Surat Walikota Pematangsiantar Tentang Pemungutan BPHTB Dalam

69 hanya dapat dilakukan dengan jenis peraturan perundang-undangan yang berupa peraturan daerah kabupaten kota bukan dengan peraturan yang ditetapkan oleh Bupati Walikota, oleh karena itu sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat 1 Undang- undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan- undangan keberadaan Surat Edaran Walikota Pematangsiantar tentang Pemungutan BPHTB bukan merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang diperintahkan oleh Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan karena itu pula melanggar ketentuan Pasal 23 A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

2. Surat Walikota Pematangsiantar Tentang Pemungutan BPHTB Dalam

Perspektif Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dan Dalam Perspektif Teori Norma Hukum Berjenjang. Selain huruf a sampai g yang disebut dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan di atas, dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan dikenal juga jenis peraturan perundang-undangan lainnya yaitu peraturan yang ditetapkan oleh : 59 a. Majelis Permusyawaratan Rakyat b. Dewan Perwakilan Rakyat c. Mahkamah Agung d. Mahkamah Konstitusi e. Badan Pemeriksa Keuangan f. Komisi Yudisial 59 ibid. Universitas Sumatera Utara 70 g. Bank Indonesia h. Menteri i. Badan atau lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang. j. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi k. Gubernur l. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kota m. Bupati Walikota n. Kepala Desa atau yang setingkat Namun menurut Pasal 8 ayat 2, Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, ditentukan bahwa peraturan perundang- undangan sebagaimana yang tersebut dalam huruf a sampai n di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 60 Sebagai suatu sistem, hierarki peraturan perundang-undangan menegaskan adanya kekuatan hukum peraturan perundang-undangan di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai hierarki yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatakan bahwa “kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki 60 ibid. Universitas Sumatera Utara 71 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.” Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 7 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang- undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundangan-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan-undangan yang lebih tinggi.” Ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan tersebut sesuai dengan asas lex superiori derogate lex inferiory, yaitu suatu peraturan dapat juga dinyatakan tidak berlaku bila nyata-nyata bertentangan dengan norma aturan yang lebih tinggi. 61 Asas lex superiori derogate lex inferiory sejalan dengan Teori Norma Hukum Berjenjang stufenbau des rechts atau the hierarchy of law yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, ahli hukum yang paling konsekuen dalam cara memandang hukum secara formal. 62 Berkembangnya Teori Norma Hukum Berjenjang stufentheorie sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari tiga nama ahli hukum yaitu Adolf Merkl, Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, berbagai literatur menyebutkan Adolf Merkl 61 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2009, hal.8 62 Moechtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, PT. Alumni, Bandung, 2009, hal. 125. Universitas Sumatera Utara 72 merupakan pemikir yang mencetuskan teori berjenjang atau setidaknya Adolf Merkl menulis terlebih dahulu tentang teori berjenjang stufentheorie . 63 Substansi dari Teori Norma Hukum Berjenjang oleh Hans Kelsen ini mengajarkan bahwa kaidah hukum merupakan susunan berjenjang dan setiap kaedah yang lebih rendah bersumber dari kaidah yang lebih tinggi. Suatu norma berlaku, besumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dan keabsahan dari norma yang lebih tinggi. 64 Surat Walikota Pematangsiantar tentang Pemungutan BPHTB secara hierarki peraturan perundang-undangan adalah merupakan peraturan yang dibuat oleh Walikota Pematangsiantar. Kedudukan Surat Walikota Pematangsiantar tersebut menurut Pasal 8 ayat 1 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan tingkatannya berada di bawah Undang-undang Dasar 1945 dan Undang- undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan pembentukan Surat Walikota Pematangsiantar tersebut bukan merupakan perintah dari peraturan perundang-undangan oleh karena itu pembentukan Surat Walikota Pematangsiantar tersebut tanpa dasar kewenangan Dengan demikian menurut Pasal 8 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Surat Walikota 63 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal. 9 64 Bachsan Mustafa, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1982, hal.66-67. Universitas Sumatera Utara 73 Pematangsiantar tentang Pemungutan BPHTB tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

3. Surat Walikota Pematangsiantar Tentang Pemungutan BPHTB Dalam

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Yang Mengacu Kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Serta Pejabat Negara Yang Berperan Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Dan Ban

1 41 152

Mekanisme Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Kaitannya Dengan Pendaftaran Hak Atas Tanah Atau Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Badan Pertanahan Nasional Kota Binjai

3 77 78

Analisis Perbedaan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Sebelum dan Sesudah Dilaksanakan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 di Kota Bandung.

1 6 68

Analisis Perbedaan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Sebelum dan Sesudah Dilaksanakan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 di Kota Cimahi.

0 0 16

Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Terhadap Hibahwasiat Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

0 0 16

Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Terhadap Hibahwasiat Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

0 0 2

Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Terhadap Hibahwasiat Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

0 2 30

Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Terhadap Hibahwasiat Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

0 0 55

Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Terhadap Hibahwasiat Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

0 0 7

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

0 0 20