Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku di Tinjau dari KUHP dan UU NO. 23 Tahun 2002

Perlindungan khusus ini juga berlaku bagi setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana yang dimaksud diatas.

C. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku di Tinjau dari KUHP dan UU NO. 23 Tahun 2002

1. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku di Tinjau dari KUHP Kasus tindak pidana pemerkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan maupun maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan diatas juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umunya dilakukan tanpa kehadiran orang lain. 40 Hal yang terpenting yang perlu diperhatikan dalam kasus pemerkosaan adalah “pembuktian”. Dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP menyatakan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, surat dan petunjuk. Untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi hukum pidana sekurang- kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah dalam Pasal183 KUHAP, khususnya terhadap kasus pemerkosaan, dengan adanya ketentuan dalam pasal ini maka Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke pengadilan, tetapi dari kasus –kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Pidana KUHP Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan Pasal 281-Pasal 296 KUHP, khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan. 40 Leden Marpaung, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara semakin sulit saja seseorang korban untuk menuntut pelakunya. Karena sangat jarang ada saksi yang mengetahui adanya perkosaan kecuali perkosaan tersebut tertangkap basah atau pelaku itu lebih dari satu orang. Bagitu juga dengan pengakuan pelaku, seorang pelaku perkosaan jarang mengakui perbuatannya, kalaupun pelaku mengakui perbuatannya tetapi kalau bukti yang lain tidak ada maka pelaku belum dapat dikenakan hukuman. Kekurangan yang lain dapat dilihat dari kasus-kasus pemerkosaan adalah ancaman hukuman yang dikenakan kepada pelaku apabila pelaku terbukti melakukan kesalahan. Dalam hal ini KUHP hanya mengenal ancaman hukuman maksimal namun tidak mengenal ancaman hukuman minimal. Seperti kasus-kasus pemerkosaan yang sampai diperiksa ditingkat pengadilan, pernah ditemui seorang pelaku perkosaan dihukum satu tahun delapan bulan penjara. Hukuman yang dijalani oleh seorang pelaku sebenarnya tidak sebanding dengan derita yang dialami oleh korban seumur hidup. Belum lagi adanya anggapan dari masyarakat bahwa korbanlah yang memancing pelaku untuk melakukan perkosaan tersebut. Ketiadaan ancaman hukuman minimal ini membuat pelaku-pelaku lain tidak merasa takut untuk melakukannya. Dalam penjatuhan sanksi pidana yang berupa kewajiban membayar ganti rugi kepada korban, juga perlu mempertimbangkan kemampuan pelaku tindak pidana, khususnya dalam hai ini tindak pidana atau kejahatan perkosaan. Hal ini karena apabila pembayaran ganti rugi tersebut dipaksakan kepada pelaku maka tujuan pemidanaan akan terhambat bahkan tidak akan tercapai, khususnya tujuan untuk mempengaruhi terhukum agar tidak melakukan tindak pidana lagi. Universitas Sumatera Utara Pemberian beban yang melampaui batas kemampuannya akan membuat si terhukum menjadi lebih jahat lagi, sehingga dapat dikatakan bahwa pemidanaan itu sendiri bersifat kriminogen, yang artinya justru menjadi sumber terjadinya kejahatan. Di dalam KUHP, apabila dilihat pada Pasal 285 KUHP yang dalam Pasal 285 KUHP tersebut menyatakan bahwa : “Barangsiapa dengan kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun”. Perumusan dalam KUHP tersebut, menetapkan kriteria untuk dapat mengkategorikan suatu perbuatan sebagai perkosaan yaitu : 41 1. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan bukan hanya kekerasan yang dipakai sebagai sarana, bahkan ancaman untuk melakukan kekerasan sudah cukup. 2. Memaksa perempuan Dalam hal ini berarti tidak ada persetujuan dari perempuan tersebut. 3. Yang bukan isterinya Apabila perempuan yang dipaksa adalah isteri pelaku sendiri, maka hal ini tidak termasuk perkosaan, walaupun ada kekerasan ancaman kekerasan. 4. Untuk bersetubuh Bersetubuh yakni melakukan hubungan kelamin dengan seorang perempuan yang bukan isterinya. 41 Ibid.,Hal. 49. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan rumusan delik perkosaan yang tercantum dalam Pasal 285 KUHP, maka dapat diketahui unsur-unsur delik perkosaan tersebut, antara lain : 42 1. Unsur barang siapa Kata barang siapa dalam hal ini menunjuk kepada orang yang melakukan tindak pidana. Jadi subyek tindak pidananya adalah manusia dalam Pasal 285 KUHP disebutkan dengan kata-kata memaksa seorang perempuan, maka dapat disimpulkan bahwa subyek tindak pidana perkosaan adalah laki-laki. 2. Unsur dengan kekerasan Menurut M.H Tirtamidjaja, yang dimaksud dengan kekerasan yakni setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat. 43 3. Unsur dengan ancaman kekerasan Kekerasan ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidak memungkinkan baginya selain membiarkan dirinya untuk disetubuhi. Undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan ancaman kekerasan. Mengancam dengan kekerasan itu harus diartikan sebagai suatu ancaman, yang apabila orang diancam tidak besedia memenuhi keinginan pelaku unutk melakukan hubungan kelamin dengan pelaku, maka ia akan melakukan sesuatu yang berakibat merugikan bagi kebebasan, kesehatan atau keselamatan nyawa orang yang diancam. 42 R. Soesilo, kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 285, Hal. 211. 43 Leden Marpaung, op. Cit., Hal. 52. Universitas Sumatera Utara 4. Unsur memaksa Memaksa berarti diluar kehendak dari wanita tersebut atau bertentangan dengan kehendak wanita. Perbuatan memaksa itu dapat dilakukan dengan suatu perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. 5. Unsur seorang perempuan Yang dikasud dalam Pasal 285 ini adalah perempuan yang dijadikan sebagai korban. Dan pada umumnya pada pasal ini tidak ada batasan usianya yang dijadikan sebagai korban. 6. Unsur bersetubuh Bersetubuh yakni melakukan hubungan kelamin dengan seorang perempuan yang bukan isterinya. 7. Unsur dengan dirinya Denga dirinya disini adalah diri orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan telah memaksa korban untuk mengadakan hubungan kelamin denga dirinya. Di dalam Pasal 286 KUHP juga mengatur tentang persetubuhan yang menyatakan bahwa : “Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamannya 9 tahun”. Pengaturan pada pasal ini ialah apabila pelaku perkosaan terhadap anak dibawah umur melakukan pemenuhan hasrat seksualnya bukan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan dengan cara meminumkan suatu Universitas Sumatera Utara zat atau obat yang membuat korbannya pingsan atau tidak berdaya, pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Sedangkan pada Pasal 287 KUHP ayat 1 dan 2, berbunyi : Ayat 1 : “Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu untuk kawin dihukum penjara selama- lamanya 9 tahun”. 44 Ayat 2 : “Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada Pasal 291 dan Pasal 294 KUHP”. Seperti yang kita ketahui, jika dilihat dari ketentuan Pasal 285 KUHP hanya menegaskan batasan ancaman pidana 12 tahun penjara dan tidak menegaskan batasan batasan minimal ancaman sanksi, sehingga secara tidak langsung hakim diberikan ruang yang sangat luas untuk memutuskan ancaman sanksi pidana sampai serendah-rendahnya. Pengaturan ancaman sanksi tersebut tentunya membuka peluang ringannya hukuman dari ancaman maksimal yang dikenakan bagi pelaku, dan hal ini kurang adil bagi kepentingan dan hak-hak korban yang telah menderita akibat perbutan kejahatan perkosaan yang dilakukan oleh pelaku. Berkaitan dengan penuntutan, Pasal 287 ayat 2 KUHP mengatakan bahwa penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan. Kejahatan perkosaan dikategorikan kedalam delik biasa atau penuntutan dapat dilakukan tanpa aduan dari korban. Maka tanpa aduan dari korbanpun jika ada seseorang yang mengetahui peristiwa tersebut dapat memberitahukan kepada pihak yang 44 R. Soesilo, Op. Cit., Pasal 287 ayat 1. Universitas Sumatera Utara berwajib. Jika tindak pidana perkosaan terhadap wanita yang belum mencapai usia 15 tahun tetapi telah berusia diatas 12 tahun, dan tidak mengakibatkan luka parah atau meninggal, maka peristiwa ini adalah delik aduan. Apabila perbuatan tersebut dilakukan terhadap wanita yang berusia dibawah 12 tahun maka peristiwa itu adalah delik biasa.

2. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku di Tinjau dari UU. 23 Tahun 2002

Di dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak ini memuat tentang sanksi-sanksi pidana, dimana pengaturannya diatur di dalam Bab XII ketentuan pidana mulai dari Pasal 77 sampai Pasal 90. Di dalam UU No. 23 tahun 2002 tidak mengenal kata perkosaan seperti yang tertulis secara tegas didalam KUHP, akan tetapi jika mengenai perbuatan asusila maka Pasal 81 ayat 1 dan 2 UU No. 23 tahun 2002 dapat dikatakan sebagai ketentuan yang mengatur perihal pemaksaan untuk bersetubuh. Dan Pasal 82 yang mengatur tentang perihal perbuatan cabul terhadap anak. Pasal 81 ayat 1 Undang-undang No. 23 tahun 2002 menyebutkan bahwa : “setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000-, tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit Rp. 60.000.000-, enam puluh juta rupiah”. 45 Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pasal ini, antara lain : 45 Ibid., Pasal 81 ayat 1. Universitas Sumatera Utara 1. Setiap orang Dalam undang-undang ini “setiap orang” yang dimaksud adalah subyek atau pelaku. 2. Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan Dalam melakukan persetubuhan, terdakwa melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan demi memuluskan perbuatannya, bentuk kongkrit kekerasan itu misalnya dengan memukul, menendang, menusuk dengan pisau dan lain sebagainya, sedangkan ancaman kekerasan itu merupakan ancaman kekerasan fisik yang dapat berupa perbuatan persiapan untuk melakukan perbuatan fisik berupa kekerasan yang ditujukan pada korban guna memudahkan melakukan suatu perbuatan berarti mengandung unsur kesengajaan dolus; 3. Memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain Pengertian memaksa anak disini merupakan suatu perbuatan untuk menekan kehendak orang lain agar orang tersebut menerima kehendak kita dalam melakukan persetubuhan, sedangkan yang dimaksud “anak” dalam undang-undang ini adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan; 4. Berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain Universitas Sumatera Utara Yang berarti bahwa perbuatan tersebut dapat dilakukan dengan cara menipu, merayu, membujuk dan lain sebagainya untuk menyetubuhi korban; Dalam pasal ini, pengaturan bagi pelaku perkosaan terhadap anak di bawah umur denga cara kekerasan atau ancaman kekerasan yang diamana menerangkan hukuman bagi pelaku sangatlah yaitu paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun penjara, setidaknya akan membuat pelaku geram dan menyadari benar perbuatan apa yang telah ia lakukan. Pengaturan pada pasal ini sudah cukup efisien dalam menjerat para pelaku untuk dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya dihadapan hukum. Pasal 81 ayat 2 dalam Undang-undang ini menyebutkan bahwa : “ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukanpersetubuhan dengannya atau orang lain”. 46 Pada pasal ini menerangkan bahwa segala tindakan pemaksaan bersetubuh dengan anak dengan cara tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk rayu demi pemenuhan hasrat seksual pelaku terhadap anak yang menjadi korbannya. Hal tersebut seiring dengan berkembangnya tehnik atau modus pelaku perkosaan yang baru dan semakin berkembang, antara lain dengan cara membujuk rayu, menipu, dan lain-lain. Dalam hal ini pelaku dapat diancam sama dengan Pasal 81 ayat 1 yaitu minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara. Pasal 82 dalam undang-undang ini menyebutkan bahwa : 46 Ibid.,Pasal 81 2. Universitas Sumatera Utara “setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000-, tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit Rp. 60.000.000-, enam puluh juta rupiah”. 47 Dalam pasal 1 poin 1 UU No. 23 tahun 2002 yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan. Dengan kata lain, anak disini tidak membedakan, apakah anak tersebut merupakan anak angkat atau anak kandung, ataupun anak tiri. Perihal tindak pidana persetubuhan yang dilakukan dengan sengaja terhadap anak secara paksa dengan ancaman kekerasan atau kekerasan seperti dalam Pasal 81 ayat 1 dalam undang-undang ini ataupun dengan melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain seperti dalam Pasal 81 ayat 2 Undang-undang ini dan perbuatan cabul terhadap anak seperti dalam Pasal 82, maka dikatakan bahawa unsur “setiap orang” sebagai subyek tindak pidana dalam undang-undang ini mencangkup setiap pelaku, maka orang perseorangan disini juga tidak membedakan pula subyek tindak pidananya, apakah laki-laki atau perempuan atau apakah ia mempunyai hubungan darah atau keluarga dengan si korban anak tersebut. 47 Ibid., Pasal 82. Universitas Sumatera Utara

D. Kasus posisi dan Analisis kasus 1. Kasus Posisi