Karbon Tersimpan Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon dalam Skala Lanskap

Tabel 7 Kerapatan kayu pada berbagai tipe penutupan lahan Tipe penutupan lahan Nilai tengah kerapatan kayu g.cm -3 Hutan primer 0,52 Hutan sekunder 0,50 Padang rumput dan alang-alang 0,48 Semak belukar 0,56 Agroforestri 0,52 Perkebunan karet 0,65 Nekromassa berkayu 0,40 Sumber: BTNMB 2010. Pendugaan nilai biomassa tumbuhan bawah dan serasah didapatkan dari hasil perhitungan total berat kering BK sampel yang diacu dalam Hairiah dan Rahayu 2007 yaitu: Total BK g =

3.5.2 Karbon Tersimpan

Nilai karbon tersimpan pada masing-masing tipe penutupan lahan dihitung dengan menggunakan faktor konversi karbon yang diacu dalam Lasco et al. 2004, yaitu: 1. Karbon tersimpan di hutan primer = biomassa x 50 2. Karbon tersimpan di hutan sekunder dan mangrove = biomassa x 44,6 3. Karbon tersimpan di agroforestri dan perkebunan = biomassa x 44 4. Karbon tersimpan di semak belukar dan padang rumput dan alang-alang = biomassa x 42,9 Pada tipe penutupan lahan terbangun, lahan terbuka, dan badan air tidak dilakukan pengukuran cadangan karbon.

3.5.3. Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon dalam Skala Lanskap

Penelitian ini menggunakan pendekatan klasifikasi kelas-kelas penutupan lahan berdasarkan hasil survey dan pengukuran yang telah dilakukan. Hasil klasifikasi penutupan lahan kemudian dikonversi menjadi kelas cadangan karbon berdasarkan atribut cadangan karbon dari kelas penutupan lahan tersebut. Pendugaan cadangan karbon berdasarkan data spasial dilakukan dengan menggunakan informasi luas penutupan lahan hasil klasifikasi. Informasi luas tiap kelas penutupan lahan lalu dikalikan dengan data hasil perhitungan cadangan karbon di atas permukaan tanah dari kelas penutupan lahan yang bersangkutan. Pendugaan cadangan karbon pada empat citra terklasifikasi BK subcontoh x Total BB BB subcontoh Keterangan : BK = Berat kering g BB = Berat basah g multiwaktu dilakukan dengan proses pemberian atribut ulang pada penutupan lahan dengan data rata-rata cadangan karbon tiap tipe penutupan lahan tersebut. Hasil yang diharapkan adalah dugaan cadangan karbon berdasarkan tipe penutupan lahan pada waktu yang berbeda, sehingga dapat diketahui perubahan cadangan karbon berdasarkan perubahan penutupan lahan. Perubahan cadangan karbon berkorelasi terhadap perubahan penutupan lahan. Semakin luas suatu areal tutupan lahan maka semakin besar cadangan karbon tersimpan dalam areal tersebut. Dalam kaitannya dengan penjelasan perubahan cadangan karbon pada skala lanskap, maka dilakukan identifikasi perubahan lahan hutan menjadi non-hutan deforestasi maupun lahan non-hutan menjadi hutan reforestasi. Pengkategorian lahan hutan dan non-hutan disesuaikan dengan pengkategorian cadangan karbon hutan dan non-hutan. Lahan hutan merupakan hasil penggabungan hutan primer, hutan sekunder, dan mangrove. Lahan non-hutan merupakan hasil penggabungan kebun campuran, areal pertanian, semak belukar, padang rumput dan alang-alang, perkebunan karet, perkebunan kakao, perkebunan kopi, dan perkebunan sengon. Perubahan lahan hutan menjadi non-hutan didapat dari hasil klasifikasi hutan dan non-hutan pada periode tahun teramati yaitu periode 1989 – 2001, 2001 – 2005, dan 2005 – 2010 menggunakan modeler forestnon-forest dengan fungsi analisis conditional. Perubahan lahan hutan menjadi non-hutan maupun lahan non-hutan menjadi hutan tersaji pada peta deforestasi dan reforestasi pada periode tahun teramati. Peta deforestasi dan reforestasi pada periode tahun teramati dapat menggambarkan lebih jelas perubahan lahan hutan menjadi non-hutan maupun lahan non-hutan menjadi hutan di setiap Resort dalam kawasan TNMB sehingga mempermudah dalam menjelaskan perubahan cadangan karbon pada masing-masing periode tahun teramati.

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah dan Dasar Hukum

Kawasan hutan Meru Betiri pada awalnya berstatus hutan lindung yang ditetapkan dengan Surat Keputusan SK Pemerintah Hindia Belanda, yaitu melalui Besluit van den Directur van Landbouw Neverheid en Hendel Nomor 7347B tanggal 29 Juli 1931 serta Beslutit Directur van Economiche Zaken Nomor 5751 tanggal 28 April 1938. Kawasan Meru Betiri pada tahun 1967 ditunjuk sebagai calon suaka alam. Kemudian komplek hutan Meru Betiri ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa dengan luas 50.000 ha berdasarkan SK Menteri Pertanian nomor 276KptsUm61972 dengan tujuan utama untuk melindungi satwa harimau jawa Panthera tigris sondaica. Kawasan Suaka Alam Meru Betiri diperluas menjadi 58.000 ha dengan SK Menteri Pertanian Nomor 529KptsUm71982 tanggal 21 Juli 1982. Perluasan tersebut meliputi Areal Perkebunan PT. Sukamade Baru dan PT. Perkebunan Bandealit seluas 2155 ha serta kawasan hutan lindung sebelah utara dan perairan laut sepanjang pantai selatan seluas 845 ha. Suaka Margasatwa Meru Betiri kemudian dinyatakan sebagai kawasan Calon Taman Nasional melalui Surat Menteri Pertanian Nomor 736MentanX1982 tanggal 14 Oktober 1982. Pernyataan kawasan Meru Betiri sebagai Calon Taman Nasional dikeluarkan bersamaan dengan diselenggarakannya Kongres III Taman Nasional se-Dunia di Denpasar, Bali. Sejak berakhirnya ijin HGU perkebunan PT. Sukamade Baru dan PT. Bandealit tahun 1980, maka status perluasan kawasan Calon Taman Nasional Meru Betiri menjadi 58.000 ha diperkuat dengan SK Menteri Kehutanan Nomor 377Kpts-II1986 tentang pengaturan pengelolaan dalam masa peralihan areal perkebunan. Pada tahun 1997 status kawasan Suaka Margasatwa Meru Betiri diubah fungsinya menjadi taman nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 277Kpts-VI1997 tentang penunjukkan Taman Nasional Meru Betiri TNMB seluas 58.000 ha Gambar 7. Dalam rangka optimalisasi fungsi dan pengelolaan kawasan telah ditetapkan sistem zonasi TNMB berdasarkan Keputusan Direktur