Latar Belakang Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Di Bawah Umur ( Studi Putusan PN No. 609/Pid.B/2011/PN Mdn )

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Lebih buruknya adalah salah satu dari pelaku tindak pidana pemerkosaan adalah orang terdekat atau bahkan orang yang berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai bertentangan dengan seluruh norma yang ada, karena pemerkosaan dilakukan dalam suatu perbuatan yang memaksakan seseorang perempuan untuk bersetubuh diluar perkawinan didalam perkawinan. Bahkan pemerkosaan adalah puncak dari pelecehan seksual yang paling mengerikan yang bagi setiap perempuan adalah hal yang menakutkan dan tidak seorang perempuan pun yang menginginkannya. Tindak pidana pemerkosaan sering menimbulkan luka traumatik yang mendalam. Berbagai kasus pemerkosaan yang sering terjadi, pelaku bukan hanya melakukan pemerkosaan, tetapi juga diikuti dengan tindak kejahatan lain seperti merampas barang si korban atau bahkan membunuh si korban, dan bagi korban tindak pidana pemerkosaan sesungguhnya adalah sebuah penderitaan yang jauh lebih sekedar kehilangan harta benda. Perempuan korban pemerkosaan biasanya akan mengalami trauma psikologis, mereka juga akan memperoleh stigma sebagai korban dari masyarakat. Pada tindak kejahatan ini walaupun beratnya ancaman sanksi pidana yang telah diatur didalam KUHP tampaknya tidak terpikirkan oleh Universitas Sumatera Utara sipelaku. Kesulitan utama yang sering muncul dalam kasus tindak pidana pemerkosaan biasanya adalah soal pembuktian diakui atau tidak, sebab pembuktian tindak pidana pemerkosaan dipengadilan sangatlah tergantung sejauh mana penyidik dan penuntut umum mampu menunjukkan bukti-bukti bahwa telah terjadi tindak pidana pemerkosaan. Untuk mengungkap suatu kasus pemerkosaan pada tahap penyidikan akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti- bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi. Adanya peranan dokter dalam membantu penyidik dalam memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban pemerkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana pemerkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal fakta yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-sebaiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut. 1 Permohonan visum et repertum pada kedokteran kehakiman dalam tindak pidana pemerkosaan tidak dapat dilakukan oleh setiap orang, yang berhak meminta visum et repertum adalah Penyidik, hakim Pidana, Hakim Perdata dan 1 Amri Amir, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi kedua, Ramadhan, Medan, 2005, Hal. 207. Universitas Sumatera Utara Hakim Agama. 2 1. Pasal 7 ayat 1 huruf h KUHAP : Penulis dalam hal ini hanya menguraikan permohonan visun et repertum yang dilakukan oleh penyidik terhadap dokter ahli forensik. Yang berhak mengajukan prosedur pengeluaran visum et repertum menurut KUHAP antara lain : Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : mendatangkan orang ahli yang diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. 2. Pasal 120 ayat 1 KUHAP : Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. 3. Pasal 133 ayat 1 KUHAP : Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya ketentuan Pasal-pasal diatas telah memberikan gambaran, bahwa yang dapat mengajukan prosedur pengeluaran visum et repertum adalah penyidik. Oleh karena itu visum et repertum semata-mata hanya dibuat agar suatu perkara pidana menjadi jelas dan hanya beguna bagi kepentingan pemeriksaan dan untuk keadilan serta diperuntukkan bagi kepentingan peradilan. Visum et repertum dengan 2 Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Edisi kedua, Surabaya, 1992, hal. 21. Universitas Sumatera Utara demikian tidaklah dibuat diterbitkan untuk kepentingan lain, karena tujuan visum et repertum adalah untuk memberikan kepada Hakim Majelis suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua keadaanatau hal sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan agar Hakim dapat mengambil putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan Hakim. 3

B. Permasalahan