6.98 Analisis Ketimpangan Perekonomian Pada Provinsi di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah, Serta Solusi Dengan Peningkatan Pendapatan dari Sektor Basis
daripada pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa sebesar 5.47 persen setiap tahun. Kemudian Provinsi Jawa Tengah juga mengalami peningkatan pertumbuhan
ekonomi sebesar 3.2 persen setiap tahun, namun pertumbuhan provinsi ini lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa. Sedangkan pertumbuhan
ekonomi Provinsi DI Yogyakarta sebesar 2.38 pesen setiap tahun, artinya pertumbuhan ekonomi provinsi ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
ekonomi pada masa sebelum otonomi daerah. Struktur Perekonomian Pulau Jawa Berdasarkan Lapangan Usaha
Perekonomian di Pulau Jawa didominasi oleh sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan, sektor Pertanian dan sektor Bank dan Lembaga Keuangan.
Peran keempat sektor ini mencapai 73.2 persen, sedangkan sektor lainnya yakni sektor Jasa, sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Listrik , Gas dan Air
Minum, sektor Bangunan dan Konstruksi, serta sektor Pertambangan hanya berperan sebesar 26.8 persen terhadap PDRB wilayah di Pulau Jawa. Sektor
Pertambangan hanya menyumbang 2.6 persen dari total PDRB di Pulau Jawa. Karena Pulau Jawa memiliki potensi yang kecil untuk barang-barang tambang.
Sektor kecil lainnya yaitu Listrik, Gas dan Air Minum yang hanya berperan 1.8 persen terhadap PDRB di Pulau Jawa
Tabel 6 Peran Sektor Unggulan Terhadap PDRB di Pulau Jawa Tahun 1991 2010 persen
Sektor Perekonomian Tahun
Rata-rata 1991 2000 2001 2010
Pertanian 21.2 12.0 12.5 10.3
12.6 Pertambangan
5.5 2.1 1.9 1.4 2.6
Industri Pengolahan 26.6 29.0 31.1 28.9
28.7 Listrik, gas dan air minum
2.4 1.9 1.4 1.4 1.8
BangunanKonstruksi 5.8 6.2 5.5 5.9.
6.7 Perdagangan, Hotel dan Restoran
19.1 19.7 21.0 23.8 21.3
Pengangkutan dan Komunikasi 8.0 6.1 5.2 7.9
6.8 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 6.0 12.6
12.1 11.3
10.6 Jasa
5.4 10.4 9.3 9.2
9.0 Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Provinsi di Indonesia Menurut
Lapangan Usaha Tahun 1993, 1995, 1999, 2004, 2007, 2011. BPS Jakarta-Indonesia
Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang cukup tinggi. Sehingga dengan ketersediaan tenaga kerja yang relatif banyak, maka tingkat upah tenaga
kerja di Pulau Jawa menjadi lebih murah. Hal ini juga menarik investor untuk berinvestasi pada sektor-sektor yang membutuhkan tenaga kerja yang lebih
banyak untuk berproduksi. Berikut adalah tingkat upah yang ada di Pulau Jawa dari tahun 2004-2011. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa tingkat upah yang paling
rendah terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat. Upah minimum Provinsi UMP dari ketiga provinsi diatas berada di bawah UMP rata-rata di
Pulau Jawa.Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat upah adalah jumlah penduduk yang tinggi dan tingkat pendidikan pada suatu wilayah. Sektor-
sektor yang berhubungan dengan industri, manufaktur, pengolahan, perdagangan, perhotelan dan pertanian yang masih semi modern membutuhkan lebih banyak
tenaga kerja manusia. Hal ini menyebabkan lebih pesatnya perkembangan perekonomian pada sektor-sektor tersebut. Sektor-sektor yang menyumbang
PDRB yang kecil diantaranya Pertambangan, Listrik, gas dan air minum, dan sektor Pengangkutan dan Komunikasi.
Tabel 7 Upah Pekerja per Bulan ribu Rupiah
Tahun Jakarta Jawa
Barat Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Jawa 2004 671.60 366.50
515.00 365.00 365.00 310.00 432.18
2005 711.84 408.26 585.00 390.00 400.00 340.00 472.52
2006 819.10 447.65 661.61 450.00 460.00
390.00 538.06 2007 900.56 516.84
746.50 500.00 500.00 448.50 602.07
2008 972.60 568.19 837.00 547.00 586.00
500.00 668.47 2009 1069.87 628.19
917.50 575.00 700.00 570.00 743.43
2010 1118.01 671.50 955.30 660.00 745.69
630.00 796.75 2011 1290.00 732.00
1000.00 675.00 808.00 705.00 868.33
Sumber: Data elektronik BPS Bogor. Diakses tanggal 4 Mei 2013 Perkembangan PDRB Perkapita
Berikut ini merupakan gambar PDRB per kapita di Pulau Jawa tahun 1991-2010
Gambar 7 Pertumbuhan PDRB Perkapita di Pulau Jawa Tahun 1991-2011 Atas Dasar Harga Konstan 2000 Rupiah
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha Tahun 1993, 1995, 1999, 2004, 2007, 2011, 1985-2005,
2000-2015. BPS Jakarta-Indonesia
PDRB perkapita menunjukkan rata-rata pendapatan penduduk suatu wilayah dalam periode waktu tertentu. Pendapatan perkapita tidak dapat
mengindikasikan tingkat kesejahteraan penduduk karena PDRB perkapita hanya menunjukkan pendapatan yang dihasilkan secara kasar atau secara umum.
2,000,000 4,000,000
6,000,000 8,000,000
10,000,000 12,000,000
PDRB Perkapita
Bedasarkan Gambar 7 PDRB perkapita Pulau Jawa menunjukkan tren yang terus meningkat. Kecuali pada tahun 1997-1999 yang turun hingga 17 persen selama
dua tahun terakhir. Dengan adanya krisis moneter pada tahun 1998 tidak terlalu berdampak besar terhadap penurunan PDRB perkapita di Pulau Jawa. Sejak tahun
1995 hingga tahun 2004 terjadi fluktuasi dalam PDRB perkapita, namun fluktuasi ini memiliki kecenderungan yang semakin meningkat dengan pertumbuhan PDRB
perkapita 12.63 persen setiap tahunnya peningkatan hingga 10,551,975.85 pada tahun 2011.
Pajak Daerah
Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan pajak
daerah merupakan iuran wajib yang dibayarkan oleh pribadi maupun suatu badan kepada daerah yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku untuk membiayai pembangunan daerah dan penyelenggaraan pemerintah daerah. Pajak Daerah termasuk kedalam Pendapatan
Asli Daerah yang dibagi atas pendapatan dari provinsi Pajak Daerah Tingkat I dan pendapatan dari kabupaten pajak Daerah Tingkat II.
92
Semakin besar nilai suatu pajak daerah, maka akan semakin besar anggaran yang tersedia untuk
membiayai pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. Namun, dengan semakin besarnya jumlah nominal Pajak Daerah yang dipungut dari sektor
riil maka hal ini akan menimbulkan dampak negatif. Karena pajak yang tinggi akan menurunkan minat investor dalam berinvestasi pada daerah tersebut
93
Gambar 8 Komposisi Pemungutan Pajak Daerah di Pulau Jawa Sumber: Statistik Keuangan Daerah Tingkat I Tahun 19961997, 19911992,
2000, 2004, 2008, 2010, 2011. BPS. Jakarta-Indonesia. Gambar 8 menunjukkan pajak daerah yang semakin meningkat setiap
tahunnya dari tahun1991 hingga tahun 2011. Persentase pajak daerah paling tinggi diperoleh dari wilayah DKI Jakarta dengan rata-rata pemungutan pajak daerah
47.9 persen dari total pajak daeah yang ada di Pulau Jawa. Persentase ini menunjukkan bahwa aktivitas perekonomian di wilayah DKI Jakarta mampu
92
Haki, Dio: Analisis penerimaan Pajak dan Retribusi daerah Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah di Kota BogorSkripsi. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, hal.10-11.
93
Khasanah, Mulaelatul: Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Modal Asing PMA di Batam. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, hal.33
2,000,000,000,000 4,000,000,000,000
6,000,000,000,000 8,000,000,000,000
10,000,000,000,000 12,000,000,000,000
14,000,000,000,000 16,000,000,000,000
1991 1993
1995 1997
1999 2001
2003 2005
2007 2009
2011 DKI
Jakarta Jawa
Barat Jawa
Tengah Jawa
Timur DI
Yogyakarta Banten
memberikan sumbangan yang cukup tinggi. Sedangkan Yogyakarta merupakan wilayah yang memperoleh pungutan pajak daerah yang paling kecil, hanya 2
persen dari total pendapatan pajak Pulau Jawa tahun 1991-2011. Hal ini menandakan minimnya peran aktivitas perekonomian di wilayah DI Yogyakarta.
Tabel 8 Pemungutan Pajak Daerah di Pulau Jawa juta Rupiah
Provinsi Sebelum Otonomi Daerah
Setelah Otonomi Daerah 1994 1996 1998 Rataan 2005 2007 2009 Rataan
DKI Jakarta 37 8 -29 18 18 11 7 18
Jawa Barat 51 12 -47 22 26 11 1 27
Jawa Tengah 44 17 -35 19 25 12 5 28
Jawa Timur 50 14 -32 18 22 10 9 26
DI Yogyakarta
43 16 -35 20 17 16 3 25 Banten
0 0 0 0 30 16
1 33 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Tingkat I Tahun 19961997, 19911992,
2000, 2004, 2008, 2010, 2011. BPS. Jakarta-Indonesia. Pajak daerah berperan penting dalam kebijakan pembangunan daerah yang
didanai dari pendapatan dan pajak daerah. Semakin tinggi pajak daerah yang dipungut dari aktivitas dari semua sektor perkonomian artinya wilayah tersebut
ketersediaan dana yang semakin besar untuk membiayai pembangunan fisik maupun non-fisik pada wilayah tersebut. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa
rata-rata pemungutan pajak daerah saat setelah otonomi daerah lebih tingi daripada pertumbuhan pemungutan pajak daerah sebelum otonomi daerah. Pada
masa sebelum otonomi daerah pemungutan pajak dikelola oleh pemerintah pusat, sehingga jika terdapat kelebihan dana atau anggaran daerah yang berlebih maka
akan digunakan untuk mensubsidi wilayah yang kekurangan dana atau anggaran. Sedangkan, pada masa otonomi daerah, pendapatan daerah seperti pajak daerah,
penerimaan sumberdaya alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus diserahkan kepada pemerintah masing-masing daerah, akibatnya tidak terjadi lagi
subsidi silang dana atau anggaran dari wilayah yang berlebih kepada wilayah yang kekurangan. Dengan demikian wilayah yang memiliki pendapatan yang lebih
tinggi akan mengalami pertumbuhan PDRB yang lebih cepat dibandingkan dengan wilayah yang memiliki pendapatan daerah yang lebih rendah.
94
Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN PMDN
merupakan akumulasi
dana masyarakat dalam negeri yang
merupakan bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia serta diinvestasikan pada suatu wilayah dalam periode waktu tertentu yang digunakan untuk membiayai
pembangunan baik fisik maupun non-fisik. Persentase Penanaman Modal Dalam Negeri pada masing-masing wilayah berfluktuasi setiap tahun. Rata-rata
94
Berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1999 kewenangan pendapatan suatu daerah yang berasal dari Sumberdaya
Alam diserahkan kepada pemerintah pusat melalui sistem bagi hasil. UU No.251999 justru hanya menguntungkan daerah yang kaya SDA. Sehingga hal ini menimbulkan rasa iri pada
wilayah yang memiliki SDA lebih rendah. Baca: Faisal Basri dan Haris Munandar. Lanskap Ekonomi Indonesia. Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-masalah Struktural, Transformasi
Baru, dan Prosperk Perekonomian Indonesia. Jakarta:KencanaPrenada Media Group. hal 458-
459
penanaman modal paling tinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat dengan rata-rata penanaman modal 48.3 persen dari tahun 1991-2011. Dengan jumlah penduduk
paling banyak dan tingkat upah yang relatif lebih rendah, maka investor dalam negeri lebih tertarik untuk membuka lapangan usaha di provinsi ini. Kemudian,
meskipun Provinsi Banten yang merupakan wilayah yang baru terbentuk sejak tahun 2000, namun PMDN dalam wilayah ini mampu menyaingi DI Yogyakarta.
Dimana rata-rata persentase PMDN di Provinsi Banten sebesar 8 persen, sedangkan DI Yogyakarta hanya 0.75 persen dari total PMDN di Pulau Jawa.
Tabel 9 Persentase Penanaman Modal Dalam Negeri tahun 1991-2010
persen
Tahun DKI
Jakarta Jawa
Barat Jawa
Tengah Jawa
Timur DI
Yogyakarta Banten 1991 61
29 10
30 1
1993 10 70
19 8
1 1995 32
61 5
60 3
1997 30 60
7 8
2 1999 26
62 13
30 2000 19
46 33
39 1
2002 17 73
6 2
1 3
2004 47 30
1 5
22 2006 26
42 2
5 30
2008 31 45
12 25
12 2010 17
59 3
30 21
Rataan 33 48
10 24
1 8
Sumber: Laporan Perekonomian Indonesia tahun 1992, 1995, 1998, 2002, 2005, 2008, 2011.BPS. Jakarta-Indonesia.
Penanaman Modal Asing PMA
Penanaman Modal Asing PMA merupakan arus modal Internasional dimana perusahaan dari suatu negara memperluas atau mendirikan perusahaan di
negara lain.
95
Dana PMA diperoleh dari investor baik pribadi, maupun badan atau organisasi yang memberikan pinjaman dana dengan menerapkan sistem bunga
kepada negara-negara berkembang seperti IMF International Monetary Found dan World Bank. Investor yang memberikan pinjaman dana pada suatu wilayah
memiliki dapat mempengaruhi kebijakan disuatu wilayah yang berhubungan dengan sektor yang didanainya. Sehingga dampak negatif dari PMA
dikhawatirkan dapat mempengaruhi nilai-nilai setempat serta ikut campur dalam menentukan kebijakan suatu wilayah yang sebenarnya merupakan wewenang dari
pemerintah daerah.
Berdasarkan Tabel 10 Penanaman Modal Asing PMA di Pulau Jawa didominasi oleh DKI Jakarta dan Jawa Barat dengan rata-rata PMA masing-
95
PMA pertama digalakkan setelah di sahkannya UU Ni.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Dimana negara-negara yang menjadi Investor pada awal diberlakukannya UU ini berasal
dari negara Amerika, Australia, Swiaa dan Norwegia. Baca A.R.Soehoed: Bunga Ramapai Pembangunan. Antara Harapan dan Ancaman Masa Depan.Jakarta:Puri Fajar Mandiridan
Fakultas Teknik UI, hal.27
masing provinsi 37.2 persen dan 36 persen. Artinya investor asing lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di kedua wilayah ini. PMA ini juga dipengaruhi
oleh tingkat keterbukaan masing-masing provinsi dalam menerima dana yang datang dari luar negeri yang menerapkan sistem bunga. Beberapa wilayah seperti
DI Yogyakarta dan Banten memiliki persentase yang kecil terhadap PMA dari seluruh wilayah di Pulau Jawa dengan persentase masing-masing wilayah hanya
0.1 persen dan 6.6 persen. Tabel 10 Persentase Penanaman Modal Asing di Pulau Jawa tahun 1991-
2010 persen
Tahun DKI
Jakarta Jawa
Barat Jawa
Tengah Jawa
Timur DI
Yogyakarta Banten 1991 59.38 24.50 6.76
9.36 0.00 0.00
1993 11.44 86.37 0.15 2.04 0.00
0.00 1995 19.73 61.76 2.09
16.39 0.03 0.00
1997 39.63 50.44 1.96 7.82 0.14
0.00 1999 25.08 49.35 13.76 11.47 0.33
0.00 2000 17.64 28.41 1.57
52.29 0.10 0.00
2002 31.66 40.18 0.69 2.77 0.01
24.70 2004 41.82 39.70 3.33
6.19 0.04 8.91
2006 32.12 35.67 8.36 8.09 1.07
14.69 2008 72.33 18.25 0.96
3.31 0.12 5.02
2010 57.02 15.01 0.52 15.69 0.04
11.71 Rataan 37.16 36.05 2.64
17.39 0.15 6.62
Sumber: Laporan Perekonomian Indonesia tahun 1992, 1995, 1998, 2002 ,2005, 2008, 2011. BPS. Jakarta-Indonesia.
Inflasi
Inflasi menunjukkan kepekaan daya beli terhadap barang pada suatu periode tertentu. Inflasi yang tinggi menunjukkan semakin berkurangnya daya beli
konsumen terhadap barang pada periode waktu tertentu. Semakin tinggi nilai inflasi maka semakin rendah daya beli konsumen dengan nilai mata uang yang
sama pada periode waktu tertentu. Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa nilai inflasi di Pulau Jawa pada periode 1991 hingga tahun 1997 mengalami
fluktuasi dengan nilai rata-rata inflasi sebesar 8.28 persen setiap tahunnya. Namun, akibat krisis moneter pada tahun 1998 inflasi di Indonesia meningkat
hingga 77.37 persen. Nilai inflasi yang sangat tinggi ini mengakibatkan merosotnya daya beli masyarakat pada saat itu sehingga banyak sekali sektor
perekonomian yang gulung tikar karena tidak mampu bertahan dalam situasi yang diakibatkan oleh krisis ekonomi pada tahun 1998 ini. Namun, setelah terjadinya
krisis moneter, maka pemerintah pada tahun 1999 inflasi berhasil ditekan hingga mencapai nilai 2.06 persen. Kemudian, pada masa otonomi daerah inflasi di Pulau
Jawa mengalami tren yang semakin turun. Pada tahun 2005 nilai inflasi mencapai titik tertinggi yaitu 16.14 persen. Namun, pada akhir tahun 2011 inflasi di Pulau
Jawa mencapai 3.53 persen. Artinya, meskipun kemampuan nilai tukar rupiah terhadap barang semakin turun, namun penurunan ini dinilai lebih baik dari tahun-
tahun sebelumnya
Gambar 9 Inflasi di Pulau Jawa Tahun1991-2010
Sumber: Indikator Ekonomi Desember 2000, Desember 1998, Desember 2007, September 2011. BPS.Jakarta-Indonesia.
Jumlah Tabungan
Rostow dalam Arief Budiman menyatakan:
Prakondisi untuk lepas landas memerlukan kesanggupan awal untuk menggerakkan tabungan dalam negeri secara produktif, dan juga menciptakan
sebuah struktur yang memungkinkan tingkat tabungan yang cukup tinggi.
96
Berdasarkan pernyataan diatas, maka negara akan berupaya untuk mendukung proses investasi dalam negeri. Kemudian, lembaga independen yang
dapat membantu mewujudkan akumulasi modal ini adalah Bank Sentral dengan instrument kebijakan tingkat suku bunga. Kebijakan Bank Sentral yang dalam hal
ini adalah Bank Indonesia BI diharapkan dapat memacu investor untuk mennamkan modalnya. Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat tingkat suku bunga
yang diatur oleh BI Bank Indonesia sebagai Bank Sentral di Indonesia mengalami fluktuasi dengan rata-rata perubahan tingkat suku bunga 0.8 persen
setiap tahunnya. Fluktuasi tingkat suku bunga pada awalnya relatif stabil sebelum terjadinya krisis moneter. Namun pada tahun 1997 menuju tahun 1998 terjadi
peningkatan tingkat suku bunga bank umum dari 17.34 persen menjadi 23.16 persen, artinya tingkat suku bunga Bank umum pada tahun ini naik sebesar 33.65
persen. Peningkatan pada tahun ini merupakan peningkatan tingkat suku bunga tertinggi dari periode 1995 hingga 2011. Hal ini disebabkan pada periode 1997
hingga 1999 pemerintah Indonesia berupaya untuk mengatasi krisis moneter yang melanda Indonesia. Untuk mengatasi ini, pemerintah berupaya untuk mengurangi
jumlah uang yang beredar di masyarakat memalui kebijakan moneter dimana Bank Indonesia sebagai Bank Sentral melakukan kebijakan peningkatan tingkat
suku bunga. Hal ini diduga juga untuk mengatasi Inflasi yang terjadi pada tahun 1998 dimana nilai inflasi di Indonesia adalah sebesar 77.37 persen.
Tingkat suku bunga yang tinggi ini terus dipertahankan hingga akhir tahun 1999. Kemudian pada tahun berikutnya pemerintah kembali menurunkan tingkat
96
Budiman, Arif. Op, Cit, hal.30 ‐10.00
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
1991 1992
1993 1994
1995 1996
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
Rata ‐rata inflasi persen
suku bunga hingga 16.59 persen. Tingkat suku bunga ini relatif sama dengan tingkat suku bunga saat sebelum terjadinya krisis. Tingkat suku bunga ini relatif
stabil dengan fluktuasi sebesar 4.33 persen setiap tahunnya hingga akhir 2011
Gambar 10 Suku Bunga Investasi Bank Umum Sumber: Indikator Ekonomi. Economic Indicators. Desember 2006, Desember
2009, Desember 2012. BPS. Indonesia.
Tabel 11 Jumlah Tabungan di Pulau Jawa periode 2001-2011 milyar Rupiah
Tahun DKI
Jakarta Jawa
Barat Jawa
Tengah Jawa
Timur DI
Yogyakarta Banten Jumlah
Simpanan 2001 408,100
68,440 12,698 66,507 6,223 8,289 570,257
2002 408,100 68,532 14,881 88,787 7,135
14,200 601,635
2003 646,670 81,941 15,915 80,935 8,228
18,563 852,252
2004 495,070 76,025 19,776 88,787 9,157
18,422 707,237
2005 540,414 81,607 23,311 96,573 10,213
23,336 775,455
2006 569,980 93,164 22,291 115,081 11,461
26,714 838,690
2007 616,980 106,144 27,779 125,827 13,902
31,077 921,709
2008 602,330 123,397 35,011 144,484 16,450
36,232 957,904
2009 796,370 166,279 39,994 145,309 16,834
43,194 1,207,980
2010 924,410 179,688 47,085 194,190 21,034
57,044 1,423,451
Rataan 68.36 11.62
2.83 12.91
1.33 2.95
Sumber: DKI Jakarta Dalam Angka. 2001-2011. BPS. Jakarta- Indonesia. Jawa Barat Dalam Angka. 2000- 2008.BPS. Jakarta-Indonesia.
Jawa Tengah Dalam Angka. 2003, 2006,2010. BPS. Jakarta-Indonesia. Jawa Timur Dalam Angka. 2007-2010. BPS. Jakarta-Indonesia
DI Yogyakarta Dalam Angka. 2001-2012.BPS. Jakarta-Indonesia. Banten Dalam Angka. 2001-2010. BPS.Jakarta-Indonesia
Tabel 11 memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan yang sangat besar dari total dana yang ditabungkan masyarakat ke Bank Umum di Pulau Jawa.
Tingkat suku bunga bank yang berfluktuasi dengan rata-rata tingkat suku bunga
5 10
15 20
25 1995
1996 1997
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004
sebesar 14.61 persen 2001-2010 selama satu dekade terakhir peningkatan jumlah tabungan di Pulau Jawa adalah sebesar 961.168 Milyar rupiah atau sebesar 168.55
persen. Jumlah tabungan paling banyak di Bank Umum terdapat di Provinsi DKI Jakarta. Diduga karena provinsi ini merupakan pusat pemerintahan dan pusat
perdagangan, ditambah lagi dengan kepadatan penduduk yang tinggi, serta PDRB yang tinggi.
Jumlah Sekolah
Sekolah merupakan infrastruktur fisik di bidang pendidikan. Jumlah sekolah yang ideal harus mampu untuk menampung kebutuhan pendidikan yang
ada di wilayah tersebut. Artinya semakin banyak penduduk suatu wilayah maka dibutuhkan kemampuan memanpung siswa. Jumlah sekolah yang paling banyak
terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan rata-rata masing-masing jumlah sekolah 29.8 persen, 28.7 persen, dan 29.9 persen. Artinya
sepertiga jumlah sekolah di Pulau Jawa berada pada masing-masing provinsi ini. Tingginya jumlah penduduk mengakibatkan semakin ketersediaan fasilitas
pendidikan yang semakin banyak untuk mendukung pengmbangan kualitas Sumberdaya Manusia di ketiga provinsi ini. Sedangkan, di wilayah DI Yogyakarta
dan DKI Jakarta hanya memiliki 3.3 persen dan 5.9 persen dari seluruh jumlah sekolah di Pulau Jawa. Jumlah sekolah yang ada di Provinsi DI Yogyakarta dan
DKI Jakarta termasuk sedikit karena jumlah ini sudah cukup mampu untuk mengimbangi jumlah penduduk yang ada di wilayah ini.
Tabel 12 Persentase Jumlah Sekolah di Pulau Jawa tahun 1991-2010 persen
Provinsi 1991 1993 1995
2004 2006 2008 2010 Rataan DKI
Jakarta 6 6 6 6 6 6 6 6 Jawa
Barat 31 32 32 28 29 29 29 30
Jawa Tengah 29 29 29 28 28 28 28 29
Jawa Timur 30 30 30 29 30 28 29 30
DI Yogyakarta
3 3 3 3 3 3 3 3 Banten
0 0 0 5 5 5 5 2 Sumber: DKI Jakarta Dalam Angka 1995- 2011.BPS.Jakarta-Indonesia.
Jawa Barat Dalam Angka.BPS.Jakarta-Indonesia. 1991-2011 Jawa Timur Dalam Angka 1994-2011. BPS. Jakarta-Indonesia.
DI Yogyakarta Dalam Angka 1995-2011. BPS Jakarta-Indonesia.
Fasilitas Pelayanan Rumah Sakit
Kesehatan sangat berpengaruh terhadap produktifitas masyarakat. Semakin banyak fasilitas kesehatan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat
akan meningkatkan standar dan kualitas kesehatan masyarakat menjadi lebih baik. Kualitas kesehatan yang semakin membaik akan meningkatkan produktifitas.
Pelayanan masyarakat yang ideal harus mampu menyediakan pelayanan kesehatan kepada seluruh warga. Artinya, semakin besar jumlah populasi maka dibutuhkan
semakin banyak fasilitas kesehatan. Indikator fasilitas kesehatan yang digunakan yaitu jumlah dipan yang tersedia dalam suatu wilayah provinsi.
Tabel 13 memperlihatkan jumlah dipan rumah sakit yang ada di Pulau Jawa didominasi oleh empat provinsi yaitu Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat dan DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian. Sehingga, besar kemungkinan banyak warga negara baik
Warga Negara Indonesia WNI maupun asing WNA di wilayah ini. Dengan banyaknya jumlah penduduk, maka dibutuhkan lebih banyak fasilitas kehidupan,
termasuk fasilitas kesehatan. Meskipun luas Provinsi DKI Jakarta jauh lebih kecil daripada Provinsi Jawa Barat, namun provinsi ini merupakan pusat pemerintahan
dan pusat perekonomian menyebabkan banyaknya jumlah dipan di provinsi ini, hingga menyamai jumlah dipan rumah sakit yang ada di wilayah Provinsi Jawa
Barat. Persentase Jumlah dipan yang ada di Provinsi DKI Jakarta yaitu 20.05 persen dari total seluruh dipan yang ada di Pulau Jawa.
Tabel 13 Jumlah Dipan Rumah Sakit di Pulau Jawa
Tahun DKI
Jakarta Jawa
Barat Jawa
Tengah Jawa
Timur DI
Yogyakarta Banten 2000 15,761 15,902 17,877 18,712 3,510
2,781 2001 15,987 14,125 18,661 18,987 3,564
771 2002 16,116 14,351 19,062 19,455 3,457
2,781 2003 16,121 14,282 19,141 19,525 3,473
2,781 2004 16,128 14,471 18,902 19,664 3,486
1,096 2005 16,530 15,194 19,375 19,776 3,557
2,908 2006 16,449 15,439 19,783 19,860 3,591
2,868 2007 16,729 16,822 20,431 20,103 3,298
3,151 2008 13,852 16,822 18,355 18,472 3,751
4,124 2009 16,998 19,106 23,574 22,268 3,751
6,479 2010 17,492 26,550 24,012 20,378 6,688
6,979 Sumber: DKI Jakarta Dalam Angka 1995- 2011.BPS.Jakarta-Indonesia.
Jawa Barat
Dalam Angka1991- 2011. BPS.Jakarta-Indonesia.
Jawa Tengah Dalam Angka 1995-2011. BPS. Jakarta-Indonesia. Jawa Timur Dalam Angka 1992-2011. BPS. Jakarta-Indonesia.
DI Yogyakarta Dalam Angka 1991-2011. BPS Jakarta-Indonesia. Banten Dalam Angka 2002-2011. BPS Jakarta-Indonesia.
Jumlah dipan rumah sakit yang ada di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur relatif banyak dengan persentase masing-masing provinsi 20.72
persen, 25.04 persen dan 25 persen. Jumlah ini sesuai dengan jumlah penduduk pada masing-masing wilayah yang relatif lebih padat. Namun, jumlah dipan
rumah sakit yang ada di Provinsi Banten dan DI Yogyakarta hanya memiliki 4.03 persen dan 4.08 persen dari total jumlah dipan yang ada di Pulau Jawa. Jumlah
dipan ini sesuai degan kebutuhan wilayah ini dengan jumlah penduduk yang ada. Panjang Jalan
Infrastruktur jalan dibutuhkan untuk menghubungkan suatu wilayah dengan wilayah lainnya baik dalam akses informasi maupun akses barang dan
jasa. Pada wilayah yang luas serta memiliki kontur yang rumit maka dibutuhkan fasilitas yang jalan lebih banyak sebagai penghubung antar daerah dalam suatu
wilayah. Jalan dalam suatu provinsi terdiri dari jalan negara, jalan provinsi dan jalan kabupaten. Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa panjang jalan raya di Pulau
Jawa didominasi oleh Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan masing-masing panjang jalan 44.044 km, 29.203 km, dan 25.494 km. Hal ini
disebabkan oleh luasnya wilayah ketiga provinsi ini, sehingga dibutuhkan infrasrtuktur jalan yang lebih banyak
Tabel 14 Panjang jalan di Pulau Jawa km
Tahun DKI
Jakarta Jawa
Barat Jawa
Tengah Jawa Timur
DI Yogyakarta Banten
2000 6,416 24,882 25,416 31,888
7,803 2001 9,416
24,919 25,416 31,888 7,878
4485 2002 6,528
25,866 25,696 32,047 7,878
4520 2003 6,567
25,805 26,426 32,047 7,878
61 2004 6,336
24,698 26,282 31,414 7,880
3,856 2005 7,130
26,332 29,057 35,028 4,825
4,473 2006 6,185
25,679 28,358 36,338 4,858
3,148 2007 6,185
25,679 28,490 37,027 4,833
4,773 2008 6,185
25,875 28,904 37,824 4,859
4,856 2009 6,410
26,881 29,674 38,565 4,890
5,211 2010 6,743
25,494 29,203 44,044 4,753
6,456 Sumber: Statistik Kendaraan Bermotor dan Panjang Jalan Tahun 1991-2011. BPS-
Jakarta.
Transaksi barang dan jasa di Pulau Jawa
Setiap wilayah di Pulau Jawa memiliki potensi baik barang dan jasa yang tidak dimiliki oleh wilayah lain maupun Internasional. Kelebihan komoditas ini
akan diekspor ke luar wilayah dan Internasional untuk dapat memberikan pendapatan kepada daerah. Namun, masing-masing wilayah juga tidak mampu
untuk mencukupi kebutuhan sendiri karena itu masing-masing wilayah akan mengimpor barang dan jasa yang dibutuhkan yang tidak mampu diproduksi
sendiri. Pendapatan dari transaksi perdagangan diperoleh dari ekspor barang dan jasa dikurangi dengan impor barang dan jasa. Selisih ini disebut dengan ekspor
bersih. Jika ekspor besrsih bernilai positif maka akan diperoleh pemasukan kepada PDRB, namun jika bernilai negatif, maka kekurangan ini akan ditutupi dari PDRB
Gambar 11 menunjukkan bahwa transaksi barang dan jasa pada masing- masing provinsi pada tahun 1991 hingga tahun 2010 mengalami fluktuasi setiap
tahunnya. Komoditas ekspor DKI Jakarta lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa, sehingga rata-rata transaksi bersih DKI Jakarta
merupakan nilai ekspor bersih yang paling tinggi mencapai 30.892.436 US setiap tahun. Sedangkan provinsi yang memiliki nilai transaksi bersih paling rendah
yaitu Provinsi DI Yogyakarta yang hanya 121.325 US setiap tahun. Nilai ini juga dipengaruhi oleh kecilnya jumlah ekspor dan impor yang ada di Provinsi DI
Yogyakarta. Kemudian Provinsi Banten yang baru terbentuk pada tahun 2000 mampu menyainyi nilai perdagangan Provinsi DI Yogyakarta dengan nilai ekspor
bersih Provinsi Banten senilai 5.748.733 US setiap tahun, artinya nilai ini mencapai 6.9 persen dari total ekspor bersih di Pulau Jawa.
Gambar 11 Transaksi Perdagangan di Pulau Jawa tahun 1991-2010
Sumber: Produk Domestik Bruto Provinsi-provinsi di Indonesia Menurut Penggunaan Tahun 1991-2011. BPS. Jakarta-Indonesia.
Produk Domestik Bruto Provinsi-provinsi di Indonesia Menurut Penggunaan Tahun 1995-2011. BPS. Jakarta-Indonesia.
.
Ekspor Bersih
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Banten
Analisis Otonomi
Pa pertumbuh
Analisis in akan men
dan tumbu Kuadran
relatif tert karakterist
wilayah d secara kes
masa sebe
Gambar
Sumber: B Ber
Pertumbuh Pertumbuh
pada masa yang cepa
provinsi y provinsi l
Provinsi D 0.64. Seda
Pertumbuh
Ket termasuk
yang relat
y = 3.680x
R² = N
y = ‐2.300x
R² = N
y = 0.597x
R² = N
Pertumbuhan Ekonmi Pola Pertu
Deaerah B ada bagian
han ekonom ni dilakukan
nentukan pr uh pesat Ku
II, daerah tinggal Ku
tik pola d dengan acua
seluruhan. elum otonom
12 Klassen Otonom
BPS,1993-2 rdasarkan G
han ekono han ekonom
a sebelum o at maju dan
yang paling lainnya. Ta
DI Yogyak angkan Pro
han sebesar tiga provins
kepada Kua tif tertingga
+ 0.105
NA x
+ 0.409 NA
+ 0.150
NA Kuadran
III
Kuadran
HASIL umbuhan
Berdasarkan
ini akan mi provinsi-
n dengan m ovinsi yang
uadran I, d h yang maju
uadran IV. dan struktu
an utama ad Adapun ha
mi daerah p
n Typology
mi Daerah
011 diolah Gambar 12
omi dan P mi dan PD
otonomi dae n cepat tum
g maju dan abel 15 m
karta menca vinsi DKI J
r 0.28 dan 0 si lainnya y
adran VI, a al di Pulau J
IV
L DAN PEM Ekonomi
n Pendekat
diuraikan -provinsi di
menggunaka g termasuk
daerah yang u tetapi tert
Analisis in ur pertumb
dalah pola asil analisis
periode 199
y Provinsi d 1991-1999
h. 2 DKI Jak
PDRB per RB perKap
erah kedua mbuh denga
n cepat tum menunjukkan
apai 0.63 d Jakarta mem
.49. yaitu Jawa
artinya ketig Jawa pada p
PDRB Per MBAHASA
Provinsi tan
Klassen
hasil ana i Pulau Jaw
an alat anal ke dalam
masih dapa tekan Kua
ni akan me buhan ekon
dan struktu s Klassen T
1-1999 seb
di Pulau J
karta dan rkapita yan
pita Pulau provinsi in
an Provinsi mbuh diban
n bahwa la dengan nila
miliki nilai Barat, Jawa
ga wilayah periode 199
rkapita
Kuad
Kuadr
AN di Pulau
n Typology
alisis meng wa sebelum
lisis Klassen kategori da
at berkemba adran III, d
enggambark nomi pada
ur pertumbu Typology
P bagai beriku
Jawa Pada
DI Yogya ng lebih
Jawa Kua ni tergolong
DI Yogyak ndingkan d
aju pertum ai PBRB p
PDRB per a Tengah, d
ini tergolon 91-1999. Ha
y = ‐2.091x
R² = N
dran I
ran II
Jawa Seb
genai klasi otonomi da
n Typology aerah yang
ang dengan dan daerah
kan dengan masing-m
uhan Pulau Pulau Jawa
ut.
Masa Seb
akarta mem tinggi dar
dran I. Ar g kepada wi
karta merup dengan prov
mbuhan eko erkapita se
r Kapita dan dan Jawa T
ng pada wi al ini diseba
+ 1.954
NA DKI
Jaka Jawa
Ba Jawa
Ten DI
Yogya Jawa
Tim
belum
fikasi aerah.
yang maju
pesat yang
jelas masing
Jawa pada
belum
miliki ripada
rtinya ilayah
pakan vinsi-
onomi ebesar
n laju Timur
ilayah abkan
rta rat
ngah akarta
mur
karena laju pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB ketiga provinsi ini yang rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan dan nilai PDRB Pulau Jawa secara
keseluruhan. Provinsi Jawa Timur memiliki PDRB perKapita dan Pertumbuhan ekonomi 0.12 dan 0.22. Kemudian, PDRB perkapita dan laju pertumbuhan Jawa
Barat 0.03 dan 0.21, sedangkan PDRB perkapita dan laju pertumbuhan Provinsi Jawa Tengah 0.11 dan 0.17.
Tabel 15 Klassen
Typology Provinsi di Pulau Jawa Pada Masa Sebelum Otonomi Daerah 1991-1999
Wilayah 1991-1999
PDRB Perkapita Laju pertumbuhan
DKI Jakarta 0.28
0.49 Jawa Barat
0.03 0.21
Jawa Tengah 0.11
0.17 DI Yogyakarta
0.64 0.63
Jawa Timur 0.12
0.22 Jawa 0.15
0.26 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah.
Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di Pulau Jawa Saat Otonomi Deaerah Berdasarkan Pendekatan
Klassen Typology
Pada bagian ini akan menjelaskan analisis klasifikasi pertumbuhan ekonomi provinsi di Pulau Jawa saat otonomi daerah. Analisis ini menggunakan
pendekatan yang sama dengan pendekatan sebelum otonomi daerah. Pada pembahasan ini terdapat satu provinsi baru yang merupakan salah satu dari produk
otonomi daerah yaitu Provinsi Banten. Provinsi ini dibentuk berdasarkan UU No. 23 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Provinsi Banten yang kemudian diresmikan
oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 18 Nopember 2000.
97
Dengan terbentuknya provinsi baru ini, maka akan berpegaruh terhadap klasifikasi
ketimpangan pendapatan perekonomian provinsi di Pulau Jawa. Berikut adalah hasil analisis Typology Klassen Pulau Jawa pada masa otonomi daerah periode
2001-2010.
Berdasarkan Gambar 13, provinsi yang termasuk pada wilayah maju dan cepat tumbuh pada masa otonomi daerah yaitu Provinsi DKI Jakarta dan Jawa
Timur Kuadran I. Provinsi DKI Jakarta berhasil mempertahankan klasifikasinya karena pada masa sebelum otonomi daerah provinsi ini juga berada pada Kuadran
I dengan nilai PDRB perkapita 0.41 dan laju pertumbuhan sebesar 0.49. Sedangkan Provinsi Jawa Timur yang termasuk pada wilayah yang relatif
tertinggal Kuadran IV pada masa sebelum otonomi daerah mengalami perkembangan yang baik, sehingga pada masa otonomi daerah provinsi ini
97
Badan Pusat Statistik: Banten Dalam Angka Tahun 2001Jakarta:BPS.Jakarta-Indonesia, hal. xxvii
Pemikiran tentang hubungan investasi modal dari dalam negeri disampaikan dalam buku H. Djoko Sudantoko. dan Muliawan Hamdani: Dasar-dasar Pengantar Ekonomi Pembangunan Jakarta:
PT.PP.Mardi Mulyo, hal.90
terklasifik 0.39 dan 0
Pro yang relat
wilayah m mengalam
otonomi, s pada masa
paling kec yang term
Wilayah i otonomi
pertumbuh Namun, p
sama den berada di b
Gambar
Sumber: B Be
Jawa men perkapita
0.26 menj perkapita
menunjuk masing-m
daerah. Se pada Kuad
dan Jawa
y = ‐2.5
R²
y = 1.029x
R² = N
Pertumbuhan Ekonomi
kasi pada Ku 0.44.
ovinsi Bant tif tertingga
maju dan be mi penuruna
sehingga pr a otonomi
cil diantara masuk pada
ini mengal termasuk
han berada pada masa
ngan pertum bawah nilai
13 Klassen Daerah
BPS, 1993-2 erdasarkan T
ngalami p meningkat
adi 0.70. A dan laju
kkan pola pe masing provi
ebelum oton dran I, seda
Timur terk
529x + 1.081
= NA
y = 0.879
R² =
+ 0.114
NA
uadran I de ten, Jawa T
al Kuadran erkembang
an Laju per rovinsi ini te
daerah den a provinsi l
wilayah ya lami pening
pada wila di bawah
otonomi d mbuhan eko
i PDRB Pul
n Typology
h 2001-201 2011 diolah
Tabel 16 ni eningkatan
dari 0.15 m Artinya kebij
pertumbuh ersebaran L
insi tidak m nomi daerah
angkan tiga klasifikasi p
y = 7.89
R² =
9x + 0.083
NA Kuadran III
Kuadran VI
engan nilai P engah dan D
n IV. Provi Kuadran I
rtumbuhan erklasifikas
ngan nilai P lainnya yait
ang berkem gkatan klas
ayah terting nilai PDRB
daerah pertu onomi Pula
lau Jawa.
Provinsi d 10
h. ilai PDRB p
dari mas menjadi 0.51
ijakan desen han di Pul
Laju Pertum merata pad
h, Provinsi D a provinsi la
pada wilaya
99x ‐ 2.586
= NA
PDRB Perk
I
PDRB perk DI Yogyak
insi DI Yog I pada mas
dan nilai P i pada wilay
PDRB perka tu 0.11 dan
mbang cepat sifikasi. Di
ggal karen B dan laju
umbuhan ek au Jawa, m
di Pulau J
perkapita da a sebelum
1 dan laju p ntralisasi m
au Jawa. mbuhan dan
a masa seb DKI Jakarta
ainnya yaitu ah tertiggal
y y
= 1.014 R²
=
kapita
Kuad
Kuadr
kapita dan la karta termas
gyakarta ter sa sebelum
PDRB perka yah tertingg
apita dan la n 0.19. Kem
t yaitu Prov
imana pada na nilai P
pertumbuh konomi pro
meskipun ni
awa Pada
an Laju Per m otonomi
pertumbuhan mampu meni
Dari Gamb nilai PDRB
belum dan a dan DI Yo
u Jawa Bar l Kuadran
y = ‐593.3x + 4
R² = NA
4x + 0.119
NA dran I
an II
aju pertumb uk pada wi
rklasifikasi otonomi d
apita pada gal Kuadra
aju pertumb mudian pro
vinsi Jawa B a masa seb
PDRB dan han Pulau J
ovinsi ini r ilai PDRB
Masa Oto
rtumbuhan P daerah. P
n meningka ingkatkan P
bar 12 da B perkapita
setelah oto ogyakarta b
rat, Jawa Te IV. Kemu
418 DKI
Jakarta Jawa
Barat Banten
Jawa Teng
DI Yogyaka
Jawa Timu
buhan ilayah
pada daerah
masa an IV
buhan ovinsi
Barat.
belum laju
Jawa. relatif
tetap
onomi
Pulau PDRB
at dari PDRB
an 13 pada
onomi berada
engah udian,
a t
gah arta
ur
pada masa otonomi daerah Klasifikasi Tipologi Klassen provinsi di Pulau Jawa tersebar pada Kuadran I Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Timur, dengan
PDRB perkapita dan pertumbuhan ekonomi masing-masing Provinsi DKI Jakarta 0.7 dan 0.95, sedangkan Provinsi Jawa Timur 0.65 dan 0.77. Provinsi Jawa Barat
pada Kuadran III dengan PDRB perkapita dan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.42 dan 0.71. Kuadran IV terdiri atas Provinsi Banten, Jawa Tengah dan Provinsi DI
Yogyakarta dengan PDRB perkapita dan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten 0.2 dan 0.58, provinsi ini merupakan salah satu produk otonomi daerah pada masa
sebelum otonomi termasuk pada salah satu kabupaten di Jawa Barat, ternyata masih tergolong pada wilayah yang relatif tertinggal.
98
Kemudian Provinsi Jawa Tengah 0.30 dan 0.35 dan Provinsi DI Yogyakarta 0.12 dan 0.24.
Tabel 16Klassen
Typology Provinsi di Pulau Jawa Pada Masa Otonomi Daerah 2001-2010
Wilayah 2000-2010
PDRB Perkapita Laju pertumbuhan
DKI Jakarta 0.70
0.95 Jawa Barat
0.42 0.71
Banten 0.20 0.58
Jawa Tengah 0.30
0.35 DI Yogyakarta
0.12 0.24
Jawa Timur 0.65
0.77 Jawa 0.51
0.70 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah.
Provinsi DI Yogyakarta yang pada masa sebelum otonomi daerah berada pada kuadran I justru pada masa otonomi daerah berada pada kuadran IV. Hal ini
disebabkan karena lebih rendahnya pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita Provinsi DI Yogyakarta daripada pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita
Pulau Jawa secara keseluruhan. Sehingga, meskipun PDRB dan PDRB perkapita Provinsi DI Yogyakarta mengalami peningkatan, namun peningkatan ini belum
mampu untuk menyamai pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita Pulau Jawa pada masa otonomi daerah. Sehingga, Provinsi DI Yogyakarta berada pada
klasifikasi wilayah yang relatif tertinggal. Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita Provinsi DI Yogyakarta diduga disebabkan oleh turunnya
pendapatan provinsi ini pada sektor pertanian, dimana sektor Pertanian merupakan salah satu sektor basis yang ada di provinsi ini yang memiliki kontribusi pada
sektoral PDRB dari sisi penawaran yaitu sebesar 17.9 persen. Kontribusi ini tergolong pada tiga sektor terbesar yang berkontribusi pada sektoral PDRB di
Provinsi DI Yogyakarta.
99
Penurunan produktivitas pada sektor pertanian disebabkan oleh bencana alam erupsi gunung Merapi pada bulan April-Juni 2006
yang mengakibatkan turunnya produktivitas tanaman bahan makanan sebesar 1.45
98
Badan Pusat Statistik BPS: DI Yogyakarta Dalam Angka 2006. Jakarta:BPS, hal. 66
99
Struktur ekonomi DI Yogyakarta didominasi oleh sektor Perdagangan 20.79, Jasa 17.4 persen, Pertanian 17.19, dan Industri Pengolahan 13.28.
www.jogjainvest.jogjaprov.go.ididmengapa-yogyakarta makroekonomi.
persen, kemudian letusan gunung Merapi pada 24 Oktober 2010 juga berdampak pada menurunnya produktifitas sektor pertanian sebesar 16.7 persen. Sedangkan
faktor lain yang mengakibatkan turunnya produktifitas pertanian yaitu penyusutan lahan pertanian menjadi lahan pembangunan gedung, perkantoran dan perumahan
sebesar 0.4 persen pertahun.
100
Penurunan ini berpengaruh pada pertumbuhan sektor Pertanian di DI Yogyakarta yang hanya mampu tumbuh sebesar 0.64 persen selama periode 1991-
1999 dan 2.61 persen selama periode 2000-2010. Pertumbuhan pada sektor Pertanian tergolong kecil dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor lain
yang ada di Provinsi DI Yogyakarta. Penurunan ini akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan PDRB dan PDRB perkapita Propinsi DI Yogyakarta selanjutnya.
Sehingga pada periode perhitungan pertumbuhan PDRB dan PDRB perkapita 2000-2010 Provinsi DI Yogyakarta memiliki pertumbuhan PDRB dan PDRB
perkapita paling rendah diantara provinsi lainnya.
Indeks Williamson di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah
Ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa dapat dianalisis dengan menggunakan Indeks Williamson. Nilai Indeks Williamson yang rendah
menggambarkan kondisi ketimpangan pendapatan yang baik atau cenderung lebih merata, sedangkan nilai Indeks Williamson yang tinggi menggambarkan kondisi
ketimpangan pendapatan yang buruk. Berdasarkan kriteria yang ada, ketimpangan pendapatan antar provinsi berada pada taraf rendah jika nilai Indeks Williamson
kurang dari 0.35 CVw0.35, ketimpangan pendapatan taraf sedang jika Indeks Williamson antara 0.35 dan 0.5 0.35CVw0.5, dan ketimpangan pendapatan
taraf tinggi jika Indeks Williamson lebih dari 0.5 CVw0.5.
Terdapatnya ketimpangan pendapatan antar wilayah disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya pemberian alam, keterampilan masyarakat dan
penguasaan terhadap teknologi, kedekatan dan aksesibilitas terhadap pasar, kondisi dan mental ketenagakerjan serta kebijakan pemerintah. Faktor-faktor
tersebut akan berpengaruh terhadap daya jual dari komoditi yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
101
Hal ini menimbulkan perbedaan dalam daya jual komoditi yang menjadi basis perekonomian pada masing-masing wilayah.
Sehingga, wilayah yang memiliki daya jual yang lebih tinggi memiliki pendapatan yang lebih tinggi, dibandingakan dengan wilayah yang komoditinya berdaya jual
rendah. Adapun hasil perhitungan Indeks Williamson selama tahun 1991-2010 berdasarkan PDRB harga konstan tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 17.
Berdasarkan Tabel 17, rata-rata indeks ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa sebelum otonomi sebesar 0,665, kemudian pada saat otonomi rata-rata indeks
ketimpangan meningkat menjadi 0.872. Hal ini menunjukkan ketimpangan pendapatan yang lebih parah pada masa otonomi daerah dibandingkan dengan
ketimpangan pendapatan saat sebelum otonomi daerah. Pada tahun 1991 indeks ketimpangan di Pulau Jawa paling kecil yakni sebesar 0.549. Kemudian indeks
ketimpangan meningkat pada tahun 1992 menjadi 0.553. Artinya ketimpangan pendapatan yang semakin meningkat. Kemudian pada tahun 1993 hingga tahun
1997 indeks ketimpangan kembali meningkat dengan rata-rata indeks ketimpangan 0.707, artinya pada tahun 1993 hingga tahun 1997 ketimpangan
100
Bank Indonesia: Laporan Perekonomian DI Yogyakarta 2010.Jakarta:BI, hal. 10
101
Tarigan, Robinson. Op, cit. hal.95
pendapatan di Pulau Jawa semakin timpang. Namun, pada tahun 1998 indeks ketimpangan menurun menjadi 0.686 dan kembali menurun pada tahun 1999
dengan nilai indeks ketimpangan menjadi 0.664. Artinya, pada tahun 1998 dan 1999 ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa semakin membaik.
Tabel 17 Indeks Williamson Pulau Jawa berdasarkan PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pulau Jawa tahun 1991-2010
Sebelum Otonomi Setelah Otonomi
Tahun IW Tahun IW 1991 0.549
2000 0.738 1992 0.553
2001 0.871 1993 0.704
2002 0.892 1994 0.703
2003 0.891 1995 0.712
2004 0.892 1996 0.708
2005 0.886 1997 0.710
2006 0.874 1998 0.686
2007 0.892 1999 0.664
2008 0.895 2009 0.889
2010 0.875
Rata-Rata 0.665 Rata-Rata 0.872
Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Pada masa otonomi daerah ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa
semakin tinggi dengan rata-rata Indeks Williamson 0.872. Tahun 1999 nilai Indeks Williamson 0.665 meningkat menjadi 0.738 pada tahun 2000 awal
otonomi, kemudian semakin naik menjadi 0.871 pada tahun 2001. Tahun berikutnya Indeks Williamson terus meningkat hingga tahun 2004 dengan indeks
ketimpangan pendapatan sebesar 0.892. Artinya, semenjak awal otonomi hingga tahun 2004 tingkat ketimpangan pendapatan semakin tinggi. Tahun 2005 dan
2006 indeks ketimpangan pendapatan turun menjadi 0.886 dan 0.874, namun kembali naik pada tahun 2008 dan 2009 dengan indeks ketimpangan pendapatan
0.892 dan 0.895. Kemudian tahun 2010 indeks ketimpangan pendapatan kembali menurun menjadi 0.875.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa dengan berlakunya UU Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
mengelola daerah masing-masing, justru mengakibatkan ketidak-seragaman dalam pertumbuhan perekonomian wilayah yang ada di Pulau Jawa. Sehingga, terdapat
beberapa wilayah yang lebih maju daripada wilayah lainnya yang mengakibatan kondisi ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa semakin parah. Ketimpangan ini
disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya Sumberdaya Alam SdA, keahlian dan keterampilan penduduk, serta sarana dan prasarana.
102
102
Dumairy: Op,cit, hal.66
Indikator Penyebab Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa
Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang sangat besar antara Indikator yang dapat menyebabkan ketimpangan pendapatan di Pulau
Jawa, diantaranya sumberdaya alam yang ditunjukkan dengan PDRB perkapita dan pajak daerah, Keahlian dan keterampilan penduduk yang ditunjukkan dengan
Upah Minimum Provinsi, serta modal yang ditunjukkan dengan jumlah Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN dan Penanaman Modal Asing PMA.
Meskipun pemerintah pusat memberikan wewenang dalam mengurus dan mengatur daerah masing-masing berdasarkan UU No. 22 tentang Pemerintahan
Daerah Tahun 1999,
103
namun pemerintah pusat tetap memiliki kewenangan dalam mengatur pendapatan yang diperoleh dari sumberdaya alam seperti minyak
bumi, gas alam, dan pertambangan.
104
Berdasarkan UU No. 22 tentang Pemerintahan Daerah Tahun 1999, provinsi yang memiliki sumberdaya alam tetap
mendapatkan bagian dari bagi hasil dengan pemerintah pusat sebesar 15-30 persen untuk pemerintah daerah pada sektor Migas dan 80 persen untuk pemerintah
daerah pada sektor non Migas. Dengan demikian, provinsi yang memiliki sumberdaya alam yang berdaya jual tinggi tetap memiliki pendapatan daerah yang
lebih besar daripada wilayah lain yang memiliki sumberdaya alam yang berdaya jual rendah.
Tabel 18 Indikator Penyebab Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa
Provinsi Sebelum Otonomi Daerah
Setelah Otonomi Daerah A B C
D E A B C D
E DKI
Jakarta 20 435 1.51 16.3 5.5 34 1,118 10.8 46
38.2 Jawa
Barat 5 233
0.4 30 22.7 6 672 6.5 67 18 Banten
0 0 0 0 0 7 955 2.2 22 6.3
Jawa Tengah 4 229
0.2 5.3 0.8 5 660 4 17 1.1 DI
Yogyakarta 5 0 0.5 0.9 0.07 5 746 0.6 0.4 0.2 Jawa
Timur 5 242 0.05 14 75 7 630 6 29 10
Sumber: BPS, 1993-2011 Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 1992-2011. BPS. Jakarta-
Indonesia. Statistik Keuangan Daerah Tingkat I Tahun 19961997-2011. BPS.
Jakarta-Indonesia. diolah.
Keterangan: A= Rata-rata PDRB Perkapita juta B = Upah Minimum Provinsi ribu Rupiah
C = Pajak Daerah tahun 2010 triliyun Rupiah D = PMDN triliyun Rupiah
E = PMA miliyar US
Keahlian dan keterampilan penduduk yang dilihat dari Upah Minumum Provinsi UMP, dimana peringkat UMP tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta
sebelum otonomi daerah sebesar 435 ribu Rupiah, kemudian Provinsi Jawa Timur
103
Wijaya, HAW. Op,cit, hal. 243
104
Basri, Faisal: Landskap Ekonomi Indonesia- Kajian dan Renungan Masalah-masalah Struktural, Transformasi Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.hal. 464
sebesar 242 ribu Rupiah, Provinsi Jawa Barat sebesar 233 ribu Rupiah, dan Provinsi Jawa Tengah sebesar 229 ribu Rupiah yang merupakan provinsi yang
memiliki UMP terendah dari provinsi lainnya. Sedangkan, pada masa otonomi daerah UMP di Pulau Jawa mengalami peningkatan diantaranya Provinsi DKI
Jakarta 1.118 juta Rupiah, Banten 955 ribu Rupiah, DI Yogyakarta 746 ribu Rupiah, Jawa Barat 672 ribu Rupiah, Jawa Tengah 660 ribu Rupiah dan Jawa
Timur 630 ribu Rupiah. Demikian juga halnya dengan pajak daerah, pada masa sebelum otonomi daerah Provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah yang
memperoleh penerimaan dari pajak daerah tertinggi daripada wilayah lainnya, yaitu sebesar 1.5 triliyun Rupiah, kemudian DI Yogyakarta sebesar 0.5 triliyun
Rupiah, Jawa Barat sebesar 0.4 triliyun Rupiah, Jawa Tengah sebesar 0.3 triliyun Rupiah, dan 0.05 triliyun Rupiah. Sedangkan pada masa otonomi daerah,
pendapatan pajak daerah DKI Jakarta sebesar 10.8 triliyun Rupiah, kemudian Jawa Barat sebesar 6.5 triliyun Rupiah, Jawa Timur sebesar 5.9 triliyun Rupiah,
Jawa Tengah sebesar 3.9 triliyun Rupiah, Banten 2.2 triliyun Rupiah dan DI Yogyakarta sebesar 635 miliyar Rupiah.
Kemudian, pada masa sebelum otonomi daerah, provinsi yang memperoleh PMDN dan PMA terbesar yaitu Provinsi Jawa Barat dengan PMDN
sebesar 0.023 triliyun Rupiah dan 6 miliyar US, kemudian Provinsi Jawa Timur dengan PMDN dan PMA sebesar 0.014triliyun Rupiah dan 75 miliyar US,
Provinsi DKI Jakarta 0.02 triliyun Rupiah dan 5.5 miliyar US, Provinsi Jawa Tengah dengan PMDN dan PMA sebesar 5 miliyar dan 806 juta US, dan
Provinsi DI Yogyakarta dengan PMDN dan PMA sebesar 880 miliyar Rupiah dan 63 juta US. Sedangkan, pada masa otonomi daerah PMDN dan PMA di pulau
Jawa juga megalami peningkatan dengan PMDN dan PMA Provinsi Jawa Barat sebesar 67 triliyun Rupiah dan 17.6 miliyar US, PMDN dan PMA Provinsi DKI
Jakarta sebesar 46.1 triliyun Rupiah dan 38.2 miliyar US, PMDN dan PMA Provinsi Jawa Timur sebesar 29 triliyun Rupiah dan 9.8 miliyar US, PMDN dan
PMA Provinsi Banten sebesar 21.5 triliyun Rupiah dan 6.3 miliyar Rupiah, sedangkan Provinsi DI Yogyakarta jumlah PMDN dan PMA sebesar 0.4 triliyun
Rupiah dan 0.14 miliyar US.
Dengan demikian, terlihat bahwa terdapat peningkatan jumlah pada indikator yang menyebabkan ketimpangan di Pulau Jawa, meskipun indikator
pada masing-masing provinsi mengalami peningkatan, namun selisih indikator yang sama antar provinsi di Pulau Jawa masih tinggi. Dengan demikian, semakin
tinggi selisih perbedaan indikator antar provinsi akan semakin tinggi pula ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa.
Indeks Williamson di Luar Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah
Ketimpangan pendapatan pembangunan di luar Pulau Jawa pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah di analisis menggunakan pendekatan yang
sama dengan pendekatan di Pulau Jawa, yaitu menggunakan Indeks Williamson. Adapun hasil perhitungan Indeks Williamson selama tahun 1991-2010 di luar
Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 19.
Berdasarkan Tabel 19 rata-rata indeks ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa sebesar 0.725. Ketimpangan pendapatan paling tinggi terjadi pada
tahun 1991 dan 1992 dengan nilai indeks ketimpangan pendapatan 0.950 dan
0.946. Hal ini disebabkan oleh tingginya PDRB provinsi DI Aceh dan provinsi Riau pada tahun 1991 dan tahun 1992. PDRB provinsi DI Aceh pada tahun 1991
yaitu sebesar 53 Miliyar Rupiah dan provinsi Riau sebesar 86 Miliyar Rupiah, sedangkan pada tahun 1992 PBRD provinsi DI Aceh sebesar 55 Miliyar Rupiah
dan provinsi Riau sebesar 95 Miliyar.
105
Namun, pada tahun 1993 PDRB provinsi DI Aceh mengalami penurunan sebesar 33 persen dan PDRB provinsi Riau turun
hingga 39 persen. Sehingga, PDRB propinsi DI Aceh pada tahun 1993 sebesar 36 Miliyar Rupiah dan provinsi Riau 85 miliyar Rupiah. Penurunan PDRB kedua
provinsi ini sangat berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan antar provinsi di luar Pulau Jawa.
Tabel 19 Indeks Williamson Berdasarkan PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Luar Pulau Jawa tahun 1991-2010
Sebelum Otonomi Setelah Otonomi
Tahun IW Tahun IW 1991 0.950
2000 0.876 1992 0.946
2001 0.896 1993 0.764
2002 0.869 1994 0.787
2003 0.494 1995 0.775
2004 0.746 1996 0.675
2005 0.824 1997 0.696
2006 0.768 1998 0.465
2007 0.741 1999 0.465
2008 0.734 2009 0.713
2010 0.677
Rata-rata 0.725 Rata-rata 0.758
Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Indeks ketimpangan pendapatan pada tahun 1993 hingga 1995 mengalami
penurunan dan relatif stabil pada angka 0.776 yang menandakan ketimpangan pendapatan pendapatan antar daerah semakin menurun meskipun masih berada
pada klasifikasi ketimpangan pendapatan yang parah. Tahun 1996 indeks ketimpangan pendapatan kembali menurun menjadi 0.675 yang menandakan
ketimpangan pendapatan pendapatan semakin menurun. Indeks ketimpangan pendapatan meningkat kembali pada tahun 1997 menjadi 0.696 yang menandakan
ketimpangan pendapatan pendapatan kembali meningkat. Pada tahun 1998 dan 1999 indeks ketimpangan pendapatan kembali menurun sehingga ketimpangan
pendapatan termasuk pada ketimpangan pendapatan taraf sedang dengan indeks ketimpangan pendapatan pada tahun 1998 dan 1999 sebesar 0,465. Artinya,
ketimpangan pendapatan pendapatan antar daerah semakin menurun. Diduga akibat krisis Asia yang melanda Indonesia pada tahun 1998 berdampak positif
terhadap ketimpangan pendapatan antar provinsi di wilayah luar Pulau Jawa.
105
Badan Pusat Statistik: Produk Domestik Regional Bruto Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha Tahun 1988-1993. BPS Jakarta-Indonesia. hal.4
Pada masa otonomi daerah 2000-2010 ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa semakin parah dengan rata-rata nilai Indeks Williamson 0.758. Pada awal
otonomi daerah indeks ketimpangan pendapatan wilayah di luar Pulau Jawa meningkat dari 0.725 pada tahun 1999 menjadi 0.876 pada tahun 2000. Hal ini
menandakan kondisi ketimpangan pendapatan ketimpangan pendapatan pendapatan antarwilayah semakin meningkat sejak diberlakukannya UU Otonomi
Daerah. Pada tahun 2001 ketimpangan pendapatan semakin parah dengan nilai indeks ketimpangan pendapatan mencapai 0.896, namun kemudian ketimpangan
pendapatan semakin membaik pada tahun 2002 dengan nilai indeks ketimpangan pendapatan 0.869, artinya ketimpangan pendapatan pendapatan antar daerah
manurun. Pada tahun 2003 ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa membaik hingga termasuk pada klasifikasi ketimpangan pendapatan taraf sedang dengan
nilai indeks ketimpangan pendapatan 0.494 yang merupakan nilai Indeks Williamson terkecil pada periode otonomi daerah. Membaiknya kondisi
keimpangan pada tahun 2003 diduga akibat turunnya PDRB Provinsi Riau sebesar 25 persen dan provinsi Papua sebesar 17 persen dari tahun sebelumnya.
106
Indeks ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa pada tahun 2004 kembali pada taraf tinggi dengan nilai indeks ketimpangan pendapatan meningkat
menjadi 0.746, kemudian pada tahun 2005 menjadi 0.824 yang mendandakan ketimpangan pendapatan pendapatan antarwilayah semakin meningkat. Pada
tahun 2007 indeks ketimpangan pendapatan turun menjadi 0.741, 0.734 dan 0.713 pada tahun 2008 dan 2009. Ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa
kembali membaik pada tahun 2010 dengan indeks ketimpangan pendapatan 0.677 pada tahun 2010 yang menandakan ketimpangan pendapatan pendapatan antar
daerah yang semakin membaik. Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa nilai Indeks Williamson di luar Pulau Jawa pada masa otonomi daerah lebih tinggi dibanding
sebelum otonomi daerah. Rata-rata indeks ketimpangan pendapatan sebelum otonomi daerah sebesar 0.725 dan setelah otonomi daerah sebesar 0.758. Hal ini
menandakan bahwa ketimpangan pendapatan pendapatan lebih tinggi pada masa otonomi daerah dibandingkan dengan ketimpangan pendapatan pendapatan
sebelum otonomi daerah.
Berdasarkan Tabel 17 dan 19, rata-rata indeks ketimpangan pendapatan sebelum otonomi daerah di luar Pulau Jawa lebih tingi daripada indeks
ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa. Hal ini menandakan bahwa ketimpangan pendapatan yang lebih parah di luar Pulau Jawa pada saat sebelum otonomi
daerah. Sedangkan pada masa otonomi daerah, rata-rata indeks ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa lebih rendah daripada indeks ketimpangan
pendapatan di Pulau Jawa. Hal ini menandakan bahwa pada saat otonomi daerah, ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa lebih parah dibandingkan dengan
ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa. Analisis
Shift-share Sektor Perekonomian di Pulau Jawa Sebelum Otonomi Daerah 1991-1999
Berdasarkan Tabel 20 kebijakan pemerintah secara sentralistik pada masa sebelum otonomi daerah 1991-1999 mampu meningkatkan PDRB di Pulau Jawa
sebesar 117,773 Miliyar Rupiah yang terdiri dari peningkatan PDRB Provinsi
106
Bdan Pusat Statistik: Statistik Indonesia Statistic of Indonesia 2007. BPS.Jakarta-Indonesia. hal. 553
DKI Jakarta sebesar 32,201 Miliyar Rupiah, Jawa Barat sebesar 36,446 miliyar, Jawa Tengah 20,236 miliyar Rupiah, Jawa Timur sebesar 27,185 miliyar Rupiah
dan DI Yogyakarta sebesar 1,666 miliyar Rupiah. Sebagai pusat pemerintahan, sektor Bangunan dan Konstruksi serta Sektor Bank dan lembaga keuangan lain di
Provinsi DKI Jakarta berkembang pesat dan berdaya saing tinggi pada sektor yang sama pada wilayah lain di Pulau Jawa Kuadran I. Kemudian sektor Industri
Pengolahan, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, sektor Pengangkutan dan Komunikasi dan sektor Jasa meskipun
berdaya saing baik, namun kelima sektor ini berkembang lambat di Provinsi DKI Jakarta Kuadran II. Sedangkan sektor Pertanian merupakan sektor perekonomian
yang berkembang lambat dan tidak memiliki daya saing di provinsi ini Kuadran III.
Tabel 20 Komponen Pertumbuhan Nasional PN Pulau Jawa tahun 1991-
1999 miliyar Rupiah
Sektor DKI
Jakarta Jawa
Barat Jawa
Tengah Jawa
Timur DI
Yogyakarta Pertanian 275
7,078 6,274
10,154 521
Pertambangan 0 4,988
134 240
11 Industri
Pengolahan 8,939 8,416 5,932 8,218 241
Listrik, gas dan air minum 1,516
723 215
412 29
BangunanKonstruksi 3,102 2,602
1,074 46
87 Perdagangan, Hotel dan
Restoran 7,228 8,119 4,484 2,184 427
Pengangkutan dan Komunikasi
3,957 2,196 945 2,486 175
Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya
4,679 970
560 1,412
57 Jasa
2,505 1,354 620 2,032 118
Jumlah 32,201 36,446 20,236
27,185 1,666
Total Pulau Jawa 117,733
Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Tabel 21 Klasifikasi Sektor Perekonomian di Pulau Jawa Berdasarkan
Analisis Shift-share
Kuadran DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Yogyakarta I PP0,PPW0
5.8 3.4.9
4.7.9 3.4.5.6.7
3.5.7.8.9 II
PP0,PPW0 3.4.6.7.9 5.6.7.8 3.5.6.8 8.9
4.6 IIIPP0,PPW0
1 2 1
1 IVPP0,PPW0
1 2
2 1.2
Keterangan: PP = Pertumbuhan Proporsional yang menunukkan pertumbuhan sektor
PPW = Perumbuhan Pangsa Wilayah yang menunjukkan daya saing 1.
Pertanian 2.Pertambangan
dan Penggalian
3. Industri Pengolahan, 4. Listrik, Gas dan Air Bersih
5.Bangunan dan
Konstruksi 6.Perdagangan Hotel dan Restoran
7.Pengangkutan dan Komunikasi 8. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya
9. Jasa Pada masa sebelum Otonomi daerah, Provinsi Jawa Barat memiliki
peningkatan PDRB tertinggi diantara provinsi lainnya di Pulau Jawa yaitu sebesar 36,446 Miliyar Rupiah. Sektor yang berkembang pesat dan berdaya saing tinggi di
Jawa Barat yakni sektor Industri Pengolahan, Sektor Listrik, Gas dan Air Minum dan sektor Jasa Kuadran I. Kemudian sektor Bangunan dan Konstruksi, sektor
Perdagangan, Hotel dan Restoran, sektor Pengangkutan dan Komunikasi serta sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya meskipun kurang berkembang
dengan baik di provinsi ini, namun keempat sektor ini memiliki daya saing yang tinggi Kuadran II. Sementara itu Sektor Pertambangan dan Penggalian tidak
mampu berkembang dan berdaya saing lemah Kuadran III, kemudian sektor Pertanian juga berdaya saing lemah, namun sektor ini mampu berkembang
dengan pesat di Provinsi Jawa Barat Kuadran IV. Sektor Industri Pengolahan, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih dan sektor Jasa merupakan sektor yang
berkembang pesat dan berdaya saing tinggi di Provinsi Jawa Tengah Kuadran I. Sedangkan sektor Industri Pengolahan, sektor Bangunan dan Konstruksi, sektor
Perdagangan Hotel dan Restoran serta sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya merupakan sektor yang berdaya saing tinggi, namun berkembang lambat
di provinsi ini Kuadran II. Kemudian sektor Pertambangan dan Penggalian berdaya saing lemah dan berkembang lambat kuadran III, sedangkan sektor
Pertanian meskipun berdaya saing lemah namun sektor ini berkembang cukup baik di provinsi ini Kuadran IV.
Sektor Industri Pengolahan, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, sektor Bangunan dan Konstruksi, sektor Perdagangan Hotel dan Restoran serta sektor
Pengangkutan dan Komunikasi merupakan sektor yang berkembang pesat dan memiliki daya saing yang tinggi di Provinsi Jawa Timur Kuadran I. Kemudian,
sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, serta sektor Jasa memiliki daya saing tinggi meskipun berkembang lambat di provinsi ini Kuadran II. Sektor
Pertanian berkembang lambat dan berdaya saing lemah Kuadran III, sedangkan sektor Pertambangan dan Penggalian berkembang pesat namun berdaya saing
lemah Kuadran IV. Kemudian di Provinsi DI Yogyakarta sektor Industri Pengolahan, sektor Bangunan dan Konstruksi, sektor Pengangkutan dan
Komunikasi, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, dan sektor Jasa berkembang baik dan memiliki daya saing tinggi Kuadran I. Sektor Listrik, Gas
dan Air Bersih dan sektor Perdagangan Hotel dan Restoran berdaya saing tinggi meskipun berkembang lambat Kuadran II. Sedangkan sektor Pertanian dan
sektor Pertambangan dan Penggalian berkembang pesat meskipun berdaya saing lemah Kuadran IV
Analisis
Shift-share Sektor Perekonomian di Pulau Jawa Setelah Otonomi Daerah 2000-2010
Peningkatan PDRB DKI Jakarta sebesar 160,270 miliyar Rupiah atau terjadi peningkatan pendapatan regional sebesar 298 persen dibandingkan
pendapatan saat sebelum otonomi yang hanya 36,446 miliyar Rupiah. Pada masa otonomi daerah, sektor perekonomian yang cepat berkembang dan berdaya saing
tinggi di Provinsi DKI Jakarta yakni sektor Pengangkutan dan Komunikasi Kuadran I. Kemudian, sektor Industri Pengolahan, sektor Listrik, Gas dan Air
Bersih, sektor Perdagangan Hotel dan Restoran, sektor Pengangkutan dan Komunikasi dan sektor Jasa termasuk sektor perekonomian yang berkembang
lambat namun memiliki daya saing tinggi Kuadran II. Sektor Pertanian merupakan sektor yang berkembang lambat dan tidak memiliki daya saing di
provinsi ini.
Peningkatan PDRB Jawa Barat pada masa Otonomi Daerah sebesar 117,437 miliyar Rupiah. sektor Industri Pengolahan, sektor Bangunan dan
Konstruksi dan sektor Perdagangan Hotel dan Restoran memiliki daya saing tinggi dan cepat berkembang di Provinsi Jawa Barat Kuadran I. Kemudian,
sektor Pengangkutan dan Komunikasi memiliki daya saing tinggi namun pertumbuhannnya lambat Kuadran II. Sektor Pertambangan dan Penggalian,
sektor Listrik, Gas dan Air Bersih dan sektor Jasa memiliki daya saing lemah dan berkembang lambat Kuadran III. Sektor Pertanian serta sektor Bank dan
Lembaga Keuangan Lainnya memiliki pertumbuhan yang lambat, namun berdaya saing tinggi Kuadran IV.
Berdasarkan Tabel 22, pertumbuhan PDRB di Pulau Jawa pada masa orde baru 2000-2010 sebesar 539,971 miliyar Rupiah. Peningkatan ini lebih besar
daripada pertumbuhan PDRB pada masa sebelum otonomi daerah 1991-1999 yang hanya sebesar 177,733 miliyar Rupiah. Dengan demikian, kebijakan
Desentralisasi mampu meningkatkan pendapatan wilayah di Pulau Jawa. Tabel 22 Komponen Pertumbuhan Nasional PN Pulau Jawa Tahun 2000-
2010 miliyar Rupiah
Sektor DKI
Jakarta Jawa
Barat Jawa
Tengah Jawa
Timur Yogyakarta Banten
Pertanian 275
16,547 18,367 28,143 1,672 2,820
Pertambangan 905 7,358 774 2,942 112 33
Industri Pengolahan
28,393 46,065 25,091 42,487 1,232 14,977
Listrik, Gas dan Air Minum
1,021 3,798 610 2,182 71 1,255
Bangunan Konstruksi
16,790 4,019 3,700 5,716 744
715 Perdagangan,
Hotel dan Restoran
32,085 19,284 18,326 34,785 1,468 5,159
Pengangkutan dan Komunikasi
8,890 5,715 3,643 7,465 1,131 2,360
Bank dan Lembaga
Keuangan Lainnya
52,685 4,697 3,052 6,559 973
786 Jasa
19,226 9,953 7,080 12,323 1,905 1,608
Jumlah 160,270 117,437 80,642 142,602 9,307
29,713 Total Pulau Jawa 539,971
Sumber: BPS, 1993-2011 diolah.
Pada masa otonomi daerah, peningkatan PDRB Provinsi Jawa Tengah sebesar 80,642 miliyar Rupiah. Peningkatan ini 299 persen dari peningkatan
PDRB pada masa sebelum otonomi daerah yang hanya 20,236 miliyar Rupiah. Sektor Bangunan dan Konstruksi berkembang cepat dan memiliki daya tinggi di
provinsi ini Kuadran I. Kemudian, sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan Hotel dan Restoran serta sektor Pengangkutan dan Komunikasi
berkembang lambat namun memiliki daya saing tinggi Kuadran II. Sektor Pertanian berkembang lambat dan berdaya saing lemah di provinsi ini Kuadran
III. Sedangkan sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya dan sektor Jasa berkembang
cepat, namun memiliki daya saing rendah di Provinsi Jawa Tengah Kuadran IV. Tabel 23 Klasifikasi Sektor Perekonomian di Pulau Jawa Berdasarkan
Analisis Shift-share
Klasifikasi DKI
Jakarta Jawa
Barat Jawa
Tengah Jawa
Timur Yogyakarta Banten
I PP0,PPW0 7
3.5.6 5
6 5
3.5.6 II PP0,PPW0 3.5.6
7 3.6,7
3,5.7 3.6.7
7 IIIPP0,PPW0 1.2.8.9 2.4.9 1
1.4 2.8.9
1.9 IVPP0,PPW0
4 1.8 2.4.8.9 2.8.9 1.4
2.4.8 Keterangan: PP = Pertumbuhan Proporsional yang menunukkan pertumbuhan
sektor PPW = Perumbuhan Pangsa Wilayah yang menunjukkan daya saing
1. Pertanian
2.Pertambangan dan
Penggalian 3. Industri Pengolahan,
4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5.Bangunan
dan Konstruksi
6.Perdagangan Hotel dan Restoran 7.Pengangkutan dan Komunikasi
8. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 9. Jasa
Peningkatan PDRB Jawa Timur pada masa otonomi daerah sebesar 142.602 miliyar Rupiah atau sebesar 425 persen dari peningkatan PDRB Provinsi
Jawa Timur sebelum otonomi. Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran berkembang cepat dan berdaya saing tinggi Kuadran I. Kemudian, sektor
Industri Pengolahan, sektor Perdagangan Hotel dan Restoran, serta sektor Pengangkutan dan Komunikasi berkembang lambat, namun berdaya saing tinggi
Kuadran II. Sektor Pertanian dan Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih berkembang lambat dan berdaya saing rendah. Kemudian, sektor Pertambangan dan
Penggalian, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya dan sektor Jasa berkembang pesat namun berdaya saing rendah Kuadran IV.
Peningkatan PDRB Provinsi Yogyakarta pada masa otonomi daerah sebesar 9.307 miliyar Rupiah. Sektor Bangunan dan Konstruksi berkembang cepat
dan berdaya saing tinggi Kuadran I. Kemudian, sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan Hotel dan Restoran, serta sektor Pengangkutan dan
Komunikasi berkembang lambat namun berdaya saing tinggi Kuadran II. Namun, sektor Pertanian, dan sektor Listrik, Gas dan Air Bersih berkembang
lambat dan berdaya saing lemah Kuadran III. Kemudian, sektor Pertanian dan sektor Listrik, Gas dan Air Bersih berkembang cepat namun berdaya saing lemah
Kuadran IV. Sebagai provinsi baru yang memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat, klasifikasi sektor perekonomian di Provinsi Banten relatif sama dengan
Provinsi Jawa Barat. Peningkatan PDRB Provinsi Banten pada tahun 2000-2010 sebesar 23.713 miliyar Rupiah. Sektor yang bertumbuh cepat dan berdaya saing
tinggi diantaranya sektor Industri Pengolahan, sektor Bangunan dan Konstruksi serta sektor Perdagangan Hotel dan Restoran Kuadran I. Sektor Pengangkutan
dan Komunikasi pertumbuhannya lambat dan memiliki daya saing tinggi Kuadran II. Kemudian, sektor Pertanian dan sektor Jasa pertumbuhannya lambat
dan berdaya saing lemah. Sedangkan sektor Pertambangan dan Penggalian, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, serta sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya
pertumbuhannya cepat dan berdaya saing lemah.
Analisis Sektor Ekonomi Basis di Pulau Jawa
Sektor yang menjadi unggulan wilayah pada dasarnya adalah sektor yang dapat memberikan kontribusi bukan hanya dalam pemenuhan kebutuhan daerah
itu sendiri, namun juga mampu mengekspor outputnya untuk memenuhi kebutuhan daerah lain. Sehingga, dari hasil ekspor dari produk pada sektor
perekonomian tertentu dapat memberikan pendapatan dalam jumlah yang relatif besar. Analisis LQ lazim digunakan untuk menentukan sektor basis di suatu
daerah dengan nilai LQ antara nol sampai dengan positif tak hingga. Nilai LQ lebih besar dari satu LQ1 menunjukkan bahwa sektor tersebut memiliki potensi
ekspor dan dikategorikan sebagai sektor basis, artinya produksi sektor ini mampu untuk memenuhi kebutuhan pada sektor yang sama di wilayah lain. Jika LQ antara
nol dan satu 0LQ1 maka sektor perekonomian tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan wilayah yang bersangkutan dan sektor tersebut
dikategorikan sebagai sektor non basis, karena produktifitas dari sektor ttersebut hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri.
Analisis Sektor Basis di DKI Jakarta Sebelum Otonomi Daerah 1991 dan 1999 dan Setelah Otonomi Daerah 2001 dan 2010
Tabel 24 memperlihatkan pergeseran sektor basis di DKI Jakarta pada masa sebelum dan setelah otonomi daerah. Pada tahun 1991, sektor yang
tergolong pada sektor non-basis hanya sektor Pertanian dan Sektor Pertambangan, sedangkan sisanya terklasifikasi pada sektor basis. Pada tahun 1999 terjadi
perubahan pada tiga sektor yaitu sektor Industri Pengolahan dan sektor Listrik, Gas dan Air Minum, serta sektor Jasa yang pada tahun 1991 termasuk pada sektor
basis, namun pada tahun 1999 terklasifikasi pada sektor non basis. Penurunan nilai LQ pada sektor basis Industri Pengolahan diakibatkan karena semakin
turunnya produktivitas sektor ini disebabkan oleh reloksasi industri ke wilayah lain di luar DKI Jakarta. Wilayah yang menjadi sasaran relokasi diantaranya
adalah Jawa Tengah Sragen, Salatiga, Kendal, Boyolali, Semarang dan Jawa Timur Jombang dan Mojokerto. Salah satu faktor yang mengakibatkan
pengusaha sektor industri pengolahan merelokasi bisnis mereka dari DKI Jakarta adalah akibat krisis moneter dan tingginya krisis kepercayaan pasca krisis moneter
yang menimbulkan tingginya “biaya siluman” untuk perijinan suatu usaha. Kemudian, setelah otonomi daerah relokasi semakin banyak dilakukan karena
tingginya Upah Minimum Provinsi UMP di DKI Jakarta dibandingkan dengan wilayah lain. Pada tahun 2012 UMP di DKI Jakarta sebesar 2.2 juta rupiah,
sedangkan UMP di Jawa Tengah sebesar 830 ribu rupiah dan di Jawa Timur
sebesar 866 ribu rupiah.
107
Sedangkan, sektor yang mengalami penurunan nilai LQ selanjutnya adalah sektor Listrik, Gas dan Air Minum. Industri pengolahan air
minum ini direlokasi ke wilayah Sukabumi, Jawa Barat sehingga produktifitas sektor ini di Provinsi DKI Jakarta semakin menurun.
Kemudian, pada masa otonomi daerah 2000-2010 Provinsi DKI Jakarta hanya memiliki empat sektor basis, diantaranya sektor BangunanKonstruksi,
sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, serta sektor Jasa. Sektor lainnya termasuk sektor Perdagangan, Hotel dan
Restoran yang pada masa sebelum otonomi terklasifikasi pada basis, namun pada masa otonomi termasuk pada sektor non-basis. Peningkatan nilai LQ pada sektor
BangunanKonstruksi pada masa sebelum dan setelah otonomi daerah disebabkan karena terjadinya peningkatan proyek pembangunan penyediaan fasilitas di
wilayah DKI Jakarta. Diantaranya, di Jakarta Pusat Petamburan, Karet Tengsin, Bendungna Hilir, Jakarta Timur Cakung, Pulogadung, Cipayung, Jakarta Barat
Grogol, Slipi-Palmerah dan Jakarta Utara Pademangan, dan Penjaringan, wilayah-wilayah tersebut digunakan untuk proyek pembangunan
perumahanapartemen, perkantoran dan lain-lain.
108
Tabel 24 Perhitungan LQ Sembilan Sektor Perekonomi di Provinsi DKI Jakarta
Sektor Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi daerah
1991 1999 2000 2010 Pertanian
0.04 0.02 0.01 0.01 Pertambangan
0.00 0.00 0.25 0.18 Industri Pengolahan