Terhadap para terdakwa dan diputus PN. Penyabungan bervariasi, yakni: 1 Putusan bebas vrijspraak;
100
2. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum onslag van recht vervolging;
101
dan 3 Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum.
102
Terhadap ketiga jenis putusan tersebut tidak ada upaya JPU untuk melakukan upaya hukum, antara lain upaya kasasi terhadap putusan bebas
vrijspraak dan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum onslag van recht vervolging
vide pasal 244, 245, 248 dan 253 KUHAP; dan upaya memperbaiki dakwaannya terhadap dakwaan yang dianggap bersifat kabur oscuur libel vide
pasal 144 KUHAP, atau melakukan upaya perlawanan hukum terhadap dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum. Kesimpulannya, bahwa JPU tidak dapat
membuktikan dakwaannya dan tidak juga melakukan upaya perlawanan dengan menempuh upaya hukum atas putusan PN. Penyabungan itu, justru menerima putusan
tersebut vide pasal 246 ayat 1 KUHAP.
B. Penegakan Hukum Pidana dalam Kasus ADELIN LIS
Berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan PN. Sibolga terhadap para terdakwa diatas, yakni: Drs. M. TOHIR dan NIRWAN RANGKUTI,SH dijadikan
pula sebagai “pintu masuk” atau entry point untuk melakukan penegakan hukum pidana di Hulu, yakni terhadap Terdakwa ADELIN LIS dengan dakwaan
penyalahgunaan hak wewenang pemanfaatan hasil hutan kayu berdasarkan izin yang
100
Yahya Harahap Ibid hal 864
101
Yahya Harahap Ibid hal 869
102
Yahya Harahap Ibid hal 878
Universitas Sumatera Utara
sama, yakni dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 805Kpts-IV1999, tanggal 30 September 1999 sejak tahun 200 sd tanggal 23 Januari
2006. 1.
Penyidikan Dalam berkas penyidikan an. tersangka ADELIN LIS, penyidik
mempersangkakan beberapa ketentuan tindak pidana, yakni: a.
Tindak pidana korupsi pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 dan pasal 13 UU. No. 31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 20 Tahun 2001,
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dan “Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dan “setiap orang yang memberi
hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut”.
b. Tindak pidana Kehutanan pasal 50 ayat 2 ayat 3 huruf e, h yo
pasal 78 ayat 1 5 7 UU No 41 tahun 1999, tentang Kehutanan yang
Universitas Sumatera Utara
telah diubah dengan UU No. 19 tahun 2004 tentang penetapan Perpu No. 1 tahun 2004, tentang perubahan atas UU No. 41 tahun 1999, tentang
kehutanan menjadi UU. “Setiap orang yang diberikan izin, dilarang melakukan kegiatan yang
menimbulkan kerusakan hutan” dan “setiap orang dilarang menebang pohon tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang” dan “
setiap orang dilarang mengangkut, memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan SKSHH”.
c. Tindak pidana pencucian uang pasal 3 ayat 1 huruf a,b,c Undang-
undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003. Penyidik juga mempersangkakan tindak pidana pencucian uang
yang didasarkan pada tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan sebagai tindak pidana asal predicate crime, predicate offense, atau
pidana utama core crime.
103
103
Yenti Garnasih, “Materi Kumpulan Makalah Dalam Pelatihan Penerapan UU Anti Pencucian Uang Untuk Memberantas Kegiatan Illegal Logging di Wilayah Sumatera Utara
”, tanggal 10 Januari sd 11 Januari 2005 hal 3 dan 5.
Strategi penyidik untuk menerapkan tindak pidana pencucian uang kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana
korupsi tentu harus diapresiasi karena bertujuan untuk mengejar asset hasil kejahatan follow the money, mengembalikan kerugian asset
recovery dan mengejar pelaku follow the suspeck dan sekaligus untuk
Universitas Sumatera Utara
mencegah kejahatan lanjutan follow up crime.
104
Penyidik menerapkan teori “perbarengan peraturan concursus idealis atau Eendaadse
Samenloop ”
105
d. Tindak pidana: “menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam
sesuatu akte autentik tentang sesuatu kejadian yang sebenarnya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud akan menggunakan atau
menyuruh orang lain menggunakan akte itu seolah-olah keterangannya itu sehingga menjadikan tindak pidana korupsi, tindak
pidana kehutanan dengan tindak pidana pencucian uang dalam satu berkas perkara terhadap terdakwa ADELIN LIS. Konsep penyidik tidak disetujui
JPU yang dituangkan dalam petunjuknya P.19 antara lain: “agar penyidik memisahkan mendisplitsing berkas perkara tersendiri untuk
tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan dan satu berkas lagi atas tindak pidana pencucian uang”. Petunjuk JPU tersebut dilaksanakan
oleh penyidik, sehingga berkas perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan an. ADELIN LIS diterima dan dinyatakan lengkap
P.21, sedangkan berkas perkara tindak pidana pencucian uang an. ADELIN LIS di kembalikan kepada penyidik dengan petunjuk P.19:
menunggu tindak pidana asal tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan divonis terbukti dan berkekuatan hukum tetap inkracht.
104
Ibid, ha l9
105
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika-2002, hal 63, Baca juga pendapat: Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana
Bagian 2, tentang: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan Ajaran Kausalitas, , Jakarta: Raja Grafindo Persada-2002, hal 115.
Universitas Sumatera Utara
cocok dengan hal sebenarnya dan dengan sengaja menggunakan akte palsu diancam dengan pidana penjara pasal 266 ayat 1 2 KUHP.
e. Dalam mempersangkakan tindak pidana korupsi, dan tindak pidana
kehutanan, penyidik juga menerapkan pasal 55 1 ke 1, ke 2 KUHP penyertaan deelneming,
106
dan pasal 64 KUHP perbarengan tindakan berlanjut.
107
2. Dakwaan JPU
1. Dakwaan Kesatu
Primair Tindak Pidana Korupsi. Dakwaan kesatu primair tindak pidana korupsi pasal 2 ayat
1 jo 18 UU PTPK, jo pasal 55 ayat 1 ke- 1KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP sebagai berikut:
“Bahwa ia terdakwa selaku Direktur Keuangan Umum PT. KNDI dengan para saksi mahkota masing-masing selaku Direktur
Utama PT. KNDI dan selaku Direktur Produksi dan Perencanaan PT. KNDI yang masing-masing diangkat dalam Rapat Umum
Pemegang Saham RUPS sesuai dengan Akta Notaris Nomor 53 tanggal 10 Oktober 1994 di hadapan Djaidir, SH Notaris di Medan
masing-masing diperiksa dalam berkas perkara terpisah serta saksi selaku Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Mandailing Natal
periode tahun 2000 sd tanggal 28 Agustus 2002 dan saksi mahkota selaku Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Mandailing Natal sejak
106
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Op.Cit, hal 338-362, yang dimaksud penyertaan deelneming dalam arti sempit pasal 55 KUHP. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan pembantuan
pasal 56 KUHP, yang dipidana sebagai petindak dader ditentukan ada 4 empat golongan, yaitu: a mereka yang melakukan suatu tindakan mede daders; b mereka yang menyuruh melakukan suatu
tindak pidanadoen plegen; c mereka yang turut serta melakukan suatu tindakan medeplegen; d mereka yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindakan dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan secara pasti limitatif uitlokking.
107
Ibid hal 395
Universitas Sumatera Utara
tanggal 29 Agustus 2002 sd Januari 2006 diperiksa dalam berkas perkara terpisah pada kurun waktu tahun 2000 sampai dengan
Januari 2006 bertempat di kawasan hutan Sungai Singkuang - Sungai Natal Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara
dan di Kantor PT. KNDI Jalan Mangkubumi No. 15 - 16 Medan, telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara, perbuatan mana merupakan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian
rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut VOORGEZETTE HANDELING.
Perbuatan terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Jo. Pasal 18 UU R.I Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU R.I Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU R.I Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke - 1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat 1 KUHPidana.
Dalam dakwaan JPU terhadap unsur “secara melawan hukum” dalam pasal 2 ayat 1 UU PTPK mendalilkan bahwa PT. KNDI tidak
melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana ditetapkan secara tertulis dalam PP. No. 34 tahun 2002, dan PP. No. 45 tahun 2004 yang
secara konkret ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 805Kpts-IV1999, tanggal 30 September 1999,
tentang IUPHHK an. PT.KNDI. 2.
Dakwaan Kedua 1.
Primair Tindak Pidana Kehutanan Bahwa ia Terdakwa dan para saksi mahkota masing-masing
diperiksa dalam berkas perkara terpisah oleh dan atas nama badan hukum atau badan usaha PT. KNDI selaku Pengurus yakni
Universitas Sumatera Utara
terdakwa selaku Direktur Keuangan Umum PT. KNDI dengan saksi selaku Direktur Utama PT. KNDI dan saksi lain selaku
Direktur Produksi dan Perencanaan PT. KNDI yang masing-masing diangkat dalam RUPS sesuai dengan Akta Notaris Nomor 53
tanggal 10 Oktober 1994 di hadapan Djaidir, SH Notaris di Medan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama pada kurun waktu tahun
2000 sampai dengan Januari 2006 bertempat di kelompok hutan Sungai Singkuang - Sungai Natal Kabupaten Mandailing Natal
Propinsi Sumatera Utara yang berdasarkan Pasal 84 2 KUHAP Pengadilan Negeri Medan berwenang mengadili perkara ini, yang
diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dengan sengaja melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan
hutan, perbuatan mana merupakan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai
suatu perbuatan berlanjut VOORGEZETTE HANDELING.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat 2 Jo. Pasal 78 ayat 1, ayat 14 UU No: 41
Tahun 1999 Jo. UU Nomor : 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.: 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Jo. Pasal 64 ayat
1 KUHPidana. 2.
Subsidiair Tindak Pidana Kehutanan Bahwa ia terdakwa dan saksi-saksi masing-masing diperiksa
dalam berkas perkara terpisah oleh dan atas nama badan hukum atau badan usaha PT. KNDI selaku Pengurus.. dst, baik sendiri-
sendiri maupun bersama-sama pada kurun waktu tanggal 1 Oktober 2001 sampai dengan tanggal 23 Januari 2006 atau setidak - tidaknya
pada suatu waktu dalam tahun 2001 sampai dengan 2006 bertempat di kelompok hutan Sungai Singkuang - Sungai Natal Kabupaten
Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara dengan sengaja menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di
dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari Pejabat yang berwenang, perbuatan mana merupakan beberapa perbuatan yang
ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut VOORGEZETTE HANDELING.
Universitas Sumatera Utara
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat 3 huruf e Jo. Pasal 78 ayat 5, ayat 14 UU
Nomor : 41 Tahun 1999 Jo. UU Nomor : 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor : 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Jo. Pasal 64 ayat 1 KUHPidana.
3. Lebih Subsidiair Tindak Pidana Kehutanan:
Bahwa ia terdakwa dan saksi-saksi ..., dst.. masing-masing diperiksa dalam berkas perkara terpisah oleh dan atas nama badan
hukum atau badan usaha PT. KNDIselaku pengurus ... dst baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama pada kurun waktu tahun 2000
sampai dengan Januari 2006 atau bertempat di kelompok hutan Sungai Singkuang - Sungai Natal Kabupaten Mandailing Natal
Propinsi Sumatera Utara dengan sengaja mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama
dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, perbuatan mana merupakan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian
rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut VOORGEZETTE HANDELING.
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dengan Pasal 50 ayat 3 huruf h Jo. Pasal 78 ayat 7, ayat 14 UU Nomor : 41
Tahun 1999 Jo. UU Nomor: 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor : 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Jo. Pasal 42 PP
No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Jo. Pasal 64 ayat 1 KUHPidana.
4.
Lebih Subsidiair Lagi Tindak Pidana Kehutanan: Bahwa ia terdakwa dan saksi..., dst.. baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama pada kurun waktu tanggal 1 Oktober 2001 sampai dengan tanggal 23 Januari 2006 atau setidak - tidaknya pada
suatu waktu dalam tahun 2001 sampai dengan 2006 bertempat di kelompok hutan Sungai Singkuang - Sungai Natal Kabupaten
Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan atau
memiliki hasil hutan yang diketahui atau diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah,
perbuatan mana merupakan beberapa perbuatan yang ada
Universitas Sumatera Utara
hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut VOORGEZETTE HANDELING.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat 3 huruf f Jo. Pasal 78 ayat 5, ayat 14 UU
Nomor : 41 Tahun 1999 Jo. UU Nomor : 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor : 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Jo. Pasal 64 ayat 1 KUHPidana.
Memohon agar Ketua Mahkamah Agung RI memutuskan:
“untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ADELIN LIS dengan pidana penjara selama 10 sepuluh tahun dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar
rupiah subsidair 6 enam bulan kurungan dan membayar uang pengganti secara tanggung renteng dengan Ir. OSCAR SIPAYUNG
dan Ir. WASHINTON PANE, Msc, Ir. BUDI ISMOYO dan Ir. SUCIPTO LUMBAN TOBING sebesar Rp 119.802.393.040,00
seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah dan US 2.938.556,24
dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US dollar”.
Memohon barang bukti pada nomor 1. 1 sd nomor 21 alat- alat kejahatan berupa alat-alat berat dan alat-alat pemotong kayu
dan barang bukti pada nomor 2. 1 sd 4 berupa hasil hutan kayu ribuan meter kubik dijadikan barang bukti terhadap terdakwa IR.
WASHINGTON PANE Msc.
3. Putusan PN. Medan dan Putusan MARI
Pertimbangan hukum dalam putusan judex facti Nomor 2240Pid.B2007 PN.Mdn. Tanggal 5 November 2007 pada hal 309-318, menyatakan bahwa
pengertian unsur “secara melawan hukum” dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 UU PTPK yang semula meliputi perbuatan melawan hukum dalam arti materil,
namun kemudian mengalami pergeseran berdasarkan Putusan Mahkamah
Universitas Sumatera Utara
Konstitusi No.003PUU-IV2006, tanggal 25 Juli 2006, “bahwa yang dimaksud dengan melawan hukum harus ditafsirkan hanya perbuatan melawan hukum
formil saja dalam arti harus ada ketentuan perundang-undangan maksudnya hukum tertulis yang dilanggar dan perbuatan tersebut dinyatakan sebagai
tindak pidana” dan “bila seandainya terjadi pelanggaran atas hal ini, maka hal tersebut merupakan pelanggaran administratif sesuai dengan ketentuan di dalam
PP. No. 34 tahun 2002. Oleh karenanya judex facti membebaskan terdakwa ADELIN LIS dari segala dakwaan vrijpraak.
Akan tetapi dalam pertimbangan hukum pada putusan MARI No. 68.KPID.SUS2008, tanggal 31 Juli 2008 tentang “perbuatan melawan hukum”
menyatakan: “pengertian perbuatan melawan hukum sejak yurisprudensi perkara Lindenbaum Cohen tahun 1919 sudah diperluas antara lain:
“bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku; melanggar hak subjektif orang lain; bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati
yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain”. Lengkapnya sebagai berikut:
“bahwa ternyata judex facti keliru dalam menilai unsur secara melawan hukum, karena sejak yurisprudensi perkara Lindenbaum Cohen tahun
1919, pengertian perbuatan melawan hukum sudah diperluas sehingga meliputi :1. Bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku; 2.
Melanggar hak subyektif orang lain; 3. Melanggar kaidah tata susila; atau 4. Bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-
hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain; bahwa
“pelanggaran hukum administrasi negara” termasuk dalam kwalifikasi
Universitas Sumatera Utara
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, yang merupakan salah satu kriteria suatu perbuatan melawan hukum”.
“Yurisprudensi ini dalam putusannya mempergunakan kata-kata “ataukah”.....”atau” dengan demikian untuk adanya suatu perbuatan
melanggar hukum tidak disyaratkan adanya keempat hal di atas secara kumulatif. Dengan dipenuhinya salah satu, secara alternatif, telah
terpenuhi pula syarat untuk suatu perbuatan melanggar hukum” sehingga dengan demikian perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur
dakwaan kesatu primair dan dakwaan kedua primair Jaksa Penuntut Umum, dan karenanya terdakwalah harus dinyatakan telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, dan tindak pidana kehutanan secara
bersama-sama dan berlanjut.” Dalam putusan MARI No. 68 tahun 2008 pada hal 303 menyatakan
sebagai berikut: “mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi: JaksaPenuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan; Membatalkan putusan
PN. Medan Nomor 2240Pid.B2007 PN.Mdn. Tanggal 5 November 2007; Mengadili sendiri:
“Menyatakan Terdakwa ADELIN LIS telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi” secara
bersama-sama dan berlanjut, dan tindak pidana kehutanan secara bersama-sama dan berlanjut;
Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 sepuluh tahun dan membayar denda sebesar Rp.1.000.000.000,- satu
milyar rupiah Subsidair 6 enam bulan kurungan; Menghukum pula Terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp.119.802.393.040,-
seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah dan US 2.938.556,24 dua juta
sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US Dollar dengan ketentuan apabila dalam jangka
waktu 1 satu bulan Terdakwa tidak dapat melunasi uang pengganti tersebut maka hartanya disita dan apabila hartanya tidak cukup maka
diganti dengan hukuman penjara selama 5 lima tahun.”
Universitas Sumatera Utara
“Menyatakan barang bukti tersebut nomor 1. 1 sd 13 berupa alat-alat kejahatan berupa alat-alat berat dan alat-alat pemotong kayu dan berupa
hasil hutan kayu ribuan meter kubik dirampas untuk negara.”
4. Analisa Hukum
Teori Lawrence M.Friedman,
108
Substansi hukum tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam kitap-kitab hukum law in books,
tentang sistem hukum, memandang hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub-sistem, yakni substansi
hukum, struktur hukum dan kultur hokum. Teori tersebut akan digunakan sebagai pisau analisis dalam menganalisa penegakan hukum pidana terhadap
kasus a quo, in ca’su putusan judex facti Nomor 2240Pid.B2007 PN.Mdn. Tanggal 5 November 2007 dan putusan MARI No. 68.KPID.SUS2008,
tanggal 31 Juli 2008 terhadap dakwaan JPU dengan fakta yang terungkap dalam persidangan.
109
tetapi juga pada tataran hukum yang hidup living law
110
Penegakan hukum pidana terhadap Terdakwa ADELIN LIS selaku Direktur Keuanganumum PT.KNDI didakwa dalam dakwaan kesatu Primair
Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat 1 jo 18 UU PTPK, jo pasal 55 ayat 1 ke- 1KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Ketentuan dalam pasal 2 ayat 1 UU
yakni “produk” berupa keputusan- keputusan administrasi negara yang dihasilkan oleh pejabat publik dalam
lingkup sistem hukum itu, misalnya surat keputusan.
108
Lawrence M. Friedman, Loc Cit.
109
Lawrence M. Friedman. Loc. Cit.
110
Lawrence M. Friedman. Ibid hal 8
Universitas Sumatera Utara
PTPK yang berbunyi: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Unsur-unsur dimaksud adalah sebagai berikut: 1 setiap orang; 2 secara melawan hukum;
3 memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 4 dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur kedua sampai
keempat oleh Andi Hamzah disebut sebagai bagian inti atau bestanddelen,
111
a. Unsur “secara melawan hukum”
Pembuat UU PTPK tidak memberikan definisi atau penjelasan lain tentang “secara melawan hukum” dari unsur pasal 2 ayat 1 UU PTPK, karena
itu masih dimungkinkan terjadinya perbedaan interpretasi dalam penerapannya.
112
Pengertian melawan hukum dalam pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut: “Tiap perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan
kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang bersalah menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dari rumusan pasal ini terdiri dari
empat unsur, yakni: a perbuatan itu harus melawan hukum onrechtmatige; Multitafsir tersebut dapat dilihat dari dalil-dalil tentang secara
melawan hukum dalam dakwaan JPU, pertimbangan hukum pada putusan judex facti
dan pertimbangan hukum dalam putusan MARI dalam dalam kasus a quo.
111
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
Jakarta: Raja Grafindo Persada-2005 hal 120-121
112
KPHA.Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi
, Surabaya: Indonesia Lawyer Club-2010 hal 114
Universitas Sumatera Utara
b perbuatan itu harus menimbulkan kerugian; c perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan dengan sengaja atau karena lalainya.
113
Sesungguhnya sejak tahun 1890 para pengarang atau penulis hukum telah menganut paham yang luas tentang pengertian melawan hukum, akan tetapi
dalam praktek penegakan hukum di Pengadilan dalam kurun waktu tahun 1905- 1910 ada yurisprudensi sebagai fakta masih menganut paham yang sempit,
yakni perbuatan melawan hukum itu adalah suatu perbuatan yang melanggar hak orang lain atau perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya
yang berdasarkan undang-undang wet. Perbuatan melawan hukum meliputi perbuatan positif Belanda: daad pasal 1365 KUHPerdata, dan perbuatan
negatif yakni orang yang tidak berbuat Belanda: nalatigheid karena lalainya atau Belanda: onvoorzigtigheid kurang hati-hati.
114
Yurisprudensi dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 3 Januari 1905, pengertian melawan hukum
diartikan secara sempit, yakni harus diartikan “suatu perbuatan yang melanggar hak orang lain atau jika orang berbuat bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri”, dimana hak dan kewajiban hukum itu lahir hanya berdasarkan undang-undang wet saja,
115
dan putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Juni 1910.
116
113
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan,Bandung: Alumni-1982 hal 142
114
Abdulkadir Muhammad Ibid hal 143
115
Ibid hal 144 dalam kasus “Merek”: Seorang pemilik toko yang tidak menjual mesin jahit merek Singer menempelkan tulisan pada kaca tokonya “Perusahaan mesin jahit SINGER yang sudah
diperbaiki”. Kata-kata yang betul ditulis dengan huruf kecil, sedangkan kata yang menimbulkan kesan tidak palsu ditulis dengan huruf besar kata SINGER. Hal ini digugat oleh agen Singer berdasarkan
onrechtmatige daad pasal 1365 KUHPerdata. Ternyata sia-sia belaka, karena MA menolak gugatan
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi sejak putusan MA Belanda Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 yang terkenal dengan nama: “Lindenbaum-Cohen Arrest”, pengertian
melawan hukum menganut paham dalam arti luas, yakni: “berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban
hukum orang yang berbuat itu, atau bertentangan dengan kesusilaan atau sikap berhati-hati sebagaimana patutnya dalam lalu lintas masyarakat, terhadap diri
atau barang-barang orang lain”.
117
Pengertian “secara melawan hukum” di Belanda: “Yurisprudensi.Teori perbuatan melawan hukum formil yang diperluas
berdasarkan yurisprudensi perkara Cohen lawan
Lindenbaum .
Lindenbaum menggugat Cohen berdasarakn pelanggaran Pasal 1401
B.W.Belanda atau Pasal 1365 B.W.,Hindia Belanda. Pengadilan tingkat pertama menolak gugatan Lindenbaum dengan alasan pasal 1401 B.W.,
itu tidak melarang seseorang memberikan uang atau janji kepada orang lain, sehingga tidak ada pelanggaran hak seseorang. Berdasarkan Putusan
Hoge Raad
atau Mahkamah Agung Belanda pada tanggal 31 Januari 1919 yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama itu dan langsung
memperluas pengertian perbuatan melawan hukum secara materiil yang meliputi perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum
pelaku.
Menurut Hoge Raad, apabila peradilan hanya berpatokan pada pasal 1401 B.W., maka perbuatan Cohen yang tidak patut atau tercela itu
tidak terjangkau oleh undang-undang.
tersebut dalam kasasi dengan pertimbangan “tidak ada kewajiban undang-undang” bagi pemilik toko tentang hal itu.
Sejak putusan itu berlaku tentang
116
Ibid hal 144 dalam kasus “Aliran Waterleiding”: Dalam suatu persil di Zuthpen yang ruangannya ada di bawah tanah dipakai sebagai gudang barang yang terbuat dari kulit. Aliran
waterleiding ruangan atas bocor. Penghuni rumah tersebut menolak menutup kran induk yang ada di dalam rumahnya. Hal itu menimbulkan kerugian besar bagi pemilik barang karena air bocor itu.
Perkara ini diajukan ke Pengadilan atas dasar onrechtmatige daad. Tetapi MA dalam kasasi menolak gugatan itu dengan pertimbangan bahwa “tidak ada kelalaian melanggar undang-undang” onwetmatig
nalaten
. Jadi, hubungan kausal yang disyaratkan antara “tidak berbuat” nalaten dan kerugian yang timbul tidak ada.
117
Ibid hal 144
Universitas Sumatera Utara
perbuatan “secara melawan hukum” tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan tata susila dan kepatutan
menurut masyarakat.
118
Perkara Lindenbaum Cohen tahun 1919, pengertian perbuatan melawan hukum sudah diperluas sehingga meliputi
:1. bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku; 2. melanggar hak subyektif orang lain; 3. melanggar kaidah tata susila; 4. bertentangan
dengan azas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat
atau terhadap harta benda orang lain.”
Dikutip dari Buku Komariah Enong Sapardjaja, sebagai berikut: Komariah, ajaran sifat melawan hukum yang formal adalah apabila suatu
perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan
pembenar, maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.
119
Vermunt mengambil pendapat Von Lizt, yang diterjemahkan oleh Komariah:
120
118
KPHA.Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi
, Surabaya: Indonesia Lawyer Club-2010, hal 57-58
“sifat melawan hukum formal adalah perbuatan yang bertentangan dengan suatu norma yang ditetapkan negara berupa perintah dan larangan. Sifat
melawan hukum materil adalah pelanggaran terhadap kepentingan-kepentingan sosial yang dilindungi oleh norma-norma hukum perorangan atau masyarakat,
termasuk perusakan atau membahayakan suatu kepentingan hukum.
119
Komariah Enong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia
, Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni-2002, hal 25
120
Komariah Enong Sapardjaja, ibid hal 28
Universitas Sumatera Utara
Vermunt mengutip pendapat Jesheck, yang diterjemahkan oleh Komariah:
121
“sifat melawan hukum formal apabila suatu kelakuan bertentangan dengan kewajiban untuk berbuat atau tidak melakukan sesuatu yang disebut dalam
norma hukum. Jesheck,
122
Hoffman, berpendapat: “suatu perbuatan tidak melawan hukum
apabila perbuatan itu sesuai dengan tujuan undang-undang. Suatu perbuatan adalah melawan hukum kalau tujuannya lebih merugikan daripada bermanfaat
untuk negara organ-organnya”.
123
121
Komariah Enong Sapardjaja, ibid hal 29
untuk adanya suatu perbuatan melawan hukum harus dipenuhi 4 empat unsur, yaitu: 1 harus ada yang melakukan perbuatan daad, yakni:
tidak saja perbuatan positif, dalam arti melakukan sesuatu, tetapi juga karena tidak melakukan sesuatu baik dengan sengaja maupun karena lalainya; 2
perbuatan itu harus melawan hukum atau perbuatan yang terlarang Onrechtmatig. Pengertian perbuatan melawan hukum adalah perbuatan itu
bertentangan dengan hak subjektif seseorang, atau bertentangan dengan kewajibannya sendiri menurut undang-undang. Jadi, sebagai dasar adalah hak
seseorang yang berdasarkan undang-undang, atau kewajiban seseorang menurut undang-undang; Onrechtmatig, adalah setara dengan tidak diperkenan
ongeoorloofd, tidak dengan yang “dilarang oleh undang-undang niet van door de wet verboden
atau dalam pasal 1428 Kitab Undang-undang Prancis tahun 1830; 3 perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain; 4
122
Komariah Enong Sapardjaja, ibid hal 31
123
Komariah Enong Sapardjaja, Ibid hal 34
Universitas Sumatera Utara
perbuatan itu karena kesalahan schuld yang dapat dicelakan kepadanya. Menurut Suijling dan Scholten yang dikutip dari buku Komariah Enong
Sapardjaja,
124
Menurut Hofmann, Rutten, ataupun Wolfsbergen, Hak subjektif individu dalam bidang hukum publik lebih
ditujukan agar “organ-organ, yang atas nama negara menyelenggarakan kekuasaan akan menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang melampaui batas
kekuasaannya terhadap rakyat”.
125
“bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang berbuat in strijd is met des daders rechts-plicht,
bahwa kewajiban hukum yang dimaksudkan, tidak hanya kewajiban hukum menurut undang-undang hukum tertulis, tetapi juga menurut hukum tidak
tertulis”. Bertentangan dengan kesusilaan dalam hubungannya dengan pasal 1371 dan pasal 1373 KUHPerdata, tentang perikatan, yang menyatakan bahwa
suatu perikatan menjadi batal jika dilakukan karena bertentangan dengan kesusilaan.
126
Simons mengatakan, sebagai pengertian dari sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur delik adalah bertentangan dengan norma delik sebagaimana
dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana. Jika ada perselisihan mengenai ada tidaknya sifat melawan hukum dari suatu tindakan, hakim tetap
124
Komariah Enong Sapardjaja, hal 41
125
Komariah Enong Sapardjaja, hal 42
126
Komariah Enong Sapardjaja, hal 42
Universitas Sumatera Utara
terikat pada rumusan undang-undang.
127
Artinya yang harus dibuktikan hanyalah yang dengan tegas dirumuskan dalam undang-undang dalam rangka
usaha pembuktian.
128
Pengertian “secara melawan hukum” di Indonesia. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, membedakan antara “melawan hukum” dengan
“melawan undang-undang”. Bersifat melawan undang-undang, berarti bertentangan dengan undang-undang, atau tidak sesuai dengan larangan
keharusan yang ditentukan dalam undang-undang, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh undang-undang. Bersifat melawan hukum,
berarti bertentangan dengan hukum, atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan hukum, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh
hukum positip yang berlaku.
129
Menurut Andi Hamzah yang dikutip dari tulisan D. Schaffmeister, pengertian melawan hukum dapat dibedakan ke dalam empat kelompok, yakni: a sifat
melawan hukum secara umum; b sifat melawan hukum secara khusus; c sifat melawan hukum secara formal; dan d sifat melawan hukum secara
127
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika-2002, hal 143 Baca Pendapat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi pada hal 142,
tentang pengertian Undang-undang dalam arti luas atau perundang-undangan atau juga disebut sebagai undang-undang dalam arti material adalah peraturan-peraturan tertulis, yakni undang-undang dalam
arti sempit, yakni UUD yang dibuat oleh konstituante, undang-undang yang dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR atau Perpu ditambah dengan peraturan-peraturan yang lebih rendah
tingkatannya dari undang-undang, misalnya: PP, Kepres, Perda, Peraturan pelaksanaan lainnya.
128
Ibid hal 143
129
Ibid hal 143
Universitas Sumatera Utara
materiil.
130
Maksud melawan hukum secara khusus, yaitu dengan tegas mencantumkan unsur “melawan hukum” sebagai inti atau bestanddeel delik,
dengan demikian JPU harus mencantumkan melawan hukum dalam dakwaan dan dapat dibuktikan adanya, apabila tidak dapat dibuktikan, putusannya berupa
pembebasan terdakwa.
131
Yurisprudensi putusan MARI No. 81.KKr1973, tanggal 16 Desember 1976, dalam perkara korupsi, yang berbunyi:
132
“bahwa dapat dikatakan, tidak ada “materiele wederrechtelijkheid” ontbreken van atupun afwezigheid van hanya dapat diterima, apabila
suatu perbuatan yang termasuk rumusan delik menimbulkan suatu keuntungan yang demikian dapat dirasakan, dipandang dari sudut
ketertiban hukum, sehingga itu seimbang dengan kerugian secukupnya yang disebabkan karena perbuatan yang bertentangan dengan undang-
undang.”
Yurisprudensi putusan MARI No. 275.KPid1983, tanggal 15 Desember 1983, dalam perkara korupsi, yang berbunyi:
133
“Apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud menggunakan
kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan melawan hukum”,
karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan masyarakat”
130
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada-2005 124
131
KPHA.Tjandra Sridjaja Pradjonggo,Ibid hal 56
132
Komariah Enong Sapardjaja, Ibid hal 55
133
Ibid hal 57
Universitas Sumatera Utara
Menurut pandangan Alvi Syahrin, dalam penegakan hukum Lingkungan Kepidanaan tentang dalil Ultimum remedium,
134
dapat dikesampingkan dalam hal tindak pidana yang dilakukan merupakan suatu pelanggaran terhadap hak
subyektif maupun kepentingan masyarakat luas, misalnya pelanggaran terhadap “hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” dan dikaitkan dengan
“kewajiban untuk melindungi lingkungan hidup” berarti lingkungan hidup dengan sumberdayanya merupakan kekayaan bersama yang dapat digunakan
oleh setiap orang yang harus dijaga untuk kepentingan masyarakat atau individu.
135
Yurisprudensi. Perkara Lindenbaum Cohen tahun 1919, dalam kasus perdata “pengertian perbuatan melawan hukum sudah diperluas sehingga meliputi :1.
UU Kehutanan tidak menganut asas subsidiaritas dengan dalil Ultimum remedium,
akan tetapi menganut penerapan sanksi secara komulatif pidana, ganti rugi, sanksi administrasi yang berarti, pengenaan ganti rugi, atau
sanksi administrasi tidak mengesampingkan sanksi pidana vide pasal 80 1 dan penjelasan umum UU Kehutanan. Pengenaan sanksi secara komulatif
tersebut didasarkan pada filosofi dan hakekat hutan itu untuk melindungi hak subyektif maupun kepentingan masyarakat luas dengan motivasi dapat
menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya.
134
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Edisi Revisi, Jakarta: Sofmedia-2009, hal 9: Perkataan “Ultimum remedium” pertama sekali dipergunakan oleh Menteri
Kehakiman Belanda Mr Modderman dalam menjawab pertanyaan Mr Mackay seorang anggota Parlemen Belanda mengenai dasar penghukuman: pertama adanya pelanggaran hukum conditio sine
qua non syarat yang harus ada, kedua, terhadap pelanggaran hukum tidak mungkin dilakukan dengan
cara-cara lain. Hukum pidana dipandang sebagai Ultimum remedium, artinya hukum pidana hendaknya dipandang sebagai upaya yang terakhir dalam memperbaiki kelakuan manusia.
135
Alvi Syahrin, Ibid hal 10
Universitas Sumatera Utara
bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku; 2. melanggar hak subyektif orang lain; 3. melanggar kaidah tata susila; 4. bertentangan dengan azas
kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda
orang lain.” Dan dalam perkara korupsi di Indonesia dalam putusan MARI No. 68 K PID.SUS2008, teori Lindenbaum Cohen tahun 1919, dijadikan dasar
untuk menyatakan perbuatan terdakwa AL, yang melanggar larangan dan tidak melaksanakan kewajiban hukumnya adalah “perbuatan melawan hukum”.
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, mendefinisikan tentang “bersifat melawan hukum ” adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau tidak sesuai dengan
larangan atau keharusan hukum. Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum adalah hukum positif yang berlaku.
136
dalam kamus umum Belanda- Indonesia karangan S.Wojowasito
menterjemahkan kata “wederrech’telijk” adalah “bersifat bertentangan dengan hukum”.
137
Di dalam KUHPidana, selain tercantum kata wederrechtelijk melawan hukum di dalam pasal-pasal tertentu seperti pasal 406 KUHP melawan hak, juga
terdapat kata-kata yang mengandung hal yang sama atau termasuk kategori itu, walaupun dengan pengertian yang sempit. Misalnya pasal 303, 548, 549 KUHP
memakai istilah: tidak berhak; dengan tidak berhak untuk itu zonder daartoe
136
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika-2002 hal 143
137
S.Wojowasito, Kamus Umum, Belanda – Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve- 2003, hal 789
Universitas Sumatera Utara
gerechtigd te zijn , pasal 496, 510 KUHP memakai kata-kata “tidak dengan izin
atau tanpa izin” zonder verlof, pasal 430 KUHP memakai istilah “dengan melampaui batas kekuasaannya” met overschrijding van zijn bevoegdheid,
pasal 429 KUHP dengan istilah “dengan melampaui batas kekuasaannya atau dengan tidak memperhatikan peraturan yang ditentukan dalam undang-undang
umum” zonder in achtneming van de bij algemene verordening bepaalde vormen
.
138
Apabila “wederrech’telijk” diartikan baik secara harfiah atau tidak secara harfiah, maka artinya adalah: “secara melawan hukum”; “melanggar larangan
atau keharusan hukum”; “in strijd met het subjectief recht” atau “bertentangan dengan hukum”; “wederrech’telijk” diartikan juga dengan perkataan “tidak
sah”; “in strijd met het subjectief recht van een ander” atau “bertentangan dengan hak orang lain”; “Zonder bevoegdheid” atau “tanpa kewenangan”;
“Zonder eigen recht” atau “tanpa hak yang ada pada diri seseorang”. Pendapat para sarjana dan praktek penegakan hukum baik di Belanda maupun
di Indonesia termasuk dalam KUHP tentang pengertian “secara melawan hukum” adalah: 1. bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku; 2.
melanggar hak subyektif orang lain; 3. melanggar kaidah tata susila; 4. bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang
seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain; 5. “bertentangan dengan
138
H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana Satu, Jakarta: Sinar Grafika-2010 hal 241
Universitas Sumatera Utara
hukum, atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan hukum” 6.dengan tidak berhak untuk itu zonder daartoe gerechtigd te zijn; 7. “tidak dengan izin
atau tanpa izin” zonder verlof; 8. “dengan melampaui batas kekuasaannya” met overschrijding van zijn bevoegdheid; 9. “dengan melampaui batas
kekuasaannya atau dengan tidak memperhatikan peraturan yang ditentukan dalam undang-undang umum” zonder in achtneming van de bij algemene
verordening bepaalde vormen ; 10. “bertentangan dengan hak orang lain”;
“Zonder bevoegdheid” atau “tanpa kewenangan”; “Zonder eigen recht” atau “tanpa hak yang ada pada diri seseorang”.
Dalil-dalil JPU tentang “secara melawan hukum” sebagai berikut: “bahwa perbuatan melawan hukum tidak sama atau identik dengan
tindak pidana atau perbuatan pidana oleh karena yang dimaksud dengan melawan hukum adalah suatu kewajiban atau larangan yang ditetapkan
oleh suatu peraturan tertulis dan apabila tidak dilaksanakan maka mengakibatkan suatu tindak pidana. Contoh: Seorang pegawai negeri
yang membeli barang untuk keperluan kantor dengan harga yang tidak sebenarnya mark up. Dalam hal ini tentunya perbuatan mark up bukan
merupakan tindak pidana melainkan suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara yang diancam dengan Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Contoh lain seorang kontraktor mengerjakan pekerjaan proyek tidak sesuai dengan bestek.
Dalam hal ini perbuatan mengerjakan tidak sesuai bestek bukan merupakan tindak pidana yang ada sanksi pidananya melainkan suatu
perbuatan melawan hukum.”
Dalam dakwaan JPU menyatakan: “bahwa terdakwa ADELIN LIS selaku Direktur Keuanganumum PT.KNDI telah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan larangan hukum atau kewajiban atau keharusan hukum dalam pemanfaatan
Universitas Sumatera Utara
hasil hutan kayu pada hutan alam dalam hutan produksi baik yang ditetapkan dalam UU Kehutanan, PP, sampai pada peraturan teknis pelaksanaannya. Bentuk larangan
dan kewajiban hukum PT. KNDI yang didakwakan adalah: 1.
Dilarang menebang pohon kayu diluar RKT yang telah disahkan; 2.
Kewajiban menebang pohon kayu dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI;
3. Kewajiban membayar PSDH dan DR adalah atas kayu hasil hutan yang telah
ditebang dari dalam RKT yang telah disahkan; 4.
Kewajiban mengalokasikan saham PT. KNDI sebesar 45 kepada pihak ketiga, yakni: Koperasi setempat, BUMD dan Lembaga Pendidikan setempat.
Ad. 1. Tentang “Larangan menebang pohon kayu diluar RKT yang telah disahkan”. Menurut N.M.Spelt dan J.B.J.M. ten Berge,
139
139
Pendapat N.M.Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, dikutip dari Buku, Y.Sri Pudyatmoko, Perizinan Problem dan Upaya Pembenahan, Jakarta: Grasindo-2009 hal 17
pada umumnya sistem izin terdiri atas larangan, persetujuan yang merupakan dasar perkecualian izin, dan
ketentuan ketentuan yang berhubungan dengan izin. Larangan suatu organ pemerintahan dalam suatu ketetapan izin harus terlebih dahulu ditetapkan dalam
suatu peraturan perundang-undangan asas legalitas, karena larangan tersebut sesuatu yang membebani warga negaranya yang mestinya terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan dari rakyat melalui perundang-undangan. Asas legalitas “adanya suatu
Universitas Sumatera Utara
larangan yang tegas dan jelas dalam suatu aturan perundang-undangan yang isinya melarang dilakukannya sesuatu”.
140
Menurut Hans Kelsen, sifat-sifat norma hukum dalam peraturan perundang- undangan dapat berupa: perintah gebod, larangan verbod, pengizinan
toestemming, dan pembebasan vrijstelling dan Sudikno Mertokusumo, berpendapat bahwa kaidah atau norma hukum itu menentukan bagaimana manusia itu
semestinya berperilaku.
141
Dalam UU Kehutanan, menetapkan norma larangan yang bersifat umum meliputi pasal 38 ayat 4, pasal 50 ayat 1 2 3 dan apabila dilanggar dikenakan
sanksi pidana pada pasal 78 ayat 1 sd ayat 12. Pemerintah RI dalam PP. No. 34 tahun 2002 memperluas lingkup “larangan” khusus bagi pemegang IUPHHK yakni,
“dilarang melakukan penebangan pohon diluar RKT” dan apabila dilanggar dikenakan sanksi administratif.vide pasal 86 yo 91 ayat 1 huruf b angka 4 PP. No.
34 tahun 2002, diperbaharui dengan pasal 74 huruf f PP. No.6 tahun 2007. Dalam kasus a quo, PT. KNDI ditemukan fakta hukum, bahwa pada awalnya ada memiliki
izin yakni: Keputusan Menhut RI dalam Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 805Kpts-IV1999, tanggal 30 September 1999, tentang
IUPHHK, dengan hak pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi dalam hutan alam di Kab. Madina pada areal 58 ribu hektar. Dalam implementasi haknya,
PT.KNDI diwajibkan oleh pemerintah untuk menerapkan sisitim silvikultur TPTI
140
N.M.Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Ibid hal 18
141
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada-2010 hal 21
Universitas Sumatera Utara
antara lain hanya diizinkan untuk penebang pohon kayu dalam RKT yang telah disahkan dan dilarang untuk menebang pohon diluar RKT.vide lampiran Keputusan
Menhut dan Perkebunan pada hal 4 huruf g menetapkan ketentuan larangan bagi PT.KNDI yang berbunyi “ Perusahaan dilarang melaksanakan penebangan hutan
diluar areal yang telah ditetapkan di dalam RKT yang telah disahkan”. Keputusan ini bersifat konkret dan individual dan final yang ditujukan kepada PT.KNDI sebagai
atribusi UU Kehutanan dan PP. Mengapa pemerintah menetapkan larangan bagi pemegang izin untuk
melaksanakan penebangan hutan diluar areal yang telah ditetapkan di dalam RKT yang telah disahkan? Pembuat UU Kehutanan menetapkan ketentuan larangan
tersebut selain memberikan pembatasan hak dan kekuasaan untuk mencegah kerugian publik, yakni negara dari PNBP dari kesewenangan pemegang izin dalam
mengimplementasikan haknya terhadap kekayaan negara hasil hutan kayu,
142
tetapi adanya keseimbangan antara hak dan kewajibannya,
143
142
Djenal Hoessen Koesoemahatmadja, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Bandung: Alumni-1979, hal 87
mencegah kerusakan hutan dengan tetap menjaga kelestarian hutan itu sendiri sesuai tujuan pemanfaatan hutan
hasil hutan kayu pada hutan produksi dalam hutan alam, yakni untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan
dengan asas lestari vide pasal 23 UU Kehutanan.
143
Djenal Hoessen Koesoemahatmadja menambahkan dalam hal “Kepentingan umum kaitannya dengan ketetapan sebagai tindakan hukum” “Harus ada keseimbangan antara kekuasaan
negara dan kepentingan rakyat , oleh karena itu harus ada keseimbangan antara “de rechtmatigheid en de doelmatigheid van het bestuur” = segi legalitasnya dan segi tujuannya dari hukum. Ibid hal 87
Universitas Sumatera Utara
Dalam dakwaan JPU, bahwa perbuatan “secara melawan hukum’ yang didakwakan terhadap Terdakwa ADELIN LIS selaku Direktur Keuangan Umum PT.
KNDI salah satunya adalah perbuatan yang melanggar “larangan untuk menebang pohon kayu diluar RKT yang telah disahkan”.
Fakta persidangan terungkap bahwa PT.KNDI telah melakukan penebangan pohon kayu diluar RKT yang telah disahkan pada jarak rata-rata 9,86 km untuk tahun
tebang 2000 sd tahun 2005.
144
“seandainyapun telah terjadi penebangan pohon kayu diluar RKT, maka hal ini sesuai dengan PP No.34 tahun 2002 dipandang sebagai
pelanggaran yang bersifat administratif yang sanksinya adalah berupa sanksi administratif, penjatuhan sanksi mana dilakukan setelah melalui
tahapan-tahapan proses yang ditentukan, dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif dimaksud berada pada instansi
Departemen Kehutanan”. Secara tersirat fakta tersebut dibenarkan dalam
pertimbangan hukum Judex Facti pada putusan No.2240Pid.B2007PN. Mdn hal 316 yang menyatakan:
144
Putusan MARI No. 68.KPID.SUS2008, hal 234-235: 1 Lokasi penebangan Tahun 2000 berada di Jalan Danau Km. 10 dengan titik koordinat 00º 57
22,4 LU dan 99º 03 26,4 BT, dengan jarak ± 2,5 dua koma lima Km dari Blok RKT tahun 2000 2 Lokasi penebangan Tahun 2001 di Jalan Danau Km. 12 tidak dapat ditentukan titik
koordinat dan dihitung jaraknya, karena lokasi sudah tertutup dan kondisi jalan serta jembatan putus dan tidak memungkinkan untuk dilalui sehingga pengambilan titik koordinat penebangan tidak dapat
dilaksanakan. 3 Lokasi penebangan Tahun 2002 berada di Jalan Koridor Km. 9 dengan titik koordinat 00º 55
06,9 LU dan 99º 07 09,0 BT, dengan jarak ± 11,3 sebelas koma tiga Km dari Blok RKT tahun 2002.
4 Lokasi penebangan Tahun 2003 berada di Jalan Koridor Km. 9 dengan titik koordinat 00º 54 55,6 LU dan 99º 06 55,4 BT, dengan jarak:± 10 sepuluh Km dari Blok RKT tahun 2003.
5 Lokasi penebangan Tahun 2004 berada di Jalan Danau Km. 4 dengan titik koordinat 00º 55 30,8 LU dan 99º 04 25,3 BT dengan jarak ± 12,5 dua belas koma lima Km dari Blok RKT tahun
2004. 6 Lokasi penebanganTahun 2005: a Di Jalan Danau Km. 9 Aek Lambe dengan titik koordinat
00º 56 50,4 LU dan 99º 05 21,2 BT dengan jarak ±: 13 tiga belas Km dari Blok RKT tahun 2005; b Di Jalan Koridor Km. 4 dengan titik koordinat : 00º 54 06,9 LU dan 99º 06 43,3 BT dengan jarak
± 8,75 delapan koma tujuh puluh lima Km dari Blok RKT tahun 2005.
Universitas Sumatera Utara
Surat Menhut RI kepada Law Firm Hotman Paris Partners No. S.613Menhut-II2006, tanggal 27 September 2006, yang antara lain pada
pokoknya berisi penjelasan tentang soal penebangan diareal HPH namun penebangan dilakukan diluar RKT yang disahkan, dipandang merupakan
administrasi dengan merujuk kepada ketentuan didalam PP.No.34 tahun 2002”.
Surat Kapolda Sumut No.Pol: K102VII2007Dit Reskrim tanggal 19 Juli 2007 tentang pelimpahan perkara an.PT.PMM kepada Kadishut
Propinsi Sumut tentang penebangan pohon kayu didalam areal RKT dan sudah membayar PSDH dan DR yang pada pokoknya menyebutkan
“bahwa perbuatan seperti itu bukan merupakan perbuatan pidana tetapi pelanggaran administratif sehingga yang berwenang melakukan
penjatuhan sanksi administrasi adalah dinas kehutanan Propinsi Sumut dengan merujuk kepada ketentuan PP No. 34 tahun 2002. Pengadilan
Negeri Medan menyimpulkan dalam putusannya bahwa apabila telah ditetapkan sanksi administratif, maka tidak dapat lagi dikenakan sanksi
pidana.
PP. No. 34 tahun 2002 yang telah diubah dengan PP. No.6 tahun 2007 ada menetapkan larangan menebang pohon kayu diluar RKT yang telah disahkan dengan
“sanksi administratif berupa denda 15 lima belas kali PSDH terhadap volume kayu hasil penebangan yang dilakukan diluar blok tebangan yang diizinkan”. UU
Kehutanan menetapkan larangan dan apabila dilanggar dikenakan sanksi pidana pasal 38 dan 50 yo pasal 78, sedangkan PP. No. 34 tahun 2002 yang telah diubah
dengan PP. No. 6 tahun 2007 menetapkan larangan dan apabila dilanggar dikenakan sanksi administratif. Mengapa pemerintah membuat larangan menebang pohon kayu
diluar RKT? Satjipto Rahardjo menyatakan: “Bahwa keinginan-keinginan atau cita-cita
hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan
Universitas Sumatera Utara
dalam peraturan-peraturan hukum dan perumusan pikiran pembuat undang-undang akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan oleh penegak
hukum.
145
Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestariannya demikian amanat pasal 2 dan pasal 23 UU Kehutanan. Untuk
mencapai asas dan tujuan hukum atau cita-cita atau keinginan-keinginan pembuat hukum kehutanan tersebut, pemerintah diberikan kewenangan boleh peraturan
perundang-undangan untuk menetapkan larangan-larangan kepada pemegang izin berdasarkan peraturan perundang-undangan. Bentuk larangan tersebut diantaranya
menebang pohon kayu diluar RKT yang telah disahkan. Disamping larangan, ada kewajiban hukum PT.KNDI, yakni: wajib melaksanakan sistem silvikultur TPTI.
Secara teknis, substansi sistim TPTI ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan hutan No. 151KPTSIV-BPHH1993 tentang sistem tebang pilih tanam
Indonesia TPTI yang meliputi: “1 Penataan areal kerja PAK Et-3 Et= Esploitasi Tebangan, 2
Inventarisasi tegakan sebelum penebangan ITSP atau Timber cruising Et-2, 3 Pembukaan wilayah hutan PWH Et-1, 4 Penebangan Et,
5 Perapihan Et+1, 6 Inventarisasi tegakan tinggal ITT Et+2, 7 Pembebasan tahap pertama Et+2, 8 Pengadaan bibit Et+2, 9
PengayaanRehabilitasi Et+2, 10 Pemeliharaan tanaman pengayaanRehabilitasi Et+3, 4, 5, 11Pembebasan tahap kedua dan
ketiga Et+4, 6, 12 Penjarangan tegakan tinggal Et+10, 15, 20”
145
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis Yoyakarta: Genta Publishing - 2009, hal 24
Universitas Sumatera Utara
Norma TPTI mengisyaratkan teknis-teknis pemanfaatan hasil hutan yang wajib dipatuhi secara konkret dilapangan, bukan yang bersifat imajinatif, khayalan atau
karangan belaka atau bersifat fiktif, yakni: 1 Penataan Areal Kerja PAK wajib dilaksanakan 3 tiga tahun sebelum waktu penebangan Et-3, kegiatan tersebut
meliputi: pembuatan tata batas dengan temu gelang atas luas areal IUPHHK, membagi areal kedalam Rencana Kerja Lima Tahun RKL dan Rencana Kerja
Tahunan RKT; 2 melakukan inventarisasi tegakan sebelum penebangan ITSP atau disebut timber cruising wajib dilaksanakan 2 dua tahun sebelum waktu
penebangan di dalam areal URKT yang akan dimohonkan untuk disahkan menjadi RKT yang disahkan. ITSP dimaksudkan untuk memetakan dan menandai serta
mengetahui jenis dan volume pohon kayu baik yang akan ditebang dan dilindungi. Setiap pemilik izin wajib membuat URKT setiap akhir tahun untuk RKT tahun
berikutnya. URKT tersebut diajukan kepada Kapala Dinas Kehutanan Kabupaten untuk disahkan menjadi RKT oleh Kepala Dinas Kehutanan Propinsi setiap tahun. Isi
URKT hasil ITSP, antara lain memuat jenis dan volume pohon kayu baik yang direncanakan untuk ditebang, maupun yang wajib dilindungi. Artinya bahwa
pemegang IUPHHK bertanggung jawab atas isi URKTnya baik tentang jenis, dan volume kayu yang akan ditebangnya maupun yang wajib dilindunginya. Proses
administrasi mulai dari URKT oleh PT. KNDI sampai adanya pengesahan RKT oleh Kepala Dinas Kehutanan Propinsi adalah: 1 menyatakan batasan dalam
mengimplementasikan hakkewenangan pemilik izin; 2 kepastian perlindungan atas hak negara, hak lingkungan dan hak sosial; 3 wajud tanggung jawab pengawasan
Universitas Sumatera Utara
menejerial dan teknis oleh pejabat tata usaha negara administrasi negara terhadap aktifitas pemegang izin; 4 kepastian hukum atas perbuatan menebang pohon kayu
mana yang terlarang dan yang tidak terlarang oleh hukum. Dengan penjelasan diatas, maka pertanyaan: Mengapa pemerintah membuat
larangan menebang pohon kayu diluar RKT dan mengapa URKT harus terlebih dahulu disahkan menjadi RKT untuk melakukan penebangan pohon kayu, apakah
IUPHHK tidak cukup sebagai dasar untuk menebang pohon kayu didalam areal IUPHHK nya dapatlah terjawab. Jawabannya adalah untuk membatasi penggunaan
hak wewenang oleh pemegang IUPHHK sehingga pemilik HPH atau IUPHHK tidak sewenang-wenang atau tidak melebihi kewenangannya bias atau ultra vires tetapi
penebangan pohon kayu kekayaan negara yang bersifat hak publik itu hanya terbatas atas pohon kayu dalam RKT yang telah disahkan oleh pemerintah Kepala
Dinas Kehutanan Propinsi yang dapat dijadikan menjadi hak private setelah dibuktikan dengan pembayaran hak negara berupa PSDH dan DR sebagaimana
mestinya terlindunginya hak-hak negara, terlindunginya hak sosial dan lingkungan hidup. Artinya, perbuatan menebang pohon diluar diluar RKT yang telah disahkan
adalah perbuatan yang dilarang oleh perundang-undangan atau hukum tertulis, maka perbuatan menebang pohon diluar RKT adalah perbuatan melawan hukum.
Universitas Sumatera Utara
Pertimbangan hukum Judex Facti, dalam kasus a quo terhadap “larangan menebang pohon kayu diluar RKT yang telah disahkan”
146
146
Kewajiban PT. KNDI sebagaimana disebutkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 805Kpts-VI99 tanggal 30 September 1999 yang antara lain
menyebutkan:
menyatakan, bahwa: “seandainya benar ada penebangan pohon kayu diluar RKT” yang dilakukan oleh PT.
KNDI, hal itu adalah pelanggaran administratif yang kewenangan pengenaan sanksi administratif tersebut ada pada Menhut RI vide PP. No. 34 tahun 2002. Hakim pada
PN.Medan kurang cermat memahami hakekat sanksi administratif dalam PP.34 tahun 2002 itu. Penetapan ganti rugi dan sanksi administratif yang ditetapkan dalam pasal
80 ayat 1 2 UU Kehutanan yang peraturan pelaksanaannya ditetapkan dalam peraturan pemerintah PP. No. 34 tahun 2002 dan PP No. 45 tahun 2004
dimaksudkan untuk melindungi hasil hutan sebagai kekayaan negara atas perbuatan
1 Perusahaan harus melaksanakan sistim silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia pada areal
hutan seluas 58.590 Hektar; 2
Perusahaan dilarang melaksanakan penebangan hutan di luar areal yang telah ditetapkan didalam Rencana Karya Lima Tahun dan Rencana Karya Tahunan yang telah disahkan;
3 Perusahaan harus membangun dan memelihara jaringan jalan didalam areal kerjanya sesuai
dengan ketetapan dan ketentuan tentang pembuatan jalan angkutan serta sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang telah disahkan;
4 Perusahaan harus membayar Iuran Hasil HutanProvisi Sumber Daya Hutan PSDH dan
Dana Reboisasi DR; 5
Perusahaan harus mengikutsertakan Koperasi Koperasi Masyarakat setempat dan Koperasi Sinar Meranti 25 sebagai hak kompensasi masyarakat 15 dialihkan langsung pada saat
Koperasi terbentuk dan 10 diangsur selama 5 tahun dengan hak opsi kenaikan 1 setiap tahun, Lembaga Pendidikan setempat 10 dan Badan Usaha Milik Daerah BUMD 10
sebagai Pemegang Saham Perusahaan;
6 Kewajiban PT. KNDI untuk melaksanakan timber cruising dan membuat Laporan Hasil
Cruising LHC dengan semestinya sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan DIRJEN PH Nomor : 151KPTS IV-BPHH1993 tanggal 19 Oktober 1993 tentang peraturan
petunjuk teknis TPTI sebagai dasar penerbitan Surat Perintah Pembayaran SPP PSDH dan DR.
Universitas Sumatera Utara
melawan hukum. Sanksi denda administratif tidak dikenakan terhadap perbuatan menebang kayu diluar RKT, tetapi dikenakan terhadap volume kayu yang berasal dari
perbuatan penebangan pada daerah terlarang, yakni diluar blok tebangan yang diizinkan atau diluar RKT yang telah disahkan. PP.No.34 tahun 2002 pasal 91 ayat
1 huruf b angka 4 menetapkan: “denda 15 lima belas kali PSDH terhadap volume kayu hasil penebangan yang dilakukan diluar blok tebangan yang diizinkan”. Artinya,
sanksi berupa denda 15 lima belas kali PSDH hanya dikenakan terhadap volume kayu hasil penebangan dari luar blok tebangan yang diizinkan, sedangkan perbuatan
menebang pohon kayu diluar RKT adalah perbuatan yang melanggar hukum dan sanksinya adalah pidana vide pasal 78 UU Kehutanan. Pengenaan ganti rugi dan
sanksi administratif tidak mengesampingkan sanksi pidana vide 80 ayat 1 2 UU Kehutanan.
Pendapat Prajudi: “Pengenaan sanksi administratif tidak mengesampingkan pengenaan sanksi pidana apabila pemegang izin tidak memenuhi keterikatannya
kewajiban hukumnya kepada ikatan-ikatan hukum administrasi tertentu rechtsbetrekking diantara administrasi dan warga masyarakat, dimana si warga
masyarakat terikat mempunyai verplichting untuk melakukan kewajiban hukumnya,
147
147
Mr.S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi VII, Edisi Revisi, Cetakan ke 10
, Jakarta: Ghalia Indonesia-1994 hal 141
sehingga ia pemegang izin dikenakan dua sanksi sekaligus, yakni sanksi hukum administrasi dan sanksi hukum pidana, misalnya seorang warga negara
mendirikan bangunan tidak sesuai dengan syarat-syarat teknis yang ditetapkan pada
Universitas Sumatera Utara
IMB lalu menimbulkan kerusakan bagi bangunan milik umum atau pribadi, maka dikenakan sanksi administratif berupa pembongkaran terhadap bangunan gedung oleh
polisi pamongpraja, dan pengenaan sanksi pidana melalui peradilan pidana.”
148
Apabila administrasi negara tidak ada menjatuhkan sanksi administratif kepada PT.KNDI selama tahun 2000 sd tahun 2005 terhadap perbuatan menebang pohon
kayu pada daerah yang terlarang maka kewenangan pengawasan tidak berjalan sebagaimana mestinya dan disana ada perbuatan pembiaran ommisi atas perbuatan
pelanggaran hukum. E.Y.Kanter dan S.R. Sianturi,
149
Perbuatan yang melanggar ketentuan larangan menebang pohon kayu diluar RKT yang telah disahkan adalah bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang
meliputi pembatasan hak pemegang IUPHHK, prinsip pengujian atas hasil hutan kayu, prinsip pengenaan PSDH dan DR. Akibatnya menimbulkan kerusakan hutan,
kerugian negara, penerbitan dokumen SKSHH fiktif, kayu illegal, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
“tidak melakukan suatu tindakan yang diharuskan hukum disebut sebagai delik omisi ommissie delict atau
tindakan pasif passive handeling yang diharuskan”.
Ad.2. Tentang “Kewajiban menebang pohon kayu dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI”.
Selain mendakwa Terdakwa ADELIN LIS telah melanggar aturan larangan hukum, terdakwa juga didakwa telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan
148
Mr.S. Prajudi Atmosudirjo, Ibid hal 142
149
E.Y.Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta; Storia Grafika-2002, hal 237
Universitas Sumatera Utara
hukum, yakni tidak menerapkan “sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI”dalam hal pemanfaatan hasil hutan kayu sejak tahun 2000 sd Januari 2006 di
dalam Areal IUPHHK PT.KNDI pada kelompok hutan negara seluas ± 58.590 lima puluh delapan ribu lima ratus sembilan puluh Ha yang terletak di sungai Singkuang –
sungai Natal, Kec. Muara Batang Gadis, Kab. Mandailing Natal, dahulu sebelum tahun 2000 adalah Kec. Natal, Kab. Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara.
Penerapan sistim TPTI menjadi kewajiban hukum pemegang IUPHHK berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan hutan No. 151KPTSIV-BPHH1993
tentang sistem tebang pilih tanam Indonesia TPTI dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 805Kpts-VI99 tanggal 30 September 1999
yang antara lain menyebutkan: “Perusahaan harus melaksanakan sistim silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia pada areal hutan seluas 58.590 Hektar.
Norma sistim TPTI mengisyaratkan teknis-teknis pemanfaatan hasil hutan yang wajib dipatuhi secara konkret dilapangan oleh pemegang hak, bukan imajinatif.
Ketentuan sistim TPTI didasarkan pada Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan hutan No. 151KPTSIV-BPHH1993 tentang sistem TPTI yang meliputi: 1 Penataan
Areal Kerja PAK wajib dilaksanakan 3 tiga tahun sebelum waktu penebangan Et- 3, kegiatan tersebut meliputi: pembuatan tata batas dengan temu gelang atas luas
areal IUPHHK, membagi areal kedalam Rencana Kerja Lima Tahun RKL dan Rencana Kerja Tahunan RKT; 2 melakukan inventarisasi tegakan sebelum
penebangan ITSP atau disebut timber cruising wajib dilaksanakan 2 dua tahun sebelum waktu penebangan di dalam areal URKT yang akan dimohonkan untuk
Universitas Sumatera Utara
disahkan menjadi RKT yang disahkan. ITSP dimaksudkan untuk memetakan dan menandai serta mengetahui jenis dan volume pohon kayu baik yang akan ditebang
dan dilindungi; 3 Pembukaan wilayah hutan PWH Et-1. PWH adalah jalan utama yang menghubungkan pusat kegiatan ke blok tebangan yang wajib dibangun 1 satu
tahun sebelum waktu tahun penebangan; 4 Penebangan Et. Berdasarkan petunjuk teknis ini, bahwa penebangan pohon itu wajib dilakukan didalam blok tebangan
RKT yang telah disahkan setelah melalui ITSP, dan PWH. Terhadap kayu hasil tebangan wajib dilakukan pengujian untuk melegalisasi hasil hutan kayu dengan
pembayaran PSDH dan DR kepada negara yang disebut PNBP dan penerbitan SKSHH untuk bukti pengangkutan dan kepemilikan kayu; 5 Perapihan Et+1; 6
Inventarisasi tegakan tinggal ITT Et+2; 7 Pembebasan tahap pertama Et+2; 8 Pengadaan bibit Et+2 wajib dilakukan dengan dana yang telah ditetapkan dalam
RKT setiap tahunnya; 9 PengayaanRehabilitasi Et+2 wajib dilakukan pada areal kritis untuk mempertahankan kelestarian hutan;10 Pemeliharaan tanaman
pengayaanRehabilitasi Et+3, 4, 5; 11Pembebasan tahap kedua dan ketiga Et+4, 6; 12 Penjarangan tegakan tinggal Et+10, 15, 20”.
Sistim TPTI merumuskan 12 dua belas ketentuan teknis implementasi hak dan kewajiban hukum pemilik IUPHHK dengan maksud untuk mewujudkan prinsip
perlindungan hutan, dan hasil hutan.
150
150
PP. No.45 tahun 2004, tentang perlindungan hutan, pasal 6 prinsip-prinsip perlindungan hutan meliputi: a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang
disebabkan oleh perbuatan manusia , ternak , kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan
Ketentuan ini dijadikan salah satu indikator
Universitas Sumatera Utara
atau parameter oleh pejabat pengawas internal kehutanan dan eksternal LPI untuk menilai baik atau buruknya kinerja pemegang izin dalam pengelolaan areal dan hasil
hutanan. Fakta persidangan terungkap, bahwa PT. KNDI tidak melaksanakan ke 12 dua
belas indikator dari sistim TPTI secara konkret sebagaimana mestinya, hanya bersifat imajinatif dan formalitas. Pelanggaran terhadap sistim TPTI oleh Terdakwa
an. PT.KNDI dilakukan sejak tahun 2000 sd tahun 2005 mengakibatkan: pertama, penebangan pohon kayu dilakukan diluar RKT yang di izinkan; kedua, pengujian
hasil hutan kayu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, hanya bersifat imajinatif dan formalitas untuk syarat administratif; dan ketiga, tidak merehabilitasi pada areal
kritis dan bekas penebangan. Perbuatan tersebut berakibat: a timbul kerugian negara berupa hilangnya kayu ditambah dengan nilai PSDH dan DR yang bertujuan
memperkaya diri sendiri atau orang lain; b terbit dan beredar dokumen SKSHH fiktif bukti pengangkutan dan kepemilikan kayu; c timbulkan kerusakan hutan dan
pengalihan fungsi hutan menjadi areal perkebunan 10.000 ha yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Pertimbangan hukum judex facti pada putusan Nomor : 2240Pid.B2007 PN.Mdn tanggal 5 November 2007 pada halaman 310 dan hal 314 terhadap dakwaan
unsur “secara melawan hukum” menyatakan:
hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. pasal 12 perlindungan hutan atas hasil hutan: dalam usaha mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan
wajib dilengkapi dengan SKSHH.
Universitas Sumatera Utara
“Majelis Hakim PN. Medan dapat menerima dakwaan Jaksa Penuntut Umum, bahwa telah terjadi perbuatan melawan hukum, antara
lain: 1 tidak melakukan sistem silvikultur TPTI; 2 penebangan pohon kayu dilakukan diluar RKT PT.KNDI; 3 tidak melaksanakan Timber
Cruising dan pembuatan laporan hasil cruising LHC. Namun, oleh karena perbuatan tersebut hanya dikenakan sanksi administratif, yang
kewenangannya berada pada instansi Kehutanan dan sanksi atas pelanggarannya diatur dalam PP No 34 Tahun 2020, dipandang sebagai
pelanggaran yang bersifat administratif. PN. Medan menganggap bukan suatu perbuatan melawan hukum formil dan oleh karenanya unsur “secara
melawan hukum” tidaklah terbukti, maka terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum vrij spraak. Pertimbangan hukum PN. Medan Judex
factie
ini berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi No.003PUU- IV2006, tanggal 25 Juli 2006 terhadap pengertian secara melawan
hukum di dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 31 tahun 1999.
151
Pertimbangan hukum MARI dalam putusan No. 68.K PID.SUS2008, terhadap putusan judex facti atas “perbuatan melawan hukum” pada hal 292, pada pokonya
menyatakan: bahwa PT.KNDI tidak melaksanakan sistim TPTI tidak melaksanakan rehabilitasi, tidak membangun PWH, menebang pohon kayu diluar RKT dalam
tahun 2000 sd tahun 2005 karena Terdakwa selaku Direktur Keuangan umum tidak pernah mengeluarkan dana operasional TPTI.
PT.KNDI tidak menerapkan TPTI dalam usaha pemanfaatan hasil hutan kayu adalah bertentangan dengan prinsip kelestarian hutan, kepastian hukum yang meliputi
areal konsesi, rencara penebangan kayu sebagaimana ditetapkan dalam UU
151
Putusan MK Nnomor: 003PUU-IV2006 bahwa Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang- undang a quo merupakan delik formil. Penjelasan Pasal 2 ayat 1 dan Penjelasan Pasal 3 secara
tersurat menjelaskan bahwa kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak
pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Universitas Sumatera Utara
Kehutanan dan PP serta ketentuan teknis yang ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan hutan No. 151KPTSIV-BPHH1993 tentang sistem TPTI dan
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 805Kpts-VI99 tanggal 30 September 1999.
Semestinya fakta diatas dapat dijadikan entry point dalam pertimbangan hukum dalam putusan judex facti untuk membuktikan adanya mens rea atau niat jahat
dengan sengaja doulus atau dengan kesengajaan dan kerja sama antara PT.KNDI dengan fungsi pengawasan,
152
untuk tidak melaksanakan sistim TPTI guna menghindari beban pembiayaan dana pelaksanaan sistim TPTI dalam bentuk
komitment PT.KNDI dalam RKT yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang setiap tahunnya tahun 2000 sd tahun 2005.Teori Indentifikasi atau directing minds
theory:
153
Ad.3. Tentang “Kewajiban membayar PSDH dan DR atas kayu hasil hutan yang telah ditebang dari dalam RKT yang telah disahkan”.
Niat untuk melakukan tindak pidana mens rea dan tindakan hukumnya actus reus merupakan niat dan tindakan dari PT.KNDI untuk menggelapkan dana
sistim TPTI, yakni hak-hak lingkungan yang semestinya dialokasikan untuk mempertahankan kelestarian fungsi hutan.dengan bekerja sama atau berkonspirasi
dengan unsur pengawasan yang berwenang, yakni Kepala Dinas Kehutanan Kab. Madina.
152
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal 84 “Pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan,
dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan.
153
Bismar Nasution, Ibid
Universitas Sumatera Utara
Pembuat UU Kehutanan menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban hukum bagi pemegang IUPHHK untuk membayar PSDH dan DR, yakni:
“Setiap pemegang IUPHHK wajib membayar PSDH dan DR atas kayu hasil hutan yang telah ditebang dari dalam RKT yang telah disahkan. Pemungutan PSDH dan DR
didasarkan pada laporan hasil cruising LHC pohon yang akan ditebang dan laporan hasil produksi LHP untuk kayu bulat. PSDH dan DR merupakan penerimaan negara
bukan pajak PNBK” vide pasal 47 ayat 1 huruf h, ayat 4 huruf e, pasal 48 ayat 1 4 5 huruf a,b PP No. 34 tahun 2002 dan pasal 3 ayat 1 huruf a PP No. 35,
tentang Dana Reboisasi. Frasa “wajib membayar PSDH dan DR” menetapkan prinsip keharusan bagi
pemegang IUPHHK untuk membayar nilai PSDH dan DR kepada negara dan Hak Negara untuk menerimanya atas usaha pemanfaatan pohon kayu yang telah ditebang
sebagaimana mestinya,
154
Frasa “Pemungutan PSDH didasarkan pada LHC dan LHP” mengandung arti bahwa dasar atau prinsip pengenaan dan pemungutan PSDH didasarkan pada: 1
LHC, yakni laporan hasil ITSP atau cruising atau penomoran pada pohon kayu yang akan ditebang di dalam RKT yang pelaksanaannya 1 satu tahun sebelum waktu
penebangan; dan 2 LHP, yakni laporan hasil produksi penebangan kayu di dalam blok tebangan berdasarkan LHC. Artinya, bahwa pemungutan dan pengenaan
PSDH hanya didasarkan pada LHC dan LHP atas kayu yang berasal dari dalam blok
154
Pengertian “sebagaimana mestinya” dalam hukum administrasi negara adalah tidak boleh menyimpang dari cara yang diatur dalam perundang-undanagan vide Penjelasan pasal 10 dari UU No.
10 tahun 2004, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
tebangan dengan IUPHHK. Sedangkan kayu yang berasal dari luar RKT atau blok tebangan dirampas dan dilelang untuk negara vide pasal 78 ayat 15 dan pasal 79
ayat 1 UU Kehutanan. Dalam perspektif hukum keuangan negara, UU No. 17 tahun 2003 tentang
keuangan negara menetapkan bahwa keuangan negara antara lain: 1 Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara vide pasal 1 angka 9 UU No 17 tahun
2003. Berdasarkan hukum kehutanan, dikenal dengan penerimaan negara bukan pajak PNBP yang bersumber dari IIUPH, PSDH dan DR vide pasal 48 ayat 1 PP
No. 34 tahun 2002 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; 2 Kekayaan negara daerah
yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang vide pasal 2 huruf g UU No 17 tahun 2003; dan 3 Kekayaan pihak lain yang
diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dalam penjelasan pasalnya “Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i
meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementrian negaralembaga, atau
perusahaan negaradaerah” vide pasal 2 huruf i UU No 17 tahun 2003. Dalam hukum kehutanan, yang dimaksud dengan kekayaan negara adalah hasil hutan dan
barang lainnya baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 dilelang untuk negara vide pasal
79 ayat 1 UU Kehutanan. Hasil hutan antara lain berupa pohon kayu vide Penjelasan pasal 4 UU Kehutanan.
Universitas Sumatera Utara
Dari pengertian keuangan negara dalam UU No 17 tahun 2003, maka penerimaan negara bukan pajak PNBP yang bersumber dari IIUPH, PSDH dan DR
adalah bagian dari keuangan negara dalam bentuk kekayaan negara yang bersumber dari hasil hutan kayu pada hutan alam yang diperoleh pihak lain dengan pemberian
fasilitas berupa HPH atau IUPHHK atas kebijaksanaan pemerintah. Jadi apabila nilai PSDH dan DR itu tidak disetorkan kepada negara sebagaimana mestinya, maka
dipastikan adalah menjadikan kerugian negara. “Kerugian” artinya bersifat menanggung atau menderita rugi tidak dapat laba,
tidak mendapat faedah atau manfaat, sesuatu yang kurang atau mudarat, sesuatu yang dianggap mendatangkan rugi.
155
UU Perbendaharaan negara merumuskan pengertian tentang “Kerugian negaradaerah” adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan
pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai vide pasal 1 angka 22 UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Dakwaan JPU tentang perbuatan yang bersifat melawan hukum, adalah bahwa PT.KNDI tidak melaksanakan kewajiban membayar PSDH dan DR atas kayu hasil
hutan yang telah ditebang dari dalam RKT yang telah disahkan” selama tahun 2000 sd tahun 2005 sehingga negara mengalami kerugian sebesar Rp. 108.911.266.400
seratus delapan milyar sembilan ratus sebelas juta dua ratus enam-puluh enam ribu empat ratus rupiah, ditambah dengan nilai PSDH sebesar Rp. 10.891.126.640 sepuluh
155
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta; Balai Pustaka- 2005 hal 966.
Universitas Sumatera Utara
milyar delapan ratus sembilan puluh satu juta seratus dua puluh enam ribu enam ratus empat puluh rupiah dan ditambah lagi dengan nilai DR sebesar US 2.938.556,24 dua
juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam, koma dua puluh empat dollar Amerika Serikat.
Pertimbangan hukum judex facti pada putusan Nomor : 2240Pid.B2007 PN.Mdn tanggal 5 November 2007 pada hal 317 terhadap dakwaan unsur “secara
melawan hukum” menyatakan: “Menimbang, bahwa kewajiban perusahaan telah dibayar lunas
seluruhnya dan bukti-bukti pembayarannya telah diajukan sebagai bukti didalam perkara ini, dan hal ini sesuai dengan foto copy bukti transfer
pembayaran IHH, PSDH dan DR serta surat Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara kepada pimpinan PT.KNDI yang diajukan oleh penasehat
hukum terdakwa sebagai lampiran dari Nota Pembelaannya, yang menerangkan pada pokoknya bahwa PSDH dan DR telah lunas dibayar”.
Dengan pertimbangan hukum tentang “foto copy bukti transfer pembayaran IHH, PSDH dan DR dan surat Dinas Kehutanan Propinsi Sumut yang menerangkan
bahwa PSDH dan DR telah lunas dibayar. Dengan fakta hukum itu, judex facti memandang “bahwa Terdakwa ADELIN LIS selaku Direktur Keuangan PT. KNDI
telah melaksanakan kewajiban hukumnya untuk membayar PSDH dan DR dalam tahun 2000 sd tahun 2005, oleh karena itu tidaklah terbukti dakwaan JPU tersebut”.
Dari satu sisi pandangan judex facti tersebut dapat dibenarkan, akan tetapi menjadi pertimbangan utama adalah legalitas asal usul kayu dan dasar perhitungan PSDH dan
DR, sebab disana ada fakta perbuatan melawan hukum, yakni perbuatan menebang pohon kayu diluar RKT yang disahkan diizinkan. Pandangan judex facti ini telah
Universitas Sumatera Utara
bertentangan dengan prinsip legalitas kepemilikan dan pengangkutan atas hasil hutan kayu dengan IUPHHK, yang menetapkan: “Pembayaran PSDH dan DR didasarkan
pada LHC dan LHP pohon kayu dalam RKT yang telah disahkan”dan bukti Pembayaran PSDH dan DR sebagai dasar penerbitan SKSHH dan SKSHH sebagai
bukti hukum atau legalitas kepemilikan hasil hutan kayu vide pasal 1 angka 19 dan pasal 75 ayat 2 PP No. 34 tahun 2002 dan pasal 12 ayat 1 2 PP No. 45 tahun
2004. Artinya, tidak ada pembayaran PSDH dan DR atas hasil hutan kayu yang diperoleh dari perbuatan melawan hukum. Legalitas kepemilikan dan pengangkutan
atas pohon kayu yang diperoleh dari perbuatan melawan hukum, yakni berasal dari luar blok tebangan atau RKT yang disahkan harus melalui: “pengenaan sanksi
administratif berupa denda 15 lima belas kali PSDH terhadap volume kayu hasil penebangan yang dilakukan diluar blok tebangan yang diizinkan vide pasal 91 ayat
1 huruf b angka 4 PP. No. 34 tahun 2002 dan terhadap kayu tersebut dilelang dan dirampas untuk negara vide pasal 78 ayat 15 dan pasal 79 ayat 1 UU Kehutanan
yo pasal 53 ayat 2 4 PP No. 45 tahun 2004, tentang perlindungan hutan. Semestinya judex facti menjadikan fakta foto copy bukti transfer pembayaran
IHH, PSDH dan DR dijadikan pertimbangan hukum untuk menyatakan bahwa Terdakwa ADELIN LIS: “terbukti menggunakan foto copy bukti transfer pembayaran
PSDH dan DR untuk menyatakan bahwa seolah-olah penebangan pohon kayu benar dilakukan didalam RKT yang disahkan sebagaimana mestinya” dan “surat Dinas
Kehutanan Propinsi Sumut yang menerangkan bahwa PSDH dan DR telah lunas dibayar” dijadikan pertimbangan hukum untuk menyatakan Pejabat Dinas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
tersebut turut serta dalam melakukan perbuatan melawan hukum, yakni tindakan pembiaran ommisi terhadap sifat melawan hukum dalam bentuk “dengan sengaja
menerbitkan SKSHH fiktif untuk melindungi pengangkutan kayu yang diperoleh secara melawan hukum”. vide pasal 1 angka 19 dan pasal 75 ayat 2 PP No. 34
tahun 2002 dan pasal 12 ayat 1 2 PP No. 45 tahun 2004. Tidak membayar PSDH dan DR sebagaimana mestinya adalah perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban hukum pemegang IUPHHK dan medan prinsip- prinsip pengenaan PSDH dan DR atas kayu hasil hutan yang telah ditebang dari
dalam RKT yang telah disahkan yang ditetapkan oleh perundang-undangan yang berlaku.
Ad.4. Tentang “Kewajiban mengalokasikan saham PT. KNDI sebesar 45 kepada pihak ketiga, yakni: Koperasi setempat, BUMD dan Lembaga Pendidikan setempat”.
Pembuat UU Kehutanan menetapkan filosofi pemanfaatan hutan adalah untuk kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga
kelestariannya vide pasal 23 UU Kehutanan oleh karena itu ditetapkan ketentuan yang berkaitan dengan upaya mensejahterakan masyarakat, yakni kewajiban hukum
bagi pemegang IUPHHK untuk wajib melakukan kerja sama dengan koperasi masyarakat setempat vide pasal 30 UU Kehutanan. Peraturan untuk menjalankan
ketentuan pasal undang-undang tersebut ditetapkan dalam PP. No. 34 tahun 2002, pasal 47 ayat 6 menetapkan: “BUMN,BUMD,BUMS pemegang HPHIUPHHK
selain melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 4 5, juga wajib melaksanakan kerjasama dengan koperasi masyarakat setempat paling lambat 1
Universitas Sumatera Utara
satu tahun setelah diterimanya izin; pasal 47 menetapkan: “Bentuk kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 6 dapat berupa: a. Penyertaan saham; b.
Kerjasama usaha segmen kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan” dan telah diubah dengan PP. 6 tahun 2007, pasal 72 1 Selain melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71, BUMN, BUMD, BUMS, pemegang IUPJL, IUPHHK dan IUPHHBK, wajib melakukan kerjasama dengan koperasi masyarakat setempat,
paling lambat 1 satu tahun setelah diterimanya izin. 2 Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan peraturan
Menteri. Untuk mewujudkan cita-cita hukum tentang kesejahteraan masyarakat, maka
ketentuan tersebut dirujuk secara khusus oleh Menhut RI dalam Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 805Kpts-VI99 tanggal 30 September
1999 tentang IUPHHK an. PT.KNDI yang antara lain menyebutkan: “Perusahaan harus mengikutsertakan Koperasi Koperasi Masyarakat setempat dan Koperasi Sinar
Meranti 25 sebagai hak kompensasi masyarakat 15 dialihkan langsung pada saat Koperasi terbentuk dan 10 diangsur selama 5 tahun dengan hak opsi kenaikan
1 setiap tahun, Lembaga Pendidikan setempat 10 dan Badan Usaha Milik Daerah BUMD 10 sebagai Pemegang Saham Perusahaan”.
Konsekwensi keputusan Menhut RI selaku pejabat tata usaha negara atau administrasi negara tersebut, dalam Kepmenhut RI nomor: 805Kpts-VI99, tanggal
30 September 1999, tentang IUPHHK PT. KNDI selain menetapkan batasan nilai yang wajib dikompensasikan dalam bentuk kerjasama, juga ditetapkan batas waktu
Universitas Sumatera Utara
realisasi pengalokasian saham dan akibat hukumnya jika tidak direalisasikan, yakni: paling lambat 2 dua tahun terhitung mulai tanggal diterbitkannya IUPHHK
PT.KNDI, yakni tanggal 30 September 1999, harus sudah terealisasikan kerja sama tersebut.
“ Pada diktum KETIGA butir 1 menetapkan “Pengalihan saham PT KNDI kepada Koperasi, Lembaga Pendidikan setempat dan BUMD harus
direalisasikan selambat-lambatnya dalam waktu 2 dua tahun sejak diterbitkannya Keputusan ini”. Pada diktum KEEMPAT butir 1, “Apabila
PT KNDI tidak merealisasikan pengalokasian saham Koperasi, Lembaga pendidikan dan BUMD, sebagaimana amar KETIGA butir 1 satu, maka
Keputusan ini dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi”.
Frasa “selambat-lambatnya dalam waktu 2 dua tahun sejak diterbitkannya Keputusan ini” menunjuk tempo waktu efektif untuk merealisasikan kewajiban
hukum PT.KNDI, yakni, sejak tanggal 30 September 1999 sd 30 September 2001. Fakta dalam persidangan terbukti, bahwa PT.KNDI tidak ada samasekali
merealisasikan kewajiban hukumnya mengalokasikan saham perusahaan sehingga demi hukum IUPHHK No: 805Kpts-VI99, sejak tanggal 01 Oktober 2001
dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi tanpa memerlukan keputusan beschikking.
Dari perspektif hukum administrasi negara, keputusan Menhut RI No: 805Kpts-VI99, adalah ketetapan tertulis schriftelijke beschikking dari badan atau
pejabat tata usaha negara bersifat konkret, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata pasal 1 ayat 3 UU No. 5 tahun
Universitas Sumatera Utara
1986, tentang PTUN.
156
Bersifat konkret dimaksudkan adalah keputusan pejabat tata usaha negara berbentuk HPHIUPHHK dan pengesahan RKT, bersifat individual
adalah diberikan khusus terhadap PT.KNDI, bersifat final adalah sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
157
Bahwa ketentuan di dalam Amar KEEMPAT butir 1 dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi
dalam pelaksanaannya tidak memerlukan keputusan Beschiking lagi. melainkan bersifat batal demi hukum Nietigbaar, bukan dapat dibatalkan
Vernietigbaar. Oleh Djenal Hoesen Koesoemahatmadja,
158
menyatakan istilah “Ketetapan yang batal karena hukum nietig van rechtswege berarti, bahwa akibat
sesuatu perbuatan, untuk sebagiannya, atau untuk seluruhnya, untuk hukum dianggap tidak ada, tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau badan pemerintahan lain,
yang kompeten untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruh akibat itu”.
159
Dalam persidangan terungkap fakta bahwa PT. KNDI tidak ada merealisasikan pengalokasian sahamnya kepada pihak ketiga Koperasi Masyarakat setempat dan
156
Penjelasan Pasal 1 ayat 3 UU No 5 tahun 1986, tentang PTUN sebagai berikut: Istilah ‘penetapan tertulis’terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada keputusan yang dikeluarkan oleh
Badan atau pejabat tata usaha negara. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.
Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau
pejabat tata usaha negara menurut undang-undang ini apabila sudah jelas: a. Badan atau pejabat tata usaha negara mana yang mengeluarkannya; b. maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; c. kepada
siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya. Badan atau pejabat tata usaha negara adalah pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.Tindakan hukum
tata usaha negara adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat tata usaha negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang
lain.
157
Penjelasan Pasal 1 ayat 3 UU No 5 tahun 1986, tentang PTUN Baca juga pasal 2 huruf a sampai g dan penjelasannya tentang yang tidak termasuk jenis Keputusan Tata Usaha Negara.
158
Dikutip dari E. Utrecht dalam Buku: Djenal Hoesen Koesoemahatmadja dalam bukunya yang berjudul: Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, Bandung: Alumni-1979 hal 64
159
Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Ibid hal 65
Universitas Sumatera Utara
Koperasi Sinar Meranti, Lembaga Pendidikan setempat, BUMD sampai waktu yang ditentukan dalam izinnya. Pertimbangan hukum dalam putusan judex facti terhadap
fakta persidangan tentang “Kewajiban hukum mengalokasikan saham”, yakni: 1 “bahwa benar PT. KNDI tidak ada merealisasikan kewajibannya kepada
Koperasi setempat, BUMD dan Lembaga Pendidikan setempat karena tidak adanya petunjuk teknis tentang hal tersebut,” dinyatakan pada hal 318, sebagai berikut:
“... kewajiban perusahaan dalam hal mengikut sertakan Koperasi, lembaga pendidikan setempat dan BUMD, namun hal tersebut tidak dapat
terealisasi karena adanya kendala dalam hal belum adanya petunjuk teknis tentang hal tersebut... dst”.
Bahwa kewajiban “mengalokasikan dan merealisasikan saham perseroan kepada pihak ketiga” adalah suatu janji yang halal atau sah karena berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku pasal 1337 KUHPerdata, yakni UU Kehutanan, PP. No. 34 tahun 2002, Kep Menhut RI dan kesanggupan oleh warga
negara yang dinyatakan secara tertulis dalam sebuah surat keputusan pejabat tata usaha negara akte autentik yang wajib dipatuhinya tanpa alasan termasuk alasan
“belum adanya petunjuk teknis”. Perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Apa yang diperjanjikan haruslah
dipenuhi, sebab janji itu mengikat sebagai undang-undang pasal 1338 ayat 1
Universitas Sumatera Utara
KUHPerdata, sedangkan yang harus dipenuhi itu sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, asas keadilan.
160
Semestinya, judex facti menjadikan SK Menhut RI No. 805Kpts-VI99 tertanggal 30 September 1999, sebagai petunjuk pelaksanaan dan teknis
pengalokasian saham, karena SK tersebut telah menetapkan: pihak yang berhak atas saham perusahaan, prosentase pengalokasian saham, limit waktu realisasi saham, dan
akibat hukumnya jika tidak merealisasikan saham, namun hal itu tidaklah dipertimbangkan dan pelanggaran atas SK Menhut RI itu adalah pelanggaran
terhadap undang-undang. 2 “bahwa kewenangan pencabutan ijin HPH harus dilakukan dengan SK.
Menhut RI”, dinyatakan pada hal 318, sebagai berikut: “... sesuai dengan ketentuan yang tertuang didalam PP No.9 tahun
1999, tentang pengusahaan hasil hutan dan pemungutan hasil hutan pada hutan produksi pada pokoknya menguraikan bahwa pencabutan ijin HPH
harus dilakukan dengan Surat Keputusan Menhut RI setelah melalui tahapan-tahapan proses sebagaimana ditentukan; dan berdasarkan fakta
yang terungkap dipersidangan bahwa terhadap ijin HPH PT.KNDI hingga saat ini belum pernah dilakukan pencabutan, dan masih dianggap sah
berlaku. Hal ini sesuai dengan surat Menhut RI No. S-259Menhut- VI2006, tanggal 21 April 2006 yang ditujukan kepada Kapolda Sumut”.
Semestinya judex facti menjadikan ketentuan PP No.9 tahun 1999 tersebut sebagai dasar dalam pertimbangan hukumnya untuk menyatakan pihak pejabat dinas
kehutanan yang melakukan tindakan pembiaran ommisi terhadap sifat melawan hukum Terdakwa ADELIN LIS selaku Direktur Keuangan Umum PT.KNDI yang
160
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni-1982 hal 95-99
Universitas Sumatera Utara
tidak melaksanakan kewajiban hukumnya selama 2 dua tahun sejak tanggal 01 September 1999 sampai tanggal 30 September 2001 yakni: “mengalokasikan
sahamnya kepada pihak ketiga”. Bukti pembiaran ommisi adalah: tidak dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan terhadap izin PT.KNDI sejak tanggal 01
Oktober 2001 sampai tanggal 21 Oktober 2007 walaupun akhirnya SK Menhut RI No. 805KptsVI1999, tanggal 30 Septemeber 1999 dicabut dengan SK Menhut RI
No. SK.351MenhutII 2007, tanggal 22 Oktober 2007. Bukti pengenaan sanksi administratif oleh Menhut RI sebagai bukti adanya unsur pembiaran ommisi karena
kewenangan pengawasan tidak berjalan sebagaimana mestinya. S.R. Sianturi,
161
PT.KNDI tidak secara nyata bekerja sama konkret dengan pihak ketiga yakni: Koperasi setempat, BUMD dan Lembaga Pendidikan setempat” dalam bentuk
pengalokasian saham PT. KNDI sebesar 45 adalah bentuk perbuatan melawan hukum yang ditetapkan dalam pasal 2, pasal 23, pasal 30 UU Kehutanan, PP. No. 34
tahun 2002, pasal 47 ayat 6 dan PP. 6 tahun 2007, pasal 72 1 serta Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 805Kpts-VI99 tanggal 30 September
1999 dan bertentangan dengan filosofi mensejahterakan masyarakat dan prinsip keadilan dan kebersamaan dalam pemanfaatan hutan.
“tidak melakukan suatu tindakan yang diharuskan disebut sebagai delik omisi ommissie delict atau tindakan pasif passive handeling yang diharuskan”.
Dalil-dalil JPU tentang “secara melawan hukum” sebagai berikut:
161
E.Y.Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta; Storia Grafika-2002, hal 237
Universitas Sumatera Utara
“bahwa perbuatan melawan hukum tidak sama atau identik dengan tindak pidana atau perbuatan pidana oleh karena yang dimaksud dengan
melawan hukum adalah suatu kewajiban atau larangan yang ditetapkan oleh suatu peraturan tertulis dan apabila tidak dilaksanakan maka
mengakibatkan suatu tindak pidana. Contoh: Seorang pegawai negeri yang membeli barang untuk keperluan kantor dengan harga yang tidak
sebenarnya mark up. Dalam hal ini tentunya perbuatan mark up bukan merupakan tindak pidana melainkan suatu perbuatan melawan hukum
yang mengakibatkan kerugian negara yang diancam dengan Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Contoh lain seorang
kontraktor mengerjakan pekerjaan proyek tidak sesuai dengan bestek. Dalam hal ini perbuatan mengerjakan tidak sesuai bestek bukan
merupakan tindak pidana yang ada sanksi pidananya melainkan suatu perbuatan melawan hukum.”
Pertimbangan hukum judex facti pada putusan Nomor : 2240Pid.B2007 PN.Mdn tanggal 5 November 2007 pada halaman 310 dan hal 314 terhadap dakwaan
unsur “secara melawan hukum” menyatakan: “Menimbang bahwa oleh karenanya untuk mempertimbangkan
unsur ” secara melawan hukum” ini Majelis Hakim berbeda pandang dengan Jaksa Penuntut Umum yang didalam surat tuntutannya masih
menggunakan pengertian dengan faham lama berdasarkan penjelasan asli pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 31 tahun 1999, namun Majelis Hakim
berpandangan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003PUU-IV2006 tanggal 25 Juli 2006 pengertian secara melawan
hukum di dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 31 tahun 1999 dalam pengertian formil harus ada ketentuan perundang-undangan yang
dilanggar dan perbuatan tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana.”
“Majelis Hakim PN. Medan dapat menerima dakwaan Jaksa Penuntut Umum, bahwa telah terjadi perbuatan melawan hukum, antara
lain: 1 tidak melakukan sistem silvikultur TPTI; 2 penebangan pohon kayu dilakukan diluar RKT PT.KNDI; 3 tidak melaksanakan Timber
Cruising dan pembuatan laporan hasil cruising LHC.
“Bila seandainyapun PT. KNDI melakukan pelanggaran terhadap larangan dan tidak melaksanakan kewajiban hukumnya dalam hal
Universitas Sumatera Utara
mengimplementasikan hak pemanfaatan hasil hutan kayu, maka hal tersebut bukanlah merupakan perbuatan pidana, tetapi pelanggaran
administratif sesuai dengan ketentuan di dalam PP. No. 34 tahun 2002”.
Judex facti dalam putusannya pada hal 316-317 “apabila telah ditetapkan sanksi
administratif dalam peraturan PP No. 34 tahun 2002, maka tidak dapat lagi dikenakan sanksi pidana”. Majelis hakim pada PN. Medan telah salah memahami dan
menerapkan hukum sebagaimana mestinya, yakni pasal 80 ayat 1 2 UU Kehutanan yang berbunyi:
1 Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang
ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk
membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi
hutan, atau tindakan lain yang diperlukan. 2
Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar
ketentuan di luar ketentuan pidanasebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.
3 Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Inti rumusan pasal 80 ini menetapkan sanksi yang bersifat komulatif, yakni “pengenaan ganti rugi tidaklah mengurangi sanksi pidana pasal 78, khusus bagi
pemegang izin yang melakukan tindak pidana pasal 78 ditambah dengan sanksi administratif. Sanksi pidanamana ditetapkan dalam Pasal 78 UU Kehutanan,
ketentuan ganti rugi ditetapkan dalam pasal 45-46 PP.No. 45 tahun 2004, tentang perlindungan hutan, dan ketentuan sanksi adminitratif ditetapkan dalam pasal 86-98
Universitas Sumatera Utara
PP.No. 34 tahun 2002 dan tidak ada satu pasal pun dalam PP No. 34 tahun 2002 yang menyatakan “apabila telah ditetapkan sanksi administratif dalam peraturan PP No. 34
tahun 2002.” Yang ada adalah “sanksi administrasi berupa denda atas volume kayu yang diperolah secara terlarang”.
Tersebut pada ad 1 sampai ad 4 diatas adalah kewajiban hukum yang menjadi syarat tertulis dalam IUPHHK an.PT.KNDI yang ditetapkan oleh Menhut RI.
Penetapan kewajiban hukum tersebut didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yakni UU Kehutanan, PP No. 34 tahun 2002, PP No. 35 tahun 2002,
dan PP. No.45 tahun 2004. Penjelasan pasal 2 ayat 1 UUPTPK menetapkan:
” Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materil,
yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”
Hasil uji materi atas penjelasan pasal 2 ayat 1 UUPTPK dalam putusan MK No. 003PUU-IV2006, tanggal 25 Juli 2006 telah diberikan batasan terhadap
perbuatan melawan hukum wederrechtelijk merupakan bestaan deel delict yakni harus ditafsirkan hanya perbuatan melawan hukum formil karena dipandang
bertentangan dengan asas kepastian hukum yang dimuat dalam pasal 28D ayat 1
Universitas Sumatera Utara
UUD 1945.
162
162
Putusan MK No.003PUU-IV2006, hal 77-78 memutuskan: Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150 sepanjang
frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana
” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut pandangan Majelis Hakim PN. Medan, terhadap putusan MK tersebut, pengertian “perbuatan melawan hukum” didalam pasal 2 ayat 1 UUPTPK
hanya dilihat dalam pengertian formil saja dalam arti harus ada ketentuan perundang- undangan hukum tertulis yang dilanggar dan perbuatan tersebut dinyatakan sebagai
tindak pidana.” Dalam pandangan penulis terhadap putusan MK tersebut tidak melihat adanya kalimat yang menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum dalam
pengertian formil harus ada ketentuan perundang-undangan hukum tertulis yang dilanggar dan perbuatan tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana. Tetapi
memutuskan bahwa: “perbuatan melawan hukum dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut
dapat dipidana ” dinyatakan tidak mengikat secara hukum karena bertentangan
Universitas Sumatera Utara
dengan Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
163
Oleh karena itu, pendapat hukum MARI dalam putusan No. 68.KPID.SUS2008, tanggal 31 Juli 2008 hal 297-298 tentang pengertian “perbuatan
melawan hukum” merujuk pada yurisprudensi perkara Lindenbaum Cohen tahun 1919 dalam arti luas, yakni:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku; 2. Melanggar hak subyektif orang lain; 3. Melanggar kaidah tata susila; atau 4.
Bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga
masyarakat atau terhadap harta benda orang lain; Yurisprudensi ini dalam putusannya mempergunakan kata-kata “ataukah”.....”atau” dengan
demikian untuk adanya suatu perbuatan melanggar hukum tidak disyaratkan adanya keempat hal di atas secara kumulatif. Dengan
dipenuhinya salah satu, secara alternatif, telah terpenuhi pula syarat untuk suatu perbuatan melanggar hukum.”
Oleh sebab itu pertimbangan hukum MARI pada hal 302 menyatakan: “Pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan hukum tersebut termasuk dalam
kwalifikasi bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku, yang merupakan salah satu kriteria perbuatan melawan hukum” in ca’su didasarkan pada yurisprudensi
perkara Lindenbaum Cohen tahun 1919, yakni bertentangan dengan kewajiban
163
Putusan MK No.003PUU-IV2006, hal 83-84 Menyatakan kata “dapat” dalam frasa “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, pada Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, beserta penjelasan-penjelasannya dan kalimat,
“... maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana
” dinyatakan tidak mengikat secara hukum karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Universitas Sumatera Utara
hukum sipelaku. Jadi, menurut pandangan peneliti, bahwa perbuatan melawan hukum dalam kasus a quo telah bertentangan dengan kewajiban hukum Terdakwa ADELIN
LIS selaku Direktur Keuangan PT.KNDI wajib melaksanakan sistim TPTI, membayar PSDH dan DR, mengalokasikan saham perseroan kepada pihak ketiga
dan melanggar hak orang lain hak Negara dalam bentuk PNBP yang bersumber dari PSDH dan DR, hak kompensasi masyarakat setempat dalam bentuk kerjasama berupa
pengalokasian saham perseroan kepada BUMD, Koperasi dan Lembaga Pendidikan, hak lingkungan, yakni merehabilitasi lahan kritis adalah bersifat melawan hukum
formil. Pendapat MARI tersebut telah mampu mengakomodir filosofi, maksud dan
tujuan pembentukan UU No. 41 tahun 1999, sebagai pengganti dari UU No. 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, yakni mensejahterakan
masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian hutan dan bagi pelanggar hukum bidang kehutanan dikenakan sanksi yang bersifat kumulatif, yakni sanksi pidana, ganti rugi
dan administratif. Pengenaan ganti rugi dimaksudkan untuk biaya merehabilitasi hutan yang rusak akibat perbuatan pelakunya dan sanksi administratif untuk
menyelamatkan kondisi hutan yang tersisa dan mengembalikan kerugian atas hilangnya kekayaan negara berupa hasil hutan serta menimbulkan efek jera bagi
pelakunya sebagaimana dalam penjelasan umum UU kehutanan menyebutkan: “...dalam undang-undang ini dicantumkan ketentuan pidana, ganti rugi,
sanksi administrasi, dan penyelesaian sengketa terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dibidang kehutanan. Dengan
sanksi pidana dan administrasi yang besar diharapkan akan menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan.”
Universitas Sumatera Utara
b. Unsur “perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi” Menurut pandangan Judex facti, bahwa perbuatan melawan hukum dalam
pasal 2 ayat 1 UUPTPK adalah merupakan suatu “sarana” untuk mencapai
maksud dan tujuan yang diinginkan oleh pelakunya, yakni memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
164
164
Putusan PN. Medan No. 2240Pid.B2007PN.Mdn, hal 309
Pandangan judex facti tersebut sejalan dengan pandangan penyidik dalam penyidikannya dan JPU dalam dakwaan dan
tuntutannya, yakni Terdakwa tidak melakukan kewajiban hukumnya sebagai “sarana” untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara berkelanjutan mulai
tahun 2000 sd tahun 2005 untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi”. Fakta-fakta tersebut ada dalam penyidikan tindak pidana pencucian
uang dan dalam perhitungan ahli dari BPKP wilayah Sumatera Utara. Upaya Terdakwa untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
dilakukan dengan cara menjual kayu yang ditebang diluar RKT oleh PT KNDI dan hasil olahan kayu oleh PT Mujur Timber sebesar Rp. 83.112.016.591
delapan puluh tiga milyar seratus dua belas juta enam belas ribu lima ratus sembilan puluh satu rupiah, mulai dari proses penempatan placement,
transfer layering, sampai pada tahap menggunakan harta kekayaan integration melalui transaksi penyedia jasa keuangan ditransfer ke:
Universitas Sumatera Utara
1 Rekening nomor: 0057862071 untuk investasi membangun usaha
perkebunan PT. Sinar Gunung Sawit Raya SGSR di Kec. Manduamas, Kab. Tapteng ke sebesar Rp. 33,045,000,000.00,- tiga puluh tiga milyar empat
puluh lima juta rupiah, dimana tersangka ADELIN LIS menjabat selaku Direktur Utama dan pesaham yang diberi hak dan wewenang oleh perusahaan
PT.SGSR untuk mengelola dan menggunakan uang pada rekening tersebut dan menandatangani CekBilyet Giro rekening perusahaan;
2 Rekening nomor: 105-0178000026 An. PT. Mujur Timber sebanyak 39
Tiga Puluh Sembilan kali tansaksi dengan nilai total Rp. 25,050,000,000.00 Dua Puluh Lima Milyar Lima Puluh Juta Rupiah, dimana ADELIN LIS selaku
direktur dan pesaham dalam PT. Mujur Timber; 3
Rekening nomor : 008-031288-001 atas nama ADELIN LIS pada Bank HSBC cabang Medan dari rekening nomor : 0020001783 pada Bank Buana
Indonesia cabang Medan atas nama ADELIN LIS periode bulan Mei 2003 sd penutupan rekening sebanyak 13 tiga belas kali transaksi dengan nilai total
Rp. 10.550.000.000,00 sepuluh milyar lima ratus lima puluh juta; 4
Untuk membiayai pembelian tiket pesawat di Travel King Star Medan untuk perjalanan pejabat Bupati Kab. Madina dan pejabat dinas kehutanan pada
tahun 2000 sampai tahun 2005 sebesar Rp 282.757.000,00 dua ratus delapan
puluh dua juta tujuh ratus lima puluh tujuh ribu.
Universitas Sumatera Utara
Unsur “perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” tidak lagi dipertimbangkan judex facti dalam putusannya pada hal
319, dengan alasan bahwa unsur melawan hukum tidak terbukti. “Menimbang, bahwa berdasarkan uraian dan pertimbangan kami
tersebut diatas, maka unsur “melawan hukum” dalam hal ini melawan hukum pidana, tidaklah terbukti.
Menimbang, bahwa oleh karena salah satu unsur tidak terbukti, maka unsur selain dan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi, dan
terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan Kesatu Primair tersebut diatas.”
Pandangan judex facti tentang melawan hukum dalam pasal 2 ayat 1
UUPTPK adalah merupakan suatu “sarana” untuk mencapai maksud dan
tujuan yang diinginkan oleh pelakunya, yakni memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi vide putusan judex facti pada hal 309 bandingkan
dengan pertimbangan hukum judex facti pada hal 316 dan 318 menyatakan: bahwa “seandainya terjadi pelanggaran terhadap kewajiban hukumnya maka hal
tersebut merupakan pelanggaran administratif sesuai dengan ketentuan didalam PP.No.34 tahun 2002.” Dari kedua pertimbangan hukum judex facti tersebut,
semestinya Majelis Hakim PN. Medan wajib mempertimbangkan unsur “perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” untuk
membuktikan adanya korelasi antara perbuatan melawan hukum sebagai
“sarana” untuk tujuan yang diinginkan mens rea yakni untuk memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Universitas Sumatera Utara
Soedjono Dirdjosisworo,
165
menyebutkan: “Kebenaran sejati adalah kebenaran yang tidak didasarkan atas tindakan formalitas untuk mencap
“penjahat”, melainkan lebih dititik beratkan pada cara mengungkapkan fakta untuk memperoleh kenyataan obyektif, agar bisa membebaskan yang benar dan
memberi imbalan terhadap mereka yang bersalah. Dalam peradilan pidana di
Indonesia menganut “inquisitorial sytem”,
166
Seandainya itu dilakukan, maka putusan judex facti pastilah memutuskan bahwa: “pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan hukum administrasi
negara termasuk dalam kwalifikasi bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku, yang merupakan salah satu kriteria perbuatan melawan hukum dalam
pasal 2 ayat 1 UU PTPK”. Tentu pertimbangan hukum yang demikian itu pastilah sejalan dengan pandangan MARI dalam putusannya pada hal 302
menyatakan: “Pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan hukum tersebut termasuk dalam kwalifikasi bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku,
yang merupakan salah satu kriteria perbuatan melawan hukum” dan MARI tidak akan membuat suatu penilaian terhadap putusan judex facti yang
yakni memberikan kewenangan kepada Hakim untuk lebih aktif guna melakukan pemeriksaan secara
komprehensif menggali fakta melalui bukti-bukti yang telah dikumpulkan pada tingkat penyidikan,
165
Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perpandingan Hukum Bandung: Armico-1984 hal 25
166
Soedjono Dirdjosisworo, Ibid: Metode Untuk Menemukan Fakta: 1 Metode bersifat akusitor
Amerika Kontinental: Anglo-Amerika: Common Law USA, Inggris, adalah Hakim bersifat pasif, juri dan Jaksa bersifat aktif atau akuisitorial sistem; 2 Metode bersifat inkuisitor Eropa
kontinental: civil law: Belanda, Jerman, Hakim bersifat aktif atau inkuisitorial sistem.
Universitas Sumatera Utara
menyatakan: bahwa ternyata judex facti keliru dalam menilai unsur secara melawan hukum” vide putusan MARI hal 297..
Fakta penyidikan dalam tindak pidana pencucian uang menjadi sia-sia karena tidak diterima oleh JPU status P.19 dengan alasan, “menunggu tindak
pidana asal predicate crime inkracht”. Petunjuk JPU ini selain tidak berdasar juga bertentangan dengan filosofi dan prinsip penegakan hukum tindak pidana
pencucian uang, yakni penuntutannya disatukan dengan pidana asal untuk mengejar pelaku dan menyelamatkan asetnya dalam rangka mengembalikan
kerugian, baik yang diderita oleh negara dan atau individu, follow the suspeck, follow the money and asset recovery
.
167
Pidana asalnya telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan telah berkekuatan hukum tetap inkracht dengan
putusan MARI No. 68.KPID.SUS2008, tanggal 31 Juli 2008, namun sampai penelitian ini dilakukan, penyidikan atas dugaan tindak pidana pencucian uang
sudah hampir 5 lima tahun mengalami stagnasi. Hal ini bertentangan dengan ajaran dalam penegakan hukum pidana tentang metode mencari kebenaran
sejati dalam sistim Eropa Kontinental dengan metode bersifat inkusitor, yakni hakim harus aktif menggali fakta-fakta obyektif bila perlu melakukan sidang
lapangan untuk mengklarifikasi fakta-fakta yang dianggap bertentangan.
168
167
Yenti Garnasih, Loc. Cit, hal 19
168
Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perpandingan Hukum Bandung: Armico-1984 hal 25,
Universitas Sumatera Utara
c. Unsur “merugikan keuangan negara”
Usaha memanfaatkan hasil hutan kayu pada hutan negara dilakukan secara melawan hukum sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri atau
orang lain yang menimbulkan kerugian negara. Dalam pasal 1243 sd 1248 KUHPerdata diatur secara terperinci tentang
kerugian akibat wanprestasi meliputi tiga unsur, yakni: “biaya, kerugian yang sungguh-sungguh diderita, dan keuntungan yang diharapkan. Yurisprudensi,
kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum, ketentuannya sama dengan ketentuan kerugian yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian.
169
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “Kerugian” artinya bersifat menanggung atau menderita rugi tidak dapat laba, tidak mendapat faedah atau
manfaat, sesuatu yang kurang atau mudarat, sesuatu yang dianggap mendatangkan rugi.
170
“Keuangan Negara” adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut” Vide pasal 1 ayat 1 UU No. 17 tahun 2003.
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 17 tahun 2003, meliputi: Kekayaan negarakekayaan daerah yang dikelola sendiri
atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak
169
Abdulkadir Muhammad Ibid hal 146
170
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta; Balai Pustaka- 2005 hal 966.
Universitas Sumatera Utara
lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negaraperusahaan daerah; Vide pasal 2 huruf g UU No. 17 tahun
2003. Pasal 79 ayat 1 UU Kehutanan menetapkan pengertian “Kekayaan
negara meliputi hasil hutan dan barang lainnya baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 78 dilelang untuk Negara.” Berdasarkan pasal 1 angka 13 UU Kehutanan menetapkan: “Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan
turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.” Pengertian tersebut diperjelas dalam pasal 4 UU Kehutanan, yakni:
Hasil hutan tersebut dapat berupa: a. hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-
rumputan, jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan, dan lain-lain, serta bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang dihasilkan oleh tumbuh-
tumbuhan di dalam hutan; b. hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil
penangkarannya, satwa buru, satwa elok, dan lain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya;
c. benda-benda nonhayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan benda-benda hayati penyusun hutan, antara lain berupa
sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda tambang;
d. jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa perburuan, dan lain-lain;
e. hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan- bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer
antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan pulp.
Universitas Sumatera Utara
Dari perspektif UU Kehutanan, bahwa yang dimaksudkan dengan keuangan negara itu meliputi kekayaan negara yang bernilai ekonomis yang
bersumber dari benda-benda hayati, non hayati dan jasa dari hutan. Jadi, barang siapa yang diberikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sama dengan
pemberian hak pemanfaatan kekayaan negara, sehingga izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu bermakna sebagai hakwewenang untuk memanfaatkan
mengelola kekayaan negara. Dalam kasus a quo, PT. KNDI diberikan hakwewenang dalam IUPHHK berdasarkan SK Menhut RI No. 8051999.
Disamping haknya, PT. KNDI diletakkan kewajiban hukum dan beberapa larangan-larangan. Bentuk larangan antara lain “dilarang menebang diluar blok
tebangan RKT yang telah disahkan. Artinya, bahwa PT.KNDI dengan tegas dilarang untuk menebang pohon kayu diluar haknya, hanya terbatas dalam blok
tebangan yang telah disahkan saja, diluar itu adalah perbuatan yang terlarang karena mengambil kekayaan negara tanpa hak sehingga menimbulkan kerugian
keuangan negara. Kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang,
yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai vide pasal 1 angka 22 UU No.1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Fakta hukum tentang keuangan negara dalam kasus a quo antara lain:
“nilai kayu yang telah ditebang tanpa hak atau izin, dan “hak negara dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak PNBP”. PNBP bersumber dari Iuran
Universitas Sumatera Utara
Izin Usaha Hutan IIUPH, PSDH dan DR vide pasal 48 ayat 1 huruf a, b, c PP. No. 34 tahun 2002.
Perbuatan melawan hukum yakni tidak melaksanakan kewajiban hukumnya dan melakukan perbuatan yang terlarang.
Dalam kasus a quo, ditemukan fakta-fakta hukum tentang bentuk dan besaran nilai kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatan melawan
hukum oleh Terdakwa selaku Direktur Keuangan PT.KNDI dan saksi an. Ir. OSCAR SIPAYUNG Direktur Utama PT.KNDI, Ir. WASHINGTON PANE
Direktur Produksi dan Perencanaan PT.KNDI,dan Ir. BUDI ISMOYO Kepala Dinas Kehutanan Kab. Madina, meliputi:
1. Kerugian Nyata eksplisit.
171
Kerugian Nyata eksplisit diketahui berdasarkan hasil perhitungan ahli dari BPKP Wilayah Sumut, yang bersumber dari PNBP meliputi nilai PSDH
dan DR. Kerugian negara ini timbul akibat hilangnya kekayaan negara berupa
hasil hutan kayu yang diperoleh diluar haknya,
172
171
UU No 17 tahun 2003, tentang Keuangan Negara. Op. Cit.
yakni penebangan pohon kayu diluar haknya diluar RKT yang telah disahkan selama tahun 2000 sd
tahun 2005 terdiri dari: nilai kayu sebesar Rp. 108.911.266.400 seratus delapan
172
UU Kehutanan pasal 79 ayat 1 menetapkan: “Kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 dilelang untuk Negara”.
Universitas Sumatera Utara
miliyar sembilan ratus sebelas juta dua ratus enam puluh enam ribu empat ratus rupiah, ditambah dengan nilai PSDH sebesar Rp. 10.891.126.640 sepuluh
miliyar delapan ratus sembilan puluh satu juta seratus dua puluh enam ribu enam ratus empat puluh rupiah, dan nilai DR sebesar US 2.938.556,24 dua
juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat dollar Amerika. Jadi, Kerugian Negara dari nilai kayu dan
PSDH sebesar Rp. 119.802.393.040 seratus sembilan belas miliar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah dalam
tempo 6 enam tahun atau rata-rata kerugian negara sebesar Rp. 19.967.065.506,66 sembilan belas miliar sembilan ratus enam puluh tujuh juta
enam puluh lima ribu lima ratus enam rupiah koma enam puluh enam sen setiap tahun dan nilai DR sebesar US 2.938.556,24 dua juta sembilan ratus
tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat dollar Amerika atau US 489.759,37 empat ratus delapan puluh sembilan ribu
tujuh ratus lima puluh sembilan koma tiga puluh tujuh dollar Amerika setiap tahun.
2. Kerugian Terkandung implisit.
Selain kerugian nyata eksplisit, penyidik dan JPU juga menemukan Kerugian Terkandung eksplisit berdasarkan penelitian ahli ekologi dari IPB
Bogor, yaitu kerugian negara untuk pemulihan kerusakan lingkungan ekologi cost
dan hak-hak sosial social cost, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a Pemulihan Lingkungan Ekologi cost.
Kewajiban perusahaan PT.KNDI untuk melakukan upaya-upaya pemulihan atas kerusakan lingkungan sistem silvikultur TPTI dalam bentuk
rehabilitasipenanaman kembali pada areal hutan kritis, bekas tebangan dan pengayaan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan hutan No.
151KPTSIV-BPHH1999 tentang sistem tebang pilih tanam Indonesia TPTI, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 316Kpts-II1999
tentang Tata Usaha Hasil Hutan Jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 126Kpts-II2003 tanggal 4 April 2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan.
Kerugian keuangan negara yang terkandung implisit yang harus ditanggung keuangan negara dihitung dari akibat terjadinya: 1 Kerusakan
lingkungan ekologi; 2 Kerusakan ekonomi; dan 3 Pemulihan lingkungan ekologi. Kerugian tersebut timbul akibat penebangan pohon kayu diluar Blok
Tebangan yang disahkan dan tidak perpedoman pada tebang pilih atau sistem TPTI dalam periode tahun 2000 sampai tahun 2005.
Berdasarkan perhitungan ahli kerusakan lingkungan, didapat nilai nominalnya sebesar Rp 202.479.464.540.000 dua ratus dua trilyun empat ratus
tujuh puluh sembilan milyar empat ratus enam puluh empat juta lima ratus empat puluh ribu rupiah, terdiri dari: a Kerusakan lingkungan ekologi Rp
95.577.879.770.000 sembilan puluh lima trilyun lima ratus tujuh puluh tujuh milyar delapan ratus tujuh puluh sembilan juta tujuh ratus tujuh puluh ribu
rupiah, b Kerusakan ekonomi Rp 47.024.000.000.000 empat puluh tujuh
Universitas Sumatera Utara
trilyun dua puluh empat milyar rupiah, dan c Pemulihan lingkungan ekologi Rp 59.777.584.770.000 lima puluh sembilan trilyun tujuh ratus tujuh puluh
tujuh milyar lima ratus delapan puluh empat juta tujuh ratus tujuh puluh ribu rupiah;
b Hak Sosial Social Cost. Hak kompensasi masyarakat sebagai pemegang saham PT.KNDI sebesar
45 untuk kelompok koperasi setempat, antara lain Koperasi Sinar Meranti, BUMD, dan Lembaga Pendidikan setempat ditetapkan dalam SK. Menhutbun
RI , Nomor: 805 Kpts-VI1999, tanggal 30 September 1999, tentang HPHIUPHHK an.PT. KNDI, tidak terealisasi, sehingga kelompok masyarakat
setempat dirugikan secara nyata sejak tanggal 01 Oktober 2001sampai tahun 2005.
Jadi, yang dimaksud dengan “kerugian keuangan negara” dalam kasus a quo
, meliputi: pertama “Kerugian Nyata” atau “eksplisit”, timbul akibat hilangnya kekayaan negara yang bernilai ekonomis terdiri dari pohon kayu
yang telah ditebang tanpa hak atau izin” di luar RKT yang disahkan dan “hak negara dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak PNBP state tax
revenues , yang bersumber dari PSDH dan DR”; kedua “Kerugian
Terkandung” atau “implisit”, timbul akibat kerusakan hutan yakni berpotensi membebani anggaran belanja negara sebagai wujud tanggung jawab negara
dikemudian hari untuk merehabilitasi kerusakan hutan Ekologi cost.
Universitas Sumatera Utara
Nilai kerugian keuangan negara ini tidak dipertimbangkan judex facti dalam putusannya, dengan alasan: “unsur melawan hukum tidak terbukti, maka
unsur selain dan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi”. Soedjono Dirdjosisworo,
173
menyebutkan: “Kebenaran sejati adalah kebenaran yang tidak didasarkan atas tindakan formalitas untuk mencap “penjahat”, melainkan lebih
dititik beratkan pada cara mengungkapkan fakta untuk memperoleh kenyataan obyektif, agar bisa membebaskan yang benar dan memberi imbalan terhadap
mereka yang bersalah. Dalam peradilan pidana di Indonesia menganut
“inquisitorial sytem”,
174
173
Soedjono Dirdjosisworo, ibid hal 25
yakni memberikan kewenangan kepada Hakim untuk lebih aktif guna melakukan pemeriksaan secara komprehensif menggali fakta
melalui bukti-bukti yang telah dikumpulkan pada tingkat penyidikan, bahkan jika bukti-bukti yang tersedia tidak memberikan keyakinan bagi Hakim, maka
Hakim berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan di lapangan sebagai suatu proses mencari dan menemukan keadilan dan kebenaran materiel serta
keyakinan Hakim. Dalam penegakan hukum terhadap kasus a quo, justru ditemukan adanya upaya penegak hukum untuk mengabaikan inquisitorial
sytem di persidangan untuk melemahkan fakta-fakta yang telah dikumpulkan
pada tingkat penyidikan dengan cara: pertama, Majelis hakim PN. Medan mereduksi 20 dua puluh saksi fakta atas persetujuan JPU dengan alasan
174
Soedjono Dirdjosisworo, Ibid: Metode Untuk Menemukan Fakta: 1 Metode bersifat akusitor
Amerika Kontinental: Anglo-Amerika: Common Law USA, Inggris, adalah Hakim bersifat pasif, juri dan Jaksa bersifat aktif atau akuisitorial sistem; 2 Metode bersifat inkuisitor Eropa
kontinental: civil law: Belanda, Jerman, Hakim bersifat aktif atau inkuisitorial sistem.
Universitas Sumatera Utara
“sudah cukup”, dan kedua, Majelis hakim PN. Medan tidak melaksanakan pemeriksaan lapangan sebab atas permohonan pengacara Terdakwa dengan
alasan “tidak ada biaya dan hal itu disetujui oleh JPU”.
175
Sikap penegak hukum demikian telah bertentangan dengan inquisitorial sytem dan melanggar
asas imparsialitas dalam penegakan hukum.
176
d. Unsur “Kerusakan Hutan”
Penjelasan pasal 50 ayat 2 menetapkan pengertian kerusakan hutan yakni terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan
hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Dalam PP 45 tahun 2004, tentang perlindungan hutan mempertegas lagi
tentang pengertian “kerusakan hutan” dalam penjelasan pasal 46 ayat 3 adalah:
Yang dimaksud dengan perubahan fisik adalah kondisi terjadinya perubahan bentuk lapangan dan atau tegakan hutan, yang mengakibatkan
terjadinya penurunan fungsi hutan baik pada hutan produksi, hutan lindung atau hutan konservasi. Indikasi perubahan fisik berupa perubahan
bentang alam, tegakan pohon atau penutupan vegetasi.
Yang dimaksud dengan perubahan sifat fisik adalah kondisi terjadinya perubahan sifat fisik tanah, yang mengakibatkan terjadinya
penurunan fungsi hutan baik pada hutan produksi, hutan lindung, atau hutan konservasi. Indikasi perubahan sifat fisik meliputi perubahan: sifat
kimia tanah, iklim mokro atau kualitas air.
175
Pertimbangan Hukum dalam Putusan MARI No.68.K.PID.SUS.2008, hal 299
176
Baca arti imparsialitas dalam Putusan MARI No. 68 KPID-SUS2008 hal 298 Inggris: Impartiality
= sifat tidak memihak, sikapsifat jujur, sifatsikap adil, sifatsikap netral, kejujuran, keadilan
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan perubahan hayati adalah kondisi terjadinya perubahan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, yang
mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi hutan baik pada hutan produksi, hutan lindung, atau hutan konservasi. Indikasi perubahan hayati
meliputi perubahan: keragaman dan kerapatan jenis flora, keragaman dan kelimpahan jenis fauna.
Dalam putusan judex facti pada putusan di hal 325 terhadap unsur “kerusakan hutan” dinyatakan “tidak terbukti” dengan pertimbangan bahwa
areal dimaksud masih tetap sebagai hutan produksi dan areal tidak mengalami perubahan fisik, atau sifat fisik, “misalnya: areal tersebut sudah menjadi tanah
tandus dan kering seperti daerah padang pasir. Pertimbangan judex facti tersebut dipengaruhi oleh pendapat ahli a decharge an.DR.IR. BEDJO
SANTOSO, M.Si selaku PNS di Departemen Kehutanan RI. yang pada pokoknya menyebutkan bahwa “KALAU INGIN MENGETAHUI APAKAH
TPTI DILAKUKAN DENGAN BAIK DAN BENAR, DEPHUT MEMINTA AGAR LPI YANG MELAKUKAN PENILAIAN MAKA UNTUK ITU
DIPERLUKAN WAKTU SAMPAI DUA BULAN” dan waktu penelitian yang dilakukan oleh ahli yang ditunjuk oleh penyidik Polri dari IPB Bogor an. DR.
IR. BASUKU WASIS hanya dalam satu hari melakukan penelitian secara random, sehingga Majelis Hakim PN. Medan meragukan tingkat akurasi
penelitian yang ditunjuk oleh Polri tersebut. Judex facti justru tidak mempertimbangkan keterangan ahli independent yang terdapat dalam berkas
perkara dan persidangan, yakni ahli dari PT. Focus Consulting Group selaku
Universitas Sumatera Utara
Lembaga Penilai IndependenLPI yaitu Ir. Darmawi Bulkis melakukan penelitian lapangan secara detail yang ditunjuk langsung oleh Kementerian
Kehutanan RI untuk melakukan penelitian terhadap kinerja PT.KNDI yang pada pokoknya menyatakan bahwa kinerja PT. KNDI masuk dalam peringkat
buruk artinya managemen PT. KNDI tidak mampu mengelola hutan secara lestari ditinjau dari aspek produksi, ekologi yang didasarkan pada fakta-fakta
akumulasi pengabaian sistim TPTI, yakni: tidak melakukan timber cruising, tidak membuka akses ke blok tebangan yang telah disahkan, penebangan diluar
blok tebangan yang disahkan dengan sistim tebang habis tidak tebang pilih, tidak melakukan rehabilitasi pada lahan kritis atau bekas tebangan, tidak
melakukan pengayaan, ada pengalihan fungsi lahan kritis menjadi perkebunan kelapa sawit ±10.000 ha dan terjadi kepunahan jenis pohon spesies tanaman
yang dilindungi seperti : pohon alim, basul, keruing minyak, resak kayu layang- layang, semangkok dan tumus bahkan untuk jenis kayu indah resak tembaga”.
Semestinya keterangan ahli a decharge an.DR.IR. BEDJO SANTOSO, M.Si haruslah dikesampingkan oleh Majelis Hakim PN. Medan karena
disamping tidak relevan yang bersangkutan juga tidak pernah melakukan penelitian dilapangan selaku ahli. Justru dengan menghadirkan ahli a
decharge dari Kementerian Kehutanan RI terkandung adanya upaya
mendistorsi fakta hasil penelitian ahli ekologi dari IPB Bogor dan hasil penelitian ahli ekologi secara independent dari PT. Focus Consulting Group dan
upaya pembenaran bagi setiap pemegang izin yang nyata-nyata telah
Universitas Sumatera Utara
melakukan perbuatan melawan hukum, terutama melakukan penebangan pohon kayu diluar RKT yang telah disahkan.
Keterangan saksi sebanyak tujuh orang yang terdiri dari : Simon Agustinus Sihombing, Wilson Marpaung, Ruslan Nasution, Hanafi Hasibuan,
Samad Lubis, Biasa Sitepu dan Mahadi didengar di persidangan telah memberikan keterangan berbeda dengan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat
pada tingkat penyidikan.Tidak melakukan klarifikasi dan pendalaman terhadap keterangan 7 tujuh orang saksi yang didengar keterangannya di persidangan.
Dalam hal persidangan ditemukan keterangan yang berbeda dengan BAP bagi Hakim untuk menggali kebenaran keterangan para saksi, alasan saksi
memberikan keterangan yang tidak sama dengan BAP dan alasan apa yang menyebabkan keterangannya berbeda. Harus dapat diklarifikasi dalam
persidangan untuk mencari kebenaran formil dan kebenaran materil sebagaimana diwajibkan oleh Undang-undang. Judex facti tidak melaksanakan
bunyi dari Pasal 28 ayat 1 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Semestinya judex facti dalam menilai unsur melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan menerapkan peraturan hukum atau menerapkan
hukum sebagaimana mestinya, yakni Pasal 185 ayat 6 huruf a, b dan c KUHAP, yakni dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, dengan
sungguh-sungguh memperhatikan keterangan saksi-saksi Ir. Umasda, saksi Cipto Sejati, saksi Sugianto, saksi Gisto Sinaga, saksi Ir. Rura S Ginting
Universitas Sumatera Utara
Munthe, saksi Ir. Prie Supriyadi, MM, saksi Ir. Wahyu Hidayat serta keterangan Ahli Ir. Darmawi Bulkis, MM, Ahli Anderiyan dan Ahli DR. Ir. Basuki Wasis,
MSi dengan memperhatikan persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain dan alasan
yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.
Ketika Hakim memperoleh fakta yang berbeda baik yang terungkap dalam persidangan maupun yang telah dikumpulkan dalam penyidikan sehingga
menimbulkan keraguan hakim dalam penilaian tingkat akurasi penelitian yang dilakukan ahli tentang kebenaran kerusakan hutan, semestinya Majelis Hakim
wajib menerapkan metode pembuktian inquisitorial system
177
dalam menggali kebenaran materil dengan melakukan pemeriksaan lapangan, untuk melihat
langsung dilapangan, apakah benar adanya fakta kerusakan hutan tersebut atau tidak. Namun hal itu tidak dilakukan oleh Majelis Hakim. Sikap penegak
hukum yang tidak menerapkan metode pembuktian inquisitorial, seperti melakukan pemeriksaan lapangan menunjukkan sikap yang melanggar asas
imparsialitas dalam penegakan hukum.
178
177
Soedjono Dirdjosisworo Loc.Cit
178
Baca arti imparsialitas dalam Putusan MARI No. 68 KPID-SUS2008 hal 298 Inggris: Impartiality
= sifat tidak memihak, sikapsifat jujur, sifatsikap adil, sifatsikap netral, kejujuran, keadilan.
Universitas Sumatera Utara
e. Unsur “tanpa izin”
Menurut Prajudi Atmosudirjo, menyatakan, izin vergunning adalah suatu penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh undang-
undang.
179
Prajudi Atmosudirjo menyatakan, penerbitan izin vergunning adalah suatu penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh undang-
undang . Dengan tegas Prajudi Atmosudirjo, menyatakan bahwa yang
dimaksudkan izin itu adalah suatu dispensasi dalam bentuk penetapan yang merinci larangan tersebut diikuti dengan perincian dari syarat-syarat, kriteria,
dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan tersebut, disertai dengan penetapan prosedur dan juklak
petunjuk pelaksana kepada pejabat-pejabat Administrasi Negara yang bersangkutan.
180
C.S.T Kansil menyatakan, bahwa izin atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum itu disebut “hak atau wewenang” yakni hak relatif yang
dikualifikasi sebagai hak publik, yaitu hak yang diberikan oleh negara kepada warga negara untuk melakukan sesuatu.
181
179
Mr. S. Prajudi Atmosudirjo, “Hukum Administrasi Negara” Edisi Revisi,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, hlm 97. Pada umumnya pasal undang-undang bersangkutan berbunyi “dilarang tanpa
izin... melakukan ... dan seterusnya.” Selanjutnya larangan tersebut diikuti dengan perincian dari syarat-syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh
dispensasi dari larangan tersebut, disertai dengan penetapan prosedur dan juklak petunjuk pelaksana kepada pejabat-pejabat Administrasi Negara yang bersangkutan.
Menurut Fitzgerald, ada 5 lima
180
Prajudi Atmosudirjo, Op. Cit, hal 97. Pada umumnya pasal undang-undang bersangkutan berbunyi “dilarang tanpa izin... melakukan ... dan seterusnya.” Selanjutnya larangan tersebut diikuti
dengan perincian dari syarat-syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan tersebut, disertai dengan penetapan prosedur dan juklak
petunjuk pelaksana kepada pejabat-pejabat Administrasi Negara yang bersangkutan.
181
C.S.T. Kansil Loc. Cit
Universitas Sumatera Utara
ciri-ciri yang melekat pada hakkekuasaan yakni: a. melahirkan pemilik hak atau subjek dari hak; b. lahirnya kewajiban hukum bagi pemegang hak antara
hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif; c. Dengan lahirnya hak mewajibkan pihak lain untuk melakukan commission atau tidak melakukan
ommission sesuatu perbuatan; d. lahirnya objek dari hak; e. setiap hak ada titelnya.
182
Dalam kasus a quo, ditemukan fakta, bahwa benar PT. KNDI ada memiliki izin, yakni IUPHHK dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor : 805Kpts-VI99 tertanggal 30 September 1999 dan masa berlakunya izin ditetapkan selama 55 tahun, yakni berlaku surut terhitung mulai
tahun 1994 sampai tahun 2049. Adanya PP. No. 34 tahun 2002, pasal 49 ayat 1 yang menetapkan bahwa hapusnya izin apabila: a jangka waktu izin telah
berakhir; b izin dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang izin; c izin diserahkan kembali oleh pemegang izin dengan
pernyataan tertulis kepada pemberi izin sebelum jangka waktu izin berakhir; atau d target volume atau berat yang diizinkan dalam izin pemungutan hasil
hutan telah terpenuhi. Berdasarkan fakta persidangan bahwa izin PT. KNDI Artinya, bahwa esensi izin secara umum adalah hak atau wewenang
publik bersifat relatif yang diberikan oleh negara kepada pemegang izin yang dalamnya terkandung kewajiban hukum, larangan-larangan dan sanksi untuk
melindungi hak-hak publik negara, masyarakat dan lingkungan secara terintegrasi.
182
S. Prajudi Atmosudirjo, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
belum pernah dicabut dan masa berlakunya izin belum berakhir, maka Majelis Hakim memandang bahwa PT.KNDI masih memiliki izin yang sah dan berlaku
sehingga Majelis Hakim memutuskan bahwa unsur “tanpa izin” tidak terpenuhi. Dengan tegas Prajudi Atmosudirjo, menyatakan bahwa yang
dimaksudkan izin itu adalah suatu dispensasi dalam bentuk penetapan yang merinci larangan, syarat-syarat, kriteria, dan sebagainya yang wajib dipenuhi
oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan tersebut, disertai dengan penetapan prosedur dan juklak petunjuk pelaksana kepada pejabat-
pejabat Administrasi Negara tentang prosedur pengeluaran izin.
183
“Perusahaan harus mengikutsertakan Koperasi Koperasi Masyarakat setempat dan Koperasi Sinar Meranti 25 sebagai hak
kompensasi masyarakat 15 dialihkan langsung pada saat Koperasi terbentuk dan 10 diangsur selama 5 tahun dengan hak opsi kenaikan 1
setiap tahun, Lembaga Pendidikan setempat 10 dan Badan Usaha Milik Daerah BUMD 10 sebagai Pemegang Saham Perusahaan;
Dalam IUPHHK Nomor: 805Kpts-VI99 tertanggal 30 September 1999 an. PT.KNDI
ada ditetapkan suatu kewajiban hukum yang berakibat langsung terhadap keberlakuan izinnya, yakni untuk mengalokasikan 45 sahamnya kepada pihak
ketiga, yakni: 25 ke Koperasi Masyarakat Setempat dan koperasi Sinar Meranti, 10 ke Lembaga Pendidikan setempat dan 10 kepada BUMD.
184
183
Mr. S. Prajudi Atmosudirjo, Loc. Cit. hal 97
Pengalihan Saham PT. Keang Nam Development Indonesia kepada Koperasi, Lembaga Pendidikan setempat dan BUMD harus direalisasikan
selambat-lambatnya dalam waktu 2 dua tahun sejak diterbitkannya
184
Bunyi diktum PERTAMA dalam SK Menhut dan Perkebunan Nomor: 805Kpts-VI99 tanggal 30 September 1999, tentang HPH IUPHHK an. PT.KNDI
Universitas Sumatera Utara
Keputusan ini;
185
Apabila PT. Keang Nam Development Indonesia tidak merealisasikan pengalokasian saham Koperasi, Lembaga Pendidikan dan
BUMD sebagaimana Amar KETIGA butir 1 maka Keputusan ini dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi
.
186
Fakta persidangan terungkap bahwa PT. KNDI tidak ada merealisasikan pengalokasian sahamnya kepada pihak ketiga, yakni koperasi, BUMD dan
Lembaga Pendidikan setempat. Majelis Hakim berpendapat bahwa PT. KNDI sudah ada upaya merealisasikannya, akan tetapi tidak bisa direalisasikan karena
belum adanya petunjuk teknis untuk itu. Berdasarkan fakta persidangan tersebut, JPU memandang bahwa PT. KNDI sejak tanggal 01 Oktober 2001
IUPHHK Nomor: 805Kpts-VI99 tertanggal 30 September 1999 tidak sah berlaku berdasarkan pada diktum KEEMPAT butir 1, yang menyatakan:
“Apabila PT KNDI tidak merealisasikan pengalokasian saham Koperasi, Lembaga pendidikan dan BUMD, sebagaimana amar KETIGA butir 1 satu,
maka Keputusan ini dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi” dan oleh karenanya perbuatan menebang, mengangkut, memiliki hasil hutan kayu sejak
tanggal 01 Oktober 2001 itu adalah perbuatan yang terlarang. Majelis hakim PN. Medan berbeda pandang dengan JPU melihat masalah “hapusnya atau tidak
berlakunya suatu IUPHHK”. Majelis Hakim memandang dengan ketentuan yang bersifat umum yang ditetapkan dalam pasal 49 ayat 1 PP. No. 34 tahun
2002, yakni harus ada pencabutan izin oleh pemberi izin, sementara JPU
185
Ibid Bunyi diktum KETIGA
186
Ibid Bunyi diktum KEEMPAT
Universitas Sumatera Utara
memandang dengan aturan yang bersifat individual, konkret, mengikat dan final dalam suatu ketetapan beschikking yang dibuat oleh Pejabat tata usaha negara
yakni Menhut RI, yakni amar KETIGA butir 1 satu, yang menyatakan: “maka Keputusan ini dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi”.
Alvi Syahrin, berpendapat, Hakim pidana berwenang untuk menguji tindak administrasi negara secara terbatas. Kewenangan Hakim pidana itu
hanya sebatas menguji atas kebijakan administrasi negarapemerintahan, apakah persyaratan izin berupa kewajiban dan larangan yang ditetapkan didalam
izinnya telah sesuai atau bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
187
Majelis Hakim semestinya menjadikan fakta persidangan tentang tidak terealisasikannya pengalokasian saham kepada pihak ketiga sebagai
pertimbangan hukum untuk memutuskan bahwa IUPHHK Nomor: 805Kpts- VI99 tertanggal 30 September 1999 dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi
sejak tanggal 01 Oktober 2001 dan oleh karenanya perbuatan menebang, Judex facti hakim pidana tidak melakukan pengujian sebagai
sarana pengawasan secara terbatas tentang keabsahan persyaratan izin IUPHHK an. PT.KNDI walau hal itu dimungkinkan oleh peraturan perundang-
undangan, apakah persyaratan izin berupa kewajiban dan larangan serta konsekwensi hukum yang ditetapkan oleh Menhut RI didalam izinnya telah
sesuai atau bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
187
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Edisi Revisi, Jakarta: Sofmedia-2009 hal 72-73
Universitas Sumatera Utara
mengangkut, memiliki hasil hutan kayu sejak tanggal 01 Oktober 2001 itu adalah perbuatan yang terlarang.
Kesimpulan, bahwa hapusnya atau tidak berlakunya suatu izin pemanfaatan hasil hutan selain diatur secara umum dalam PP. No. 34 tahun
2002, juga diatur secara khusus bersifat individual, konkret, mengikat dan final dalam suatu ketetapan beschikking yang dibuat oleh Pejabat tata usaha negara
yakni Menhut RI. f.
Unsur “Barang siapa” Sistem hukum pidana di Indonesia dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana KUHP Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami naturlijkee
person vide pasal 2 sd 9 KUHP, kecuali pasal 398 dan pasal 399 KUHP
memperkenalkan pengurus korporasi sebagai subjek hukum. Dalam perkembangan penegakan hukum pidana di Indonesia ada 3 tiga bentuk
pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi, yaitu: 1 di bebankan kepada korporasi itu sendiri; 2 di bebankan kepada organ atau pengurus
korporasi; atau 3 kepada pengurus korporasinya sebagai pemberi perintah dan juga kepada korporasinya secara komulatif.
“Berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi
berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU No.382004
tentang Jalan. Kemudian dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang
Universitas Sumatera Utara
bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat 2 UU No.311999 tentang Tindak Pidana
Korupsi dan UU No.312004 tentang Perikanan. Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi
sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.311999.
188
Pembentuk UU Kehutanan menetapkan kepada siapa yang dipertanggungjawab pidana-kan tentang tindak pidana kehutanan itu dan
didasarkan pada syarat-syarat apa? Pasal 50 ayat 1 2 3 mensyaratkan secara yuridis bahwa yang dipertanggungjawab pidana-kan adalah “setiap
orang” yang melanggar larangan ditetapkan sebagai subjek hukum. Dalam penjelasan pasal 50 ayat 1 yang dimaksudkan dengan “setiap orang” adalah
orang pribadiindividu, badan hukum, maupun badan usaha dan pada ketentuan pidana sanksi dalam pasal 78 ayat 1 sampai pada ayat 12 menetapkan
“barang siapa” pada kalimat “barang siapa dengan sengaja... dst”. Khusus pasal 78 ayat 14 tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan kepada pengurus badan
usaha atau badan hukum. Menurut Muladi dan Barda N. Arief yang dikutip oleh Chairul Huda.
189
188
Bismar Nasution, “Kejahatan Korporasi dan Pertanggung jawabannya“ Disampaikan
dalam ceramah di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, bertempat di Tanjung Morawa Medan, pada tanggal 27 April 2006
Pengertian subjek tindak pidana meliputi 2 dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana sipembuat dan siapa yang dapat
189
Ibid, Chairul Huda, hal 40
Universitas Sumatera Utara
dipertanggungjawabkan. Pasal 55 KUHP,
190
pertanggungjawaban tindak pidana tidak hanya ditujukan terhadap pelaku materiil pleger, tetapi terhadap orang
yang menyuruh lakukan doen plegen, orang yang turut melakukan mendepleger, dan penganjur tindak pidana uitlokker. Pemidanaan terhadap
mereka yang menyuruh dan menganjurkan untuk melakukan hanya dapat terjadi melalui penetapan undang-undang. Baik yang menyuruh dan
menganjurkan untuk melakukan, keduanya tidak melakukan tindak pidana yang dilakukan pelaku, tetapi dipandang melakukan tindak pidana jika karena
suruhan dan anjurannya, seseorang melakukan tindak pidana.
191
Ancaman pidana dalam rumusan suatu tindak pidana diorientasikan baik pada
pembuatnya maupun pada orang dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatan tersebut. Jika pembuat bukanlah pelaku materiil, maka perlu
penetapan undang-undang kriminalisasi jika orang-orang lain yang terlibat juga ingin diancam pidana.
192
Menurut Muladi dan Barda N. Arief yang dikutip oleh Chairul Huda.
193
Pengertian subjek tindak pidana meliputi 2 dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana sipembuat dan siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan. Pasal 55 KUHP,
194
190
R. Soesilo, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”,
Bogor: Politea-1994 hal 73 Penjelasan dari Pasal 55 KUHP
pertanggungjawaban tindak pidana
191
Chairul Huda Op. Cit, hal 41
192
Ibid hal 42
193
Chairul Huda, Op. Cit, hal 40
194
R. Soesilo, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”,
Bogor: Politea-1994 hal 73 Penjelasan dari Pasal 55 KUHP
Universitas Sumatera Utara
tidak hanya ditujukan terhadap pelaku materiil pleger, tetapi terhadap orang yang menyuruh lakukan doen plegen, orang yang turut melakukan
mendepleger, dan penganjur tindak pidana uitlokker. Pemidanaan terhadap mereka yang menyuruh dan menganjurkan untuk melakukan hanya dapat
terjadi melalui penetapan undang-undang. Baik yang menyuruh dan menganjurkan untuk melakukan, keduanya tidak melakukan tindak pidana yang
dilakukan pelaku, tetapi dipandang melakukan tindak pidana jika karena suruhan dan anjurannya, seseorang melakukan tindak pidana.
195
Ancaman pidana dalam rumusan suatu tindak pidana diorientasikan baik pada
pembuatnya maupun pada orang dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatan tersebut. Jika pembuat bukanlah pelaku materiil, maka perlu
penetapan undang-undang kriminalisasi jika orang-orang lain yang terlibat juga ingin diancam pidana.
196
Sistem hukum pidana di Indonesia dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana
hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami naturlijkee person
vide pasal 2 sd 9 KUHP, kecuali pasal 398 dan pasal 399 KUHP memperkenalkan pengurus korporasi sebagai subjek hukum. Dalam
perkembangan penegakan hukum pidana di Indonesia ada 3 tiga bentuk
195
Chairul Huda Op. Cit, hal 41
196
Ibid hal 42
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi, yaitu: 1 di bebankan kepada korporasi itu sendiri; 2 di bebankan kepada organ atau pengurus
korporasi; atau 3 kepada pengurus korporasinya sebagai pemberi perintah dan juga kepada korporasinya secara komulatif.
“Berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi
berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU No.382004
tentang Jalan. Kemudian dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang
bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat 2 UU No.311999 tentang Tindak Pidana
Korupsi dan UU No.312004 tentang Perikanan. Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi
sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.311999.
197
Pembentuk UU Pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 20 ayat 1 menetapkan bahwa pejatuhan pidana dikenakan kepada pengurusnya dan UU
Kehutanan pasal 78 ayat 14 maka tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap pengurusnya ditambah 13 sepertiga dari pidana yang dijatuhkan.
Konsep pertanggungjawaban pidana kehutanan berdasarkan dotrin pertanggungjawaban pidana langsung Direct Liability Doctrine atau teori
Identifikasi Identification Theori atau disebut juga teoridoktrin “alter ego” atau “teori organ”. Perbuatan kesalahan “pejabat senior” senior officer
197
Bismar Nasution, “Kejahatan Korporasi dan Pertanggung jawabannya“ Disampaikan
dalam ceramah di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, bertempat di Tanjung Morawa Medan, pada tanggal 27 April 2006
Universitas Sumatera Utara
diidentifikasikan sebagai perbuatankesalahan korporasi;
198
dan teori Indentifikasi atau directing minds theory, “Ia bertindak atas nama perusahaan,
dan akal pikirannya yang mengarahkan tindakannya berarti adalah akal pikiran dari perusahaan. Jika akal pikirannya bersalah, berarti kesalahan itu merupakan
kesalahan perusahaan dan diminta pertanggung jawaban pengurusnya”.
199
Teori Indentifikasi atau directing minds theory:
200
Berdasarkan teori Identifikasi atau directing minds theory, kesalahan dari anggota direksi atau organ perusahaankorporasi yang tidak menerima perintah
dari tingkatan yang lebih tinggi dalam perusahaan, dapat dibebankan kepada perusahaan korporasi. Teori ini diadopsi di Inggris sejak tahun 1915, yaitu
melalui kasus Lennard’s Carrying Co. Ltd v. Asiatic Petroleum Co., [1915] A.C. 705, at 713 H.L.. Dalam kasus ini, Hakim Pengadilan berpendapat :
“[A] corporation is an abstraction. It has no mind of its own anymore than it has a body of its own; its active and directing will must consequently be
sought in the person of somebody who for some purposes maybe called an agent, but who is really the directing mind and will of the corporation, the
very ego and centre of the personality of the corporation….For if Mr. Lennard was the directing mind of the company, then his action must, unless a
corporation is not to be liable at all, have been an action which was the action of the company itself……
” Suatu korporasi adalah sebuah abstraksi. Ia tidak punya akal pikiran sendiri dan
begitu pula tubuh sendiri; kehendaknya harus dicari atau ditemukan dalam diri seseorang yang untuk tujuan tertentu dapat disebut sebagai agenperantara, yang
benar-benar merupakan otak dan kehendak untuk mengarahkan directing mind and will
dari korporasi tersebut......Jika Tuan Lennard merupakan otak pengarah dari perusahaan, maka tindakannya pasti merupakan tindakan dari
perusahaan itu sendiri.
198
Alvi Syahrin, et.all, Sophia Hadyanto Partners, Forensic Legal Auditor, Medan, 2007, hal 387-388
199
Bismar Nasution, “Kejahatan Korporasi dan Pertanggung jawabannya“ Disampaikan
dalam ceramah di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, bertempat di Tanjung Morawa Medan, pada tanggal 27 April 2006
200
Bismar Nasution, Ibid
Universitas Sumatera Utara
Dalam kasus lain di Inggris, yaitu kasus Tesco Supermarkets Ltd v Nattrass
[1972] A.C. 153, Hakim Pengadilan berpendapat : “The person who acts is not speaking or acting for the company. He is acting
as the company and his mind which directs his acts is the mind of the company. If it is a guilty mind then that guilt is the guilt of the company.”
Orang yang bertindak bukan berbicara atau bertindak atas nama perusahaan. Ia bertindak sebagai perusahaan, dan akal pikirannya yang mengarahkan
tindakannya berarti adalah akal pikiran dari perusahaan. Jika akal pikirannya bersalah, berarti kesalahan itu merupakan kesalahan perusahaan.
Dengan kata lain unsur mens rea dari pertanggungjawaban pidana korporasi terpenuhi dengan dipenuhinya unsur mens rea pengurus korporasi atau
perusahaan tersebut. Begitu pula dengan actus reus yang diwujudkan oleh pengurus korporasi yang berarti merupakan actus reus perusahaan.
Teori identifikasi ini turut diadopsi oleh Kanada. Hal ini dapat dilihat dalam kasus R. v. Fane Robinson Ltd., dimana perusahaan Fane Robinson dan dua
orang direkturnya yang merupakan pengelola yang aktif, dalam tingkat banding, didakwa melakukan tindak pidana berkomplot atau berkonspirasi
untuk menggelapkan uang dan memperoleh uang dengan cara menipu. Pengadilan berpendapat bahwa tidak ada alasan mengapa suatu korporasi yang
dapat mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dengan individu atau korporasi lain tidak dapat memenuhi unsur mens rea ketika korporasi tersebut
melibatkan dirinya dalam perjanjian yang menjadi dasar utama konspirasi dan penipuan tersebut. Pengadilan menyimpulkan bahwa secara umum kedua orang
direktur perusahaan merupakan kehendak bertindak dan mengarahkan acting and directing will
dari perusahaan. Niat untuk melakukan tindak pidana mens rea dan tindakan hukumnya actus reus merupakan niat dan tindakan
dari perusahaan dan bahwa konspirasi untuk penggelapan uang dan penipuan merupakan kejahatan yang mampu diwujudkan oleh perusahaan.
Kasus lain di Kanada yang dianggap sebagai leading case menyangkut teori identifikasi adalah kasus Canadian Dredge and Dock v. The Queen, [1985] 1
S.C.R. 662. Dalam kasus ini, Supreme Court mengakui teori ini sebagai model untuk menentukan tanggungjawab perusahaan. Pengadilan berpendapat bahwa
faktor yang membedakan antara directing mind dengan pegawai biasa adalah tingkatan kewenangan pengambilan atau pembuatan keputusan dalam praktek
individual. Individu yang bertanggungjawab menyusun dan menerapkan kebijakan korporasi adalah directing mind dari perusahaan bersangkutan.
Sebaliknya, individu yang membuat kebijakan untuk operasional day-to-day
Universitas Sumatera Utara
basis , bukanlah directing mind. Supreme Court menempatkan directing mind
sebagai “ego”, “pusat” danatau “organ vital” korporasi.
Dari case law ini, muncul beberapa prinsip atau konsep yang penting. Pertama, directing mind
dari suatu korporasi atau perusahaan tidak terbatas hanya satu individu saja. Sejumlah pejabat korporasi atau anggota direksi bisa membentuk
directing mind. Kedua
, faktor geografis tidak berpengaruh. Fakta bahwa suatu korporasi memiliki banyak operasi atau cabang di daerah yang berbeda-beda
tidak akan mempengaruhi penentuan individu-individu yang mana yang menjadi directing minds korporasi. Dengan demikian, seseorang tidak dapat
menghindar dari tanggung jawab hanya karena ia tidak ditempatkan atau bertugas di daerah dimana perbuatan melawan hukum dilakukan. Ketiga,
korporasi tidak bisa lari dari tanggung jawab dengan berkilah bahwa individu- individu tersebut melakukan perbuatan melawan hukum meskipun telah ada
instruksi untuk melakukan tindakan lain yang sah tidak melawan hukum. Anggota direksi dan pejabat korporasi lainnya memiliki kewajiban untuk
mengawasi tindak tanduk para pegawai lebih dari sekedar menetapkan panduan umum yang melarang tindakan illegal. Keempat, untuk dapat dinyatakan
bersalah melakukan perbuatan melawan hukum, individu bersangkutan harus memiliki criminal intent atau mens rea. Directing mind dan mens rea ada pada
individu yang sama. Namun dalam teori identifikasi, anggota direksi atau pejabat korporasi lain yang merupakan directing mind korporasi tidak bisa
dikenakan tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan tanpa mereka sadari. Kelima, untuk dapat menerapkan teori identifikasi harus
dapat dibuktikanbahwa tindakan seorang directing mind adalah : i berdasarkan tugas atau instruksi yang ditugaskan padanya, ii bukan merupakan penipuan
fraud yang dilakukan terhadap perusahaan, dan iii dimaksudkan untuk dapat mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Keenam, tanggung jawab
korporasi memerlukan analisa kontekstual. Dengan kata lain, penentuannya harus dilakukan berdasarkan case-to-case basis. Jabatan seseorang dalam
perusahaan tidak secara otomatis menjadikannya bertanggungjawab. Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk menetapkan kebijakan korporasi atau
keputusan korporasi yang penting harus dilakukan dalam konteks keadaan yang tertentu particular circumstances.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai sifat pertanggungjawaban korporasi badan hukum dalam hukum pidana terdapat beberapa sistem perumusan yang ditempuh oleh
pembuat undang-undang, yaitu:
201
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurusnyalah yang
bertanggung jawab; b.
Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab; c.
Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Kapan dimintakannya pertanggungjawaban pidana kepada pengurus
badan hukum, ada beberapa teori pertanggungjawaban pidana korporasi, diantaranya, adalah:
202
Arrest Hoge Raad 1916 yang dikenal dengan Water en Melk Arrest yang
mengukuhkan suatu asas “tiada pidana tanpa kesalahan” geen straf zonder schuld beginsel
, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan hal ini dijadikan doktrin dalam civil law
1 Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung Direct Liability Doctrine
atau teori Identifikasi Identification Theori atau disebut juga teoridoktrin “alter ego” atau “teori organ”. Perbuatan kesalahan “pejabat
senior” senior officer diidentifikasikan sebagai perbuatankesalahan korporasi; 2 Doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti Vicarious Liability, bahwa
majikan adalah penanggungjawab utama dari perbuatan buruhkaryawan; 3 Doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang Strict
Liability .
201
Alvi Syahrin, et.all, Sophia Hadyanto Partners, Forensic Legal Auditor, Medan, 2007, hal 387-388
202
Ibid
Universitas Sumatera Utara
system .
203
Kadish dan Paulsen, menafsirkan sebagai “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat” an
unwarrantable act without a vicious will is no crime at all .
204
Hukum pidana berlaku apabila: 1 sama sekali tidak melakukan kewajiban hukumnya dalam klasifikasi: a kurang melaksanakan kewajibannya;
b terlambat melaksanakan kewajibannya; atau c salah dalam melaksanakan kewajiban hukumnya dalam bentuk dengan sengaja. 2 Menyalahgunakan
pelaksanaan kewajibannya. Pendapat ini
menggunakan kesalahan atau sikap bersalah=mens rea, disinonimkan dengan ‘guilty of mind’ atau ‘vicious will’ untuk menentukan pertanggungjawaban
seseorang karena melakukan tindak pidana.
205
Pengertian pengurus dalam rumusan pasal 80 ayat 1 UU No 1 tahun 1995 adalah menetapkan anggota direksi berdasarkan rapat umum pemegang
saham RUPS yang diubah dengan pasal 94 ayat 1 UU No 40 tahun 2007, tentang perseroan terbatas, adalah direksi selaku orang yang diangkat oleh
RUPS untuk menjalankan pengurusan perseroan. “Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun diluar Pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar”.
203
Chairul Huda, ‘Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju ‘Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan
’ Jakarta: Prenada Media Group- 2006- hal 4
204
Chairul Huda, Ibid hal 5
205
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Subjek hukum yang berkaitan dengan IUPHHK dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah. vide pasal 29 ayat 4 5 UU Kehutanan dan pasal 67 ayat 3 8 PP No 6 tahun 2007, tentang tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan. Artinya, bahwa yang berhak dalam usaha pemanfaatan hasil hutan kayu adalah
perorangan atau badan hukumusaha Indonesia yang memiliki izin dari yang berwenang.
Berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat 1 UU PTPK dan pasal 78 ayat 14 UU Kehutanan, yang diminta pertanggung jawaban pidana adalah terhadap
para pengurus baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, apabila tindak pidana itu dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha.
Artinya, yang dituntut dan dijatuhi hukuman adalah terhadap pengurusnya. Dewan Direksi PT.KNDI berdasarkan RUPS dalam Akta Notaris Nomor
53 tanggal 10 Oktober 1994 di hadapan Djaidir, SH Notaris di Medan, yakni: saksi IR. OSCARI SIPAYUNG selaku Dirut, saksi IR.WASHINGTON PANE
selaku Direktur Produksi dan Perencanaan,Terdakwa ADELIN LIS selaku Direksi Keuangan PT.KNDI, sedangkan saksi IR. SUCIPTO LUMBAN
TOBING dan saksi IR. BUDI ISMOYO menjabat Kepala Dinas Kehutanan Kab. Madina periode tahun 2000 sd tahun 2006.
Bahwa Terdakwa adalah salah seorang Direksi Keuangan PT.KNDI, maka sebagai Organ Perseroan yang mendanai dan memberikan perintah
Universitas Sumatera Utara
kepada karyawannya untuk melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum haruslah dipandang sebagai orang yang menyuruh lakukan doen plegen, dan
atau penganjur tindak pidana uitlokker pasal 55 ayat 1 ke - 1 KUHP
sehingga Terdakwa dipandang yang bertanggungjawab dan dapat dihadapkan sebagai pelaku tindak pidana dalam perkara pidana yang dilakukan untuk dan
atas nama badan hukum Perseroan. Konsep kewenangan pengenaan “uang pengganti” sebagai pidana
tambahan dalam pasal 18 UU PTPK menetapkan besarnya uang pengganti dan kewenangan untuk memutuskan besarnya uang pengganti ada pada Jaksa dan
hakim pada peradilan pidana dan untuk menyita dan melelang harta benda terpidana untuk menutupi uang pengganti adalah kewenangan Jaksa
berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap inkracht. Dengan demikian konsep kewenangan pengenaan “ganti rugi” untuk
merehabilitasi kondisi kerusakan hutan yang diberikan kepada Menhut RI dengan sebuah peraturan pemerintah vide pasal 45 ayat 1 2 dan pasal 46
ayat 1 PP. No. 45 tahun 2004 dapat dikesampingkan karena bertentangan dengan asas hukum, yakni: “ketentuan yang lebih tinggi mengesampingkan
ketentuan yang lebih rendah “lex superior derogat legi inferiori”.
206
206
Yuliandri Op. Cit hal 235
Juga menurut pendapat sarjana hukum Yuliandri, yang digali dari prinsip
pembentukan undang-undang “bahwa setiap produk aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi, oleh
Universitas Sumatera Utara
karena itu bersifat dilarang bagi pejabat lembaga negara untuk membuat suatu peraturan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tingkatannya ”
207
Dalam kasus a quo, tuntutan pidana penjara dan denda serta uang pengganti dibuat secara bersamaan dalam memori kasasi JPU dipertanggung
jawabkan kepada Terdakwa ADELIN LIS pada hal 136-137, sebagai berikut: Memohon agar Ketua Mahkamah Agung RI memutuskan: “untuk
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ADELIN LIS dengan pidana penjara selama 10 sepuluh tahun dikurangi selama terdakwa berada
dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah subsidair 6 enam
bulan kurungan
dan membayar uang pengganti secara tanggung renteng dengan Ir. OSCAR SIPAYUNG dan Ir. WASHINTON PANE, Msc, Ir.
BUDI ISMOYO dan Ir. SUCIPTO LUMBAN TOBING sebesar Rp 119.802.393.040,00
seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta
tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah dan US 2.938.556,24
dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US dollar”.
Dalam tuntutan JPU pada hal 137 dan hal 179 memohon barang bukti pada nomor 1. 1 sd nomor 21 alat-alat kejahatan berupa alat-alat
berat dan alat-alat pemotong kayu dan barang bukti pada nomor 2. 1 sd 4 berupa hasil hutan kayu ribuan meter kubik dijadikan barang bukti
terhadap terdakwa IR. WASHINGTON PANE Msc.
Konsep tuntutan JPU khusus atas barang bukti hasil hutan kayu corpora delicti
diatas yang menyatakan: “hasil hutan kayu ribuan meter kubik dijadikan barang bukti terhadap terdakwa IR. WASHINGTON PANE, Msc.”
bertentangan dengan prinsip asset recovery atas kekayaan negara dalam penegakan hukum pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan yang semestinya
207
Ibid hal 59
Universitas Sumatera Utara
JPU menuntut agar barang bukti tersebut dilelang dan dirampas untuk negara dan hasilnya disetorkan ke kas negara.vide pasal 78 ayat 15 yo pasal 79 ayat
1 UU Kehutanan. Terhadap tuntutan JPU tersebut, putusan MARI No. 68 tahun 2008 pada
hal 304 menyatakan sebagai berikut: “Menyatakan Terdakwa ADELIN LIS telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi” secara bersama-sama dan berlanjut, dan tindak pidana kehutanan secara
bersama-sama dan berlanjut; Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10
sepuluh tahun dan membayar denda sebesar Rp.1.000.000.000,- satu milyar rupiah Subsidair 6 enam bulan kurungan; Menghukum pula
Terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp.119.802.393.040,- seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan
puluh tiga ribu empat puluh rupiah dan US 2.938.556,24 dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma
dua puluh empat US Dollar dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu 1 satu bulan Terdakwa tidak dapat melunasi uang pengganti
tersebut maka hartanya disita dan apabila hartanya tidak cukup maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 lima tahun.”
Menyatakan barang bukti tersebut nomor 1. 1 sd 13 berupa alat-alat kejahatan berupa alat-alat berat dan alat-alat pemotong kayu dan berupa
hasil hutan kayu ribuan meter kubik dirampas untuk negara. Dalam putusan MARI atas kasus a quo memutuskan hukuman pokok
berupa pidana penjara 10 tahun setengah dari ancaman hukuman maksimal 20 tahun dan denda secara maksimal Rp. 1.000.000.000 satu milyar rupiah
berdasarkan pasal 2 ayat 1 UUPTPK serta pidana tambahan berupa “uang pengganti” sama dengan harta benda yang diperoleh dari harta benda
maksimal , yakni Rp. Rp.119.802.393.040,- seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah
Universitas Sumatera Utara
dan US 2.938.556,24 dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US Dollar sesuai penetapan
pasal 18 ayat 1 huruf b UUPTPK ditambah dengan merampas barang bukti berupa alat kejahatan instrumental delicti dan hasil kejahatan berupa hasil
hutan kayu corpora delicti untuk negara sesuai dengan pasal 18 ayat 1 huruf b UUPTPK yo pasal 78 ayat 15 yo pasal 79 ayat 1 UU Kehutanan. Putusan
MARI tersebut bersifat responsif terhadap prinsip-prinsip penegakan hukum pidana korupsi dan kehutanan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV HAMBATAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA