Tabel 2 Karbon tersimpan di berbagai tipe penutupan lahan di beberapa lokasi penelitian
Tipe lahan Lokasi
Karbon tersimpan Mg.ha
-1
Hutan primer Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur
1
230, 10 Hutan primer
Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
2
178, 44 Hutan sekunder bekas
tebangan 0 – 10 tahun
Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur
1
206, 80 Hutan sekunder
Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
2
81, 65 Perkebunan sengon
umur 5 tahun PT. Perkebunan Bandealit, Resort Bandealit,
SPTN II Ambulu, Taman Nasional Meru Betiri
4
39, 11 Tegakan Acacia mangium
umur 10 tahun BKPH Parung Panjang, KPH Bogor
3
26, 94 Kebun campuran
umur 0-10 tahun Resort Andongrejo, SPTN II Ambulu,
Taman Nasional Meru Betiri
4
28, 49 Agroforestri kopi muda
Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
2
27, 92 Agroforestri cokelat muda
Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
2
14, 04 Padi
Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur
1
4, 80 Padang rumput
Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
2
3, 44 Sumber:
1
Lusiana et al. 2005;
2
Prasetyo 2010;
3
Dahlan et al. 2005;
4
Tim PKLP TNMB 2010 2010.
2.2 Perubahan Iklim
Perubahan iklim didefinisikan sebagai berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain temperatur dan distribusi curah hujan dan berdampak luas
terhadap kehidupan manusia Kementerian Lingkungan Hidup 2001. Perubahan fisik terjadi dalam kurun waktu yang panjang umumnya dekade atau lebih. Para
peneliti yang tergabung dalam IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change mempercayai bahwa pemanasan global disebabkan oleh peningkatan
rata-rata temperatur atmosfer yang dekat dengan permukaan bumi dan di troposfer akibat adanya peningkatan jumlah emisi Gas Rumah Kaca GRK di atmosfer
yang disebabkan oleh kegiatan manusia, khususnya pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi IPCC 2001 diacu dalam Lasco et al. 2004. Laporan IPCC
Keempat The Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 2007 mengindikasikan bahwa jika temperatur rata-rata
global naik lebih dari 1,5 – 2,5
C, maka akan terjadi perubahan besar dalam iklim lokal. Hutan di wilayah beriklim tropis akan terpengaruh oleh dampak dari
kombinasi perubahan iklim, bencana alam contoh: banjir, kekeringan, tsunami, 7
letusan gunung berapi, dan pendorong perubahan global lainnya contoh: konversi lahan, polusi, eksploitasi sumberdaya alam secara tak terkendali Parry
et al. 2007 diacu dalam Locatelli et al. 2008. Dampak perubahan iklim di Indonesia antara lain meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, kejadian iklim
ekstrim, dan kekeringan, dapat berlanjut pada perusakan lingkungan dan degradasi Kementerian Lingkungan Hidup 2010.
Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan hujan tropika terluas di Asia Tenggara akan terkena dampak perubahan iklim secara langsung. Hutan
hujan tropika sangat rentan terhadap perubahan temperatur dan perubahan distribusi curah hujan karena umumnya berada di kelerengan yang curam dan
memiliki kondisi iklim yang sangat spesifik Pounds et al. 1999; Foster 2002 diacu dalam Locatelli et al. 2008. Mangrove sangat rentan terhadap perubahan
iklim terutama dipengaruhi oleh kenaikan air laut, perubahan sedimentasi, erosi, dan salinitas. Inventarisasi GRK dalam IPCC Guidelines 2006 terbagi kedalam
enam sektor yaitu energi, industri, pertanian, kebakaran gambut, perubahan tutupan lahan dan hutan, serta limbah.
Berdasarkan hasil inventarisasi GRK pada tahun 2000 – 2005 di Indonesia,
emisi GRK dari sektor tata guna lahan, perubahan tata guna lahan dan kehutanan atau LULUCF Land Use, Land Use Change and Forestry mencapai 48 dari
total emisi GRK nasional, dengan emisi pada tahun 2004 sebesar 1,415 juta Gg.CO
2
e Kementerian Lingkungan Hidup 2010. Emisi tersebut berasal dari deforestasi dengan laju deforestasi dan perubahan penutupan hutanpenggunaan
lahan seluas 1,1 juta ha per tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya laju deforestasi di Indonesia antara lain yaitu kebakaran hutan, pencurian kayu
illegal, kerusakan hutan, konversi hutan menjadi lahan pertanian, lahan transmigrasi, pengembangan distrik baru, dan pertambangan dalam skala besar
Kementerian Lingkungan Hidup 2010. Dalam upaya mengurangi emisi GRK dari sektor LULUCF, Indonesia mengimplementasikan suatu mekanisme
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation-REDD, yang dalam perkembangannya
saat ini menjadi REDD-plus. 8
Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan REDD di negara- negara berkembang menjadi isu penting dalam berbagai forum kehutanan
terutama setelah masuknya isu ini ke dalam Agenda COP-11 UNFCCC Conference of Parties-United Nations Framework Convention on Climate
Change di Montreal tahun 2005. REDD adalah mekanisme internasional yang dimaksudkan dapat memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara
berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan Masripatin 2007. Saat ini, skema REDD berkembang menjadi mekanisme
penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan peningkatan cadangan karbon hutan,
yang umum disebut REDD-plus Kementerian Kehutanan 2010. Salah satu keputusan COP-13 di Bali yaitu dalam pelaksanaan implementasi REDD-plus,
diperlukan penguasaan aspek metodologi sesuai standar internasional Masripatin 2007. Metodologi berstandar internasional yang telah banyak diaplikasi oleh
berbagai negara anggota COP adalah IPCC Guidelines 2006 yang berisi tentang panduan inventarisasi GRK. Keputusan COP-15 di Copenhagen menekankan
pentingnya penggunaan kombinasi antara teknologi penginderaan jauh remote sensing untuk pemantauan perubahan penutupan lahan dengan inventarisasi
karbon hutan di lapang ground-based forest carbon inventory.
2.3 Perubahan Penutupan Lahan