi sosial itu sendiri sangat sulit percaya kepada orang lain. Oleh karena itu

perawat harus bersikap terapeutik secara konsisten kepada klien isolasi sosial,

misalnya seperti menepati janji dengan klien. Pada awalnya klien isolasi sosial

hanya akan akrab dan melakukan interaksi dengan perawat saja, namun dengan

bantuan dari perawat secara bertahap klien isolasi sosial akan mampu berinteraksi

dengan lingkungan disekitarnya.

Klien isolasi sosial yang tidak memiliki kemampuan bersosialisasi ialah

cenderung menarik diri, tidak mendengarkan intruksi yang diberikan, tidak

mampu menunjukkan apa yang dirasakan oleh hati dan pikirannya. Dengan

dilakukannya pendekatan secara bertahap, maka klien isolasi sosial akan mampu

memahami instruksi yang diberikan dan mampu menunjukkan apa yang dirasakan

oleh hati dan pikirannya. Dari aspek tingkah laku sosial nya klien isolasi sosial

telah mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya misalnya seperti menegur

sapa teman – temannya. Hal ini dapat terwujud jika perawat tetap berperan secara

langsung dalam penangan klien isolasi sosial.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Hipotesa alternatif (Ha) diterima,

dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh bahwa terdapat hubungan


(62)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat

diambil kesimpulan mengenai hubungan peran perawat dengan kemampuan

bersosilaisasi pada pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov.

Sumatera Utara Medan.

4.10. Kesimpulan hasil penelitian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pasien isolasi sosial.

Berdasarkan hasil dari tabel distribusi frekuensi dan persentase diperoleh

bahwa 40 responden yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera

Utara Medan yang menjalankan perannya dengan baik sebanyak 38 responden

(95%) dan 2 responden (5%) lainnya menjalankan perannya sebagai seorang

perawat dengan cukup baik. Sedangkan untuk kemampuan bersosialisasi pasien

isolasi sosial, dari 40 responden 14 orang (35%) diantaranya menjawab bahwa

klien isolasi sosial memilki kemampuan bersosialisasi baik, 23 orang responden

(57.5%) menjawab bahwa klien isolasi sosial memilki kemampuan bersosialisasi

cukup baik dan 3 orang responden (7.5%) menjawab klien isolasi sosial memiliki

kemampuan sosialisasi yang buruk.

Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik spearman rho’. Uji statistik ini digunakan untuk melihat adanya hubungan antara dua variabel yang diuji. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji


(63)

peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial. Hal ini

dibuktikan dengan diperoleh hasil dimana r 0.499 dimana dapat dikatakan bahwa kekuatan korelasi yang dimilki sedang dan dengan nilai p – value 0.004 (p <0.05).

4.11. Saran

4.11.1.Bagi praktik keperawatan

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan terhadap peran perawat dan standar asuhan keperawatan yang harus

dipatuhi. Diharapkan perawat dapat menerapkan standar asuhan keperawatan

terhadap klien dan perawat juga harus dapat menjalankan perannya sesuai dengan

keadaan yang berlaku.

4.11.2.Bagi pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perkembangan

keperawatan jiwa bahwa peran seorang perawat sangat diperlukan dalam

meningkatkan kemampuan bersosialisasi pasien isolasi sosial.

4.11.3.Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dilanjutkan untuk peneliti selanjutnya

dengan cara mengobservasi secara langsung terhadap perawat dan klien isolasi


(64)

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, A. Aziz. (2003). Riset Keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika

Azwar, Saifuddin. (2003). Reliabilitas dan Validitas. Cetakan 4, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Brockopp, D.Y. & Tolsma, M.T.H. (2000). Dasar – dasar riset keperawatan.

Edisi 2. Jakarta : EGC

Dahlan, Muhamad Sopiyudin. (2008). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan.

Jakarta : Salemba Medika

Dempsey, Patricia Ann and Dempsey, Athur D. (2002). Riset Keperawatan Buku Ajar & Latihan. Edisi 4, Jakarta : EGC

Erlinafsiah. ( 2010 ). Model perawat dalam praktik keperawatan jiwa. Jakarta : Penerbit Buku Kesehatan

Fitria, Nita. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.

Hidayat, Aziz Alimul. (2009). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Hidayat, Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah (Ed. 2). Jakarta: Salemba Medika.

Hidayat, Aziz Alimul. (2009). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika.

Keliat, Anna. (2009). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC

Murti, Tri. (2012). Hubungan pola asuh keluarga dengan frekuensi perilaku kekerasan pada pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan. Skripsi (tidak diterbitkan). Medan : Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.


(65)

Nasution, Riski. (2010). Pengaruh penerapan strategi pertemuan terhadap kemampuan sosialisasi klien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan. Diperoleh pada tanggal 19/10/2012 dari

Notoadmodjo, Soekodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Novita, Martha. (2011). Peran perawat dalam meningkatkan kemampuan bersosialisasi pada penderita Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011. Diperoleh pada tanggal 19/10/2012

da

Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Purba dkk. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press

Purba, John Edison. (2009). Pengaruh Intervensi Rehabilitasi Terhadap

Ketidakmampuan Bersosialisasi pada Penderita Skizofrenia yang Dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Tesis (tidak

diterbitkan) Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Polit, D.F. beck CT. & Hungler B.P. (2001).essensial of nursing research: mettodes, appraisal, and utilization. 5th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Stuart, GW and Sundeen, SJ. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC.

Stuart, GW and Sundeen, SJ. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5, Jakarta : EGC

Ummiyana, Azizah (2011). Peran perawat sebelum dan sesudah ECT di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Diperoleh tanggal

19/10/2012 dari :

Videbeck, Sheila L. (2008). Buku ajar keperawatan Jiwa. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : EGC

Yosep, iyus. April (2009). Keperawatan jiwa. Edisi revisi. Bandung : PT. Refika aditama


(1)

Nama : Dini Arti

Tempat/tanggal lahir : Medan, 28 Desember 1991

Alamat : Jln. Binjai km 13,5 Psr.kecil komp. SD N 101735

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Riwayat pendidikan

1. 1996 – 1997 : TK Al – Ikhlas Sei semayang

2. 1997 – 2003 : SD Negeri no. 101735 Sei semayang 3. 2003 – 2006 : SMP Negeri 1 Sunggal

4. 2006 – 2009 : SMA Negeri 3 Binjai


(2)

Lampiran 5

Taksasi Dana

1. Persiapan Proposal

- Biaya kertas print proposal Rp 60.000,-

- Biaya tinta Rp 40.000,-

- Biaya internet Rp 100.000,-

- Biaya fotocopy Rp 20.000,-

- Perbanyak proposal dan penjilidan Rp 30.000,

- Konsumsi saat sidang proposal Rp 100.000,-

2. Pengumpulan Data

- Biaya Transportasi Rp. 100.000,-

- Biaya souvenir Rp. 100.000,-

- Biaya Izin Penelitian Rp. 100.000,-

- Perbanyak kuesioner Rp. 20.000,-

3. Persiapan Skripsi

- Biaya kertas dan tinta print Rp. 100.000,-

- Penggandaan dan penjilidan skripsi Rp. 50.000,-

- Konsumsi Rp. 200.000,-

- Biaya Skripsi Rp. 450.000,-

4. Biaya tak terduga Rp. 100.000,-


(3)

No Kegiatan September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 2 3 4 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 1 Mengajukan topik/judul

penelitian

2 Merevesi topik/ judul

penelitian dan penetapan judul/ topik penelitian

3 Melakukan survei awal

4 Melakukan penyelesaian bab I hingga bab IV

5 Seminar proposal penelitian

6 Revisi proposal penelitian

7. Uji Validitas

8. Uji Reliabilitas

9. Mengurus surat penelitian

10. Pengumpulan data penelitian

11. Analisa data

12. Seminar hasil penelitian

10 Revisi dan pengumpulan laporan penelitian


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Peran Perawat Dalam Meningkatkan Kemampuan Bersosialisasi Pada Penderita Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

3 132 64

Hubungan Supervisi Klinis dengan Kepuasan Kerja Perawat Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara

4 54 130

Manajemen Pelayanan Dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Isolasi Sosial Di Ruang Cempaka Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 62 149

Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Dengan Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Medan

7 92 96

Hubungan Pengetahuan Dengan Peran Perawat Dalam Penanganan Pasien Perihku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012

11 145 81

Peran Perawat Dalam Meningkatkan Kemampuan Bersosialisasi Pada Penderita Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011

0 36 64

Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok: Sosialisasi terhadap Kemampuan Sosialisasi Pasien Isolasi Sosial di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

1 42 107

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Peran - Peran Perawat Dalam Meningkatkan Kemampuan Bersosialisasi Pada Penderita Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 13

Hubungan Pengetahuan Dengan Peran Perawat Dalam Penanganan Pasien Perihku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012

0 0 23

PENGARUH OLAHRAGA KELOMPOK TERHADAP KEMAMPUAN BERSOSIALISASI PADA PASIEN ISOLASI SOSIAL DI RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN

0 0 95