Model Struktur Tegakan Pasca Penebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

(1)

MODEL STRUKTUR TEGAKAN

PASCA PENEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR

TEBANG PILIH TANAM JALUR

(Studi Kasus di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

RINA PATRYCIA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(2)

RINGKASAN

RINA PATRYCIA. E14050419. Model Struktur Tegakan Pasca Penebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah). Dibimbing oleh TEDDY RUSOLONO

Kegiatan pemanfaatan hutan dapat mengakibatkan kerusakan pada tegakan yang tidak ditebang (tegakan tinggal). Tegakan bekas tebangan akan sangat sulit untuk kembali seperti hutan perawan karena akan banyak kerusakannya, baik fisik maupun non fisik. Kerusakan fisik hutan dapat dilihat dari struktur tajuk tegakan dan keterbukaan hutan yaitu struktur tegakan dan komposisi jenis. Tingkat kerusakan tegakan tinggal juga dipengaruhi oleh sistem silvikultur karena pada setiap sistem silvikultur akan berbeda permudaan dan limit diameter penebangannya. Untuk menerangkan kondisi struktur tegakan dapat menggunakan model-model famili sebaran seperti famili sebaran Lognormal, Gamma, Eksponensial negatif dan Weibull. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari komposisi dan struktur tegakan tinggal pada sistem TPTJ serta mengetahui model famili sebaran terbaik yang dapat menggambarkan struktur tegakan tinggal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dan informasi sebagai evaluasi kondisi tegakan tinggal di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah.

Penelitian ini dilaksanakan di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah pada bulan Mei-Juni 2009. Data yang digunakan ialah data pengukuran diameter pohon dengan diameter ≥ 5 cm dan pengamatan terhadap tajuk pohon yang dilakukan pada areal kondisi 3 tahun, 4 tahun, dan 6 tahun setelah penebangan dengan sistem TPTJ dibuat petak contoh berukuran 100m x 100m (1ha) kemudian dibuat jalur contoh dengan ukuran 25m x 100m.

Berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan di lapangan. Komposisi jenis yang dominan pada petak bekas tebangan ialah pada tingkat permudaan pancang dan kelompok jenis non-Dipterocarpaceae. Struktur tegakan tinggal mengalami penurunan kerapatan. Kelompok non-Dipterocarpaceae lebih rapat daripada kelompok Dipterocarpaceae hal ini berarti kedepannya potensi non-Dipterocarpaceae lebih besar daripada non-Dipterocarpaceae. Kegiatan pemanfaatan hutan juga mengakibatkan terjadinya kerusakan pada tajuk pohon. Tajuk pohon mempengaruhi suatu pohon karena pada tajuk kegiatan fotosintesis berlangsung yang diperlukan pohon untuk hidup. Posisi tajuk pohon pada pohon besar terbuka secara vertikal dan bebas dari kompetisi lateral sehingga dapat memperoleh sinar matahari secara penuh, sedangkan bentuk tajuk pohon cukup baik namun terdapat beberapa cabang yang mati atau rusak. Untuk menduga pola struktur tegakan pasca penebangan di lapangan model famili sebaran Lognormal dapat digunakan karena model Lognormal lebih mendekati kondisi di lapangan. Model famili sebaran dapat digunakan untuk menduga dimensi tegakan seperti kerapatan tegakan, luas bidang dasar tegakan, dan volume tegakan.


(3)

SUMMARY

RINA PATRYCIA. E14050419. Model of Post-Logging Stand Structure with Silviculture System of Selective Cutting and Line Planting (Case Study at PT. Erna Djuliawati, Central Kalimantan). Under supervised by TEDDY RUSOLONO

Forest utilization activities may cause damages to the uncut stands (the residual stand). Logged-over stands will be very difficult to return as virgin forest because a lot of damage, either physical or non physical. Physical damage can be seen from the forest canopy structure of stands and the openness of forest, those are the stands structure and species composition. The level of residual stands damage is also influenced by silvicultural system because in each silvicultural system will be different in regeneration and diameter limit of logging. To explain the structural condition of stands, it can use family distribution models such as the lognormal family distribution, Gamma, negative exponential and Weibull. This research aims to discover and study the composition and structure of the residual stand of TPTJ system and know the best distribution of family models that can describe the structure of the residual stand. The results of this research is expected to be used as data and information as the evaluation of residual stand conditions in PT. Erna Djuliawati, Central Kalimantan.

This research was conducted at PT. Erna Djuliawati, Central Kalimantan in May-June 2009. The data used are the tree diameter measurement data with diameter ≥ 5 cm and observations of tree canopies on γ years, 4 years and 6 years areas condition after logging with TPTJ system, made example plots sized 100m x 100m (1ha) then made an example path 25m x 100m in size.

Based on the results of measurements and observations in the ground. The composition of the dominant species in logged-over patch is in rate of stake regeneration stake and the groups of non-Dipterocarpaceae species. Structure of the residual stand density decreased. Non-Dipterocarpaceae groups are denser than the Dipterocarpaceae which means that the future potential of non-Dipterocarpaceae greater than non-Dipterocarpaceae. Forest utilization activities also result in damage to the tree canopy. Tree canopy affect a tree because the canopy photosynthetic for the tree living takes place in canopy. The position of canopy in huge tree opens vertically and free of lateral competition in order it can obtain the sunlight fully, while the form of tree canopy is good, but there are several branches of dead or damaged. To expect the pattern of post-logging stand structure in the ground, lognormal family models can be used since lognormal model is closer to the ground conditions. Family distribution model can be used to predict dimensions of stands of stands such as density, stand basal area, and volume of stands.

Keywords: Stand Structure, Family Distribution Model, Selective Cutting and Line Planting


(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Model Struktur Tegakan Pasca Penebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2010

Rina Patrycia NRP E14050419


(5)

Judul Skripsi : Model Struktur Tegakan Pasca Penebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di

PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah) Nama Mahasiswa : Rina Patrycia

Nomor Pokok : E14050419

Menyetujui : Dosen Pembimbing,

Dr.Ir. Teddy Rusolono, MS NIP. 19621024 198803 1 002

Tanggal :

Mengetahui :

Ketua Departemen Manajemen Hutan

(Dr.Ir. Didik Suharjito, MS) NIP. 19630401 199403 1 001


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 April 1987 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dengan ayah bernama Buttu Surungan Gultom (Alm.) dan Ibu Erlyna Suzana M Hutabarat.

Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMUN 32 Jakarta. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2006, penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB melalui sistem mayor-minor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni anggota di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dan Komisi Pelayanan Anak (KPA) IPB, anggota Persekutuan Fakultas Kehutanan, Panitia Bina Corps Rimbawan Fakultas Kehutanan (2008), Panitia Natal CIVA IPB (2007). Selain itu penulis juga mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Kamojang-Sancang, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK HA PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah. Pada tahun 2008, penulis pernah menjadi asisten praktikum Inventarisasi Sumberdaya Hutan (ISDH).

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Model Struktur Tegakan Pasca Penebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di PT.Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah) dibimbing oleh Dr.Ir. Teddy Rusolono, MS.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala anugerah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2009 adalah “Model

Struktur Tegakan Pasca Penebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi kasus di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

1. Bapak Dr. Ir. Teddy Rusolono MS., selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian serta pembuatan skripsi.

2. Bapak Ir. Slamet Widodo, Bapak Indra Sumarta, SE (Manager Camp PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tengah), Eka Kusdiandra Wardana, S.Hut. Msi (Wakil Manager Camp dan Kepala SPI), Edward Vincent Pattiata, Ir. Teddy Christianto, Budi Harsana, S.Hut, Ir. Aspin Simarmata dan Afrit yang telah mengizinkan penulis untuk melaksanakan penelitian di PT.Erna Djuliawati dan telah membantu penulis dalam penelitian.

3. Ruli E, Pak Paulus, Pak Markus, Pak Kamto, Pak Pius, Pak Andreas, Pak Ogol, Pak Lukas, Nuri, Melky yang telah membantu penulis di lapangan. 4. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Papa (Alm), Mama,

Abang dr. Elvin E.R, Abang Willy A, Kak Diana, Yessica serta Mirell yang tak henti memberikan doa dan motivasi pada penulis.

5. Maryani SP atas bantuan serta dukungannya. Teman satu PKL Ferry Moji, Agha R, Dedy W, Sambang P, dan Putri K.S

6. Doris Debora, Afwan Afwandi, Eka Naeni, Imara Nindya, Mitha, Ika Novi, Hefrina, Mei, dan teman-teman Manajamen Hutan 42 atas dukungannya kepada penulis serta kepada Jessi Linar T, Ka Donarina, Eka Rakhelia, dan Ruly Duma.

Terimakasih atas kerjasamanya serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2010 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi dan Struktur Tegakan ... 3

2.2 Stratifikasi Tajuk ... 3

2.3 Sistem Silvikultur TPTJ ... 5

2.4 Model Struktur Tegakan ... 7

2.5 Metoda Kemungkinan Maksimum ... 8

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 10

3.2 Bahan dan Alat ... 10

3.3 Metode Penelitian... 10

3.4 Analisis Data ... 12

3.4.1 Pemeriksaan Data ... 12

3.4.2 Pemilihan Model ... 12

3.4.3 Penerapan Model ... 16

3.4.4 Pengujian Kesesuaian Model ... 17

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Posisi Geografis... 19

4.2 Keadaan Vegetasi ... 19

4.3 Jenis Tanah dan Topografi ... 19

4.4 Iklim dan Intensitas Hujan ... 20

4.5 Kependudukan, Pendidikan, dan Agama ... 21


(9)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Komposisi Jenis dalam Tegakan ... 23

5.2 Distribusi Jumlah Pohon ... 24

5.2.1 Distribusi jumlah pohon pada berbagai diameter ... 24

5.2.2 Klasifikasi Tajuk Pohon ... 28

5.3 Pemilihan Model Famili Sebaran ... 31

5.3.1 Model Terpilih ... 31

5.3.2 Perbandingan Struktur Tegakan Model Famili Sebaran Terpilih dengan Model Famili Sebaran Terpilih pada Sistem Silvikultur TPTI ... 36

5.4 Penerapan Model Famili Sebaran ... ……. 37

5.4.1 Kerapatan Pohon ... 38

5.4.2 Luas Bidang Dasar ... 39

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 42

6.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Lokasi petak penelitian ... 10 2. Kelas lereng dan topografi areal konsesi PT.Erna Djuliawati ... 20 3. Jumlah jenis pada berbagai kondisi petak bekas tebangan dirinci

menurut kelompok jenis dan tingkatan pertumbuhannya ... 24 4. Kerapatan tegakan pada petak bekas tebangan tahun setelah

penebangan, Kelompok jenis, dan tingkat pertumbuhannya ... 25 5. Persentase posisi tajuk pohon terhadap pohon lain pada berbagai

kondisi setelah penebangan ... 29 6. Persentase bentuk tajuk pohon pada berbagai kondisi setelah

penebangan.. ... 31 7. Parameter sebaran pada setiap model famili sebaran menurut tahun

Setelah penebangan ... 32 8. Perbandingan nilai X2 hitung dengan X2 tabel pada kelompok

Dipterocarpaceae dan seluruh jenis ... 34 9 Hasil pengujian dalam pendugaan luas bidang dasar pada kelompok


(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Klasifikasi posisi tajuk menurut Dawkins ... 4 2. Klasifikasi bentuk tajuk menurut Dawkins ... 5 3. Bentuk dan ukuran petak contoh penelitian ... 11 4. Kurva kerapatan tegakan berbagai kondisi petak bekas tebangan

(a) kelompok Dipterocarpaceae; (b) kelompok non-Dipterocarpaceae;

(c) kelompok seluruh jenis dirinci menurut kelas diameter ... 27 5. Kurva persentase tajuk pohon pada berbagai kondisi bekas tebangan

yang Dirinci menurut klasifikasi Dawkins (a) posisi tajuk;

(b) bentuk tajuk ... 31 6. Grafik batang penduga kemungkinan maksimum pada : (a) kelompok

Dipterocarpaceae; (b) kelompok non-Dipterocarpaceae; (c) kelompok

seluruh jenis . ... 33 7. Perbandingan data aktual dengan model (Model-model famili sebaran

Lognormal, Eksponensial negatif, Gamma, Weibull) pada :

(a) kelompok Dipterocarpaceae; (b) kelompok non-Dipterocarpaceae;

(c) kelompok seluruh jenis ... 35 8. Perbandingan kerapatan individu menggunakan model famili sebaran

Lognormal pada Sistem Silvikultur TPTJ dengan TPTI ... 37 9. Perbandingan Luas bidang dasar (Lbds) aktual dengan model (Model-

model Famili Sebaran Lognormal, Eksponensial negatif, Gamma, dan Weibull) pada : (a) kelompok Dipterocarpaceae; (b) kelompok


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Daftar nama jenis pohon di areal PT. Erna Djuliawati ... ... 46 2. Nilai peluang pada kelas diameter dari Sebaran Eksponensial negatif,

Gamma, Lognormal untuk kelompok Dipterocarpaceae pada petak

bekas tebangan Et+6, Et+4, Et+3 ... 48 3. Nilai peluang pada kelas diameter dari Sebaran Eksponensial negatif,

Gamma, Lognormal untuk kelompok non-Dipterocarpaceae pada

petak bekas tebangan Et+6, Et+4, Et+3 ... 49 4. Nilai peluang pada kelas diameter dari Sebaran Eksponensial negatif,

Gamma, Lognormal untuk kelompok Seluruh jenis pada petak

bekas tebangan Et+6, Et+4, Et+3 ... 50 5. Contoh perhitungan data ... 51 6. Nilai Kerapatan Pohon (N) dan Luas Bidang Dasar (Lbds) untuk

Kelompok Dipterocarpaceae .... ... 52 7. Nilai Kerapatan Pohon (N) dan Luas Bidang Dasar (Lbds) untuk

Kelompok seluruh jenis .... ... 53 8. Nilai dugaan kerapatan pohon (N) per hektar untuk kelompok

Dipterocarpaceae pada petak tebang Et+6, Et+4, Et+3 ... 54 9. Nilai dugaan kerapatan pohon (N) per hektar untuk kelompok seluruh

jenis pada petak tebang Et+6, Et+4, Et+3 ... 55 10. Nilai Dugaan Luas Bidang Dasar (Lbds) untuk Kelompok

Dipterocarpaceae pada Petak Bekas Tebang Et+6, Et+4, Et+3 ... 56 11. Nilai Dugaan Luas Bidang Dasar (Lbds) untuk Kelompok


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan sumberdaya alam yang dinamis, yang mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu. Sejumlah tegakan bersama membentuk sebuah hutan (Husch et al. 2003). Tegakan adalah sekelompok pohon yang mendiami suatu kawasan yang memiliki beberapa karakteristik umum atau kombinasi karakteristik, seperti asal, komposisi jenis, ukuran, atau usia. Pertumbuhan tegakan hutan ini terlihat dari perubahan struktur tegakan, baik struktur tegakan vertikal maupun struktur tegakan horizontal. Struktur tegakan horizontal didefinisikan sebagai banyaknya pohon per satuan luas pada setiap kelas diameternya (Davis & Johnson 1987), sedangkan struktur tegakan vertikal didefinisikan oleh Richard (1966) sebagai sebaran individu pohon pada berbagai lapisan tajuk. Dalam penelitian ini struktur tegakan yang digunakan adalah struktur horizontal.

Struktur suatu tegakan sebelum dan sesudah penebangan akan berbeda. Struktur tegakan akan berubah dikarenakan kegiatan pemanfaatan hutan yang dapat mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal yang berada pada areal bekas tebangan. Tegakan bekas tebangan akan sangat sulit untuk kembali seperti hutan perawan (virgin forest) karena hutan yang sudah dilakukan penebangan akan banyak kerusakannya, baik fisik maupun non fisik. Kerusakan fisik hutan dapat dilihat dari struktur tajuk tegakan dan keterbukaan hutan. Tingkat kerusakan tegakan tinggal juga dipengaruhi oleh sistem silvikultur yang digunakan pada petak penebangan.

Dalam kegiatan pengembangan dan pengelolaan hutan dilakukan berbagai sistem silvikultur dengan teknik permudaan alam maupun buatan. Sebab dengan vegetasi hutan Indonesia yang beragam tipenya tidak dapat diterapkan satu sistem silvikultur saja untuk seluruh areal. Untuk memilih sistem silvikultur yang dipakai, khususnya pada hutan hujan tropis harus mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu keadaan hutan (struktur, komposisi, sifat silvikultur, produktivitas), keadaan pasar dan kemampuan pembiayaan (Muhdi 2005). Sistem silvikultur


(14)

yang telah diterapkan di Indonesia dalam usaha pengelolaan hutan, antara lain sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) serta Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) atau Silvikultur Intensif.

Pola struktur tegakan memiliki kekhasan tersendiri. Untuk menggambarkan pola struktur tegakan, terdapat beberapa model yang sering dicobakan untuk menerangkan perkembangan struktur tegakan. Model-model famili sebaran dapat digunakan untuk menduga model struktur tegakan. Model-model tersebut yaitu famili sebaran Lognormal, famili sebaran Gamma, famili sebaran Eksponensial negatif dan famili sebaran Weibull. Dalam penelitian ini akan dicobakan keempat model tersebut untuk mengetahui model distribusi diameter terbaik yang dapat menggambarkan struktur tegakan setelah penebangan.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendapatkan komposisi dan struktur tegakan tinggal pasca penebangan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).

2. Mendapatkan model distribusi diameter tegakan terbaik yang dapat menggambarkan struktur tegakan tinggal pada sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).

1.3 Manfaat

Hasil penelitian mengenai struktur tegakan dapat digunakan untuk menilai keadaan hutan dalam penerapan sistem silvikultur TPTJ serta menjadi data dan informasi untuk evaluasi mengenai kondisi tegakan tinggal di PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tengah.


(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komposisi dan Struktur Tegakan

Tegakan yaitu sekelompok pohon yang mempunyai ciri-ciri seragam mulai dari jenis, umur, dan ukuran (diameter, tinggi) (Arief 2001). Daniel et al. (1987) mendefinisikan tegakan sebagai unit agak homogen yang dapat dibedakan dengan jelas dari tegakan di sekitarnya oleh umur, komposisi, struktur, tempat tumbuh. Tegakan hutan sebelum dan sesudah penebangan akan mengalami perubahan komposisi dan struktur tegakan. Komposisi jenis merupakan salah satu nilai yang digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas yang telah terganggu (Departemen Kehutanan 1992). Soerianegara dan Indrawan (2005) menyatakan bahwa komposisi jenis dibedakan antara populasi (satu jenis) dan komunitas (beberapa jenis). Istilah komposisi menyatakan kekayaan floristik hutan tropika sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor tersebut membentuk suatu tegakan yang klimaks (Meuller – Dumbois & Ellenburg 1974 dalam Irwan 2009).

Struktur tegakan atau hutan menunjukan sebaran umur dan atau kelas diameter dan kelas tajuk (Daniel et al. 1987). Struktur tegakan dapat dilihat berdasarkan tingkat kerapatan sehingga akan menggambarkan kondisi suatu tegakan hutan (Departemen Kehutanan 1992). Sedangkan Richard (1966) memakai istilah struktur tegakan untuk menerangkan sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk hutan. Jenis pohon yang stabil harus memiliki struktur populasi untuk seluruh umur. Pada tegakan tidak seumur distribusi frekuensi jumlah pohon menurut kelas diameternya akan membentuk kurva J terbalik (Daniel et al. 1987).

2.2 Stratifikasi Tajuk

Stratifikasi atau pelapisan tajuk merupakan susunan tetumbuhan secara vertikal di dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Tajuk pohon hutan hujan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tetumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus


(16)

tajuk hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di bawah naungan (Arief 1994).

Menurut Daniel et al. (1987) Tajuk pohon adalah struktur kompleks yang terdiri dari daun-daun dengan berbagai umur pada berbagai posisi dalam tajuk. Variasi posisi ini mempunyai sifat lingkungan yang sangat berbeda, maka ekspresi kemampuan fotosintesis harus memperhitungkan variasi besar yang terjadi dalam pohon.

Menurut Dawkins (1958) dalam Alder dan Synnott (1992), Posisi tajuk pohon diklasifikasikan pada skala berikut :

1. No direct light : Tajuk pohon sepenuhnya tertutupi secara vertikal

maupun lateral oleh tajuk lain.

2. Some side light : Tajuk pohon tertutupi secara vertikal tajuk lain

tetapi dapat memperoleh cahaya dari sampin karena adanya kesenjangan kanopi.

3. Some overhead light : Tajuk pohon terbuka sebagian secara vertikal

tetapi sebagian tajuk ditutupi oleh tajuk lain.

4. Full overhead light : Tajuk pohon terbuka penuh secara vertikal tetapi

berdekatan dengan tajuk lain.

5. Emergent : Tajuk pohon terbuka penuh secara vertikal dan

bebas dari kompetisi lateral.


(17)

Dalam mempelajari fotosintesis pohon-pohon hutan, kita perlu menentukan perbedaan yang terjadi dalam pohon, yang disebabkan oleh umur daun dan posisi pada tajuk, perbedaan antar pohon, yang membedakan daun lebar dan konifer, jenis, dan genotip (Daniel et al 1987).

Sedangkan bentuk tajuk menunjukkan kapasitas fotosintesis dan kemungkinan berkorelasi dengan pertumbuhan dan kematian.

Dawkins mengklasifikasikan bentuk tajuk menjadi:

1. Very poor : Tajuk pohon rusak parah dan dan kemungkinan untuk

menambah kecepatan pertumbuhan sangat kecil.

2. Poor : Tajuk pohon rusak, tidak simetri dengan beberapa cabang

yang lain, tetapi masih ada kemungkinan untuk tetap hidup.

3. Tolerable : Tajuk pohon asimetris, tetapi dapat menjadi simetri

apabila di beri ruang untuk memperoleh cahaya.

4. Good : Tajuk pohon hampir ideal tetapi tajuk kurang simetri atau

beberapa cabang ada yang mati.

5. Perfect : Tajuk pohon terbaik, lebar, bundar dan simetris.

Klasifikasi diatas dapat dilihat lebih jelas seperti pada gambar .

Gambar 2 Klasifikasi bentuk tajuk menurut Dawkins

2.3 Sistem Silvikultur TPTJ

Sistem Silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi; penebangan, peremajaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya (Departemen Kehutanan 1998). Sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia


(18)

dalam usaha pengelolaan hutan tropis, antara lain sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) serta Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) atau Silvikultur Intensif. Dalam penelitian ini sistem silvikultur yang digunakan adalah petak contoh dengan menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur uji coba yang digulirkan sebagai alternatif pembangunan HTI. HTI menggunakan tebang habis, sementara TPTJ menyisakan hutan alam diantara jalur tanam. Pembukaan tutupan hutan terjadi pada jalur bersih selebar 3 m yang berada di tengah jalur tanam selebar 10 m yang bebas dari naungan pohon. Di antara jalur tanam disisakan hutan alam selebar 25 m yang ditebang dengan batas diameter 40 cm ke atas. Adapun tujuan dari sistem silvikultur TPTJ yaitu agar kegiatan pengelolaan hutan dapat dilaksanakan secara intensif dengan melakukan kegiatan-kegiatan silvikultur melalui sistem jalur sehingga penanaman dan pengawasan hutan lebih terjamin (Departemen Kehutanan 1998).

Menurut Daniel et al (1987) kata tebang pilih dalam sistem silvikultur tebang pilih bermakna bahwa pohon yang terpilih, baik jenis pohonnya maupun dimensinya, disesuaikan dengan spesifikasi dan kualifikasi produksi kayu yang diisyaratkan untuk bahan baku industri perkayuan tertentu. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur merupakan sistem pengelolaan hutan alam produksi dengan penanaman jenis meranti secara jalur pada petak-petak bekas tebangan. Macam-macam jalur yang yang dibuat dalam sistem silvikultur TPTJ adalah jalur bersih, jalur bebas naungan, jalur tanam dan jalur antara.

Penerapan sistem silvikultur TPTJ di PT. Erna Djuliawati dilaksanakan pada tahun 1998/1999. Sistem silvikultur TPTJ merupakan modifikasi dari sistem TPTI. Terdapat 2 aspek yang sangat mendasar dalam modifikasi sistem silvikultur ini yaitu sistem silvikultur TPTJ mengurangi diameter minimum tebangan hingga 40 cm dan sistem silvikultur mensyaratkan penanaman jalur yang sistemastis di seluruh areal yang ditebang (SOP PT.Erna Djuliawati 2007).


(19)

2.4 Model Struktur Tegakan

Model struktur tegakan merupakan suatu persamaan matematika yang dapat menggambarkan pola struktur tegakan sesuai dengan data-data di lapangan. Pemodelan dinamika struktur tegakan dapat digunakan untuk menentukan hasil kayu, tegakan sisa, distribusi diameter dan siklus tebang yang optimal (Buongiorna et al 1995 dalam Ermayani 2000).

Untuk mengetahui pola struktur tegakan dilapangan maka digunakan suatu cara pendugaan model struktur tegakan dengan menggunakan model famili sebaran. Setidaknya ada 15 jenis model famili sebaran yang telah diketahui (Nasoetion & Rambe 1984). Husch et al (2003) pun mengemukakan berbagai model famili sebaran diantaranya model sebaran Eksponensial negatif, sebaran Weibull, sebaran beta, sebaran Gamma. Dalam penelitian ini akan digunakan 4 model famili sebaran yang sering digunakan untuk menduga pola struktur tegakan hutan, yaitu famili sebaran Eksponensial negatif, famili sebaran Gamma, famili sebaran Lognormal dan famili sebaran Weibull. Pendugaan parameter dari suatu fungsi peluang famili sebaran diperlukan dalam pendugaan struktur tegakan tinggal untuk menentukan besaran peluang dari sequens peubah acak.

Famili sebaran eksponensial negatif

Distribusi eksponensial negatif merupakan salah satu distribusi yang paling sering muncul dalam konteks evaluasi keandalan. Pada distribusi ini, laju kegagalan adalah konstan ( = C). Famili sebaran Eksponensial negatif hanya memiliki satu parameter yang disimbolkan dengan θ. Peubah acak x yang menyebar secara Eksponensial negatif dinotasikan dengan X~E (θ). Suatu peubah acak x dikatakan mempunyai sebaran Eksponensial negatif dengan parameter θ.

Famili sebaran gamma

Distribusi Gamma memiliki karakter yang hampir mirip dengan distribusi Weibull dengan shape parameter dan scale parameter α. Dengan memvariasikan nilai kedua parameter tersebut maka ada banyak jenis sebaran data yang dapat diwakili oleh distribusi Gamma.


(20)

Famili sebaran Gamma ( ) memiliki β parameter, yaitu parameter skala (α) dan parameter bentuk ( ). Peubah acak x yang menyebar Gamma ( ) dinotasikan dengan X~G( ,α).

Ketika α=1, maka sebara Gamma ( ) ini akan menjadi sebaran Eksponensial dengan α=1/ . Dan saat α mempunyai nilai integer positif, sebaran Gamma ini dikenal dengan nama sebaran Erlang.

Famili sebaran lognormal

Sebaran Lognormal kadang-kadang dikatakan sebagai sebaran antiLognormal. Sebaran Lognormal terbagi dua yaitu yang memiliki 2 parameter dan γ parameter. Yang membedakan keduanya adalah parameter θ. Dalam famili sebaran Lognormal dengan 2 parameter, nilai θ ini dianggap 0 sedangkan yang lain tidak. Distribusi lognormal sama seperti distribusi normal memiliki 2 distribusi parameter yaitu σ dan . Parameter dikenal dengan sebutan parameter skala dan σ parameter bentuk. Peubah acak x dinotasikan dengan X ~log ( , σ).

Famili sebaran weibull

Distribuisi weibull merupakan salah satu jenis distribusi kontinyu yang sering digunakan, khususnya dalam bidang keandalan dan statistik karena kemampuannya untuk mendekati berbagai jenis sebaran data. Peubah acak x yang menyebar Weibull dengan parameter skala α dan parameter bentuk c biasanya dilambangkan dengan X~W (α,c). Ketika α=1 maka sebaran Weibull ini akan menjadi sebaran Eksponensial dengan α = 1/c.

Peubah acak x yang menyebar Weibull dengan parameter skala α dan parameter bentuk c biasanya dilambangkan dengan X~ W (α,c).

2.5 Metoda Kemungkinan Maksimum

Nasoetion dan Rambe (1984) menyatakan bahwa metoda kemungkinan maksimum adalah salah satu cara yang lazim digunakan dalam pendugaan titik parameter suatu famili sebaran. Untuk penduga titik parameter (θ) yang tidak


(21)

diketahui dan berasal dari suatu famili sebaran, besarnya nilai dugaan dapat diperoleh melalui penduga titik parameter (θ) yang dapat menyebabkan nilai fungsi kemungkinan maksimum (L) menjadi maksimum. Pada dasarnya fungsi kemungkinan maksimum adalah memilih penduga titik yang dapat menyebabkan peluang untuk memperoleh sampel yang diteliti menjadi maksimum.

Suatu famili sebaran yang merupakan terbaik dari sejumlah famili sebaran yang diikutkan dalam pemilihan adalah famili sebaran yang memiliki nilai kemungkinan maksimum tertinggi. Jika X1, X2, ...Xn adalah sekumpulan data

pengamatan yang bebas dan identik dengan bentuk sebarannya, maka penduga fungsi kemungkinan maksimum dari sekumpulan data yang menyebar menurut famili sebaran tertentu dan fungsi kepekatan f(x, θj) dibatasi dengan Lj =

π

tj

=

f

(x,θj), dimana θj adalah penduga titik dari parameter θj. Untuk famili sebaran

tertentu, misalnya famili sebaran ke-k yang mempunyai fungsi kepekatan fk(x, θj)

dapat dikatakan sebagai famili sebaran terbaik dari sekumpulan data pengamatan, jika Lk= maksimum (L1, L2,..Lt), dimana t adalah simbol dari banyaknya famili


(22)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2009 di areal IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.

3.2 Bahan dan Alat

Objek yang digunakan adalah kawasan hutan dengan sistem silvikultur TPTJ yang merupakan petak tegakan tinggal pasca penebangan pada kondisi 3, 4, dan 6 tahun. Petak yang digunakan disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Lokasi petak penelitian

Alat-alat yang digunakan adalah Kompas, pita ukur atau phi band, peta kerja, tambang, alat tulis, alat hitung, MS excel, Matlab 7, dan Laptop.

3.3 Metode Penelitian

Data primer diperoleh melalui pengukuran langsung pada petak yang terpilih sebagai contoh. Petak yang dipilih ialah petak bekas tebangan yang tegakannya lebih rapat, tidak berdekatan, dan tidak terdapat aliran sungai. Metode yang digunakan untuk mengukur tegakan adalah metode jalur. Petak contoh dibuat berukuran 100 m x 100 m (1 ha). Pada setiap petak dengan tahun tebang tertentu dibuat jalur contoh dengan ukuran 25m x 100m dengan dua kali ulangan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat keterwakilan petak contoh yang dibuat terhadap tegakan di areal tersebut (Gambar 3). Penelitian ini dilaksanakan pada petak bekas tebangan Et+3 (bekas tebangan tahun ketiga), Et+4 (bekas tebangan tahun keempat) dan Et+6 (bekas tebangan tahun keenam) dengan sistem silvikultur TPTJ (Tebang Pilih Tanam Jalur).

Bekas Tebangan Blok RKT Petak

Et+3 2005 M29

M30

Et+4 2004 O28

P29

Et+6 2002 R29


(23)

100m

25 m

100m

jalur tanam

Gambar 3 Bentuk dan ukuran petak contoh penelitian

Terhadap setiap petak contoh dilakukan pengukuran terhadap seluruh individu pohon yang diameter ≥ 5 cm. Dalam mengukur diameter pada tingkat pancang ( diameter ≥ 5 cm ), pengukuran dilakukan pada ketinggian 10 cm dari permukaan tanah. Sedangkan diameter pada tingkat tiang dan pohon diukur pada ketinggian 1,3 m dari permukaan tanah untuk pohon yang tidak berbanir dan bagi pohon-pohon berbanir diameter pohon di ukur pada ketinggian 20 cm di atas banir. Jenis pohon yang ada dicatat nama lokal, nama botani, dan selanjutnya dikelompokkan menurut kelompok perdagangan.

Selain pengukuran diameter, dilakukan juga pengamatan terhadap tajuk dan diklasifikasikan menurut hukum Dawkins. Tajuk pohon tersebut diklasifikasikan menurut posisi tajuk dan bentuk tajuk.

Selain data primer di atas, data sekunder yang dikumpulkan adalah data parameter penduga di PT. Dwimajaya Utama, data Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) pada petak tebangan yang diukur dalam penelitian, keterangan mengenai keadaan umum lokasi penelitian dan data-data lain yang diperlukan selama penelitian berjalan.


(24)

3.4 Analisis Data Fungsi Distribusi

Untuk menentukan model struktur tegakan yang dapat dipakai, maka dilakukan pemilihan terhadap model struktur tegakan yang dicobakan. Dalam penerapan model struktur tegakan, dilakukan beberapa tahap kegiatan, yaitu :

1. Pemeriksaan data 2. Pemilihan model 3. Penerapan model

4. Pengujian kesesuaian model

3.4.1 Pemeriksaan Data

Dalam langkah ini data hasil pengukuran terlebih dahulu dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

1. Kelompok Dipterocarpaceae dan non-Dipterocarpaceae 2. Kelompok seluruh jenis

Selanjutnya pohon-pohon tersebut dikelompokkan ke dalam kelas diameter 5-9,9 cm; 10-19,9 cm;...; >90 cm. Kemudian data pohon ini digambarkan dalam sumbu koordinat dengan hubungan kelas diameter sebagai absis dan jumlah pohon per satuan luas sebagai ordinat. Penggambaran ini dilakukan untuk setiap petak contoh.

Analisis data dilakukan pada seluruh petak contoh yang diukur, yaitu setiap areal bekas tebangan 3, 4 dan 6 tahun setelah penebangan dengan dua kali ulangan.

3.4.2 Pemilihan Model

Pemilihan model bertujuan memilih model sebaran terbaik dari seluruh model yang diikutkan/dicobakan. Dalam permasalahan ini, setiap kelompok jenis pohon diduga dengan semua model. Model yang diikutkan dalam pemilihan yaitu famili sebaran Weibull, Gamma, sebaran Eksponensial negatif, dan Lognormal. Penentuan model terbaik berdasarkan kepada fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function).


(25)

Famili sebaran eksponensial negatif

Famili sebaran Eksponensial negatif memiliki satu parameter yang disimbolkan dengan θ. Peubah acak x yang menyebar secara Eksponensial negatif dinotasikan dengan X~E (θ). Suatu peubah acak x dikatakan mempunyai sebaran Eksponensial negatif dengan parameter θ, dengan simbol E(θ) jika mempunyai fungsi kepekatan berbentuk :

F(x) = θ-1 exp-(x/ θ), 1(0,∞) ... (1) Dimana θ>0

Pendugaan Titik Parameter θ

Jika X1, X2, X3, ..,Xn adalah peubah acak yang bebas satu sama lain dan

setiapnya mempunyai fungsi kepekatan (l), maka penduga kemungkinan maksimum dari parameter θ dapat ditentukan melalui persamaan μ

n

i

Xi n 1

1 Χ

...(2)

Fungsi Kemungkinan Maksimum

Jika X1, X2, X3, ..,Xn merupakan contoh acak yang berasalkan dari populasi

berukuran n dengan bentuk sebaran Eksponensial negatif dan memiliki fungsi kepekatan (l), maka fungsi kemungkinan maksimum (L(x)) dari contoh acak tersebut dapat ditulis :

L(X1, X2, X3, ..,Xn;θ) = f(X1;θ) f(X2;θ)…. f(Xn;θ)

=

n

i 1

i, )

f(X

...(3) Dengan melakukan transformasi logaritma maka persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi :

Log L(X1, X2, X3, ..,Xn;θ) = -n log θ-

(-n

i i

X

1

/ ) ... ...(4)

Famili sebaran gamma Pendugaan Titik Parameter α dan β

Jika X1, X2,…,Xn merupakan contoh acak yang berasalkan dari populasi

berukuran n yang menyebar dengan bentuk sebaran Gamma maka penduga kemungkinan maksimumnya (L(x)) adalah :


(26)

1

1 log log

n

i i

n X ... 5) dimana X = α . Untuk α yang cukup besar, nilai Г(α) dapat didekati dengan persamaan Г(α) = log (α – 0,5). Penduga kemungkinan maksimum bagi nilai α dapat didekati dengan persamaan yang dikemukakan oleh Greenwood dan Duran dalam Jhonson dan Kotz (1970), yaitu :

2

1Y 0.5000876 0.1648852Y 0.0544274Y , 0 Y 0.57727………6)

1

2 2

1Y , 17.79728 11.968477Y Y 8.898919 9.05995Y 0.9775373Y , 0.5772 Y 17.00008

…...7) dengan : 1 1 1 1 log n i n n i i X n Y X ... 8)

Fungsi Kemungkinan Maksimum

Jika X1, X2,…,Xn merupakan contoh acak yang berasalkan dari populasi

berukuran n yang menyebar dengan bentuk sebaran Gamma dan bebas satu sama lain, maka fungsi kemungkinan maksimumnya adalah :

1 2 1 1 1 , ,..., ; , ; , exp n n i i n n i i i

L X X X f X

X X

...9) Setelah ditransformasikan kedalam bentuk logaritma maka persamaan tersebut menjadi :

1 1

log 1 log

n n

i i

i i


(27)

Famili sebaran lognormal Pendugaan Titik bagi Parameter μ dan σ

Jika X1, X2,…,Xn adalah sekelompok contoh acak berukuran n, berasal

dari populasi yang menyebar dengan bentuk sebaran Lognormal dengan parameter dan σ, maka penduga kemungkinan maksimumnya adalah :

1 1 log n i i n X ... 11) 1 2 2 1 1 log n i i

n X ... 12)

Fungsi Kemungkinan Maksimum

Jika X1, X2,…,Xn merupakan sekelompok contoh acak berukuran n,

berasal dari populasi yang menyebar dengan bentuk sebaran Lognormal, maka penduga kemungkinan maksimumnya adalah :

1 2 2

1 2

1

, ,..., ; , 2 exp 1 2 log

n n

n i i

i

L X X X X X ..13)

2 2

1 2

1 1

, ,..., ; , log 2 log 1 2 log

n n

n i i

i i

LogL X X X n X X

... 14)

Famili Sebaran Weibull Pendugaan Titik Bagi Parameter α dan c

Jika X1, X2,…,Xn adalah sekelompok contoh acak berukuran n, berasal

dari populasi yang menyebar dengan sebaran Weibull, maka penduga kemungkinan maksimum bagi parameter α dan c adalah μ

1

1

1

ˆ n c c

i i

X

n ...15)

1

1 1 1

1

log log

n n n

i i i i

i i i

c X X X X

n ...16) Nilai c yang diperoleh digunakan untuk mendapatkan nilai α.


(28)

Fungsi Kemungkinan Maksimum

Jika X1, X2,…,Xn adalah sekelompok contoh acak berukuran n, berasal

dari populasi yang menyebar dengan bentuk sebaran Weibull, maka fungsi kemungkinan maksimumnya adalah :

1 2 1 2

1 1

, ,..., ; , ; , ; , ... ; ,

exp

n n

n c n c

c

i i

L X X X c f X c f X c f X c

c X X …………. 17)

Dalam bentuk logaritmik, persamaan di atas dinyatakan sebagai berikut : 1

log 1 log 1 log clog

c

i i

c

LogL n c X c X e……… 18)

3.4.3 Penerapan Model

a. Kerapatan Tegakan

Model struktur tegakan yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga kerapatan tegakan melalui persamaan :

min 1 , b maks a X X a b X X

N f x dx N f x dx ………..1λ) keterangan :

N(a,b) = Kerapatan pohon dugaan pada selang diameter xa sampai xb

N = Kerapatan pohon total dari hasil pengamatan f(x) = Fungsi kepekatan famili sebaran terpilih

Persamaan di atas dapat juga ditulis dalam bentuk :

1

, min max

a b a b

N P x x x N P x x x ………..20) Pemakaian faktor koreksi P (xmin ≤ x ≤ xmax) sesuai dengan kaidah peluang

bersyarat dimana dalam mencari peluang antara xa sampai xb telah diketahui

bahwa keduanya berada diantara xmin sampai xmax.

b. Luas Bidang Dasar Tegakan

Luas bidang dasar tegakan kelas diameter ke i dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan :


(29)

keterangan :

Gi = luas bidang dasar tegakan kelas diameter tengah (M2) pohon pada kelas diameter ke i

Di = diameter pohon ke i

Ni = nilai kerapatan pohon kelas diameter ke i

Sedangkan untuk luas bidang dasar tegakan total, dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

G =

m

2

/ha

keterangan : P merupakan jumlah kelas diameter untuk masing-masing kelompok jenis pohon yang diamati

3.4.4 Pengujian Kesesuaian Model

Tingkat penerimaan suatu famili sebaran diukur dari besarnya nilai kemungkinan maksimum. Suatu contoh acak X1, X2,…,Xn yang dapat diduga

menyebar menurut famili ke-i (fi), dengan fungsi kemungkinan maksimum

L(fi;X), prosedur pemilihan modelnya adalah sebagai berikut :

,

i

MaksL f X , I 1, 2,3,... Maka X Fi

L(fi)

,

i

MaksL f X , I 1, 2,3,... Maka X selain Fi

Dalam hal ini Fi adalah famili sebaran ke-i, Persamaan diatas disederhanakan

menjadi :

log i;

Maks L f X , i 1, 2,3,... Maka X Fi

Log L(fi)

log i;

Maks L f X , i 1, 2,3,... Maka X selain Fi

Dalam menduga kerapatan pohon hipotesis yang digunakan sebagai berikut: Ho : K1 = K2

H1 : K1≠ K2

keterangan :

K1 = kerapatan tegakan pada kelas diameter dari data lapangan


(30)

Sedangkan dalam menduga luas bidang dasar hipotesis yang digunakan sebagai berikut:

Ho : G1 = G2

H1 : G1≠ G2

keterangan :

G1 = luas bidang dasar pada kelas diameter dari data lapangan

G2 = luas bidang dasar pada kelas diameter berdasarkan model

Untuk mengetahui kesesuaian model terhadap struktur tegakan yang terbentuk maka digunakan uji kesesuaian model. Uji yang digunakan adalah uji chi-square atau Khi Kuadrat (X2)

……… 21)

keterangan :

X2hit = Nilai uji Khi kuadrat hitung

Yi = Jumlah pohon (data) pada kelas diameter ke-i, i = 1,β,γ,…, j


(31)

BAB IV

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Posisi Geografis

Secara geografis areal kerja PT. Erna Djuliawati terletak pada 0005β’γ0’’ – 010ββ’γ0’’ LS dan 1110γ0’00’’ – 112007’γ0’’ BT dengan luas areal konsesi 184.206 Ha. Berdasarkan pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS) termasuk kelompok hutan S. Salau dan S. Seruyan dan merupakan Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Seruyan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Seruyan, Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah. Sedangkan menurut administrasi pemerintahan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Seruyan dan Katingan Provinsi Kalimantan Tengah (PT. Erna Djuliawati 2009).

4.2 Keadaan Vegetasi

Keadaan vegetasi hutannya didominasi oleh jenis Dipterocarpaceae. Penutupan lahan di IUPHHK PT. Erna Djuliawati ialah hutan primer seluas ± 56.465 ha (30,7 %), hutan bekas tebangan seluas ± 76.395 ha (41,4 %), non hutan seluas ± 17.447 ha (9,5 %) dan tertutup awan seluas ± 29.539 ha (16,0 %).

Pada areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati terdapat Buffer Zone Hutan Lindung seluas ± 2.288 ha (1,3 %) dengan penutupan lahan berupa hutan primer seluas ± 887 ha (0,5 %), hutan bekas tebangan seluas ± 419 ha (0,2 %), non hutan seluas ± 346 ha (0,2 %), dan tertutup awan seluas 636 ha (0,4 %) yang akan dikelola oleh perusahaan. Terdapat Kawasan Lindung (KL) atau areal dengan kemiringan lereng > 40 % seluas ± 2.072 ha (1,1 %) yang penutupan lahannya berupa hutan primer seluas ± 129 ha (0,1 %), non hutan seluas ± 64 ha (0,0 %), dan tertutup awan seluas ± 96 ha (0,0 %) yang akan dikelola oleh perusahaan (PT. Erna Djuliawati 2009).

4.3 Jenis Tanah dan Topografi

Berdasarkan Peta Tanah Pulau Kalimantan skala 1 : 1.000.000 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor Tahun 1993, areal kerja PT. Erna Djuliawati memiliki jenis tanah


(32)

(berdasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980) antara lain Latosol (44%) dan Podsolik Merah Kuning (56%).

Areal kerja PT. Erna Djuliawati terletak pada ketinggian antara 111-1.082 m dpl dengan topografi berkisar antara datar dan berbukit dan kelerengan mulai dari landai sampai dengan sangat curam. Secara umum pengelompokkan kelas kelerengan dapat dilihat berdasarkan Laporan Pemotretan Udara, Penataan Garis Bentuk, Pemetaan vegetasi dan Pemeriksaan Areal Kerja PT. Erna Djuliawati yang dilaksanakan oleh APHI / PT. Mapindo Parama bulan November 1997. Hasil penafsiran kelas kelerengan disajikan pada Tabel 2 berikut ini :

Tabel 2 Kelas lereng dan topografi areal konsesi PT. Erna Djuliawati

Kelas Lereng

Kemiringan (%) Topogafi Luas

Ha (%)

A 0 – 8 Datar 43.247 23,48

B 8 – 15 Landai 60.880 33,05

C 15 – 25 Agak Curam 49.009 26,61

D 25 – 40 Curam 28.998 15,74

E > 40 Sangat Curam 2.072 1,12

Jumlah 184.206 100,00

Sumber : Peta Garis Bentuk Areal Kerja PT. Erna Djuliawati skala 1: 50.000 4.4 Iklim dan Intensitas Hujan

Berdasarkan Peta Agroklimat Pulau Kalimantan skala 1 : 3.000.000 dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1979, keadaan iklim di areal kerja PT. Erna Djuliawati menurut Klasifikasi Schmidt dan Ferguson sebagian besar wilayahnya termasuk tipe A dan sebagian tipe B.

Mengacu pada data curah hujan dari Stasiun Pengamat Curah Hujan Departemen Pembinaan Hutan selama 10 tahun (1998-2008), dapat diperoleh angka curah hujan rata-rata per tahun sebesar 3.303 mm/tahun dengan rataan jumlah hari hujan 166 hari atau dengan intensitas hujan sekitar 20 mm/hari.


(33)

4.5 Kependudukan, Pendidikan, dan Agama

Terdapat 14 desa binaan yang berada di dalam areal konsesi PT. Erna Djuliawati yaitu : Tb. Setawai, Tb. Kasai, Tb. Darap, Tb. Bahan, Tb. Kalam, Tusuk Belawan, Tb. Salau, Rantau Betung, Tb. Gugup, Sepundu Hantu, Tb. Kubang, Tb. Laku, Buntut Sapau dan Mongoh Juoi. Luas seluruh areal desa binaan adalah ± 1.983 ha dengan jumlah total kepala keluarga di dalam desa binaan tersebut adalah 1.046 KK atau 4.438 jiwa. Sehingga kepadatan penduduk rata-rata sekitar 2,23 jiwa per km2.

Mata pencaharian mayoritas penduduk desa binaan adalah sebagai petani. Bahkan ada tujuh desa dimana lebih dari 90% mata pencaharian penduduknya adalah bertani seperti pada Desa Tumbang Darap, Tumbang Kasai, Sepundu Hantu, Tumbang Bahan, Tumbang Gugup dan Tumbang Laku. Berikut adalah data mata pencaharian penduduk 14 desa binaan.

• Penduduk Bekerja 59,4% • Tidak Bekerja 40,6 %

• 52,3% dari 59,4% penduduk sebagai petani, maka dapat dihitung bahwa lebih dari 88 % mereka bekerja di sektor informal sebagai petani. (Dok. Identifikasi dan monitoring penggunaan lahan dan perladangan pada desa-desa di wilayah IUPHHK PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tengah)

Tingkat pendidikan pada desa binaan mayoritas adalah lulusan SD sebanyak 2.745, sedangkan untuk tingkat SMP sebesar 225, tingkat SMA 126, sarjana sebanyak 20, dan lain-lain sebanyak 1322.

4.6 Flora dan Fauna

Jenis-jenis pohon yang tergolong komersil dan sering dijumpai di lapangan antara lain adalah jenis meranti putih (Shorea spp.), meranti kuning (Shorea spp.), meranti merah (Shorea leprosula), bangkirai (Shorea laevifolia), rengas (Gluta renghas), mersawa (Anisoptera sp.), geronggang (Cratoxylon arborescens), kapur (Dryobalanops aromatica). Sedangkan jenis-jenis yang biasa dimanfaatkan buahnya antara lain petai (Parkia speciosa), mangga hutan (Mangifera sp.), rambutan hutan (Nephelium lappaceum), langsat hutan (Baccaurea sp.).


(34)

Jeni-jenis satwa yang ada di kawasan PT. Erna Djuliawati antara lain orang utan (Pongo pigmaeus), kelawit (Hylobates malayanus), trenggiling, kelempiau (Hylobates muelleri), kelasi (Presbytis rubicunda), beruang (Helarctos malayanus), kijang (Muntiacus muntjak), rusa (Cervus timorensis), babi hutan (Sus barbatus), dsb.

Sedangkan jenis burung yang umum dijumpai antara lain elang (Pandion haliactus), Enggang (Buceratidae rhinoceros), tanjaku (Rhinoplax vigil), sedangkan untuk jenis reptile diantaranya adalah ular sowa (Phyton sp.), Biawak (Varanus spp.), kadal kebun (Mabuya sp.).


(35)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Komposisi Jenis dalam Tegakan

Komposisi jenis yang terdapat dalam hutan alam sangat beranekaragam. Hal tersebut berpengaruh dan berinteraksi terhadap ekosistemnya. Kegiatan penebangan dan penyaradan menyebabkan perubahan komposisi jenis karena komunitas tersebut telah terganggu. Richard (1966) menggunakan istilah komposisi untuk menyatakan keberadaan jenis-jenis pohon dalam hutan. Komposisi jenis pada petak bekas tebangan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah jenis pada berbagai kondisi petak bekas tebangan dirinci menurut kelompok jenis dan tingkatan pertumbuhannya

Tahun setelah penebangan

Petak Kelompok jenis

Jumlah jenis

Pancang Tiang Pohon kecil Pohon besar (Ø = 20-39 cm) ( Ø ≥40 cm)

Et + 6

R29

Dipt 9 9 6 5

non-Dipt 21 20 21 17

Total 30 29 27 22

S30

Dipt 11 11 9 13

non-Dipt 31 24 18 15

Total 42 35 27 28

Et + 4

O28

Dipt 6 6 3 3

non-Dipt 25 24 21 14

Total 31 30 24 17

P29

Dipt 10 7 4 6

non-Dipt 33 26 25 12

Total 43 33 29 18

Et + 3

M29

Dipt 5 3 2 2

non-Dipt 19 30 19 9

Total 24 33 21 11

M30

Dipt 9 14 11 8

non-Dipt 35 29 22 11

Total 44 43 33 19

Pada pengelompokkan komposisi jenis, seluruh individu yang diukur pada setiap petak setelah penebangan di kelompokkan menurut kelas perdagangannya yaitu kelompok Dipterocarpaceae, non-Dipterocarpaceae, dan seluruh jenis. Selain itu diklasifikasikan menurut ukurannya yaitu tingkat pancang, tiang dan


(36)

pohon. Daftar nama jenis pada setiap areal bekas tebangan terdapat pada Lampiran 1. Pada kelompok Dipterocarpaceae jenis yang dominan ialah jenis meranti merah sedangkan pada kelompok non-Dipterocarpaceae jenis yang dominan adalah jenis medang-medang. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah jenis pada setiap areal bekas tebangan umumnya lebih banyak pada tingkat pancang. Berdasarkan data yang diperoleh pada areal bekas tebangan dari hasil pengukuran di lapangan yang terdapat pada Tabel 3 umumnya kelompok non-Dipterocarpaceae lebih dominan daripada kelompok non-Dipterocarpaceae.

5.2 Distribusi Jumlah Pohon

5.2.1 Distribusi jumlah pohon pada berbagai diameter

Struktur tegakan dapat dilihat berdasarkan tingkat kerapatan sehingga akan menggambarkan kondisi suatu tegakan hutan. Menurut Husch et al. (2003) struktur tegakan juga bisa diuraikan sebagai variasi jenis pohon dan kelas umur yang tersusun oleh perbedaan lapisan vegetasi dan penyebaran kelas diameter. Kerapatan tegakan pada hutan bekas tebangan akan lebih kecil daripada hutan primer karena pada saat penebangan tegakan yang tidak di tebang dapat pula mengalami kematian akibat kegiatan penebangan maupun penyaradan.

Pada Tabel 4 menunjukkan struktur tegakan dilihat dari kerapatan (N/Ha) yang terdapat pada petak bekas tebangan untuk kelompok Dipterocarpaceae, non-Dipterocarpaceae dan seluruh jenis. Pada Tabel 4 terlihat bahwa kerapatan yang tertinggi terdapat pada tingkat pancang yaitu diameter 5-9,9 cm dan kemudian diikuti oleh kelas diameter berikutnya yang jumlahnya semakin menurun.

Pada petak contoh dengan tahun tebang termuda (Et+3), jumlah pohon lebih terkonsentrasi pada kelas diameter kecil. Sedangkan pada kelas diameter besar jumlah pohonnya lebih sedikit bahkan terdapat pula kelas diameter yang tidak terdapat pohon sama sekali. Hal ini dikarenakan limit diameter yang ditebang pada sistem silvikultur TPTJ yaitu 40 cm up sehingga pohon-pohon dengan diameter besar sangat sedikit. Pada petak bekas tebangan yang lebih tua penyebaran pohon lebih merata dan perbedaan jumlah antara kelas diameter tidak terlalu mencolok.Berdasarkan data pada Tabel 4 struktur tegakan memperlihatkan penurunan kerapatan tegakan seiring dengan bertambahnya diameter.


(37)

Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) menyatakan bahwa jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan dan tidak boleh ditebang adalah 25 pohon/hektar dari pohon yang berdiameter 20-49 cm. Bila jenis komersial ditebang yang berdiameter 20-49 cm kurang dari 25 pohon/hektar, maka dapat diambilkan dari jenis komersial tidak ditebang yang berdiameter 50 cm ke atas (Dirjen Pengusahaan Hutan 1989). Apabila dikaitkan dengan persyaratan TPTI tersebut, maka areal bekas tebangan dengan sistem TPTJ pada tabel 4 secara umum memenuhi persyaratan karena jumlah pohon inti jenis komersial yang tidak ditebang lebih dari 25 pohon/hektar.

Tabel 4 Kerapatan tegakan pada petak bekas tebangan menurut tahun setelah penebangan, kelompok jenis, dan tingkat pertumbuhannya

Tahun setelah penebangan PU

Klmpk jenis

Kelas diameter (cm)

Total 5-9,9 10-19,9 20-29,9 30-39,9 40-49,9 50-59,9 60-69,9 70-79,9 80-89,9 ≥90 Et+6 R29

Dipt 83 67 11 7 6 2 2 1 5 2 186

non_Dipt 215 116 51 18 17 6 1 1 0 0 425

Total 298 183 62 25 23 8 3 2 5 2 611

S30

Dipt 82 64 24 23 12 6 2 0 3 1 217

non_Dipt 264 89 29 21 15 6 3 2 1 0 430

Total 346 153 53 44 27 12 5 2 4 1 647

Rata-rata

Dipt 82,5 65,5 17,5 15 9 4 2 0,5 4 1,5 201,5

non_Dipt 239,5 102,5 40 19,5 16 6 2 1,5 0,5 0 427,5

Total 322 168 57,5 34,5 25 10 4 2 4,5 1,5 629

Et+4

O28

Dipt 77 27 7 3 4 0 2 1 0 1 122

non_Dipt 231 184 62 25 15 4 3 3 1 0 528

Total 308 211 69 28 19 4 5 4 1 1 650

P29

Dipt 44 13 4 7 2 2 3 1 0 0 76

non_Dipt 202 101 54 17 11 3 1 2 1 0 392

Total 246 114 58 24 13 6 4 3 0 0 468

Rata-rata

Dipt 60,5 20 5,5 5 3 1 2,5 1 0 0,5 99

non_Dipt 216,5 142,5 58 21 13 3,5 2 2,5 1 0 460

Total 277 162,5 63,5 26 16 5 4,5 3,5 0,5 0,5 559

Et+3

M29

Dipt 110 7 6 3 3 1 1 2 1 1 135

non_Dipt 251 143 43 21 7 5 2 1 0 0 473

Total 361 150 49 25 10 6 3 2 1 1 608

M30

Dipt 38 42 16 6 6 3 1 2 1 0 115

non_Dipt 276 143 63 23 13 4 1 1 1 0 525

Total 314 185 79 30 19 7 2 3 1 0 640

Rata-rata

Dipt 74 24,5 11 4,5 4,5 2 1 2 1 0,5 125

non_Dipt 263,5 143 53 22 10 4,5 1,5 1 0,5 0 499


(38)

Pola ini terbentuk pada hutan tidak seumur yaitu hutan yang memiliki beberapa kelompok umur atau ukuran (Arief, 2001). Hal ini dikarenakan hutan tidak seumur memiliki pola penyebaran yang khas, menurut Daniel et al. (1987) pada tegakan tidak seumur jumlah pohon tersebar berada dalam kelas diameter terkecil; jumlahnya menurun kurang lebih sebanding dengan bertambahnya ukuran. Selain itu, individu pohon yang tumbuh pada masa awal pertumbuhan cukup banyak dan seiring berjalannya waktu energi yang diperlukan untuk pertumbuhan akan semakin besar. Karena adanya persaingan antar individu untuk mendapatkan sinar matahari yang cukup, air, mineral dan pertahanan terhadap gangguan luar seperti hama dan penyakit. Persaingan seperti ini akan terus berlanjut dan terjadilah proses seleksi alam yaitu kematian pada individu yang tidak dapat bersaing. Secara alami persaingan ini akan mengakibatkan pengurangan jumlah individu yang bertahan hidup pada setiap tingkat kelas diameter.

Jika di tuangkan dalam bentuk grafik, maka data kerapatan tegakan akan membentuk kurva struktur tegakan yang secara umum membentuk pola yang sama, yaitu membentuk huruf J terbalik. Bentuk-bentuk struktur tegakan pada setiap kelompok dapat dilihat pada Gambar 4. Pada kelompok Dipterocarpaceae terlihat bahwa kecuraman grafik sangat berkurang dibandingkan dengan kelompok non-Dipterocarpaceae. Selain itu pada Gambar 4 terlihat bahwa struktur tegakan Dipterocarpaceae lebih tidak teratur daripada kelompok non-Dipterocarpaceae ataupun kelompok seluruh jenis. Struktur tegakan pada kelompok non-Dipterocarpaceae dan seluruh jenis lebih rapat satu sama lain dengan bentuk grafik yang hampir sama. Pada kelompok seluruh jenis maupun non-Dipterocarpaceae terlihat bahwa kerapatan individu/ha untuk kondisi setelah penebangan cukup rapat terutama pada Et+6 dan Et+3. Pada grafik terlihat bahwa pada petak contoh jumlah individu lebih di dominasi oleh kelompok non-Dipterocarpaceae. Hal ini berarti potensi untuk kelompok non-Dipterocarpaceae kedepannya akan lebih besar daripada kelompok Dipterocarpaceae.


(39)

(a)

(b)

(c)

Gambar 4 Kurva kerapatan tegakan berbagai kondisi petak bekas tebangan (a) kelompok Dipterocarpaceae; (b) kelompok non-Dipterocarpaceae; (c) kelompok Seluruh jenis dirinci menurut kelas diameter


(40)

Pada kondisi normal menurut Ermayani (2000), struktur tegakan yang lebih tua biasanya berada di atas struktur tegakan yang lebih muda. Namun pada tegakan hutan yang dijadikan petak contoh penelitian tidak terjadi hal yang demikian. Tidak tampak adanya pertumbuhan secara sistematis dari berbagai kondisi penebangan. Sebagai contoh, struktur tegakan pada petak Et+3 pada setiap kelompok seharusnya berada paling bawah daripada struktur tegakan lainnya karena petak tebang tersebut lebih muda. Namun pada kenyataannya kurva struktur tegakan pada petak Et+3 untuk kelompok non-Dipterocarpaceae dan seluruh jenis berada pada struktur yang paling atas daripada petak Et+4 dan Et+6. Sedangkan pada petak Et+4 struktur tegakan berada pada posisi paling bawah pada setiap kelompok jenis. Hal ini di duga karena pada setiap tegakan yang dijadikan petak contoh memiliki kondisi awal yang berbeda oleh karena itu kondisi tegakan-tegakan tersebut tidak dapat dianggap sama.

5.2.2 Klasifikasi Tajuk Pohon

Kegiatan penebangan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada tegakan yang tidak ditebang (tegakan tinggal). Tipe kerusakan pohon pada tegakan tinggal yang paling sering ditemui adalah kerusakan roboh, dan batang utama patah, yang diikuti kerusakan pada tajuk pohon dan luka batang. Menurut Elias (1993) tipe kerusakan yang paling umum yang disebabkan penebangan adalah rusak tajuk dan patah batang yang terjadi karena tertimpa pohon yang roboh. Kerusakan pada tajuk akibat penebangan mencapai 49,45%, sedangkan kerusakan akibat penyaradan yaitu 2,74 % ( Elias 1993).

Tajuk pohon merupakan bagian pohon yang mempengaruhi kehidupan suatu pohon karena pada tajuk pohon kegiatan fotosintesis lebih besar terjadi yaitu pada daun. Selain itu, penerimaan sinar matahari terhadap pohon juga mempengaruhi kemampuan pohon untuk mengubah sinar matahari menjadi energi.

Menurut Dawkins (1958) dalam Alder dan Synnott (1992), tajuk pohon diklasifikasikan menurut bentuk tajuk dan posisi tajuk tersebut. Dalam penelitian ini dilakukan pengklasifikasian terhadap tajuk pohon. Pengklasifikasian tajuk


(41)

dibatasi pada tingkat pohon besar dengan diameter ≥ 40 cm. Tajuk pohon baik menurut posisi tajuk maupun bentuk tajuknya dibagi menjadi 5.

Posisi tajuk merupakan letak tajuk terhadap pencahayaan sinar matahari. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terhadap tajuk pohon yang telah diklasifikasikan pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa posisi tajuk pohon pada berbagai kondisi setelah penebangan ialah emergent yang berarti pohon-pohon yang berdiameter besar dapat menerima sinar matahari secara penuh. Hal ini mengakibatkan pohon-pohon yang lebih kecil akan kurang menerima sinar matahari.

Variasi posisi pohon seperti yang dikatakan Daniel et al. (1987) akan mempengaruhi ekspresi pohon terhadap fotosintesis. Sehingga untuk jenis pohon yang bersifat dominan apabila berada di bawah naungan pohon yang lain atau pada tajuk yang rapat akan menjadi sulit untuk hidup. Sedangkan menurut Arief (2001) hutan yang terlalu rapat akan mengalami pertumbuhan lambat karena adanya persaingan dalam hal sinar matahari, air, unsur hara, bahkan tempat. Tabel 5 Persentase posisi tajuk pohon terhadap pohon lain pada berbagai kondisi

tahun setelah penebangan

Posisi tajuk pohon

Et + 6 Et + 4 Et + 3

S30 R29 P29 O28 M29 M30

jml % tajuk jml

%

tajuk jml % tajuk jml

% tajuk jml

% tajuk jml

% tajuk

No direct

light 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Some

side light 2 3,92 0 0 1 4 0 0 1 4,17 1 3,13 Some

overhead light

7 13,73 10 23,26 1 4 10 29,41 1 4,17 1 3,13

Full overhead light

9 17,65 2 4,65 8 32 5 14,71 1 4,17 5 15,63

Emergent 33 64,71 31 72,09 15 60 19 55,88 21 87,5 25 78,13


(42)

Bentuk tajuk menunjukkan kapasitas pohon dalam fotosintesis. Kegiatan penebangan akan mengakibatkan kerusakan pada bentuk tajuknya. Kerusakan pada tajuk untuk tegakan tinggal umumnya terjadi karena tajuk pohon tertimpa atau terkena pohon yang ditebang.

Tabel 6 Persentase bentuk tajuk pohon pada berbagai kondisi tahun setelah penebangan

Pada Tabel 6 diketahui bahwa bentuk tajuk pada petak bekas tebangan ialah

Good berarti bentuk tajuk pohon sudah cukup baik namun terdapat beberapa

cabang yang mati atau rusak. Meskipun bentuk tajuk yang terbaik adalah bentuk tajuk perfect (sempurna) yaitu bentuk tajuk yang bulat dan tidak mengalami kerusakan sedikit pun yang berarti kapasitas pohon dalam berfotosintesis baik sehingga pertumbuhan pohon akan optimum. Namun bentuk tajuk pada tersebut sangat sedikit ditemui karena pada petak bekas tebang umumnya tegakan tinggal akan mengalami kerusakan.

Apabila dituangkan ke dalam gambar dapat terlihat bahwa pada posisi tajuk pohon berdasarkan Gambar 5 dominan berada pada kondisi emergent yang artinya tajuk pohon terbuka baik secara vertical dan bebas dari kompetisi lateral Sedangkan bentuk tajuk pohon berada pada kondisi good yaitu bentuk tajuk yang asimetris karena tajuk pohon mengalami kerusakan pada sebagian tajuk pohon.

Bentuk tajuk pohon

Et + 6 Et + 4 Et + 3

S30 R29 P29 O28 M29 M30

jml %

tajuk jml

%

tajuk jml

%

tajuk jml

%

tajuk jml

%

tajuk jml % tajuk

Very

poor 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Poor 1 1,96 2 4,65 1 4 0 0 0 0 0 0

Tolerable 20 39,22 20 46,51 5 20 6 17,65 10 41,67 4 12,5

Good 28 54,90 14 32,56 11 44 19 55,88 12 50,00 15 46,875

Perfect 2 3,92 7 16,28 8 32 9 26,47 2 8,33 13 40,625


(43)

(a)

(b)

Gambar 5 Kurva persentase tajuk pohon pada berbagai kondisi bekas tebangan yang dirinci menurut klasifikasi Dawkins (a) posisi tajuk; (b) bentuk tajuk

5.3 Pemilihan Model Famili Sebaran 5.3.1 Model Terpilih

Untuk mengetahui pola struktur tegakan dilapangan maka digunakan suatu cara pendugaan model struktur tegakan dengan menggunakan model famili sebaran. Sudah cukup banyak model famili sebaran yang diketahui. Model famili sebaran digunakan untuk melihat sebaran diameter dari tegakan bekas tebangan. Dalam pendugaan model struktur tegakan untuk setiap famili sebaran


(44)

menggunakan parameter-parameter yang berbeda. Parameter-parameter tersebut yang kemudian akan digunakan untuk mendapatkan nilai peluang pada kelas diameter yang terdapat pada Lampiran 2, 3, dan 4. Parameter-parameter yang digunakan pada setiap model famili sebaran dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Parameter sebaran pada setiap model famili sebaran menurut tahun setelah penebangan

Tahun setelah penebangan

Petak Klmpk

Parameter Sebaran Eksponensial

negatif Gamma Lognormal Weibull

θ a b mL sL a C

Et+6

R29

Dipt 17,707 1,578 11,224 2,525 0,759 18,771 1,144

NonDipt 14,56 2,233 6,519 2,438 0,661 16,205 1,426

Total 15,518 1,952 7,952 2,464 0,693 16,984 1,288

S30

Dipt 20,047 1,966 10,196 2,723 0,729 22,118 1,366

NonDipt 14,21 2,188 6,493 2,408 0,636 15,718 1,35

Total 16,168 2,008 8,051 2,514 0,684 17,794 1,326

Et+4

O28

Dipt 13,475 1,901 7,089 2,315 0,661 14,603 1,226

NonDipt 15,249 2,513 6,067 2,513 0,617 17,066 1,48

Total 14,916 2,357 6,329 2,476 0,63 16,609 1,417

P29

Dipt 16,919 1,512 11,19 2,463 0,796 17,965 1,156

NonDipt 14,347 2,364 6,069 2,437 0,633 16,012 1,445

Total 14,765 2,146 6,881 2,442 0,661 16,352 1,371

Et+3

M29

Dipt 12,238 1,596 7,668 2,16 0,675 12,801 1,096

NonDipt 13,591 2,928 4,642 2,429 0,558 15,32 1,57

Total 13,291 2,449 5,427 2,369 0,596 14,798 1,401

M30

Dipt 19,312 2,064 9,358 2,699 0,696 21,364 1,376

NonDipt 13,868 2,578 5,379 2,423 0,605 15,555 1,506

Total 14,848 2,377 6,246 2,473 0,632 16,566 1,444

Parameter sebaran yang diperoleh pada setiap kelompok famili sebaran pada kedua petak contoh yang digunakan mewakili satu kondisi setelah penebangan umumnya memiliki nilai yang seragam atau memiliki nilai yang hampir sama. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai dari parameter sebaran tersebut tidak seragam. Seperti pada Et+6 yaitu petak R29 dan S30 untuk kelompok Dipterocarpaceae nilai parameter sebaran pada famili sebaran Lognormal memiliki nilai yang tidak seragam. Hal ini juga terdapat pada Et+4 dan Et3. Namun pada kelompok non-Dipterocarpaceae nilai parameternya hampir sama pada setiap kondisi tahun setelah penebangan.


(45)

Metode yang digunakan dalam pemilihan model adalah metode kemungkinan maksimum dimana model yang terpilih dari keempat famili sebaran model yang dicobakan adalah model yang memiliki nilai kemungkinan maksimum tertinggi. Perbandingan nilai-nilai penduga kemungkinan maksimum setiap kelompok dapat dilihat pada Gambar 6.

(a)

(b)

(c)

Gambar 6 Grafik batang penduga kemungkinan maksimum pada: (a) kelompok Dipterocarpaceae; (b) kelompok non-Dipterocarpaceae; (c) kelompok seluruh jenis


(46)

Berdasarkan gambar histogram tersebut diketahui bahwa pada berbagai tahun tebang model famili sebaran Lognormal memiliki grafik yang terendah. Namun dalam penyajian grafik nilai yang digunakan adalah –Log L, sehingga penilaian untuk menentukan model terpilih menjadi terbalik. Famili sebaran Lognormal yang pada setiap petak contoh memiliki nilai terendah menjadi nilai yang tertinggi sedangkan famili sebaran yang lainnya seperti sebaran Weibull, Eksponensial negatif, dan Gamma yang memiliki nilai tertinggi sebenarnya memiliki nilai terendah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum model famili sebaran Lognormal memiliki nilai penduga kemungkinan maksimum yang tertinggi.

Dapat dilihat pada gambar 6 bahwa famili sebaran Lognormal pada setiap kelompok di semua tahun tebang memiliki nilai kemungkinan maksimum yang tertinggi. Hal ini berarti bahwa famili sebaran Lognormal dapat diterima secara penuh.

Berdasarkan hasil uji kemungkinan maksimum di atas model famili sebaran Lognormal terpilih sebagai model terbaik yang dianggap dapat menerangkan struktur tegakan lebih tepat daripada model-model sebaran yang lain yang dicobakan.

Pada jenis penelitian yang sama (Suhendang 1985) model famili sebaran Lognormal juga konsisten untuk kelompok seluruh jenis. Namun dalam penelitian tersebut terjadi ketidakkonsistenan, yaitu diterimanya model famili sebaran Gamma untuk jenis dammar asam dan simpur. Dikatakannya pula bahwa ketidakkonsistenan dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu keadaan yang sebenarnya memang demikian, artinya ialah bahwa famili sebaran sebaran yang diterima merupakan fungsi dari luas satuan percobaan, jalur gabungan merupakan areal yang tidak kompak dan dapat pula terjadi akibat pemakaian rumus empiris dalam pendugaan parameter skala (α) dari famili sebaran Gamma. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Rayadi (1994) model famili sebaran yang dapat diterima yaitu model famili sebaran Gamma, sedangkan menurut Ermayani (2000) famili sebaran yang dapat diterima dan konsisten pada kelompok jenis meranti dan kelompok seluruh jenis adalah famili sebaran Lognormal.


(47)

Berikut adalah gambar perbandingan antara data aktual dengan model pada Et+3 yaitu petak M30 dengan model-model famili sebaran lainnya.

(a)

(b)

(c)

Gambar 7 Perbandingan data aktual dengan model (Model-model Famili Sebaran Lognormal, Eksponensial Negatif, Gamma, dan Weibull) pada : (a) kelompok Dipterocarpaceae; (b) kelompok non-Dipterocarpaceae; (c) kelompok seluruh jenis


(1)

Lampiran 6 Nilai Kerapatan Pohon (N) dan Luas Bidang Dasar (Lbds) untuk Kelompok Dipterocarpaceae

selang kelas titik tengah frekuensi Lbds selang kelas titik tengah frekuensi Lbds selang kelas titik tengah frekuensi Lbds

S30 O28 M29

20-29,9 24,95 24 1,23 20-29,9 24,95 7 0,33 20-29,9 24,95 6 0,30

30-39,9 34,95 23 2,29 30-39,9 34,95 3 0,30 30-39,9 34,95 3 0,28

40-49,9 44,95 12 1,79 40-49,9 44,95 4 0,57 40-49,9 44,95 3 0,42

50-59,9 54,95 6 1,35 50-59,9 54,95 0 0 50-59,9 54,95 1 0,21

60-69,9 64,95 2 0,69 60-69,9 64,95 2 0,62 60-69,9 64,95 1 0,32

70-79,9 74,95 0 0 70-79,9 74,95 1 0,46 70-79,9 74,95 2 0,92

80-89,9 84,95 1 0,50 80-89,9 84,95 0 0,00 80-89,9 84,95 0 0,00

90-99,9 94,95 0 0 90-99,9 94,95 1 0,68 90-99,9 94,95 0 0

100-109,9 104,95 0 0 100-109,9 104,95 0 0 100-109,9 104,95 0 0

Jumlah 68 7,87 Jumlah 18 2,96 Jumlah 16 2,45

R29 P29 M30

20-29,9 24,95 11 0,53 20-29,9 24,95 4 0,24 20-29,9 24,95 16 0,84

30-39,9 34,95 7 0,65 30-39,9 34,95 7 0,64 30-39,9 34,95 6 0,52

40-49,9 44,95 6 0,96 40-49,9 44,95 2 0,38 40-49,9 44,95 6 0,99

50-59,9 54,95 2 0,43 50-59,9 54,95 2 0,48 50-59,9 54,95 3 0,71

60-69,9 64,95 2 0,62 60-69,9 64,95 3 0,91 60-69,9 64,95 1 0,34

70-79,9 74,95 1 0,39 70-79,9 74,95 1 0,40 70-79,9 74,95 2 0,85

80-89,9 84,95 5 2,80 80-89,9 84,95 0 0,00 80-89,9 84,95 1 0,54

90-99,9 94,95 0 0 90-99,9 94,95 0 0 90-99,9 94,95 0 0

100-109,9 104,95 0 0 100-109,9 104,95 0 0 100-109,9 104,95 0 0

Jumlah 34 6,38 Jumlah 19 3,05 Jumlah 35 4,79


(2)

Lampiran 7 Nilai Kerapatan Pohon (N) dan Luas Bidang Dasar (Lbds) untuk Kelompok seluruh jenis

selang

kelas

titik

tengah

frekuensi

Lbds

selang kelas

titik

tengah

frekuensi

Lbds

selang kelas

titik

tengah

frekuensi

Lbds

S30 O28 M29

20-29,9 24,95 53 2,69 20-29,9 24,95 69 3,25 20-29,9 24,95 49 2,39

30-39,9 34,95 44 4,25 30-39,9 34,95 28 2,62 30-39,9 34,95 25 2,48

40-49,9 44,95 27 3,99 40-49,9 44,95 19 2,83 40-49,9 44,95 10 1,49

50-59,9 54,95 12 2,79 50-59,9 54,95 4 0,96 50-59,9 54,95 6 1,36

60-69,9 64,95 5 1,67 60-69,9 64,95 5 1,57 60-69,9 64,95 3 0,92

70-79,9 74,95 2 0,79 70-79,9 74,95 4 1,79 70-79,9 74,95 2 0,52

80-89,9 84,95 4 2,28 80-89,9 84,95 1 0,62 80-89,9 84,95 1 0

90-99,9 94,95 1 0,75 90-99,9 94,95 1 0,68 90-99,9 94,95 1 0,72

100-109,9 104,95 0 0,00 100-109,9 104,95 0 0,00 100-109,9 104,95 0 0

Jumlah 148 19,22 Jumlah 131 14,32 Jumlah 97 9,88

R29 P29 M30

20-29,9 24,95 62 2,86 20-29,9 24,95 9 2,89 20-29,9 24,95 79 3,76

30-39,9 34,95 25 2,25 30-39,9 34,95 60 2,35 30-39,9 34,95 30 2,73

40-49,9 44,95 23 3,62 40-49,9 44,95 19 2,22 40-49,9 44,95 19 3,08

50-59,9 54,95 8 1,69 50-59,9 54,95 13 1,15 50-59,9 54,95 7 1,68

60-69,9 64,95 3 0,99 60-69,9 64,95 4 1,25 60-69,9 64,95 2 0,72

70-79,9 74,95 2 0,86 70-79,9 74,95 3 1,19 70-79,9 74,95 3 1,24

80-89,9 84,95 5 2,80 80-89,9 84,95 0 0 80-89,9 84,95 1 0,53

90-99,9 94,95 0 0,00 90-99,9 94,95 0 0 90-99,9 94,95 0 0

100-109,9 104,95 0 0,00 100-109,9 104,95 0 0 100-109,9 104,95 0 0

Jumlah 128 15,07 Jumlah 108 11,05 Jumlah 141 13,74


(3)

Lampiran 8 Nilai dugaan kerapatan pohon (N) per hektar untuk kelompok

Dipterocarpaceae pada petak tebang Et+6, Et+4, Et+3

Tahun setelah

penebangan Petak tebang

kelas diameter

Kerapatan Pohon (N/ha)

Eksponensial negatif Gamma Lognormal Weibull

Et+6

S30

20-29,9 0,1359 0,1592 0,2496 0,2174 30-39,9 0,105 0,2787 0,31 0,2172 40-49,9 0,0811 0,2658 0,2076 0,2227 50-59,9 0,0627 0,1673 0,1052 0,1726 60-69,9 0,0485 0,0806 0,0467 0,1024 70-79,9 0,0374 0,0322 0,0196 0,0465 80-89,9 0,0289 0,0113 0,008 0,0161 90-99,9 0,0224 0,0035 0,0033 0,0042 100-109,9 0,0173 0,001 0,0013 0,0008

R29

20-29,9 0,1289 0,1746 0,2005 0,1503 30-39,9 0,1028 0,2182 0,2373 0,1832 40-49,9 0,082 0,1943 0,1884 0,1805 50-59,9 0,0654 0,1409 0,1253 0,149 60-69,9 0,0522 0,0892 0,0767 0,1047 70-79,9 0,0416 0,0512 0,0452 0,063 80-89,9 0,0332 0,0273 0,0262 0,0326 90-99,9 0,0265 0,0138 0,0151 0,0145 100-109,9 0,0236 0,0066 0,0088 0,0055

Et+4

O28

20-29,9 0,1328 0,2019 0,2317 0,1707 30-39,9 0,1042 0,2351 0,2484 0,1957 40-49,9 0,0817 0,193 0,1812 0,1802 50-59,9 0,0641 0,1283 0,112 0,1381 60-69,9 0,0503 0,0741 0,0642 0,0894 70-79,9 0,0394 0,0387 0,0357 0,0492 80-89,9 0,0309 0,0188 0,0196 0,0231 90-99,9 0,0243 0,0086 0,0108 0,0093 100-109,9 0,019 0,0037 0,006 0,0032

P29

20-29,9 0,1305 0,1514 0,1635 0,1374 30-39,9 0,1034 0,2806 0,2979 0,2291 40-49,9 0,0819 0,2639 0,2515 0,2568 50-59,9 0,0649 0,1628 0,1466 0,1937 60-69,9 0,0514 0,0756 0,0708 0,0944 70-79,9 0,0408 0,0286 0,031 0,0281 80-89,9 0,0323 0,0093 0,013 0,0047 90-99,9 0,0256 0,0027 0,0053 0,0004 100-109,9 0,0203 0,0007 0,0022 0

Et+3

M29

20-29,9 0,1266 0,1625 0,1876 0,1411 30-39,9 0,1019 0,204 0,2231 0,171 40-49,9 0,082 0,1875 0,1832 0,1711 50-59,9 0,066 0,1428 0,1276 0,1466 60-69,9 0,0531 0,0959 0,0823 0,1093 70-79,9 0,0427 0,0589 0,0511 0,0715 80-89,9 0,0344 0,0339 0,0313 0,0413 90-99,9 0,0276 0,0185 0,0191 0,021 100-109,9 0,0222 0,0097 0,0117 0,0095

M30

20-29,9 0,1363 0,0912 0,2607 0,1926 30-39,9 0,1051 0,1722 0,2911 0,2294 40-49,9 0,081 0,2047 0,1928 0,2022 50-59,9 0,0625 0,1832 0,1015 0,1357 60-69,9 0,0482 0,1356 0,0482 0,0697 70-79,9 0,0371 0,0876 0,0218 0,0273 80-89,9 0,0286 0,0511 0,0097 0,0081 90-99,9 0,0221 0,0275 0,0043 0,0018 100-109,9 0,017 0,0139 0,002 0,0003


(4)

Lampiran 9 Nilai dugaan kerapatan pohon (N) per hektar untuk kelompok seluruh

jenis pada petak tebang Et+6, Et+4, Et+3

Tahun setelah penebangan

Petak tebang

kelas diameter

Kerapatan Pohon (N/ha)

Eksponensial negatif Gamma Lognormal Weibull

Et+6

S30

20-29,9 0,137 0,2371 0,263 0,1996 30-39,9 0,1052 0,3042 0,3208 0,2426 40-49,9 0,0808 0,2189 0,2045 0,2104 50-59,9 0,0621 0,1104 0,0974 0,133 60-69,9 0,0477 0,0439 0,0405 0,061 70-79,9 0,0366 0,0147 0,0158 0,0201 80-89,9 0,0281 0,0043 0,006 0,0047 90-99,9 0,0216 0,0012 0,0023 0,0007 100-109,9 0,0166 0,0003 0,0009 0,0001

R29

20-29,9 0,1399 0,2726 0,3092 0,2201 30-39,9 0,1056 0,2848 0,2932 0,2374 40-49,9 0,0797 0,1854 0,1684 0,1877 50-59,9 0,0601 0,0905 0,0784 0,1118 60-69,9 0,0454 0,0365 0,0333 0,0504 70-79,9 0,0342 0,0128 0,0137 0,0172 80-89,9 0,0258 0,0041 0,0056 0,0044 90-99,9 0,0195 0,0012 0,0023 0,0008 100-109,9 0,0147 0,0003 0,001 0,0001

Et+4

O28

20-29,9 0,1414 0,2939 0,3331 0,233 30-39,9 0,1056 0,2932 0,2997 0,2428 40-49,9 0,0789 0,1763 0,1586 0,1822 50-59,9 0,0589 0,0779 0,0673 0,1009 60-69,9 0,044 0,028 0,026 0,0415 70-79,9 0,0329 0,0087 0,0097 0,0126 80-89,9 0,0246 0,0024 0,0036 0,0028 90-99,9 0,0183 0,0006 0,0014 0,0005 100-109,9 0,0137 0,0001 0,0005 0,0001

P29

20-29,9 0,1419 0,3111 0,3454 0,2488 30-39,9 0,1056 0,3253 0,3274 0,2801 40-49,9 0,0786 0,179 0,1611 0,1997 50-59,9 0,0585 0,0664 0,0598 0,0897 60-69,9 0,0435 0,0189 0,0196 0,0246 70-79,9 0,0324 0,0044 0,0062 0,004 80-89,9 0,0241 0,0009 0,0019 0,0004 90-99,9 0,018 0,0002 0,0006 0

100-109,9 0,0134 0 0,0002 0

Et+3

M29

20-29,9 0,1408 0,2891 0,3256 0,2303 30-39,9 0,1056 0,3053 0,3141 0,2481 40-49,9 0,0792 0,1855 0,1681 0,1893 50-59,9 0,0594 0,0804 0,0699 0,1047 60-69,9 0,0446 0,0278 0,0261 0,042 70-79,9 0,0334 0,0082 0,0093 0,0121 80-89,9 0,0251 0,0021 0,0033 0,0025 90-99,9 0,0188 0,0005 0,0012 0,0004 100-109,9 0,0141 0,0001 0,0004 0

M30

20-29,9 0,1429 0,328 0,3659 0,2581 30-39,9 0,1055 0,3158 0,3154 0,2709 40-49,9 0,0778 0,1642 0,1464 0,1844 50-59,9 0,0574 0,0585 0,0524 0,0818 60-69,9 0,0424 0,0162 0,0168 0,0232 70-79,9 0,0313 0,0037 0,0052 0,0041 80-89,9 0,0231 0,0008 0,0016 0,0004 90-99,9 0,017 0,0001 0,0005 0


(5)

Lampiran 10 Nilai Dugaan Luas Bidang Dasar (Lbds) untuk Kelompok

Dipterocarpaceae Pada Petak Bekas Tebang Et+6, Et+4, Et+3

Tahun setelah

penebangan

Petak

tebang Kelas diameter

Luas Bidang Dasar (m2/ha)

Eksponensial negatif Gamma Lognormal Weibull

Et+6

R29

20-29,9 0,21 0,29 0,33 0,25

30-39,9 0,33 0,71 0,77 0,59

40-49,9 0,44 1,04 1,01 0,97

50-59,9 0,52 1,13 1,01 1,2

60-69,9 0,58 1 0,86 1,17

70-79,9 0,62 0,76 0,67 0,94

80-89,9 0,63 0,52 0,5 0,62

90-99,9 0,63 0,33 0,36 0,34

100-109,9 0,69 0,19 0,25 0,16

S30

20-29,9 0,47 0,55 0,86 0,75

30-39,9 0,71 1,89 2,11 1,47

40-49,9 0,91 2,99 2,33 2,5

50-59,9 1,05 2,81 1,77 2,9

60-69,9 1,13 1,89 1,09 2,4

70-79,9 1,17 1,01 0,61 1,45

80-89,9 1,16 0,45 0,32 0,64

90-99,9 1,12 0,17 0,16 0,21

100-109,9 1,06 0,06 0,08 0,05

Et+4

O28

20-29,9 0,11 0,17 0,2 0,15

30-39,9 0,18 0,4 0,42 0,33

40-49,9 0,23 0,55 0,51 0,51

50-59,9 0,27 0,54 0,47 0,58

60-69,9 0,3 0,44 0,38 0,53

70-79,9 0,31 0,3 0,28 0,39

80-89,9 0,31 0,19 0,2 0,23

90-99,9 0,3 0,1 0,13 0,11

100-109,9 0,29 0,05 0,09 0,05

P29

20-29,9 0,121 0,141 0,152 0,128 30-39,9 0,188 0,511 0,543 0,417 40-49,9 0,247 0,795 0,758 0,774

50-59,9 0,292 0,733 0,66 0,872

60-69,9 0,324 0,476 0,445 0,594

70-79,9 0,341 0,24 0,26 0,235

80-89,9 0,348 0,1 0,14 0,051

90-99,9 0,344 0,036 0,071 0,006

100-109,9 0,333 0,011 0,035 0

Et+3

M29

20-29,9 0,111 0,143 0,165 0,124 30-39,9 0,176 0,352 0,385 0,295 40-49,9 0,234 0,535 0,523 0,489 50-59,9 0,281 0,609 0,545 0,625 60-69,9 0,316 0,572 0,491 0,652 70-79,9 0,339 0,468 0,406 0,568

80-89,9 0,35 0,345 0,319 0,421

90-99,9 0,352 0,235 0,243 0,268 100-109,9 0,346 0,15 0,181 0,147

M30

20-29,9 0,233 0,156 0,446 0,329 30-39,9 0,353 0,578 0,977 0,77

40-49,9 0,45 1,136 1,07 1,123

50-59,9 0,518 1,52 0,842 1,126

60-69,9 0,558 1,572 0,558 0,808 70-79,9 0,573 1,352 0,337 0,421 80-89,9 0,567 1,013 0,193 0,16 90-99,9 0,547 0,681 0,108 0,044 100-109,9 0,515 0,421 0,059 0,009


(6)

Lampiran 11 Nilai Dugaan Luas Bidang Dasar (Lbds) untuk kelompok seluruh

jenis Pada Petak Bekas Tebang Et+6, Et+4, Et+3

Tahun setelah penebangan

Petak

tebang Kelas diameter

Luas Bidang Dasar (m2/ha)

Eksponensial negatif Gamma Lognormal Weibull

Et+6

R29

20-29,9 0,875 1,705 1,934 1,376 30-39,9 1,296 3,346 3,598 2,914 40-49,9 1,618 5,781 3,42 3,811 50-59,9 1,824 5,624 2,378 3,391 60-69,9 1,923 3,836 1,412 2,137 70-79,9 1,932 2,058 0,773 0,971 80-89,9 1,873 0,928 0,405 0,32 90-99,9 1,766 0,368 0,208 0,076 100-109,9 1,628 0,131 0,106 0,013

S30

20-29,9 0,991 1,715 1,902 1,444 30-39,9 1,493 3,364 4,552 3,443 40-49,9 1,897 7,14 4,801 4,939 50-59,9 2,177 7,678 3,416 4,665 60-69,9 2,336 5,411 1,983 2,992 70-79,9 2,389 2,864 1,032 1,311 80-89,9 2,357 1,232 0,506 0,391 90-99,9 2,261 0,454 0,24 0,078 100-109,9 2,122 0,148 0,113 0,01

Et+4

O28

20-29,9 0,905 1,881 2,132 1,491 30-39,9 1,327 3,692 3,765 3,05 40-49,9 1,639 6,092 3,296 3,785 50-59,9 1,83 5,476 2,088 3,134 60-69,9 1,909 3,381 1,127 1,799 70-79,9 1,899 1,619 0,561 0,727 80-89,9 1,822 0,646 0,268 0,208 90-99,9 1,7 0,224 0,126 0,042 100-109,9 1,552 0,07 0,059 0,006

P29

20-29,9 0,306 0,671 0,745 0,537 30-39,9 0,699 2,06 2,169 1,855 40-49,9 1,063 4,401 2,18 2,702 50-59,9 1,338 4,096 1,368 2,053 60-69,9 1,509 2,301 0,681 0,854 70-79,9 1,585 0,923 0,301 0,194 80-89,9 1,582 0,291 0,125 0,023 90-99,9 1,52 0,077 0,051 0,001

100-109,9 1,42 0,018 0,02 0

Et+3

M29

20-29,9 0,667 1,37 1,543 1,092 30-39,9 0,982 2,839 2,921 2,307 40-49,9 1,219 2,853 2,586 2,913 50-59,9 1,366 1,848 1,607 2,408 60-69,9 1,432 0,892 0,837 1,349 70-79,9 1,43 0,349 0,398 0,518 80-89,9 1,378 0,117 0,181 0,136 90-99,9 1,291 0,035 0,081 0,024 100-109,9 1,183 0,009 0,036 0,003

M30

20-29,9 0,985 2,26 2,521 1,778 30-39,9 1,426 4,435 4,265 3,663 40-49,9 1,74 7,063 3,274 4,124 50-59,9 1,919 5,489 1,751 2,734 60-69,9 1,978 2,733 0,785 1,083 70-79,9 1,943 1,007 0,323 0,254 80-89,9 1,842 0,299 0,128 0,035 90-99,9 1,698 0,075 0,05 0,003


Dokumen yang terkait

Komposisi dan struktur tegakan areal bekas tebangan dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam Indonesia Intensif (TPII) di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawti, Kalimantan Tengah

3 49 107

Struktur Dan Komposisi Tegakan Pada Areal Bekas Tebangan Dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Tptj) (Di Areal Iuphhk Pt. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

3 30 125

Petubahan KOihposisi Dan Struktut Tegakan Hutan Produksi Alam Dengan Menggunakan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Ema Djuliawati, Kalimantan Tengah)

0 15 229

Perkembangan vegetasi pada areal bekas tebangan dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (TPTJ) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

1 24 109

Perkembangan tegakan pada areal bekas tebangan dengan teknik silvikultur Tebang pilih tanam Indonesia intensif (TPTII) (Di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

0 11 232

Perkembangan vegetasi pada areal bekas tebangan dengan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII): studi kasus di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah

2 16 96

Kondisi Vegetasi Pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur Di Kalimantan Tengah

8 55 134

Scbaran Diameter Tanaman Meranti Pada Sistcm Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur Di PT Erna Djuliawati

0 5 29

Komposisi Functional Species Group pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Area IUPHHK-HA PT Sarpatim, Kalimantan Tengah

0 12 37

Struktur tegakan pasca penebangan pada sistem tebang pilih tanam jalur di konsesi hutan PT Erna Djuliawati

1 7 37