IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Adanya    perubahan  perilaku  iklim  di Indonesia  dengan  munculnya  curah  hujan
yang  ekstrim  tidak  terlewati  oleh  pengaruh fenomena  iklim  global.  El  Niño  menjadi
faktor dominan
yang mempengaruhi
keragaman iklim
global. Pengaruhnya
terhadap  perilaku  curah  hujan  monsunal  di Indonesia  menarik  perhatian  untuk  mengkaji
lebih  dalam  mengenai  interaksi  atmosfer  dan lautan.
4.1 Analisis Data Curah hujan
Curah  hujan  merupakan  jumlah  air  yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode
tertentu  yang  diukur  dengan  satuan  tinggi mm.  Secara  umum,  pola  curah  hujan  di
Indonesia  terbagi  menjadi  3  tipe:  monsunal, ekuatorial,
dan lokal.
Penelitian ini
menggunakan  data  curah  hujan  wilayah Lampung,  Sumbawa  Besar,  Indramayu,
Banjarbaru,  dan  Pandeglang  untuk  melihat pengaruh  interaksi  El  Niño  dan  monsun
terhadap  kondisi  curah  hujan  di  wilayah kajian.
Gambar  9  menunjukkan  adanya  fase positif  +  dan  negatif  -.  Fase  positif  +
merupakan  suatu  fase  dimana  dalam  periode tertentu  pada  suatu  wilayah  mengalami  hujan
atau kondisi  basah yang biasanya terjadi pada bulan  DJF  Desember,  Januari,  Februari
dengan  nilai  puncak  maksimum  pada  bulan Januari,  sedangkan  untuk  fase  negatif  -
merupakan  suatu  fase  dimana  dalam  periode tertentu  pada  suatu  wilayah  tidak  turun  hujan
dan  mengalami  kondisi  yang  kering  yang biasanya  terjadi  pada  bulan  JJA  Juni,  Juli,
Agustus dengan  nilai puncak  minimum pada bulan Juli.
Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa  wilayah  Lampung,  Sumbawa  Besar,
Indramayu,  Banjarbaru,  dan  Pandeglang memiliki  tipe  hujan  monsunal  yang  dicirikan
oleh distribusi curah hujan bulanan berbentuk huruf V dengan  jumlah curah  hujan  musiman
terendah  terjadi  pada  bulan  kering  JJA  dan tertinggi  pada  bulan  basah  DJF.  Wilayah
dengan  pola  curah  hujan  monsunal  memiliki perbedaan  yang  jelas  antara  periode  musim
hujan dan periode musim kering. Berdasarkan penjelasan  dari  BMKG  dalam  Marjuki  2011,
curah
hujan bulanan
ketika dalam
kondisi  basah  musim  penghujan  adalah 150  mm,  sedangkan  curah  hujan  bulanan
ketika dalam kondisi kering musim kemarau adalah  150 mm.
Berdasarkan  hasil  deret  waktu  curah hujan  yang  telah  diperoleh  dapat  dilihat
bahwa  wilayah-wilayah  yang  memiliki  hujan tipe monsunal antara puncak yang satu dengan
yang  lain  baik  puncak  maksimum  maupun puncak  minimum  memiliki  periode  atau
osilasi  12  bulan.  Berbeda  dengan  wilayah kajian  yang  memiliki  hujan  tipe  equatorial
dalam  satu  tahun  terdapat  dua  puncak maksimum  dengan  osilasi  yang  nyata  terlihat
antara 6 bulan.
Untuk  melihat  adanya  osilasi  yang  nyata terhadap  data  curah  hujan  di  wilayah
Lampung,  Sumbawa  Besar,  Indramayu, Banjarbaru,
dan Pandeglang
selain menggunakan analisis deret waktu, dapat juga
dilakukan  analisis  PSD  Power  Spectral Density
seperti gambar 10.
Jan-76 Jan-77 Jan-78 Jan-79
Jan-80 Jan-81 Jan-82
Jan-83 Jan-84 Jan-85
Jan-86 Jan-87 Jan-88
Jan-89 Jan-90 Jan-91
Jan-92 Jan-93 Jan-94
Jan-95 Jan-96 Jan-97
Jan-98 Jan-99 Jan-00
-400 -200
200 400
600 800
1000 1200
Waktu
A n
o m
a li
SUMBAWA BESAR INDRAMAYU
BANJARBARU PANDEGLANG
LAMPUNG
Gambar 9 Deret waktu anomali curah hujan berbagai wilayah di Indonesia periode 1976-2000.
1 6
12 18
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
4.5 5
x 10
8
Periode bulan
E ne
rg i S
pe kt
ra l
SUMBAWA BESAR INDRAMAYU
BANJAR BARU PANDEGLANG
LAMPUNG
Gambar 10 Power Spektral Density PSD curah hujan periode 1976-2000. Analisis  PSD  Power  Spectral  Density
merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui periodesitas dari suatu data
deret  waktu.  Pada  gambar  10  dapat  dilihat bahwa  wilayah-wilayah  kajian  yang  bertipe
curah  hujan  monsunal  Lampung,  Sumbawa Besar,
Indramayu, Banjarbaru,
dan Pandeglang
menunjukkan pola
osilasi dominan  12  bulanan.  Hal  ini  terlihat  dari
puncak energi
spektral masing-masing
wilayah  kajian  berada  pada  periode  12 bulanan,  artinya  kejadian  kuat  akan  berulang
dalam  selang  waktu  12  bulanan.  Wilayah Indramayu  dan  Banjarbaru  memiliki  puncak
yang  lebih  tinggi  dibandingkan  wilayah Lampung,  Sumbawa  Besar,  dan  Pandeglang,
hal  ini  berarti  kekuatan  monsun  di  wilayah Indramayu  dan  Banjarbaru  lebih  kuat
dibandingkan wilayah lainnya.
4.2 Analisis Monsun dan Nino 3.4