BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam
kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Lebih buruknya adalah salah satu dari pelaku tindak pidana pemerkosaan adalah orang terdekat atau bahkan orang yang
berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai bertentangan dengan seluruh norma yang ada, karena pemerkosaan dilakukan
dalam suatu perbuatan yang memaksakan seseorang perempuan untuk bersetubuh diluar perkawinan didalam perkawinan. Bahkan pemerkosaan adalah
puncak dari pelecehan seksual yang paling mengerikan yang bagi setiap perempuan adalah hal yang menakutkan dan tidak seorang perempuan pun yang
menginginkannya. Tindak pidana pemerkosaan sering menimbulkan luka traumatik yang mendalam.
Berbagai kasus pemerkosaan yang sering terjadi, pelaku bukan hanya melakukan pemerkosaan, tetapi juga diikuti dengan tindak kejahatan lain seperti
merampas barang si korban atau bahkan membunuh si korban, dan bagi korban tindak pidana pemerkosaan sesungguhnya adalah sebuah penderitaan yang jauh
lebih sekedar kehilangan harta benda. Perempuan korban pemerkosaan biasanya akan mengalami trauma psikologis, mereka juga akan memperoleh stigma sebagai
korban dari masyarakat. Pada tindak kejahatan ini walaupun beratnya ancaman sanksi pidana yang telah diatur didalam KUHP tampaknya tidak terpikirkan oleh
Universitas Sumatera Utara
sipelaku. Kesulitan utama yang sering muncul dalam kasus tindak pidana pemerkosaan biasanya adalah soal pembuktian diakui atau tidak, sebab
pembuktian tindak pidana pemerkosaan dipengadilan sangatlah tergantung sejauh mana penyidik dan penuntut umum mampu menunjukkan bukti-bukti bahwa telah
terjadi tindak pidana pemerkosaan. Untuk mengungkap suatu kasus pemerkosaan pada tahap penyidikan
akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti- bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi. Adanya peranan dokter
dalam membantu penyidik dalam memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban pemerkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti
atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana pemerkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut
dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Visum et repertum adalah laporan tertulis
untuk peradilan yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal
fakta yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-sebaiknya dan
pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut.
1
Permohonan visum et repertum pada kedokteran kehakiman dalam tindak pidana pemerkosaan tidak dapat dilakukan oleh setiap orang, yang berhak
meminta visum et repertum adalah Penyidik, hakim Pidana, Hakim Perdata dan
1
Amri Amir, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi kedua, Ramadhan, Medan, 2005, Hal. 207.
Universitas Sumatera Utara
Hakim Agama.
2
1. Pasal 7 ayat 1 huruf h KUHAP :
Penulis dalam hal ini hanya menguraikan permohonan visun et repertum yang dilakukan oleh penyidik terhadap dokter ahli forensik. Yang
berhak mengajukan prosedur pengeluaran visum et repertum menurut KUHAP antara lain :
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : mendatangkan orang ahli yang
diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. 2.
Pasal 120 ayat 1 KUHAP : Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli
atau orang yang memiliki keahlian khusus. 3.
Pasal 133 ayat 1 KUHAP : Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya
ketentuan Pasal-pasal diatas telah memberikan gambaran, bahwa yang dapat mengajukan prosedur pengeluaran visum et repertum adalah penyidik. Oleh
karena itu visum et repertum semata-mata hanya dibuat agar suatu perkara pidana menjadi jelas dan hanya beguna bagi kepentingan pemeriksaan dan untuk keadilan
serta diperuntukkan bagi kepentingan peradilan. Visum et repertum dengan
2
Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Edisi kedua, Surabaya, 1992, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
demikian tidaklah dibuat diterbitkan untuk kepentingan lain, karena tujuan visum et repertum adalah untuk memberikan kepada Hakim Majelis suatu
kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua keadaanatau hal sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan agar Hakim dapat mengambil
putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan Hakim.
3
B. Permasalahan