Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Menurut KUHAP dan UU No.13 Tahun 2006

bedakan. Namun perlindungan hukum terhadap korban terkesan terasing dalam sistem peradilan pidana, hal ini disebabkan minimnya pengaturan korban sebagai pihak yang dirugikan baik secara fisik maupun psikis. Dalam peraturan perundang-undangan pidana mengakibatkan kurangnya pembahasan -pembahasan mengenai korban di dalam proses pidana. Peran dan posisi korban di dalam proses pidanas sesuai dengan peraturan perundang-undangan pidana di indonesia KUHAP lebih banyak diposisikan kualitas saksi. Sehingga proses persidangan lebih mengarah kepada kepentingan penjatuhan sanksi pidana daripada kepentingan korban secara luas, dan apa yang menjadi kepentingan korban sering terabaikan. Permasalahan korban menjadi permasalahan hukum yang membutuhkan satu pikiran yang serius. Korban sebagai pihak yang dirugikan langsung tidak memiliki akses yang kuat untuk dapat menentukan sikap yang berhubungan apa yang sedang dialaminya. Menguatnya perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa dalam KUHAP ternyata hingga saat ini belum diimbangi dengan dengan perhatian yang sama terhadap nasib korban kejahatan yang juga mengalami nasib yang sama, yaitu terabaikannya oleh sistem peradilan pidana. 27

A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Menurut KUHAP dan UU No.13 Tahun 2006

1 Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Menurut KUHAP 27 HttpwwwGoogle.ComPerlindungan Hukum terhadap korban dalam tindak pidana Perkosaan menurut KUHAP, dikutip dari Tesis Tri Wahyu Widiastuti Univeristas Diponegoro Semarang yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana dalam Perlindungan terhadap korban Perkosaan”, diakses tanggal 21 Maret 2012. Universitas Sumatera Utara Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan kesusilaan termasuk korban kejahatan perkosaan diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP, juga diatur dalam ketentuan yang dikhususkan bagi pemeriksaan persidangan kejahatan kesusilaan. Ketentuan Pasal 153 ayat 3 KUHAP yang menyebutkan “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan sidang dinyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”. Dengan adanya kalimat yang menyatakan “kecuali dalam perkara kesusilaan” ketentuan Pasal 153 ayat 3 KUHAP tersebut menunjukkan, bahwa korban tindak pidana kesusilaan termasuk dalam hal ini adalah korban kejahatan perkosaan memperoleh perlindungan hukum dalam pemeriksaan pengadilan terhadap kehormatan dan harga dirinya untuk tidak dilihat dan didengar atau diketahui oleh umum tentang peristiwa yang dialaminya. Dengan demikian fakta peristiwa yang dikemukakan korban atau saksi korban dalam pemeriksaan pengadilan tidak berakibat rasa malu dan rendah harga diri yang menyebabkan penderitaan psikis bagi korban perkosaan. Ketentuan Pasal 285 KUHP hanya menegaskan batasan ancaman pidana 12 tahun penjara dan tidak menegaskan batasan batasan minimal ancaman sanksi, sehingga secara tidak langsung hakim diberikan ruang yang sangat luas untuk memutuskan ancaman sanksi pidana sampai serendah-rendahnya. Pengaturan ancaman sanksi tersebut tentunya membuka peluang ringannya hukuman dari ancaman maksimal yang dikenakan bagi pelaku, dan hal ini kurang adil bagi kepentingan dan hak-hak korban yang telah menderita akibat perbutan kejahatan Universitas Sumatera Utara perkosaan yang dilakukan oleh pelaku. Berkaitan dengan penuntutan, Pasal 287 ayat 2 KUHP mengatakan bahwa penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan. Kejahatan perkosaan dikategorikan kedalam delik biasa atau penuntutan dapat dilakukan tanpa aduan dari korban. Maka tanpa aduan dari korbanpun jika ada seseorang yang mengetahui peristiwa tersebut dapat memberitahukan kepada pihak yang berwajib. Bila kondisi hukum pidana indonesia tidak berubah, maka korban kejahatan perkosaan tidak akan dapat terlindungi. 28 Perlu diketahui, bahwa sebagai pusat atau subyek korban berhak didengar keterangannya, mendapat informasi atas upaya hukum yang berjalan, dipertimbangkan keinginnya untuk mendapat keadilan, dan situasinya dipulihkan perampasan hak dan kekerasan yang dialaminya. Sejalan dengan perkembangan kemajuan masyarakat, berbagai kelemahan ini harus segera diatasi. KUHAP dinilai sebagai salah satu produk hukum bangsa indonesia yang mempunyai predikat sebagai “karya agung”. 29 Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa di dalam kitab undang-undang hukum acara pidana KUHAP Bab XIII tentang penggabungan perkara ganti kerugian, Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP yang mengatur tentang ganti rugi yang diberikan kepada pihak korban dengan menggabungkan perkara pidana dan perdata. Hal ini juga merupakan perwujudan dari perlindungan hukum terhadap korban, khususnya korban perkosaan. Jadi selain pelaku telah 28 HttpwwwGoogle.ComPerlindungan Hukum terhadap korban dalam tindak pidana Perkosaan menurut KUHP, dikutip dari Tesis Ira Dwiati Univeristas Diponegoro Semarang yang Berjudul“Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Peradilan Pidana”, diakses tanggal 21 Maret 2012. 29 Arif Gosita, Op. Cit., Hal.22. Universitas Sumatera Utara mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, korban juga mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Dalam hukum pidana dikenal ganti kerugian yang dapat berbentuk restitusi atau kompensasi. Dalam hal ini restitusi merupakan ganti kerugian yang dibebankan pada pelaku tindak pidana, sedangkan kompensasi merupakan ganti kerugian yang di berikan oleh negara kepada korban kejahatan. Pasal 98 KUHAP memberi kesempatan kepada korban untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kedalam proses peradilan pidana, dimana ganti kerugian ini dipertanggung jawabkan kepada pelaku tindak pidana. Penggabungan gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana akan memudahkan korban atau keluarganya karena tidak perlu mengajukan gugatan tersendiri. Namun penggabungan perkara gugatan ganti kerugian tidak efektif karena jarang digunakan. 30 Gugatan ganti rugi tetap bersifat keperdataan walaupun diberikan melalui proses pidana. Disamping itu KUHAP tidak mengatur bagaimana bila pelaku tidak mau atau tidak mampu membayar ganti rugi tersebut kepada korban. Proses penggabungan perkara ganti kerugian ini pun bersifat fakultatif, dimana dalam Pasal 99 ayat 2 KUHAP disebutkan bahwa Hakim dapat menolak atau menerima permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh korban atau keluarganya. 30 HttpwwwGoogle.ComPerlindungan Hukum terhadap korban dalam tindak pidana Perkosaan menurut KUHAP, dikutip dari Tesis Tri Wahyu Widiastuti Univeristas Diponegoro Semarang yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana dalam Perlindungan terhadap korban Perkosaan”, diakses tanggal 21 Maret 2012. Universitas Sumatera Utara Pasal 99 ayat 1 KUHAP mengadakan pembatasan, dimana ganti kerugian yang diajukan ganti kerugian terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan korban atau ganti kerugian yang bersifat metteril, sedangkan kerugian yang bersifat immatteril tidak dapat diterima. Kerugian immaterial tersebut harus diajukan dalam perkara perdata. Dalam Pasal 100 ayat 2 KUHAP disebutkan bahwa apabila terdakwa dalam perkara pidananya tidak mengajukan banding, maka penggugat ganti kerugian tidak dapat mengajukan banding atas putusan atau penetapan gugatan ganti kerugiannya. Berdasarkan uraian diatas secara garis besar dalam KUHAP diatur beberapa hak yang dapat digunakan oleh korban kejahatan khususnya perkosaan dalam suatu proses peradilan pidana, yaitu : 31 1 Hak untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut umum. Hak ini adalah hak untuk mengajukan keberatan terhadap tindakan penghentian penyidikan dan atau penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan Pasal 77 Jo Pasal 80 KUHAP. Hal ini penting untuk diberikan guna menghidarkan adanya upaya dari pihak- pihak terntentu dengan berbagai motif yang bermaksud menghentikan proses pemeriksaan. 2 Hak korban berkaitan dengan kedudukannya sebagai saksi Hak ini adalah hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi Pasal 168 KUHAP. Kesaksian saksi korban sangat penting untuk diperoleh 31 HttpwwwGoogle.ComPerlindungan Hukum terhadap korban dalam tindak pidana Perkosaan menurut KUHAP, dikutip dari Tesis Tri Wahyu Widiastuti Univeristas Diponegoro Semarang yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana dalam Perlindungan terhadap korban Perkosaan”, diakses tanggal 21 Maret 2012. Universitas Sumatera Utara dalam rangka mencapai suatu kebenaran materil. Oleh karena itu, untuk mencegah korban mengundurkan diri sebagai saksi, diperlukan sikap proaktif dari aparat penegak hukum untuk memberikan jaminan keamanan bagi korban dan keluarganya pada saat mengajukan diri sebagai saksi. 3 Hak untuk menuntut ganti rugi akibat suatu tindak pidanakejahatan yang menimpa diri korban melalui cara penggabungan perkara perdata dan pidana. Hak ini diberikan guna memudahkan korban untuk menuntut ganti rugi kepada tersangkaterdakwa. Permintaan penggabungan perkara gugatan ganti rugi hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana, atau jika penuntut umum tidak hadir, permintaan tersebut diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan pututusan. 4 Hak bagi keluarga korban untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi melakukan otopsi Pasal 134-136 KUHAP. Mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi untuk melakukan otopsi juga merupakan suatu bentuk perlindungan korban kejahatan. Dalam KUHAP ada beberapa Pasal yang mengatur hak korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, yaitu : 32 1 Hak menuntut penggabungan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana Pasal 98-Pasal 101 KUHAP 32 HttpwwwGoogle.ComPerlindungan Hukum terhadap korban dalam tindak pidana Perkosaan menurut KUHAP, dikutip dari Tesis Tri Wahyu Widiastuti Univeristas Diponegoro Semarang yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana dalam Perlindungan terhadap korban Perkosaan”, diakses tanggal 21 Maret 2012. Universitas Sumatera Utara 2 Hak atas pengembalian barang milik korban yang disita Pasal 46 ayat 1 KUHAP 3 Hak pengajuan laporan atau pengaduan Pasal 108 ayat 1 KUHAP 4 Hak pengajuan upaya hukum banding Pasal 233 dan kasasi Pasal 244. Hak ini menyangkut penggabungan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana. Hak ini ada apabila terhadap perkara pidana tersebut diajukan upaya hukum. 5 Hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi Pasal 168. 6 Hak untuk didampingi juru bahasa Pasal 177 ayat 1 KUHAP 7 Hak untuk didampingi penterjemah Pasal 178 ayat 1 KUHAP 8 Hak untuk mendapat penggantian biaya sebagai saksi Pasal 299 ayat 1 Dalam dimensi sistem peradilan pidana maka kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pidana mempunyai dua aspek, yaitu : a. Aspek Positif KUHAP, melalui lembaga praperadilan, memberikan korban perlindungan dengan melakukan kontrol apabila penyidikan atau penuntutan perkaranya dihentikan. Adanya kontrol ini merupakan bentuk perlindungan kepada korban sehingga perkaranya tuntas dan dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum. KUHAP juga menempatkan korban pada proses penyelesaian perkara melalui dua kualitas dimensi, yaitu : 1. Korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” guna memberi kesaksian tentang apa yang didengar dan dialami sendiri Pasal 1 angka 26 KUHAP. Universitas Sumatera Utara 2. Korban hadir disidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” yang dapat mengajukan gabungan gugatan ganti kerugian berupa sejumlah uang atas kerugian dan penderitaan yang dialaminya sebagai akibat perbuatan terdakwa. b. Aspek Negatif Sebagaimana diterangkan diatas, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pada sistem peradilan pidana mempunyai aspek positif. Walau demikian kenyataannya mempunyai aspek negatif. Dengan tetap mengacu pada KUHAP, perlindungan korban ternyata dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkritnya, korban belum mendapat perhatian secara proporsional, atau perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan yang tidak langsung. 33 Bahkan didalam KUHAP tersebut terlihat bahwa perlindungan hak-hak korban masih sedikit bila dibandingkan dengan hak-hak pelaku tindak pidana. Pertama, hak untuk mendapatkan bantuan hukum tidak diakomodasi bagi korban. Korban harus berhadapan dengan perilaku aparat penegak hukum dan pelaku. Korban seakan-akan sudah diwakili oleh negara dalam hal ini melalui aparat penegak hukum. Kedua, hak korban untuk mengetahui sejauhmana proses peradilan pidana terhadap kasus yang menimpa dirinya. Ketiga, hak korban untuk memperoleh pendampingan dalam mengurangi penderitaan yang dialaminya, baik secara moral, psikologis dan sosial. Keempat, hak korban untuk mendapat jaminan keamanan dari tekanan maupun teror pelaku. 33 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998, Hal.58. Universitas Sumatera Utara 2 Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Menurut UU No. 13 Tahun 2006 Pada tanggal 11 Agustus tahun 2006, Undang-undang perlindungan saksi dan korban disahkan sebagai undang-undang No. 13 tahun 2006. Undang-undang ini merupakan sebuah terobosan hukum karena memberikan jaminan hukum dan mengakui tanggung jawab negara untuk menyediakan layanan perlindungan bagi korban, saksi dan pelapor. Undang-undang No.13 tahun 2006 menganut pengertian korban dalam arti luas Pasal 1 angka 1 , yaitu seseorang yang mengalami penderitaan, tidak hanya secara fisik maupun mental atau ekonomi akibat tindak pidana, tetapi bisa juga kombinasi diantara ketiganya. Sedangkan Pasal 1 angka 6, perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK lembaga perlindungan saksi dan korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini. Dalam pengertian perlindungan korban dapat dilihat mempunyai dua makna, antara lain : 1. Diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban kejahatan berarti perlindungan Hak Asasi Manusia atau kepentingan Hukum seseorang. 2. Diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminansantunan hukum atas penderitaankerugian orang yang menjadi korban identik dengan penyantunan korban. Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baikrehabilitasi, pemulihan keseimbangan batin antara lain dengan Universitas Sumatera Utara pemaafan, pemberian ganti rugi seperti restitusi, kompensasi, jaminansantunan kesejahteraan sosial dan sebagainya. 34 Adapun tujuan dari perlindungan korban adalah sebagai berikut : a. Memberikan rasa aman kepada korban, khususnya pada saat memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana; 35 b. Memberikan dorongan dan mmotivasi kepada korban agar tidak takut dalam menjalani proses peradilan pidana; c. Memulihkan rasa percaya diri korban dalam hidup bermasyarakat; d. Memenuhi rasa keadilan, bukan hanya kepada korban dan kelurga korban, tetapi juga kepada masyarakat; e. Memastikan perempuan bebas dari segala bentuk kekerasan; f. Menempatkan kekerasan berbasis gender sebagai bentuk kejahatan yang serius dan merupakan pelanggarana Hak Asasi Manusia; g. Mewujudkan sikap yang tidak mentolerir kekerasan berbasis gender; h. Penegakan hukum yang adil terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan perkosaan; Pasal 5 Undang-undang No. 13 tahun 2006 mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban, yaitu : 36 a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan. 34 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, Hal. 56. 35 Pasal 4 Undang-undang No. 13 tahun 2006 Tentang perlindungan Saksi dan Korban. 36 Pasal 5, Loc.Cit. Universitas Sumatera Utara c. Memberikan keterangan tanpa tekanan. d. Mendapat penerjemah. e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat. f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan. h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. i. Mendapatkan identitas baru. j. Mendapatkan tempat kediaman baru k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. l. Mendapatkan nasehat hukum. m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Dengan adanya pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban mencerminkan adanya perkembangan terhadap perlindungan korban yang selama ini belum diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya. Keberhasilan suatu proses peradilan sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil di ungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang mendukung tugas penegak hukum. Kasus- kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi dan korban yang takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena takut ancaman dari pihak tertentu. Korban selayaknya memang dilindungi sehingga ia mendapatkan rasa aman dan tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya atau dialaminya kepada aparat penegak hukum karena khawatir dengan ancaman dari pihak tertentu. Universitas Sumatera Utara

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban di Tinjau dari UU NO. 23 Tahun 2002