Pengaturan Hukum Pidana Materiil Terhadap Tindak Pidana Kehutanan,

Hukum pidana kehutanan yang bersifat hukum pidana materil ditetapkan dalam pasal 38 ayat 4 dan pada pasal 50 ayat 1, 2, dan 3 huruf a sd huruf m mengatur perbuatan yang dilarang, pasal 78 ayat 1 sd ayat 12 menetapkan subjek hukum dan sanksi pidana, pasal 78 ayat 13 menetapkan klasifikasi atau sifat tindak pidana kehutanan kejahatan dan pelanggaran, pasal 78 ayat 14 mengatur subjek hukum atau prinsip dipertanggung jawab pidana-kan kepada pengurus badan usaha atau badan hukum dan prinsip pemberatan pidana, pasal 78 ayat 15 dan pasal 79 ayat 1 menetapkan prinsip “semua hasil hutan dari hasil kejahatan atau pelanggaran dirampas untuk negara” dan prinsip “kekayaan negara” harus dilelang untuk negara, pasal 80 ayat 1, sedangkan hukum pidana kehutanan yang bersifat hukum pidana formal diatur dalam pasal 77 ayat 1 2 3 mengatur dasar kewenangan penyidikan.

A. Pengaturan Hukum Pidana Materiil Terhadap Tindak Pidana Kehutanan,

Khususnya Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Ketentuan perbuatan yang dilarang diatur pasal 38 ayat 4 dan pada pasal 50 ayat 1, 2, dan 3 huruf a sd huruf m UU Kehutanan. 42 1. Pengaturan Larangan Pidana Kehutanan ditetapkan sebagai berikut: Penetapan larangan dalam hukum pidana kehutanan oleh pembuat UU Kehutanan dimaksudkan dapat menjadi kenyataan melalui proses penegakan hukum pidana kehutanan untuk mencegah kerusakan hutan dan mewujudkan cita-cita hukum 42 Undang-undang Kehutanan dan Perubahannya, Op. Cit, hal 20-22 dan hal 32-34 Universitas Sumatera Utara kehutanan agar pemanfaatan hutan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang berkeadilan dan berkelanjutan atau lestari. 43 a. Perbuatan Yang Dilarang Dalam Tindak Pidana Kehutanan Sehingga ketentuan larangan ditetapkan secara eksplisit dan ada yang diperjelas serta diperluas baik dalam penjelasan UU Kehutanan dan dalam Peraturan Pemerintah PP dan Peraturan Menhut RI sebagai berikut: Secara umum, perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana kehutanan, yaitu diatur dalam: 1. Pasal 38 ayat 4 UU Kehutanan “dilarang melakukan penambangan dengan pola penambangan terbuka pada kawasan hutan lindung. Pasal 38 ayat 4 ini berkaitan pasal 38 ayat 1 2 yakni penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan antara lain kegiatan ekploitasi pertambangan dengan pola tertutup hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, dan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri vide penjelasan pasal 38 ayat 1 UU Kehutanan. Artinya, apabila kegiatan pertambangan dengan pola pertambangan terbuka dilakukan dengan sengaja walaupun ada izin pinjam pakai dari Menteri adalah perbuatan yang dilarang. Pembentuk undang-undang kehutanan tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan pola pertambangan 43 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing-2009 hal 24 dan baca juga penjelasan umum UU Kehutanan pada alinea kedua. Universitas Sumatera Utara terbuka. Menurut Van der Vlies, 44 perumusan tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik algemene beginselen van behoorlijke regelgeving , antara lain “asas kejelasan tujuan” dan “asas ketertiban dan kepastian hukum het rechtszekerheidsbeginsel.” sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam penegakan hukumnya dan dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. 45 2. Pasal 50 ayat 1 tentang larangan merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. Maksud frasa “Prasarana dan sarana perlindungan hutan” dalam penjelasan pasalnya adalah prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran api, menara pengawas, dan jalan pemeriksaan. Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda larangan, dan alat angkut vide penjelasan pasal 50 ayat 1 UU Kehutanan. 3. Pasal 50 ayat 2 “Pemegang izin, yakni izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil 44 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang, Jakarta: Raja Grafindo Persada-2010 hal 113 45 “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan penjelasannya”, Bandung: Fokusmedia-2011 hal 32 dan 34: UU No. 10 tahun 2004, penjelasan pasal 5 huruf f: “yang dimaksud dengan “Asas Kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.” Pasal 5 huruf i: “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum”. Universitas Sumatera Utara hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.” Ketentuan pada pasal ini adalah delik meteriil karena untuk terpenuhinya unsur objektif, yakni “kerusakan hutan” harus dapat dibuktikan terjadinya akibat yang nyata berupa kerusakan hutan sebagai syarat utama untuk dipidananya sipembuat delik. Yang dimaksud kerusakan hutan, adalah kerusakan baik dari aspek fisik, sifat fisik dan hayatinya. Pembentuk undang- undang kehutanan dalam merumuskan maksud kerusakan hutan sangat bersifat umum, yakni hanya merumuskan terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Secara khusus PP 45 tahun 2004, tentang perlindungan hutan, pada pasal 46 ayat 3 ada menjelaskan maksud perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, masih dapat mengundang perdebatan yakni: “Yang dimaksud dengan perubahan fisik adalah kondisi terjadinya perubahan bentuk lapangan dan atau tegakan hutan, yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi hutan baik pada hutan produksi, hutan lindung atau hutan konservasi. Indikasi perubahan fisik berupa perubahan bentang alam, tegakan pohon atau penutupan vegetasi. Yang dimaksud dengan perubahan sifat fisik adalah kondisi terjadinya perubahan sifat fisik tanah, yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi hutan baik pada hutan produksi, hutan lindung, atau hutan konservasi. Indikasi perubahan sifat fisik meliputi perubahan: sifat kimia tanah, iklim mokro atau kualitas air. Yang dimaksud dengan perubahan hayati adalah kondisi terjadinya perubahan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi hutan baik pada hutan produksi, hutan lindung, atau hutan konservasi. Indikasi perubahan hayati meliputi perubahan: keragaman dan kerapatan jenis flora, keragaman dan kelimpahan jenis fauna.” Universitas Sumatera Utara Walaupun secara khusus pada pasal 46 ayat 3 PP 45 tahun 2004, telah menjelaskan maksud perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, masih terdapat ruang untuk diperdebatkan karena peraturan pemerintah ini tidak merumuskan standar indikator kerusakan akibat adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayatinya, misalnya, bagaimana ukuran perubahan fisik bentang alam, tegakan pohon atau penutupan vegetasi, bagaimana ukuran perubahan sifat fisik kimia tanah, iklim mokro atau kualitas air, dan bagaimana ukuran perubahan keragaman dan kerapatan jenis flora, keragaman dan kelimpahan jenis fauna yang dapat dikategorikan bahwa hutan telah mengalami kerusakan. Pasal 46 ayat 4 PP No.45 tahun 2004, menyatakan “Ketentuan lebih lanjut tentang tingkat kerusakan hutan diatur oleh Menteri”, namun Menhut RI belum ada mengeluarkan kriteria kerusakan hutan sampai saat ini. Bandingkan dengan UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup perubahan atas UU No 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan lingkungan hidup pada pasal 21 telah menetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dengan belum ditetapkannya kriteria baku kerusakan hutan maka produk hukum tersebut dapat menimbulkan multi tafsir yang akhirnya menimbulkan ketidak pastian hukum. Hal tersebut menjadi celah untuk diperdebatkan dan bertentangan dengan “asas kepastian hukum het rechtszekerheids-beginsel .” 46 46 Yuliandri Ibid Universitas Sumatera Utara 4. Pasal 50 ayat 3 huruf: a tentang larangan mengerjakan, menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Pembentuk undang- undang merumuskan pengertian tentang mengerjakan, menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan dalam penjelasan pasal 50 ayat 3 huruf a sebagai berikut: 1. Maksud mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya. 2.Maksud menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan. 3.Maksud menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya. Menurut Zain, kawasan hutan adalah suatu wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah baik yang berhutan dan tidak berhutan. 47 47 Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Jakarta: Rineka Cipta-1997 hal 2 Menurut UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, pasal 1 ayat 3 menetapkan tentang pengertian kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan” mengandung pengertian yang bersifat komuliatif dan afternatif. Kegiatan bersifat komulatif adalah proses Universitas Sumatera Utara pengukuhan kawasan hutan, 48 yang dimulai dari kegiatan penunjukan sampai kegiatan penetapan kawasan hutan yaitu mulai tahap: 49 “Penunjukan, penataan batas, pemetaan, sampai pada tahap penetapan kawasan hutan. Kegiatan bersifat alternatif yakni bersifat pilihan, yaitu baru tahap penunjukan kawasan hutan, yaitu tahap persiapan berupa: 1. Pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar; 2. Pembuatan pancang batas sementara yang dilengkapi dengan lorong- lorong batas luar; 3. Pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan 4. Pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan, terutama di lokasi yang berbatasan dengan hak-hak masyarakat, misalnya hutan hak, tanah hak vide penjelasan pasal 15 ayat 1 UU Kehutanan. Pada tahap penunjukan kawasan hutan belum ada kegiatan penataan batas, pemetaan, sampai pada tahap penetapan kawasan hutan vide pasal 1 ayat 9 dan pasal 17 PP No. 44 tahun 2004, tentang perencanaan kehutanan”. Makna pentingnya penegasan tentang kawasan hutan dalam penegakan hukum kehutanan adalah untuk memberikan kepastian hukum atas tata batas, luas kawasan hutan untuk dipertahankan manfaatnya secara lestari. Menurut Satjipto Raharjo, dalam penegakan hukum adalah suatu proses untuk 48 PP No 44 Tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan Pasal 1 ayat 8 Pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luas kawasan hutan. 49 Ibid PP No 44 tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan Pasal 1 ayat 9 Penunjukan kawasan hutan adalah penetapan awal peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan.Pasal 1 ayat 10 Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemancangan patok batas, pengumuman, inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran dan pemetaan serta pembuatan Berita Acara Tata Batas. Pasal 1 ayat 11 Penetapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas dan luas suatu kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap. PP No 44 tahun 2004, pasal 21, Pemetaan kawasan hutan dalam rangka kegiatan pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses pembuatan peta: a penunjukan kawasan hutan: wilayah propinsi skala 1 : 250.000, peta parsial skala 1 : 50.000; b rencana trayek batas dengan skala 1 : 250.000; c pemancangan patok batas sementara dengan skala 1 : 25.000; d penataan batas kawasan hutan dengan skala 1 : 25.000; e penetapan kawasan hutan dengan skala 1 : 100.000. Universitas Sumatera Utara mewujudkan keinginan-keinginan hukum cita-cita hukum pembuat hukum menjadi kenyataan. 50 5. Pasal 50 ayat 3 huruf b tentang larangan merambah kawasan hutan. Maksud kata “merambah” adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Artinya, barang siapa saja dilarang melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. 6. Pasal 50 ayat 3 huruf c tentang “larangan menebang pohon dalam kawasan hutan dengan radiusjarak sampai dengan: a 500 lima ratus meter dari tepi waduk atau danau; b 200 dua ratus meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; c 100 seratus meter dari kiri kanan tepi sungai; d 50 lima puluh meter dari kiri kanan tepi anak sungai; e 2 dua kali kedalaman jurang dari tepi jurang; f 130 seratus tiga puluh kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai”. Penjelasan pasal 50 ayat 3 huruf c Secara umum jarak tersebut sudah cukup baik untuk mengamankan kepentingan konservasi tanah dan air. Pengecualian dari ketentuan tersebut dapat diberikan oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Artinya, bahwa ketentuan larangan ini hanya berlaku pada waduk, danau, tepi pantai, sungai, anak sungai, tepi jurang dalam kawasan hutan. 7. Pasal 50 ayat 3 huruf d tentang larangan membakar hutan. Penjelasan pasal ini menetapkan suatu prinsip “larangan membakar hutan”, namun pada 50 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru-1984 hal 24 Universitas Sumatera Utara kondisi tertentu dan tujuan khusus antara lain untuk pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa dapat diperkenankan wajib dengan seizin dari pejabat yang berwenang. 8. Pasal 50 ayat 3 huruf e tentang larangan menebang pohon, atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin pejabat yang berwenang. Ketentuan ini menetapkan pengertian pohon atau hasil hutan pada penjelasan pasal 4 ayat 1, yakni hasil nabati dan turunannya, hasil hewani beserta turunannya, benda-benda non hayati, jasa yang diperoleh dari hutan, hasil produksi yang langsung diperoleh dari bahan baku kayu, dan benda-benda tambang. Pengertian “hasil hutan” berpedoman pada penjelasan pasal 4 ayat 1, hasil hutan corpora delicti, yakni hasil nabati dan turunannya, hasil hewani beserta turunannya, benda-benda non hayati, jasa yang diperoleh dari hutan, hasil produksi yang langsung diperoleh dari bahan baku kayu, dan benda-benda tambang. Sedangkan yang dimaksud dengan “dalam hutan” adalah “dalam hutan negara termasuk dalam hutan adat sepanjang ada pengakuan atas keberadaannya berdasarkan hukum dan dalam hutan hak.” Jadi maksud dalam hutan adalah dalam hutan negara termasuk hutan adat dan hutan hak”. Kata “hutan” merupakan terjemahan dari kata bos Belanda atau forest Inggris. Forest adalah suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas, dan burung-burung hutan, tempat perburuan, tempat istirahat, dan tempat bersenang- Universitas Sumatera Utara senang bagi raja dan pegawai-pegawainya. 51 Menurut Dengler, hutan adalah “sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh- tumbuhanpepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat horizontal dan vertikal, dan pepohonan yang tumbuh pada areal yang luas serta tumbuh secara berkelompok. 52 Hutan adalah suatu lapangan yang cukup luas, minimal luasnya seperempat hektar bertumbuhan pohon pohon kayu, bambu, palem, flora dan fauna yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya, dan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.vide pasal 1 ayat 1 UU No 5 tahun 57, tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kehutanan, 53 Menurut beberapa sarjana tentang pengertian izin. N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, izin merupakan persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah atas larangan perundang-undangan. 54 Artinya, bahwa pihak pemegang izin diberikan hak oleh penguasa untuk menyimpangi suatu larangan peraturan undang-undang. Pendapat Spelt dan Berge ini tidak secara jelas menyebutkan tentang bentuk persetujuan tertulis atau lisan. Dengan demikian bentuk persetujuan itu dapat tertulis atau lisan. Menurut Prajudi Atmosudirjo, menyatakan, izin vergunning adalah suatu penetapan beschikking yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh undang-undang. 55 51 Salim H.S. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta: Sinar Grafika-2004 hal 40 Dengan tegas Prajudi Atmosudirjo, menyatakan bahwa yang 52 Ibid 53 Ibid hal 41 54 N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, dikutip Y.Sri Pudyatmoko, dalam bukunya, Perizinan Problem Dan Upaya Pembenahan , Jakarta: Gramedia Widiasarana IndonesiaGrasindo-2009, hal 7. 55 Mr. S. Prajudi Atmosudirjo, “Hukum Administrasi Negara” Edisi Revisi,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, hlm 97. Pada umumnya pasal undang-undang bersangkutan berbunyi “dilarang tanpa izin... melakukan ... dan seterusnya.” Selanjutnya larangan tersebut diikuti dengan perincian dari Universitas Sumatera Utara dimaksudkan izin itu adalah suatu dispensasi dalam bentuk penetapan yang merinci larangan tersebut diikuti dengan perincian dari syarat-syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan tersebut, disertai dengan penetapan prosedur dan juklak petunjuk pelaksana kepada pejabat-pejabat Administrasi Negara yang bersangkutan. Kaitannya dengan pemanfaatan hasil hutan kayu, pembuat UU Kehutanan dalam pasal 28 ayat 2 mempertegas bahwa untuk seseorang mendapatkan IUPHHK pada hutan produksi harus dilaksanakan melalui suatu proses antara lain: mulai dari tahap pelelangan sampai pada tahap penetapan pemenang lelang oleh Menteri Kehutanan vide PP 34 tahun 2002, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Pemenang lelang adalah yang berhak memiliki dan pemegang IUPHHK yang diterbitkan oleh Menhut RI. Jadi pemegang IUPHHK adalah Putusan Tata Usaha Negara KTUN dalam bentuk penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara, yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat syarat-syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan tersebut, disertai dengan penetapan prosedur dan juklak petunjuk pelaksana kepada pejabat-pejabat Administrasi Negara yang bersangkutan. Universitas Sumatera Utara konkret, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata pasal 1 ayat 3 UU No. 5 tahun 1986, tentang PTUN. 56 Dengan penetapan dan pemberian IUPHHK, membuktikan: 1 pemegang IUPHHK adalah pemenang lelang yang telah memenuhi syarat-syarat formil, materil dan teknis, 2 dengan IUPHHK terciptanya hubungan hukum rechtsbetrekking antara organ pemerintah selaku administrasi negara dan pengawas dengan individu atau suatu badan hukum selaku pemegang hak, 3 lahirnya hakwewenang dan kewajiban hukum, dan 4 campur tangan dan ikut bertanggung jawab organ pemerintah ke dalam proses pemanfaatan hasil hutan 56 Penjelasan Pasal 1 ayat 3 UU No 5 tahun 1986, tentang PTUN sebagai berikut: Istilah ‘penetapan tertulis’terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau pejabat tata usaha negara. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau pejabat tata usaha negara menurut undang-undang ini apabila sudah jelas: a. Badan atau pejabat tata usaha negara mana yang mengeluarkannya; b. maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; c. kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya. Badan atau pejabat tata usaha negara adalah pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum tata usaha negara adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat tata usaha negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam keputusan tata usaha negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai rumah si A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri, izin usaha dibidang kehutanan. Bersifat individual artinya Keputusan tata usaha negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu harus disebutkan. Umpanya, keputusan tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut. Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari badan administrasi kepegawaian negara. Baca juga pasal 2 huruf a sampai g dan penjelasannya tentang yang tidak termasuk jenis Keputusan Tata Usaha Negara. Universitas Sumatera Utara kayu, yaitu: a pra-pemanfaatan kayu, yaitu proses pemberian izin, b saat pemanfaatan kayu, yaitu diberikan hak penebangan pohon kayu secara terbatas hanya pada pohon kayu yang telah disahkan dalam RKT dan hak pemasaran kayu, c pasca pemanfaatan kayu, yaitu usaha pelestarian hutan dalam bentuk pembibitan, penanaman, pengayaan dan pengamanan. 9. Pasal 50 ayat 3 huruf f tentang larangan menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. Pengertian sahnya hasil hutan adalah pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti vide penjelasan pasal 50 ayat 3 huruf h UU Kehutanan dan pasal 12 PP No 45 tahun 2004, tentang perlindungan hutan. 10. Pasal 50 ayat 3 huruf g tentang larangan melakukan penyelidikan umum, atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pada pasal ini adalah ketentuan larangan yang bersifat umum, oleh karena itu tidak dapat dipisahkan dengan ketentuan larangan yang bersifat khsus pada pasal 38 ayat 4 UU Kehutanan. 11. Pasal 50 ayat 3 huruf h tentang larangan mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Legalitas hak memiliki, menguasai dan Universitas Sumatera Utara mengangkut hasil hutan disahkan dan dibuktikan melalui klarifikasi: 1 asal kayu berasal dari blok tebangan RKT yang disahkan dibuktikan dengan LHP dan hasil ceking tebangan dilapangan dengan metode lacak balak; 2 bukti pembayaran PSDH dan DR; dan 3 autentikasi SKSHH yang diproses sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. 12. Pasal 50 ayat 3 huruf i tentang larangan mengembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang. Dalam penjelasan pasalnya, pejabat yang berwenang menetapkan tempat-tempat yang khusus untuk kegiatan penggembalaan ternak dalam kawasan hutan. 13. Pasal 50 ayat 3 huruf j tentang larangan membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang. Dalam penjelasan pasalnya, yang dimaksud dengan alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa traktor, buldozer, truk, logging truck, trailer, crane, tongkang, perahu klotok, helikopter, jeep, tugboat, dan kapal. 14. Pasal 50 ayat 3 huruf k tentang larangan membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. Dalam penjelasan pasalnya bahwa alat-alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat tidak termasuk dalam ketentuan ini. Universitas Sumatera Utara 15. Pasal 50 ayat 3 huruf l tentang larangan membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan. 16. Pasal 50 ayat 3 huruf m tentang larangan mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. 2. Ketentuan Pidana Kehutanan Untuk menentukan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, hukum pidana di Indonesia menganut asas yang dinamakan asas legalitas principle of legality , yakni tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan oleh suatu aturan undang-undang pasal 1 ayat 1 KUHP dan asas yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang- undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu” tidak dipidana jika tidak ada kesalahan Belanda:Geen straf zonder schuld”. Moeljatno, Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut atau disebut perbuatan pidana criminal act menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan atau Pertanggungjawaban hukum pidana criminal liability atau criminal Universitas Sumatera Utara responsibility . 57 Pembentuk UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan yang diundangkan pada tanggal 30 September 1999, di Jakarta, dan disahkan dicatat pada Lembaran Negara Republik Indonesia pada tahun 1999 nomor 167 sebagai pengganti undang-undang nomor 5 tahun 1967, menetapkan ketentuan pidana pada pasal 78 ayat 1 sampai ayat 12 UU Kehutanan Artinya, perbuatan mana yang dapat dipidana, kapan dapat dikenakan atau dijatuhi pidana dan kepada siapa dipertanggung jawab pidana-kan. Menurut E.Y.Kanter dan S.R. Sianturi, membagi hukum pidana kedalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formil: 58 Dalam UU Kehutanan pada pasal 78 ayat 1 sd ayat 12 menetapkan subjek hukum dan sanksi pidana, pasal 78 ayat 13 menetapkan klasifikasi atau sifat tindak pidana kehutanan kejahatan dan pelanggaran, pasal 78 ayat 14 mengatur subjek hukum atau prinsip dipertanggung jawab pidana-kan kepada pengurus badan usaha atau badan hukum dan prinsip pemberatan pidana, pasal 78 ayat 15 dan pasal 79 ayat 1 menetapkan prinsip “semua hasil hutan dari hasil kejahatan atau pelanggaran “Hukum Pidana materil berisikan tingkah laku yang diancam dengan pidana, siapa yang dapat dipidana dan berbagai macam pidana yang dapat dijatuhkan. Dengan perkataan lain hukum pidana material berisikan norma dan sanksi hukum pidana serta ketentuan-ketentuan umum yang membatasi, memperluas atau menjelaskan norma dan pidana tersebut. 57 Moeljatno, Loc. Cit 58 E.Y.Kanter dan S.R. Sianturi, Loc. Cit Universitas Sumatera Utara dirampas untuk negara” dan prinsip “kekayaan negara” harus dilelang untuk negara, pasal 80 ayat 1 sebagai berikut: a. Subjek Hukum Pidana Kehutanan Menurut Muladi dan Barda N. Arief yang dikutip oleh Chairul Huda. 59 Pengertian subjek tindak pidana meliputi 2 dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana sipembuat dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 55 KUHP, 60 pertanggungjawaban tindak pidana tidak hanya ditujukan terhadap pelaku materiil pleger, tetapi terhadap orang yang menyuruh lakukan doen plegen, orang yang turut melakukan mendepleger, dan penganjur tindak pidana uitlokker. Pemidanaan terhadap mereka yang menyuruh dan menganjurkan untuk melakukan hanya dapat terjadi melalui penetapan undang-undang. Baik yang menyuruh dan menganjurkan untuk melakukan, keduanya tidak melakukan tindak pidana yang dilakukan pelaku, tetapi dipandang melakukan tindak pidana jika karena suruhan dan anjurannya, seseorang melakukan tindak pidana. 61 Ancaman pidana dalam rumusan suatu tindak pidana diorientasikan baik pada pembuatnya maupun pada orang dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatan tersebut. Jika pembuat bukanlah pelaku materiil, maka perlu penetapan undang-undang kriminalisasi jika orang-orang lain yang terlibat juga ingin diancam pidana. 62 59 Chairul Huda, Dari Tiada Piana Tanpa Kesalahan Menuju kepada Tiada Pertanggung jawaban, Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006 hal 40 60 R. Soesilo, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, Bogor: Politea-1994 hal 73 Penjelasan dari Pasal 55 KUHP 61 Chairul Huda Op. Cit, hal 41 62 Ibid hal 42 Universitas Sumatera Utara Sistem hukum pidana di Indonesia dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami naturlijkee person vide pasal 2 sd 9 KUHP, kecuali pasal 398 dan pasal 399 KUHP memperkenalkan pengurus korporasi sebagai subjek hukum. Dalam perkembangan penegakan hukum pidana di Indonesia ada 3 tiga bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi, yaitu: 1 di bebankan kepada korporasi itu sendiri; 2 di bebankan kepada organ atau pengurus korporasi; atau 3 kepada pengurus korporasinya sebagai pemberi perintah dan juga kepada korporasinya secara komulatif. Pengertian orang atau manusia dalam literatur bahasa Inggris disebut natural person , dalam bahasa Belanda natuurlijke person, sedangkan badan hukum bukan manusia dalam bahasa Inggris legal person, dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon, Pengertian pengurus berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia adalah: 1 orang yang mengurus; 2 sekelompok orang yang mengurus dan memimpin perkumpulan; pemimpin; direksi; 3 penyelenggara. 63 Pengertian pengurus dalam rumusan pasal 80 ayat 1 UU No 1 tahun 1995 adalah menetapkan anggota direksi berdasarkan rapat umum pemegang saham RUPS yang diubah dengan pasal 94 ayat 1 UU No 40 tahun 2007, tentang perseroan terbatas, adalah direksi selaku orang yang diangkat oleh RUPS untuk menjalankan pengurusan perseroan. Pengurus dalam badan usahahukum berupa 63 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005 hal 1253 Universitas Sumatera Utara koperasi adalah ketua, sekretaris dan bendahara yang diangkat melalui rapat anggota tahunan RAT “bertanggung jawab mengenai segala kegiatan pengelolaan koperasi dan usahanya kepada rapat anggota atau rapat anggota luar biasa” menurut pasal 31 UU No. 25 tahun 1992, tentang Perkoperasian. Subjek hukum yang berkaitan dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. vide pasal 29 ayat 4 5 UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan dan pasal 67 ayat 3 8 PP No 6 tahun 2007, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan. Artinya, bahwa yang berhak dalam usaha pemanfaatan hasil hutan kayu adalah perorangan atau badan hukumusaha Indonesia yang memiliki izin dari yang berwenang. Dalam penjelasan pasal 50 ayat 1 yang dimaksudkan dengan “setiap orang” adalah orang pribadiindividu, badan hukum, maupun badan usaha. Lengkapnya adalah “Yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha.” b. Bentuk Kesalahan dan Sanksi Hukum Pidana Kehutanan Bentuk kesalahan pada setiap rumusan tindak pidana kehutanan dalam pasal 78 ayat 1 2 3 dan ayat 5 sampai ayat 12, adalah kesalahan “dengan sengaja” atau dolus ditempatkan setelah unsur “barang siapa” kecuali pada pasal 78 ayat 4 bentuk kesalahannya adalah kesalahan “karena kelalaiannya” Istilah “kesengajaan” yang digunakan dalam UU No 41 tahun 1999, ada 2 dua jenis, yakni: pertama, dengan Universitas Sumatera Utara kata “dengan sengaja” yang ditempatkan didepan atau setelah kata “barang siapa”. Kalimatnya adalah, “barang siapa dengan sengaja... dst” demikian pada rumusan pasal 78 ayat 1 2 3, ayat 5 6 7, dan ayat 9 sd ayat 12 UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan; kedua, dengan kata “yang diketahui atau patut diduga” khusus pada pasal 78 ayat 5 yo pasal 50 huruf f, yang ditempatkan pada akhir atau setelah rumusan delik “menyimpan, memilik hasil hutan”, artinya, bahwa kesalahan pada pasal ini hanya dalam bentuk kesengajaan dolus. Kecuali pada pasal 78 ayat 4 menetapkan bentuk kesalahan adalah “karena lalainya” culpa pada kalimat “barang siapa karena lalainya menimbulkan kebakaran hutan ... dst”. R. Soesilo, berpendapat, “bagi satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok saja. “Cumulatie” lebih dari satu hukuman pokok tidak diperkenankan. Akan tetapi dalam tindak pidana ekonomi Undang-undang Darurat No 7 tahun 1955 dan tindak pidana subversi Penpres No.11 tahun 1963, 64 64 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya, Lengkap Pasal demi Pasal , Bogor: Politeia-1994 hal 34-36: Pasal 10 Huruf a dan b KUHP tentang hukuman pokok dan hukuman Tambahan serta komentarnya, hukuman Pokok: antara lain Hukuman Penjara dan Denda, sedangkan hukuman Tambahan berupa: Pencabutan beberapa hak yang tertentu; Perampasan barang yang tertentu; Pengumuman keputusan hakim. cumulatie hukuman dapat dijatuhkan, yaitu hukuman badan dan hukuman denda. UU No. 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 tahun 2001, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juga menetapkan sanksi pidana pokok bersifat komulatif dan UU No.41 tahun 1999, yang menggantikan UU No 5 tahun 1967 menetapan ancaman hukuman pidana penjara dan denda bersifat kumulatif Dengan Universitas Sumatera Utara demikian, pembuat UU Kehutanan memandang tindak pidana kehutanan masuk kedalam golongan tindak pidana ekonomi. Pasal 78 ayat 14 memperluas cakupan sanksi pidana, yakni berupa pidana pemberatan apabila tindak pidana kehutanan dilakukan oleh dan atas nama korporasi {badan hukum atau badan usaha atau perseroan terbatas, perseroan komanditer comanditer venootschaap , firma, koperasi, dan sejenisnya}, maka tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap pengurusnya ditambah 13 sepertiga dari pidana yang dijatuhkan. Pembuat UU Kehutanan pada pasal 80 ayat 1 menambahkan sanksi berupa “ganti rugi” terhadap penanggung jawab perbuatan yang melanggar hukum dalam undang-undang ini. Sanksi ganti rugi diperuntukkan untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan hutan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan atau tindakan lain dengan tidak mengurangi sanksi pidana. Demikian halnya pasal 80 ayat 2 menetapkan sanksi “administratif” bagi setiap pemilik izin apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 78 UU Kehutanan. Dalam pasal 87 ayat 1 menetapkan jenis-jenis sanksi administratif, antara lain pada huruf c denda administratif, pada ayat 2 denda administratif sebagaimana ayat 1 huruf c merupakan PNBP yang disetorkan ke Kas Negara. Ada 3 tiga sanksi dalam bentuk uang yang dikenakan kepada pelaku pelanggaran UU Kehutanan walaupun berbeda sebutannya, yakni: pidana denda Universitas Sumatera Utara berupa uang yang kumulatif dengan pidana penjara, ganti rugi dan denda administratif. Kewenangan pengenaan sanksi ganti rugi dan denda administratif ada pada Menhut RI wilayah penegakan hukum administrasi negara sedangkan pidana denda ada dalam yurisdiksi peradilan pidana. c. Sifat Tindak Pidana Kehutanan Menurut Moeljatno, 65 perbuatan pidana atau delik, yang dalam sistem KUHP kita dibedakan atas kejahatan misdrijven dalam buku II KUHP, dan pelanggaran overtredingen tersebut dalam buku III KUHP. Menurut E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, 66 Sifat tindak pidana kehutanan ditetapkan dalam rumusan pada pasal 78 ayat 13, yakni: Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, ayat 5, ayat 6, ayat 7, ayat 9, ayat 10, dan ayat 11 adalah kejahatan misdrijven, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 8 dan ayat 12 adalah pelanggaran overtredingen. Pembentuk UU Kehutanan dalam mengklasifikan pidana kehutanan bersifat kejahatan misdrijven dan pelanggaran overtredingen didasarkan pada beratringannya ancaman pidana yang ditetapkan dalam UU kehutanan. Pasal 78 ayat 1 ayat 2, ayat 3, ayat 4, ayat 5, ayat 6, ayat 7, ayat 9, ayat 10, dan ayat 11 diklasifikasi sebagai kejahatan misdrijven cara membedakan antara kejahatan dan pelanggaran dibedakan dari ketentuan beratringannya ancaman pidana dalam undang-undang, atau ketentuan dalam undang-undang menetapkan klasifikasi kejahatan atau pelanggaran. 65 Moeljatno Op.Cit, hal 78 66 E.Y.Kanter, S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002 hal 230 Universitas Sumatera Utara karena ancaman pidana penjara paling lama antara 3 tahun sampai 15 tahun dan denda paling banyak antara Rp 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah sampai Rp. 10.000.000.000,00 sepuluh milyar rupiah, sedangkan pasal 78 ayat 8 dan ayat 12 diklasifikasi sebagai pelanggaran overtredingen karena diancam pidana penjara paling lama 3 tiga bulan atau 1 satu tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah. Artinya bahwa dasar pembuat UU Kehutanan dalam mengklasifikasian pidana kehutanan adalah kejahatan misdrijven dan pelanggaran overtredingen didasarkan pada beratringannya ancaman pidana yang ditetapkan dalam UU kehutanan. d. Pertanggung Jawaban Hukum Pidana Kehutanan Menurut Moeljatno, 67 Menurut Chairul Huda, Khusus yang mengatur tentang dasar-dasar dan aturan untuk menentukan pertanggungjawaban hukum pidana criminal liability atau criminal responsibility , yaitu kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 68 67 Moeljatno, Loc. Cit aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana criminal liability atau criminal responsibility berfungsi sebagai penentu syarat- syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika dijatuhi pidana. Tekanannya adalah untuk melegitimasi tindakan penegak hukum untuk menghukum 68 Chairul Huda, Ibid hal 17 “it operates to filter those deserving punishment for their wrong from those who do not and to grade liability according to their degree fault ” Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya tersebut”. Universitas Sumatera Utara pelaku tindak pidana pengenaan pidana hanya dapat dijatuhkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan hukumannya sebatas kesalahannya tersebut. Arrest Hoge Raad 1916 yang dikenal dengan Water en Melk Arrest yang mengukuhkan suatu asas “tiada pidana tanpa kesalahan” geen straf zonder schuld beginsel , kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan hal ini dijadikan doktrin dalam civil law system. 69 Kadish dan Paulsen, menafsirkan sebagai “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat” an unwarrantable act without a vicious will is no crime at all . 70 Pendapat ini menggunakan kesalahan atau sikap bersalah=mens rea, disinonimkan dengan ‘guilty of mind’ atau ‘vicious will’ untuk menentukan pertanggungjawaban seseorang karena melakukan tindak pidana. Hal ini dijadikan dontrin dalam common law system. Artinya, dari kedua doktrin ini menggunakan tingkat kesalahan terdakwalah sebagai faktor penentu pertanggung jawaban pidana. 71 Menentukan kesengajaan atau kealpaan adalah sangat penting, karena akan menjadi ukuran yang sangat berbeda tentang pemidanaannya. Moeljatno, teori dalam kesengajaan ada tiga corak, yakni: 72 69 Ibid hal 4 1 kesengajaan sebagai maksud; 2 kesengajaan sebagai kepastian, keharusan; 3 kesengajaan dengan menyadari kemungkinan dolus 70 Ibid hal 5 71 Zainal Abidin Farid, “Hukum Pidana Satu” Jakarta: Sinar Grafika-2010 hal 221-222, tentang: 1 Unsur-unsur delik pada umumnya: a perbuatan aktifpositif atau pasifnegatif; b akibat khusus delik-delik yang dirumuskan secara materieel; c melawan hukum formil yang berkaitan dengan asas legalitas, dan melawan hukum materiil unsur diam-diam; dan d tidak adanya unsur pembenar; 2 Unsur-unsur pertanggungjawaban kriminal pembuat delik adalah: a kemampuan bertanggungjawab; b kesalahan pembuat: kesengajaan dalam tiga coraknya dan culpa lata dalam dua coraknya, dan c tak adanya dasar pemaaf. 72 Moeljatno, Op.Cit,Hal 191 Universitas Sumatera Utara eventualis . Pasal 78 ayat 1 terdiri dari unsur-unsur “barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat 2, artinya, bahwa kesalahan pada pasal ini hanya dalam bentuk kesengajaan dolus. Gradasi kesengajaan oleh penganut teori perkiraan adalah: 73 “kesengajaan sebagai maksud oogmerk berarti, terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu yang sesuai dengan perumusan undang-undang hukum pidana, adalah betul-betul sebagai perwujudkan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan dari pelaku; 2 Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan opzet bij zekerheids of noodzakelijkheids bewustzijn, yang menjadi sandaran adalah, seberapa jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat yang merupakan salah satu unsur dari pada suatu delik yang telah terjadi. Dalam hal ini termasuk tindakan atau akibat-akibat lainnya yang pastiharus terjadi; 3 Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan dolus eventualis , kesengajaan jenis ini bergradasi yang terendah. Bahkan sering sukar memperbedakan dengan kealpaan culpa, yang menjadi sandaran jenis kesengajaan ini ialah, sejauh mana pengetahuan atau kesadaran pelaku, tentang tindakan dan akibat terlarang beserta tindakan atau akibat lainnya yang mungkin akan terjadi. Termasuk pula dalam jenis kesengajaan ini, kesadaran pelaku mengenai kemungkinan terjadinya suatu tindakan dan akibat setelah melalui beberapa syarat-syarat tertentu.” Menurut E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, adagium “tidak ada pemidanaan, tanpa adanya kesalahan” semula bersumber dari pasal 44 KUHP, jadi unsur kesalahan yang menjadi kunci untuk dipidananya terdakwa. 74 73 E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Op. Cit, hal 172-178. Baca juga tentang kesengajaan dan jenis kesengajaan menurut beberapa sarjana hukum dan yurisprudensi dalam bukunya: Zainal Abidin Farid, “Hukum Pidana Satu” Jakarta: Sinar Grafika-2010 hal 266 sampai hal 318. Untuk menentukan adanya kesalahan pada pelaku ditentukan: Melakukan perbuatan pidana terkait pula sifat melawan hukum; 2 kemampuan bertanggung jawab toerekenings-Vatbaarheid; 2 Kondisi kejiwaan pelaku; 3 dilakukan dengan sengaja dolus atau karena lalai culpa; 4 74 E.Y.Kanter, S.R.Sianturi, Ibid Hal 161 Universitas Sumatera Utara tidak ada alasan pemaaf; 75 Pembentuk undang-undang kehutanan khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan kayu untuk dapat dimintakan pertanggungjawabkan pelaku tindak pidana kehutanan, harus dibuktikan adanya kesalahannya yang dilakukan “dengan sengaja” dolus, yaitu tersebut pada unsur pasal 78 ayat 1 sd ayat 3 dan ayat 5 sd ayat 12, pada kalimat “barang siapa dengan sengaja melanggar... dst”. Kecuali pada pasal 78 ayat 4 menetapkan bentuk kesalahan adalah “karena lalainya” culpa pada kalimat “barang siapa karena lalainya menimbulkan kebakaran hutan ... dst”. ditambah lagi 5 tidak ada alasan peniadaan kesalahan, atau pembenaran tindakan. Jadi, unsur dengan sengaja dalam pasal 78 UU kehutanan dapat berbentuk kesalahan: 1 “kesengajaan sebagai maksud” atau oogmerk berarti, terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu yang sesuai dengan perumusan undang-undang hukum pidana, adalah betul-betul sebagai perwujudkan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan dari pelaku, contoh: menebang pohon diluar izinnya, menebang pohon didaerah terlarang; 2 Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan opzet bij zekerheids of noodzakelijkheids bewustzijn ; 3 Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan dolus eventualis. Artinya bahwa bentuk kesalahan pada unsur pasal 78 ayat 1 sd ayat 3 dan ayat 5 sd ayat 12 harus dengan sengaja opzet’telijk atau oogmerk=tujuan atau maksud, opzet= rencana, dan dolus eventualiteit=sesuatu yang mungkin terjadi dan apabila bentuk kesalahannya karena lalai culpa, bukan tindak pidana kehutanan, kecuali pada pasal 78 ayat 4. 75 Ibid hal 162 Universitas Sumatera Utara Pasal 78 ayat 14 memperluas cakupan dipertanggung jawab pidana-kan apabila tindak pidana kehutanan dilakukan oleh dan atas nama korporasi {badan hukum atau badan usaha atau perseroan terbatas, perseroan komanditer comanditer venootschaap , firma, koperasi, dan sejenisnya}, maka tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap pengurusnya ditambah 13 sepertiga dari pidana yang dijatuhkan. Artinya, dipertanggung jawab pidana-kan kepada dewan direksi dan sanksinya diperberat 13 sepertiga dari pidana yang dijatuhkan. Dengan tegas pembuat undang-undang kehutanan menetapkan konsep pertanggungjawaban pidana kehutanan berdasarkan dotrin pertanggungjawaban pidana langsung Direct Liability Doctrine atau teori Identifikasi Identification Theori atau disebut juga teoridoktrin “alter ego” atau “teori organ”. Perbuatan kesalahan “pejabat senior” senior officer diidentifikasikan sebagai perbuatankesalahan korporasi; 76 dan teori Indentifikasi atau directing minds theory, “Ia bertindak atas nama perusahaan, dan akal pikirannya yang mengarahkan tindakannya berarti adalah akal pikiran dari perusahaan. Jika akal pikirannya bersalah, berarti kesalahan itu merupakan kesalahan perusahaan dan diminta pertanggungjawaban pengurusnya”. 77 76 Alvi Syahrin, et.all, Sophia Hadyanto Partners, Forensic Legal Auditor, Medan, 2007, hal 387-388 Rumusan itu ditetapkan pada pasal 78 ayat 14 ini yaitu “apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, 77 Bismar Nasution, “Kejahatan Korporasi dan Pertanggung jawabannya“ Disampaikan dalam ceramah di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, bertempat di Tanjung Morawa Medan, pada tanggal 27 April 2006 Universitas Sumatera Utara tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama”. Mengenai sifat pertanggungjawaban korporasi badan hukum dalam hukum pidana terdapat beberapa sistem perumusan yang ditempuh oleh pembuat undang- undang, yaitu: 78 a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurusnyalah yang bertanggung jawab; b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab; c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Berdasarkan ketentuan pasal 78 ayat 14 UU Kehutanan, yang dituntut dan yang dijatuhkan sanksi pidana adalah terhadap para pengurus baik secara sendiri- sendiri maupun bersama-sama, apabila tindak pidana itu dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha. Artinya, terhadap badan hukum atau badan usaha itu sendiri tidak dapat dilakukan penuntutan dan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, tetapi yang dituntut dan dijatuhi hukuman adalah terhadap pengurusnya. Pengertian pengurus dalam rumusan pasal 80 ayat 1 UU No 1 tahun 1995 adalah menetapkan anggota direksi berdasarkan rapat umum pemegang saham RUPS yang diubah dengan pasal 94 ayat 1 UU No 40 tahun 2007, tentang perseroan terbatas, adalah direksi selaku orang yang diangkat oleh RUPS untuk menjalankan pengurusan perseroan. Pengurus dalam badan usahahukum berupa koperasi adalah ketua, sekretaris dan bendahara yang diangkat melalui rapat anggota 78 Alvi Syahrin, et.all, Sophia Hadyanto Partners, Forensic Legal Auditor, Medan, 2007, hal 387-388 Universitas Sumatera Utara tahunan RAT “bertanggung jawab mengenai segala kegiatan pengelolaan koperasi dan usahanya kepada rapat anggota atau rapat anggota luar biasa” menurut pasal 31 UU No. 25 tahun 1992, tentang Perkoperasian. e. Prinsip Hukum Pidana Kehutanan Terhadap Hasil Hutan Kayu Hasil Kejahatan dan Alat Kejahatan Perampasan dan pelelangan terhadap hasil hutan kayu corpora delicti dan alat-alat kejahatan instrumental delicti dimaksudkan oleh pembentuk undang- undang adalah untuk menyelamatkan kekayaan Negara. Khusus perampasan terhadap alat-alat angkut dimaksudkan agar pemilik jasa angkutan ikut bertangungjawab atas keabsahan hasil hutan yang diangkut dan dapat menimbulkan efek jera, vide penjelasan pasal 12 ayat 1 PP No 45 tahun 2004, tentang perlindungan hutan yang telah diubah dengan PP No 60 tahun 2009. Artinya, apabila pemilik jasa angkutan memberikan atau menyewakan atau meminjamkan alat angkut instrumetal delictie untuk mengangkut hasil hutan corpora delictie yang diketahui atau patut diduga yang diperoleh secara tidak sah atau illegal, maka pemilik atau sipenyewa dapat dipertanggungjawab pidana-kan secara hukum pidana, baik kepada supir angkutan, nakoda kapal dengan turut serta melakukan tindak pidana pasal 55 KUHP atau secara perdata pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi “tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Ketentuan pasal 78 ayat 15 menetapkan semua hasil hutan corpora delicti dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan alat-alat yang dipergunakan untuk Universitas Sumatera Utara melakukan kejahatan dan atau pelanggaran dirampas untuk negara; dan ketentuan pasal 79 ayat 1 menetapkan hukuman tambahan berupa perampasan dan pelelangan terhadap kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran dilelang untuk Negara dan pasal 79 ayat 2 menetapkan pemberian intensif kepada yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara yang dimaksud pada ayat 1 yang disisihkan dari hasil lelang. Pasal 79 ayat 3 menetapkan besarnya intensif pada ayat 2 diatur dan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Pada pasal 78 ayat 15 ini dengan tegas menetapkan bahwa pada prinsipnya barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana kehutanan baik berupa hasil hutan atau hasil kejahatan corpora delictie dan alat-alat untuk kejahatan termasuk alat angkutnya atau alat untuk melakukan kejahatan instrumental delictie adalah kekayaan negara dan wajib dirampas dan dilelang oleh penegak hukum guna penyelamatan kekayaan negara untuk negara asset recovery. Pemerintah menetapkan ketentuan proses perampasan dan pelelangan terhadap barang bukti tindak pidana kehutanan berpedoman pada PP No 45 tahun 2004, tentang perlindungan hutan sebagai berikut: 1 Terhadap barang bukti hasil hutan corpora delictie yang cepat rusak dan memerlukan biaya tinggi diupayakan segera dilelang kecuali barang bukti berupa tumbuhan dan satwa yang dilindungi dan atau yang termasuk di dalam daftar Appendix I CITES tidak dapat dilelang; 2 terhadap barang bukti berupa alat instrumental delictie dilakukan pelelangan atau dikembalikan Universitas Sumatera Utara kepada yang berhak setelah adanya keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap inkracht. Artinya, bahwa barang bukti hasil hutan corpora delictie secara otomatis adalah dirampas dan menjadi kekayaan negara, sedangkan terhadap barang bukti alat kejahatan instrumental delictie dapat dilelang dan menjadi kekayaan negara atau dikembalikan kepada yang berhak setelah adanya keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap inkracht. Konsep pasal 78 ayat 15 pasal 79 ayat 1 dalam undang-undang kehutanan yang dipertegas dengan pasal 53 dan 54 PP 45 tahun 2004 tentang perlindungan hutan yang menetapkan prinsip penyelamatan kekayaan negara dan prinsip kepastian hukum. Roh dan semangat yang terkandung dalam undang-undang kehutanan yang telah menetapkan prinsip penyelamatan kekayaan negara dan prinsip kepastian hukum yang ditetapkan pada rumusan pasal 78 ayat 15 pasal 79 ayat 1 dalam undang-undang kehutanan yang dipertegas dengan pasal 53 dan 54 PP 45 tahun 2004 tentang perlindungan hutan menjadi ambigu karena bertentangan dengan rumusan pasal 3 ayat 2 Permenhut RI No 48Kpts-II2006, tanggal 12 Juni 2006, yang telah diubah dengan Permenhut RI. No: P.47Menhut-II2009, tanggal 22 Juli 2009, yang berbunyi “hasil hutan temuan, sitaan, dan atau rampasan yang tidak dapat dilelang meliputi satwa dan atau tumbuhan liar dan hasil hutan yang berasal dari hutan konservasi dan atau hasil hutan kayu yang berasal dari hutan lindung”. Frase “...tidak dapat dilelang meliputi... hasil hutan kayu yang berasal dari hutan lindung” adalah perintah yang bersifat larangan untuk melelang hasil hutan kayu yang berasal dari Universitas Sumatera Utara hutan lindung. Kalimat tersebut kontradiktif terhadap prinsip pasal 78 ayat 15 pasal 79 ayat 1 UU Kehutanan dan pasal 53 ayat 2 PP No 45 tahun 2004 yang memerintahkan hasil hutan negara termasuk jenis kayu wajib dirampas dan dilelang untuk negara tanpa membedakan dari hutan mana hutan lindung konservasi atau produksi. Keputusan Menhut RI tersebut bertentangan dengan beberapa asas hukum, yaitu: 1 prinsip lex superior derogat lex inferior, yang artinya ketentuan yang lebih tinggi mengesampingkan ketentuan yang lebih rendah; 2 “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” yang maksudnya adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan peraturan perundang-undangan; 3 dan “asas keterbukaan dan kepastian hukum” yang maksudnya adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum vide pasal 5 huruf c dan pasal 6 ayat 1 huruf i UU No 12 tahun 2011 perubahan atas UU No 12 tahun 2004, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

B. Pengaturan Hukum Pidana Formil Terhadap Tindak Pidana Kehutanan.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Anak(Studi Kasus Putusan No.300/PID.B/2013/PN.KBJ)

3 151 127

Analisa Hukum Pidana Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

0 71 97

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

Analisis Hukum Terhadap Pidana di Bidang Kehutanan (Studi Putusan No.481/K/Pid.B/2006 PN Jkt.Pst & Putusan Mahkamah Agung No. 2462/K/Pid/2006 dengan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus)

6 90 359

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia)

1 45 146

Perlindungan Hukum Terhadap Rahasia Dagang Perusahaan Dalam Hubungan Kerja”. (Studi Kasus Putusan MARI Nomor 783 K Pid.Sus 2008)

0 0 15

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA K

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)

0 0 23

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)

0 1 14