HAMBATAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

BAB IV HAMBATAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA

TERHADAP PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU DALAM KASUS ADELIN LIS Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu diluar blok tebangan RKT yang disahkan dalam kasus ADELIN LIS telah dianalisis dan disimpulkan dalam Bab III. Hasil analisis dan kesimpulan ditemukan faktor- faktor utama yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum pidana dalam kasus a quo , yakni: Produk administrasi negara dalam bentuk peraturan pelaksanaan dari ketentuan yang lebih tinggi mengandung arti ganda ambiguity; kekaburan obscurrity; dan mengandung arti luas overbulkinnes sehingga menimbulkan multi tafsir diantara penegak hukum pidana; Dalam upaya pembuktian, saksi-saksi kunci dan ahli pada umumnya berada pada struktur hukum kehutanan baik duduk pada fungsi teknis dan fungsi pengawasan, sehingga secara psikologis dapat terpengaruh dari kekuasaan yang lebih tinggi dan bahkan ada yang mencabut keterangannya pada saat sidang; Latarbelakang pengalaman dibidang penegakan hukum kehutanan yang berimplikasi tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku penegak hukum pidana penyidik, JPU, Hakim, dan Pengacara, Menteri Kehutanan; Fokus kajian dalam Bab IV ini adalah permasalahan yang menjadi hambatan berkaitan dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum pidana materiil dengan penegakan hukum pidana formil menggunakan teori sistem hukum yang Universitas Sumatera Utara dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman, memandang hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub-sistem, yakni substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum 208 A. Substansi Hukum sebagai berikut: Substansi hukum tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam kitap-kitab hukum law in books, 209 tetapi juga pada tataran hukum yang hidup living law 210 Jeremy Bentham, mengidentifikasi ketidak sempurnaan materi undang-undang yang dapat mempengaruhi undang-undang disebabkan hal-hal yang meliputi: a mengandung arti ganda ambiguity; b kekaburan obscurrity; c mengandung arti luas overbulkinnes. yakni “produk” berupa keputusan-keputusan administrasi negara yang dihasilkan oleh pejabat publik dalam lingkup sistem hukum itu, misalnya surat keputusan. 211 Ketidak sempurnaan materi undang-undang bertentangan dengan prinsip terminologi dan sistimatika yang jelas. 212 Produk administrasi negara yang menimbulkan multi tafsir dan menjadi faktor penghambat penegakan hukum dalam kasus a quo, meliputi: 208 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Terjemahan M. Khozim, Bandung, 2009, hal 12. 209 Ibid hal 7 210 Ibid hal 8 211 Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, hal 129 212 Yuliandri Ibid hal 147 Universitas Sumatera Utara 1. Pengenaan Sanksi Uang pengganti dan Sanksi Administrasi. Pembuat UU Kehutanan menetapkan konsep sanksi bersifat komulatif, yakni: sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda yang ditetapkan dalam pasal 78 ayat 1 sampai dengan ayat 12 “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ... diancam dengan pidana penjara paling lama ... dan denda paling banyak...”. Dalam UU No. 41 tahun 1999, tentang Kehutanan hukuman pokok penjara dan denda bersifat komulatif bukan bersifat alternatif, berbeda dengan UU No 5 tahun 1967, tentang kehutanan yo PP No 28 tahun 1985, bersifat alternatif dan ambivalen, hal ini dapat dilihat dalam rumusan setiap kalimat pada pasal 18, mulai ayat 1 sd ayat 5 yakni dengan kata “atau” yang menghubungkan kalimat “...dipidana dengan pidana penjara...atau denda...dst”.; Pengenaan sanksi “ganti rugi” ditetapkan dalam pasal 80 ayat 1 yakni: “dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara,...”, artinya, bahwa pengenaan “ganti rugi” tidak mengesampingkan hukuman pokok pidana dan denda; sanksi “administratif” ditetapkan dalam pasal 80 ayat 2 “Setiap pemegang izin... apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 78 dikenakan sanksi administratif”, artinya, bahwa pengenaan sanksi administratif hanya berlaku bagi pemegang izin usaha dibidang kehutanan apabila melanggar ketentuan diluar ketentuan pidana pasal 78. Kesimpulannya, bahwa khusus bagi pemegang izin usaha dibidang kehutanan, seperti HPH atau IUPHHK yang apabila Universitas Sumatera Utara terbukti melanggar pasal 78 UU Kehutanan dikenakan hukuman pokok secara komulatif pidana dan denda dan hukuman tambahan berupa “ganti rugi” serta “administratif”. Dalam kasus a quo, tuntutan pidana pokok, yakni pidana penjara dan denda, dengan tuntutan uang pengganti atas kerugian negara dari nilai PSDH dan DR dibuat secara bersamaan dalam memori kasasi JPU pada hal 136-137, sebagai berikut: Menohon agar Ketua Mahkamah Agung RI memutuskan: “untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ADELIN LIS dengan pidana penjara selama 10 sepuluh tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah subsidair 6 enam bulan kurungan dan membayar uang pengganti secara tanggung renteng dengan Ir. OSCAR SIPAYUNG dan Ir. WASHINTON PANE, Msc, Ir. BUDI ISMOYO dan Ir. SUCIPTO LUMBAN TOBING sebesar Rp 119.802.393.040,00 seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah dan US 2.938.556,24 dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US dollar” Terhadap tuntutan JPU tersebut, dengan putusan MARI No. 68 tahun 2008 pada hal 304 memutuskan bahwa dakwaan Pertama Primair dan Kedua Primair dari JPU terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan kehutanan secara bersama-sama dan berlanjut, sehingga menghukum terdakwa ADELIN LIS pidana penjara dan denda, serta menghukum untuk membayar uang pengganti sesuai tuntutan JPU, sebagai berikut: Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 sepuluh tahun dan membayar denda sebesar Rp.1.000.000.000,- satu milyar rupiah Subsidair 6 enam bulan kurungan; Menghukum pula Terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp.119.802.393.040,- seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat Universitas Sumatera Utara puluh rupiah dan US 2.938.556,24 dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US Dollar dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu 1 satu bulan Terdakwa tidak dapat melunasi uang pengganti tersebut maka hartanya disita dan apabila hartanya tidak cukup maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 lima tahun Bahwa kewenangan membuat tuntutan hukuman pokok pidana penjara dan denda dan hukuman tambahan membayar uang pengganti ada pada JPU, dan kewenangan mengadili dan memutuskannya ada pada hakim peradilan pidana. Artinya, bahwa hukuman dibidang kehutanan bersifat komulatif dan kewenangan mengadili dan memutuskannya ada pada hakim peradilan pidana. Secara umum hal ini telah sejalan dengan kewenangan yang ditetapkan dalam KUHAP dan secara khusus diatur juga dalam pasal 18 ayat 1 2 3 UU PTPK tentang pidana tambahan, antara lain mengenai “uang pengganti”. Pasal 87 ayat 1 huruf c pada PP. No. 34 tahun 2002 yang diganti dengan pasal 128 ayat 1 huruf c pada PP. No. 6 tahun 2007 tentang kewenangan pengenaan sanksi administratif berupa “denda” ada pada Menhut RI dan pasal 46 ayat 1 pada PP. No 45 tahun 2004 tentang kewenangan pengenaan pembayaran dan besarnya ganti rugi akibat kerusakan hutan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara ada pada Menhut RI. Artinya, ketentuan dalam kedua PP tersebut telah bertentangan dengan asas lex superior derogat lex inferior,dan prinsip-prinsip serta koktrin hukum, 213 213 Ibid hal 36: Penjelasan pasal 7 ayat 4 Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, DPRD, MA, MK, BPK, Gubernur BI, Menteri, Kepala Bidang, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-undang atau Pemerintah atas pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Propinsi, sebab kewenangan Menhut RI tersebut telah mereduksi kewenangan Universitas Sumatera Utara hakim peradilan pidana. Dengan putusan MARI No. 68 tahun 2008 tersebut, maka kewenangan Menhut RI tentang penjatuhan sanksi administratif berupa “denda” dan “uang pengganti” atas kerugian negara berupa PNBP dari PSDH dan DR yang ditetapkan dalam PP. No. 34 tahun 2002 dan PP No. 45 tahun 2004 dapat dikesampingkan dalam penegakan hukum pidana kehutanan. 2. Dalam pasal 50 ayat 2 UU Kehutanan tidak merumuskan standar tingkat kerusakan hutan itu. Pengertian kerusakan hutan dalam penjelasan pasalnya cukup sederhana, yaitu adanya kerusahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya sehingga menimbulkan gangguan terhadap peran atau fungsi hutan itu sendiri lindung, konservasi dan produksi. Pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan belum ada membuat ketentuan yang menetapkan kriteria baku kerusakan hutan secara operasionalnya, walaupun telah diamanatkan pada pasal 46 ayat 4 PP No 45 tahun 2004, tentang perlindungan hutan, yaitu: “Ketentuan lebih lanjut tentang tingkat kerusakan hutan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur oleh Menteri.” Hal tersebut bertentangan dengan “asas kejelasan rumusan dan asas ketertiban dan kepastian hukum het rechtszekerheids- beginsel .” 214 Bandingkan dengan standar tingkat kerusakan lingkungan yang dirumuskan dalam UU No 32 tahun 2009, tentang Pengelolaan lingkungan hidup atas perubahan Gubernur, DPRD KabKota, Bupati, Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Penjelasan pasal 7 ayat 5 Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 214 Yuliandri Ibid Universitas Sumatera Utara UU No 23 tahun 1997, tentang pengelolaan lingkungan hidup pada pasal 21 3 dan 4 menetapkan rumusan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, yakni kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat iklim ditetapkan secara terukur. Ketidak pastian atas rumusan tingkat kerusakan hutan tersebut, telah menimbulkan multi tafsir dari penegak hukum JaksaPenuntut Umum, Majelis Hakim, Pengacara dalam kasus a quo. 3. Dalam pasal 78 ayat 15 menetapkan semua hasil hutan dari kejahatan dan pelanggaran korpora delicti dan atau alat-alat untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran instrumental delicti dalam pasal 78 dirampas untuk negara. Pasal 79 ayat 1 menetapkan bahwa semua hasil hutan baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran dalam pasal 78 adalah “Kekayaan negara” dilelang untuk negara. Pasal 53 ayat 2 PP No. 45 tahun 2004, menetapkan: “hasil hutan yang cepat rusak dan memerlukan biaya tinggi untuk penyimpanannya diupayakan segera dilelang”. Artinya, pembentuk UU kehutanan dan peraturan pelaksanaannya telah menetapkan suatu prinsip “penyelamatan kekayaan negara”. Akan tetapi menjadi timbul suatu hambatan dalam penegakan hukum pidana kehutanan dengan terbitnya Permenhut RI No 48Kpts-II2006, tanggal 12 Juni 2006, yang telah diubah dengan Permenhut RI. No: P.47Menhut-II2009, tanggal 22 Juli 2009, pasal 3 ayat 2 karena memuat suatu larangan untuk melelang kekayaan negara berupa hasil hutan, yakni: “hasil hutan temuan, sitaan, dan atau rampasan yang tidak dapat dilelang meliputi satwa dan atau tumbuhan liar dan hasil hutan yang berasal Universitas Sumatera Utara dari hutan konservasi dan atau hasil hutan kayu yang berasal dari hutan lindung”. Frasa “hasil hutan yang berasal dari hutan konservasi dan atau hasil hutan kayu yang berasal dari hutan lindung”. Ketentuan ini bersifat melarang penegak hukum untuk menyelamatkan harta kekayaan Negara dan melindungi hak-hak negara dengan cara merampas dan melelang atas barang bukti hasil hutan. Kalimat tersebut kontradiktif dengan prinsip penyelamatan harta kekayaan negara asset recovery yang ditetapkan dalam pasal 78 ayat 15 dan pasal 79 ayat 1. Jika hasil hutan berupa kayu dari hasil kejahatan dan pelanggaran tidak dilelang untuk negara. Lalu digunakan untuk apa kekayaan negara tersebut yang sudah menjadi kayu, sebab hasil hutan dalam bentuk kayu bulat dan atau olahan tidak mungkin dikembalikan kehabitatnya kedalam hutan, tetapi habitat kayu itu untuk bahan baku industri atau dimusnahkan, kecuali pohon kayu dan hewan hasil hutan yang masih hidup dapat dikembalikan ke habitatnya di hutan lindung atau konservasi. Permenhut No 482006 tersebut menjadi tidak sah menurut hukum karena telah bertentangan dengan prinsip-prinsip “pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik” yakni: “asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan” 215 215 “Himpunan Peraturan Perundang-Undangan. Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, Dengan Penjelasannya dan Lampirannya ” Bandung: Fokusmedia-2011: Penjelasan pasal 5 huruf f UU No. 10 tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hal 31 dimana materi muatan permenhut dimaksud telah bertentanagan dengan materi muatan pasal 78 ayat 15 dan pasal 79 ayat 1 UU Kehutanan, semestinya materi muatan dalam pasal pada undang-undang harus tidak boleh menyimpang dari materi muatan dalam Universitas Sumatera Utara Permenhut RI dimaksud atau istilah dalam undang-undang disebut harus “sebagaimana mestinya” 216 . Selain bertentangan dengan prinsip hukum, ketentuan pasal dimaksud juga bertentangan dengan doktrin hukum, yang mengisyaratkan bahwa “Apabila kekuasaan dari suatu otoritas publik dianggap berlebihan atau telah melampaui kewenangannya sendiri, maka peraturan yang ditetapkan diluar kewenangannya itu tidak sah karena alasan ultra vires. 217 Jika terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang berbeda tingkatannya misalnya, UU dengan PP, PP dengan Permen, maka diterapkan kriteria untuk mengesampingkan peraturan tersebut, yakni asas “ketentuan yang lebih tinggi mengesampingkan ketentuan yang lebih rendah “lex superior derogat legi inferiori”. 218 Juga menurut pendapat sarjana hukum Yuliandri, yang digali dari prinsip pembentukan undang- undang “bahwa setiap produk aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi, oleh karena itu bersifat dilarang bagi pejabat lembaga negara untuk membuat suatu peraturan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tingkatannya ” 219 216 Ibid hal 36 Penjelasan atas pasal 10 UU No 10 tahun 2004: Yang dimaksud dengan “sebagaimana mestinya” adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-undang yang bersangkutan” oleh karena disamping tidak sahnya 217 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta: Raja Grafindo Persada-2010, hal 226 218 Yuliandri Op. Cit hal 235 219 Ibid hal 59 Universitas Sumatera Utara permenhut itu haruslah dikesampingkan karena juga bertentangan dengan asas-asas hukum, yakni “asas kejelasan rumusan”. 220 B. Struktur Hukum Struktur hukum adalah agensi-agensi, organ-organ, pejabat-pejabat, badan dan lembaga yang mengawasi peraturan hukum dan melaksanakan fungsi struktural tersebut yang diawasi dengan sebuah sistem pengawasan yang memadai 221 Faktor-faktor yang menghambat dalam penegakan hukum pidana dalam kasus a quo dari aspek struktur hukum adalah sebagai berikut: . Setiap peraturan perundang-undangan harus mempunyai lembaga pengawas dan berfungsi untuk menegakkan undang-undang. Lembaga pengawas ditetapkan pada pasal 59 sampai pasal 64 dalam UU Kehutanan, yakni pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. 1. Fungsi Pengawasan Pembuat UU kehutanan menetapkan kewenangan pengawasan terhadap usaha pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan, yakni oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah bersifat berkewajiban untuk melakukan pengawasan, sedangkan bagi masyarakat dan atau perorangan bersifat berperan serta dalam pengawasan 220 “Himpunan Peraturan Perundang-Undangan. Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, Dengan Penjelasannya dan Lampirannya ” Bandung: Fokusmedia-2011: Penjelasan pasal 5 huruf f UU No. 10 tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hal 32 221 Lawrence M. Friedman. “American Law An Introduction,” Secon Edition, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,Jakarta: Tata Nusa, 2001, hal 7. Universitas Sumatera Utara pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung vide pasal 59 sampai pasal 64 dan penjelasan umum UU Kehutanan. UU Kehutanan dan dalam peraturan pelaksanaannya tidak menetapkan sanksi bagi pejabat pengawas yang tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana mestinya. Pernyataan ini didasarkan pada fakta penelitian dalam kasus a quo, sejak tahun 2000 sd 2006 PT.KNDI tidak melaksanakan sistim TPTI dalam usaha pemanfaatan hasil hutan kayu melakukan penebangan kayu diluar blok tebangan yang disahkan dan tidak juga merealisasikan pengalokasian saham PT.KNDI kepada pihak yang berhak sejak tanggal 01 Oktober 2001, berdasarkan HPH atau IUPHHK SK.Menhut RI. Nomor:805Kpts-IV1999, tanggal 30 September 1999. Menhut RI tidak dengan segera menindak lanjuti rekomendasi dalam laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli LPI dengan surat LPI No. 184FPGXI2005, tertanggal 18 Agustus 2005 tentang laporan kinerja PT.KNDI yang tidak menerapkan sistin TPTI dengan kualifikasi kinerja “SANGAT BURUK”. 2. Penyidikan dan Penuntutan Jika ditinjau dari struktur hukumnya, hubungan tugas dan kewenangan dalam penegakan hukum penyidik Polri dengan JaksaPenuntut umum dalam penegakan hukum pidana diatur dalam pasal 13 huruf b UU No 2 tahun 2002, tentang Kepolisian Negara RI “Tugas Pokok Polri adalah menegakkan hukum”. Pasal 14 ayat 1 huruf g UU No 2 tahun 2002, tentang Kepolisian Negara RI “Dalam melaksanakan tugas pokok Polri dalam pasal 13 melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan Universitas Sumatera Utara lainnya”. Ketika penyidik sudah memulai melakukan penyidikan wajib memberitahukannya kepada Jaksa pasal 109 ayat 1 KUHAP dalam bentuk “surat pemberitahuan dimulainya penyidikan”. Pada tahap ini penyidik Polri dan Jaksa peneliti sudah aktif melakukan kordinasi terhadap perkembangan penyidikan Polri. Dalam penegakan hukum pidana dalam kasus a quo, pelaksanaan kewenangan kordinasi pada tahap penyidikan antara penyidik dengan JaksaPenuntut umum telah dilaksanakan secara intensif. Hal itu ditemukan berdasarkan fakta-fakta dinamika kordinasi antara penyidik dengan jaksa peneliti sampai pada pengiriman berkas perkara tindak pidana kehutanan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dibuat dalam satu berkas perkara dengan persangkaan pasal komulatif, sedangkan berkas perkara tindak pidana pencucian uang terpisah disiplitising. Pada akhir kordinasi, oleh Jaksa penuntut umum menyatakan penyidikan terhadap tindak pidana kehutanan dan pemberantasan tindak pidana korupsi atas nama tersangka ADELIN LIS dinyatakan lengkap P.21, sedangkan terhadap berkas perkara pemberantasan tindak pidana pencucian uang dinyatakan belum lengkap dengan memberikan beberapa petunjuk untuk dilengkapi oleh penyidik, antara lain: bahwa pengiriman berkas perkara tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan setelah tindak pidana asal predicate crime yakni, tindak pidana kehutanan dan pemberantasan tindak pidana korupsi mendapat putusan hakim berkekuatan hukum tetap inkracht. Artinya, belum ada komitmen diantara penegak hukum dalam penegakan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana kehutanan untuk mewujudkan rasa keadilan dan kepastian hukum. Universitas Sumatera Utara C. Budaya Hukum Pemahaman dan pendapat penegak hukum ini dipengaruhi oleh pola sikap dan perilaku seseorang penegak hukum dengan segala latar belakang dan kepentingannya yang berbeda. Budaya hukum lahir dari sejumlah fenomena yang saling berkaitan. Pertama , dari pemahaman publik mengenai pola-pola sikap dan perilaku terhadap sistem hukum antara seorang ke orang lain akan berbeda. misalnya apakah pengadilan itu telah adil?, kapan orang-orang bersedia menggunakan pengadilan?, unsur hukum mana yang sah ligitimate, bagaimana pemahaman mereka mengenai hukum? Kedua, satu jenis kultur hukum kelompok, yakni kultur hukum para profesional hukum bisa meliputi persoalan-persoalan kepercayaan, nilai, pemikiran dan harapan manusia terhadap hukum dan sistem hukum, dan prinsip-prinsip para pengacara, hakim dan lain-lainnya yang bekerja dalam sistem hukum 222 Hasil penelitian terhadap penegakan hukum kasus a quo ditemukan fakta- fakta tentang sikap dan perilaku penegak hukum sebagai berikut: . 1. Pembuat UU kehutanan dan peraturan pelaksanaannya tidak menetapkan sanksi terhadap pejabat pemberi izin usaha pemanfaatan kehutanan, dan atau pejabat pengawas dibidang pemanfaatan kehutanan yang terbukti memberikan pernyataan baik tertulis maupun lisan yang bersifat meringankan perbuatan pemegang izin dalam penegakan hukum kehutanan. 222 Lawrence M. Friedman. “Sistem Hukum perspektif ilmu sosial”, Penterjemah: M. Khozim, diterjemahkan dari buku Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective New York: Russel Sage Fundation, 1975,Bandung, Nusa Media, 2009, hal 254-255 Universitas Sumatera Utara 2. UU Kehutanan tidak menetapkan sanksi terhadap pejabat pemberi izin usaha pemanfaatan hutan dan pejabat pengawas yang dengan sengaja atau karena lalainya melakukan pembiaran terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemegang izin pemanfaatan hutan, misalnya: pemberi izin atau pejabat pengawas tidak memberikan sanksi atas perbuatan pemanfaatan hasil hutan kayu yang tidak melaksanakan sistim TPTI dan atau tidak mengalokasikan sahamnya kepada yang berhak dalam batas waktu yang ditentukan dalam izinnya. Bandingkan dengan Pasal 73 ayat 1 UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang “Setiap Pejabat Pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat 7, yang berbunyi: “Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.” 3. UU Kehutanan menganut prinsip penyelamatan kekayaan negara melalui tindakan hukum dengan merampas dan melelang terhadap hasil hutan corpora delicti dari kejahatan atau pelanggaran termasuk alat-alat untuk kejahatan dan pelanggaran instrumental delicti, akan tetapi dalam kasus a quo, JPU tidak ada mengeksekusi terhadap putusan MARI yang menyatakan “merampas untuk negara” barang bukti alat-alat untuk melakukan kejahatan dan hasil hutan kayu dari hasil kejahatan. Pembuat UU Kehutanan tidak ada menetapkan sanksi terhadap sikap penegak hukum seperti ini. 4. Dalam kasus a quo, JPU tidak ada melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan Terdakwa untuk melunasi uang pengganti atas kerugian negara dari PSDH Universitas Sumatera Utara dan DR PNBP sebesar Rp.119.802.393.040,- seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah dan US 2.938.556,24 dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US Dollar sebagaimana dalam putusan MARI No. 68 tahun 2008 pada hal 304 dan hakim pengawas pada PN.Medan pun membiarkan hal tersebut. Sikap bersama penegak hukum seperti ini merupakan bukti penghambat dalam penegakan hukum. 5. Fakta penyidikan dalam kasus a quo, ditemukan fakta, bahwa penyidik juga mempersangkakan tindak pidana pencucian uang terhadap Terdakwa, dalam tindak pidana pencucian uang tersebut ditemukan fakta, bahwa Terdakwa ada menggunakan uang miliaran rupiah dari hasil penjualan kayu secara illegal untuk membangun usaha perkebunan besar dan sebuah PKS di Kec. Manduamas, Kab. Tapteng, akan tetapi JPU menolak P.18 dan 19 hasil penyidikan tindak pidana pencucian uang walaupun tindak pidana asalnya tindak pidana korupsi dan kehutanan telah dinyatakan lengkap dan sudah inkracht. Akibatnya, asset recovery dalam prinsip penegakan hukum pidana pencucian uang dan pemberantasan tindak pidana korupsi terlanggar. Tidak ada sanksi bagi penegak hukum yang melanggar prinsip tersebut. 6. Pengalaman penegak hukum dibidang tindak pidana korupsi dengan latar belakang tindak pidana kehutanan dan tindak pidana pencucian uang sangat terbatas. Hal ini didasarkan pada data yang ada. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Anak(Studi Kasus Putusan No.300/PID.B/2013/PN.KBJ)

3 151 127

Analisa Hukum Pidana Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

0 71 97

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

Analisis Hukum Terhadap Pidana di Bidang Kehutanan (Studi Putusan No.481/K/Pid.B/2006 PN Jkt.Pst & Putusan Mahkamah Agung No. 2462/K/Pid/2006 dengan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus)

6 90 359

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia)

1 45 146

Perlindungan Hukum Terhadap Rahasia Dagang Perusahaan Dalam Hubungan Kerja”. (Studi Kasus Putusan MARI Nomor 783 K Pid.Sus 2008)

0 0 15

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA K

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)

0 0 23

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)

0 1 14