Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan REDD di negara- negara berkembang menjadi isu penting dalam berbagai forum kehutanan
terutama setelah masuknya isu ini ke dalam Agenda COP-11 UNFCCC Conference of Parties-United Nations Framework Convention on Climate
Change di Montreal tahun 2005. REDD adalah mekanisme internasional yang dimaksudkan dapat memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara
berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan Masripatin 2007. Saat ini, skema REDD berkembang menjadi mekanisme
penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan peningkatan cadangan karbon hutan,
yang umum disebut REDD-plus Kementerian Kehutanan 2010. Salah satu keputusan COP-13 di Bali yaitu dalam pelaksanaan implementasi REDD-plus,
diperlukan penguasaan aspek metodologi sesuai standar internasional Masripatin 2007. Metodologi berstandar internasional yang telah banyak diaplikasi oleh
berbagai negara anggota COP adalah IPCC Guidelines 2006 yang berisi tentang panduan inventarisasi GRK. Keputusan COP-15 di Copenhagen menekankan
pentingnya penggunaan kombinasi antara teknologi penginderaan jauh remote sensing untuk pemantauan perubahan penutupan lahan dengan inventarisasi
karbon hutan di lapang ground-based forest carbon inventory.
2.3 Perubahan Penutupan Lahan
Lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan, yang diartikan dengan sejumlah karakteristik alami yaitu iklim, geologi tanah, topografi,
hidrologi dan biologi Aldrich 1981 diacu dalam Lo 1996. Perubahan penutupan lahan dari yang bervegetasi menjadi terbuka akibat pembukaan lahan untuk
pertanian atau pemukiman akan berdampak pada penyerapan sinar matahari dan penimbunan C karbon. Hairiah dan Rahayu 2007 menyatakan bahwa bila
hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang penggembalaan maka jumlah karbon tersimpan akan merosot. Hutan juga
melepaskan CO
2
ke udara lewat respirasi dan dekomposisi serasah, namun terjadi secara bertahap. Pelepasan CO
2
dalam jumlah besar secara terjadi saat kebakaran hutan. Pembakaran vegetasi di atas permukaan tanah untuk kegiatan konversi
lahan akan menyebabkan kehilangan jumlah karbon tersimpan sekitar 66 9
dibandingkan dengan pemotongan tanpa pembakaran yang kehilangan jumlah karbon tersimpan relatif kecil hanya 22.
2.4 Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh dalam Pendugaan Cadangan Karbon Berdasarkan Perubahan Tutupan Lahan
Penggunaan SIG dan penginderaan jauh dalam pendugaan cadangan karbon dan perubahannya telah dimasukkan dalam metode IPCC Guidelines 2006. Proses
inventarisasi karbon dalam metode IPCC Guidelines 2006 menggunakan interpretasi kelas lahan dan perubahannya dari data satelit multiwaktu secara
konsisten. Hasil pemetaan perubahan tutupan lahan akan diintegrasi dengan data hasil pengukuran cadangan karbon menghasilkan pendugaan perubahan cadangan
karbon multiwaktu. Penggunaan data satelit multiwaktu secara konsisten dapat meningkatkan tingkat keakurasian pendugaan cadangan karbon pada lahan
tersebut IPCC 2006. Ada lima satelit yang masih beroperasi hingga saat ini dan dapat digunakan
dalam pemetaan penutupan lahan, yaitu Landsat, SPOT, IKONOS, Quick Bird, dan ALOS Daichi. Penelitian ini menggunakan citra Landsat 5 TM dan citra
Landsat 7 ETM+ karena memiliki rentang waktu perekaman citra yang lama 20 tahun. Penggunaan citra satelit multiwaktu dimaksudkan untuk membuat peta
perubahan penutupan lahan multiwaktu dengan menggunakan citra satelit secara konsisten. Pada April 2003, satelit Landsat 7 ETM+ mengalami kerusakan pada
korektor garis pemindai yang menyebabkan hilangnya sebagian data gap data pada koordinat tertentu. Gap data ini dapat menurunkan kualitas data dalam
memantau penutupan lahan, sehingga perlu diperbaiki dengan menggunakan data satelit pada koordinat yang sama menggunakan data citra satelit alternatif GOFC-
GOLD 2009. Data citra satelit alternatif yang dapat digunakan antara lain Landsat 5 TM, Landsat 7 ETM+ yang telah diproses, SPOT, ASTER, IRS,
CBERS, atau DMC. Penelitian mengenai pendugaan cadangan karbon menggunakan data satelit
telah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian mengenai pendugaan karbon tegakan Acacia mangium menggunakan citra Landsat 7 ETM+ dan SPOT-
5 di BKPH Parung Panjang, KPH Bogor telah dilakukan oleh Dahlan et al. Penelitian Dahlan et al. tahun 2004 menghasilkan kesimpulan bahwa penggunaan
10
citra landsat 7 ETM+ mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk menduga kandungan karbon di atas permukaan tanah tegakan A. mangium dibandingkan
SPOT-5. Kandungan karbon tersimpan di atas permukaan tanah tegakan A. mangium di areal BKPH Parung Panjang berdasarkan citra landsat 7 ETM+
sebesar 16,52 Mg.ha
-1
Dahlan et al. 2004. Studi korelasi cadangan karbon dengan karakteristik spektral citra landsat di
Gunung Papandayan dilakukan oleh Ulumuddin et al. 2005. Studi tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara cadangan karbon dengan kanal
tunggal, indeks vegetasi dan texture measure. Hubungan tersebut masih relatif lemah R 0,70, sehingga masih diragukan keakuratannya bila dibuatkan model
estimasinya. Peningkatan hubungan dapat dilakukan dengan regresi berganda metode stepwise, sehingga dapat diperoleh hubungan cadangan karbon dengan
dua karakteristik spektral atau lebih yang korelasinya kuat R 0,70. Hubungan tersebut bersifat empiris, namun dapat digunakan untuk membuat model
persamaan regresi untuk estimasi cadangan karbon pada tingkat bentang alam pada populasi data yang sama dan area yang sama.
Lusiana et al. 2005 m enduga cadangan karbon berdasarkan
nilai NDVI pada tingkat piksel dan hubungan regresi terhadap cadangan karbon di Daerah
Aliran Sungai DAS Sembakung dan Sebuku Kabupaten Nunukan tanpa Kecamatan Krayan.
Widiyati et al. menggunakan citra Landsat 5 dan 7. Penggunaan koreksi terhadap
areal tutupan awan menunjukkan bahwa rata-rata kerapatan
cadangan karbon di DAS Sembakung dan Sebuku Kabupaten Nunukan
tanpa Kecamatan Krayan menurun antara tahun
1996 – 2003 dari 211 Mg.ha
-1
menjadi 175 Mg.ha
-1
. Hilangnya cadangan karbon sebesar 17 dalam kurun
waktu 7 tahun terjadi akibat konversi hutan primer seluas 217.000 ha 24
menjadi tipe penggunaan lahan lainnya yang masih menyimpan sebagian
cadangan karbon tersimpan dari hutan primer. 11
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Meru Betiri TNMB, Kabupaten Jember dan Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Penelitian berlangsung
dari bulan Mei 2010 – Januari 2011, dengan rincian Mei – Juli 2010 di TNMB
untuk pengambilan data lapang di TNMB dan Agustus 2010 – Januari 2011 untuk
pengolahan data dan penyelesaian laporan akhir di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Peta lokasi penelitian pendugaan cadangan karbon di TNMB tersaji pada Gambar 2.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan secara umum terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Alat dan bahan yang digunakan saat pengukuran di lapang yaitu: Global
Positioning System GPS Garmin eTrex Vista HCx, alat tulis dan kalkulator, tallysheet, kamera, meteran, pita ukur, plastik kiloan, trashbag transparan,
alkohol 70, timbangan, golok, tali rafia, kompas, dan Oven Binder tipe ED. b.
Alat dan bahan yang digunakan saat pengolahan dan analisis data yaitu: satu paket Sistem Informasi Geografis SIG, Software ERDAS Imagine 9.1,
Software ArcGis 9.3, Software Microsoft word, Software Microsoft excel, citra landsat dan peta-peta pendukung penelitian.
Informasi keseluruhan citra landsat dan daftar peta pendukung yang digunakan dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Informasi citra satelit landsat dan daftar peta pendukung yang digunakan dalam penelitian
No. Judul Sumber
1. Peta rupa bumi
Balai Taman Nasional Meru Betiri 2.
Peta tata batas kawasan 3.
Peta PSP dan Boundary REDD-plus 4.
Citra Landsat pathrow: 117066, dengan seri Landsat dan tanggal perekaman yaitu:
4.1 TM Landsat 5 acq. 6 Mei 1989 U.S. Geological Survey,
http:glovis.usgs.gov 4.2 ETM+ Landsat 7 acq. 14 September 2001;
20 Mei 2005; 24 April 2007; 21 Januari 2009; dan 11 Februari 2010
Badan Planologi Kehutanan BAPLAN, Kementerian Kehutanan