Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori.

11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori.

Menurut Sudikno Mertokusumo kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan, kata teori mempunyai banyak arti dan biasanya diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan dengan kegiatan yang bersifat praktis. 10 Sedangkan menurut H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti perenungan yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. Dalam banyak literatur beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berpikir yang tersusun secara sistematis, logis rasional, empiris kenyataannya, juga simbolis. 11 “Sementara itu, teori hukum menurut JJ.H.Bruggink adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan.” 12 Menurut Meuwissen, tugas teori hukum ialah memberikan suatu analisis tentang pengertian hukum dan tentang pengertian-pengertian lain yang dalam 10 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pusaka, Yogyakarta, 2012, hal. 4 11 H.R. Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, hal. 21. 12 B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hal. 159-160. Universitas Sumatera Utara 12 hubungan ini relevan, kemudian menjelaskan hubungan antara hukum dengan logika dan selanjutnya memberikan suatu filasafat ilmu dari ilmu hukum dan suatu ajaran metode untuk praktek hukum. 13 Teori hukum yang dalam lingkungan berbahasa Inggris, disiplin ilmiah ini disebut jurisprudence atau legal theory 14 yang peneliti pilih sebagai pisau analisis yang akan dipergunakan untuk menganalisis hasil penelitian ini adalah Teori Yuridis Pemungutan Pajak certainty theory yang dipelopori oleh Adam Smith Inggris, Teori Legalitas Kewenangan Pemerintah Legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur yang dipelopori oleh J.J. Rousseau Perancis dan Teori Norma Hukum Berjenjang stufen theory yang dipelopori oleh Hans Kelsen Jerman.

a. Teori Yuridis Pemungutan Pajak Certainty Theory oleh Adam Smith

Inggris . Dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, R. Santoso Brotodihardjo mengatakan “dalam pemungutan pajak dikenal beberapa teori atau asas. Salah satu di antaranya ada yang disebut dengan Teori atau Asas Yuridis certainty theory yang dipelopori oleh Adam Smith.” Menurut Teori atau asas Yuridis ini, pajak harus dapat memberi jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas baik untuk Negara maupun untuk warganya. Oleh karena itu segala sesuatu yang berkenaan dengan pajak harus 13 B. Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 31. 14 B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hal.120 Universitas Sumatera Utara 13 ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan untuk menghindari kesewenang- wenangan dalam pemungutan pajak dan agar tidak terjadi penyelewengan dalam pemungutan pajak. Pajak yang harus dibayar oleh setiap wajib pajak harus jelas dan pasti. Kepastian itu meliputi subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dasar pengenaan pajak, dan lain-lain. Untuk menjamin kepastian dalam pemungutan pajak, maka pemungutan pajak harus berdasarkan hukum artinya pemerintah baik pusat maupun daerah sebelum melakukan pungutan apapun terhadap rakyatnya harus terlebih dahulu menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangan. 15

b. Teori Legalitas Kewenangan Pemerintah

Legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur oleh J.J. Rousseau Perancis . Asas legalitas yang dipelopori oleh J.J. Rousseau, merupakan salah satu prinsip yang dijadikan dasar bagi kewenangan pemerintah, menurut asas ini “bahwa wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan atau dengan kata lain sumber wewenang pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.” 16 Pada mulanya asas legalitas dikenal dalam penarikan pajak oleh negara, di Inggris dikenal dengan sebutan no taxation without representation yang artinya tidak ada pajak tanpa persetujuan parlemen. Di Amerika Serikat terkenal dengan ungkapan taxation without representation is robbery, yang artinya pajak tanpa persetujuan 15 R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Refika Aditama, Bandung, 2003, hal.37. 16 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.103-104 Universitas Sumatera Utara 14 parlemen adalah perampokan. Dari kedua ungkapan tersebut berarti bahwa penarikan pajak hanya boleh dilakukan setelah adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur pemungutan dan penetapan pajak. Asas legalitas ini juga dikenal dalam Hukum Pidana yaitu nullum delictum sine praevia lege poenali, yang artinya tidak ada hukuman tanpa undang-undang. 17 Kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangan-undangan itu diperoleh melalui 3 tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini HD van WijkWillem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut : 18 1. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan . 2. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. 3. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya . Indroharto mengatakan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara: 19 1. yang berkedudukan sebagai original legislator, di Negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang dan di tingkat daerah adalah DPRD dan pemda yang melahirkan peraturan daerah. 17 Ibid, hal. 94 18 Ibid, hal. 104-105 19 Ibid. Universitas Sumatera Utara 15 2. yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha Negara tertentu.

c. Teori Norma Hukum Berjenjang stufentheorie oleh Hans Kelsen Jerman .

“Teori norma hukum berjenjang stufentheorie adalah ajaran dari Hans Kelsen yang mengatakan bahwa norma-norma hukum berjenjang-jenjang atau bertangga-tangga stufen berarti tangga dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut yaitu norma dasar grundnorm ” 20 Norma hukum yang dimuat dalam suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang diatur pada peraturan yang secara hierarki berada di atasnya. Secara garis besar ajaran norma hukum berjenjang berkisar pada pemahaman bahwa suatu norma hukum yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang berada di atas. Sebuah norma absah valid karena dan bila diciptakan dengan cara tertentu yaitu cara yang ditentukan oleh norma lain di atasnya. 21 Teori norma hukum berjenjang dari Hans Kelsen ini diilhami oleh muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa norma itu selalu mempunyai dua wajah artinya suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada 20 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal.25 21 Imam Soebechi, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal..9 Universitas Sumatera Utara 16 norma yang di atasnya tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku yang relative oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya, sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula. 22 “Teori Hans Kelsen tersebut selanjutnya dikembangkan lagi oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky yang mengatakan bahwa suatu norma hukum dari Negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang di mana norma yang di bawah berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.” 23 “Menurut Hans Nawiasky bahwa selain berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu Negara itu juga berkelompok-kelompok. Ada 4 kelompok besar yaitu : 1. staatsfundamentalnorm norma fundamental Negara 2. staatsgrundgesetz aturan dasar pokok Negara 3. formell gesetz undang-undang formal 4. verordnung autonome satzung aturan pelaksana dan aturan otonom.” 24 Ketiga teori inilah yang akan digunakan oleh peneliti sebagai dasar untuk menganalisis hasil penelitian ini nantinya. 22 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, op.cit., hal. 26 23 Ibid., hal. 27 24 Ibid., Universitas Sumatera Utara 17

2. Kerangka Konsepsi.

Kerangka konsepsi merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep- konsep yang akan diteliti. Salah satu cara untuk menjelaskan konsep-konsep tersebut adalah dengan membuat definisi. Definisi merupakan suatu pengertian yang relatif lengkap tentang suatu istilah dan definisi bertitik tolak pada referensi. 25 Berikut ini diuraikan beberapa konsep definisi pengertian yang dijumpai dalam tesis ini dengan referensi yaitu Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana tercantum dalam Bab I, Pasal 1, Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah a. Pengertian Daerah Otonom. Daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia b. Pengertian Pemerintah Pusat. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik 25 Amiruddin dan H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 47 - 48 Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Yang Mengacu Kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Serta Pejabat Negara Yang Berperan Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Dan Ban

1 41 152

Mekanisme Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Kaitannya Dengan Pendaftaran Hak Atas Tanah Atau Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Badan Pertanahan Nasional Kota Binjai

3 77 78

Analisis Perbedaan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Sebelum dan Sesudah Dilaksanakan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 di Kota Bandung.

1 6 68

Analisis Perbedaan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Sebelum dan Sesudah Dilaksanakan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 di Kota Cimahi.

0 0 16

Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Terhadap Hibahwasiat Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

0 0 16

Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Terhadap Hibahwasiat Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

0 0 2

Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Terhadap Hibahwasiat Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

0 2 30

Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Terhadap Hibahwasiat Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

0 0 55

Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Terhadap Hibahwasiat Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

0 0 7

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

0 0 20