6.98 Analisis Ketimpangan Perekonomian Pada Provinsi di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah, Serta Solusi Dengan Peningkatan Pendapatan dari Sektor Basis

daripada pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa sebesar 5.47 persen setiap tahun. Kemudian Provinsi Jawa Tengah juga mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 3.2 persen setiap tahun, namun pertumbuhan provinsi ini lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Provinsi DI Yogyakarta sebesar 2.38 pesen setiap tahun, artinya pertumbuhan ekonomi provinsi ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada masa sebelum otonomi daerah. Struktur Perekonomian Pulau Jawa Berdasarkan Lapangan Usaha Perekonomian di Pulau Jawa didominasi oleh sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan, sektor Pertanian dan sektor Bank dan Lembaga Keuangan. Peran keempat sektor ini mencapai 73.2 persen, sedangkan sektor lainnya yakni sektor Jasa, sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Listrik , Gas dan Air Minum, sektor Bangunan dan Konstruksi, serta sektor Pertambangan hanya berperan sebesar 26.8 persen terhadap PDRB wilayah di Pulau Jawa. Sektor Pertambangan hanya menyumbang 2.6 persen dari total PDRB di Pulau Jawa. Karena Pulau Jawa memiliki potensi yang kecil untuk barang-barang tambang. Sektor kecil lainnya yaitu Listrik, Gas dan Air Minum yang hanya berperan 1.8 persen terhadap PDRB di Pulau Jawa Tabel 6 Peran Sektor Unggulan Terhadap PDRB di Pulau Jawa Tahun 1991 2010 persen Sektor Perekonomian Tahun Rata-rata 1991 2000 2001 2010 Pertanian 21.2 12.0 12.5 10.3 12.6 Pertambangan 5.5 2.1 1.9 1.4 2.6 Industri Pengolahan 26.6 29.0 31.1 28.9 28.7 Listrik, gas dan air minum 2.4 1.9 1.4 1.4 1.8 BangunanKonstruksi 5.8 6.2 5.5 5.9. 6.7 Perdagangan, Hotel dan Restoran 19.1 19.7 21.0 23.8 21.3 Pengangkutan dan Komunikasi 8.0 6.1 5.2 7.9 6.8 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 6.0 12.6 12.1 11.3 10.6 Jasa 5.4 10.4 9.3 9.2 9.0 Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha Tahun 1993, 1995, 1999, 2004, 2007, 2011. BPS Jakarta-Indonesia Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang cukup tinggi. Sehingga dengan ketersediaan tenaga kerja yang relatif banyak, maka tingkat upah tenaga kerja di Pulau Jawa menjadi lebih murah. Hal ini juga menarik investor untuk berinvestasi pada sektor-sektor yang membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak untuk berproduksi. Berikut adalah tingkat upah yang ada di Pulau Jawa dari tahun 2004-2011. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa tingkat upah yang paling rendah terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat. Upah minimum Provinsi UMP dari ketiga provinsi diatas berada di bawah UMP rata-rata di Pulau Jawa.Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat upah adalah jumlah penduduk yang tinggi dan tingkat pendidikan pada suatu wilayah. Sektor- sektor yang berhubungan dengan industri, manufaktur, pengolahan, perdagangan, perhotelan dan pertanian yang masih semi modern membutuhkan lebih banyak tenaga kerja manusia. Hal ini menyebabkan lebih pesatnya perkembangan perekonomian pada sektor-sektor tersebut. Sektor-sektor yang menyumbang PDRB yang kecil diantaranya Pertambangan, Listrik, gas dan air minum, dan sektor Pengangkutan dan Komunikasi. Tabel 7 Upah Pekerja per Bulan ribu Rupiah Tahun Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Jawa 2004 671.60 366.50 515.00 365.00 365.00 310.00 432.18 2005 711.84 408.26 585.00 390.00 400.00 340.00 472.52 2006 819.10 447.65 661.61 450.00 460.00 390.00 538.06 2007 900.56 516.84 746.50 500.00 500.00 448.50 602.07 2008 972.60 568.19 837.00 547.00 586.00 500.00 668.47 2009 1069.87 628.19 917.50 575.00 700.00 570.00 743.43 2010 1118.01 671.50 955.30 660.00 745.69 630.00 796.75 2011 1290.00 732.00 1000.00 675.00 808.00 705.00 868.33 Sumber: Data elektronik BPS Bogor. Diakses tanggal 4 Mei 2013 Perkembangan PDRB Perkapita Berikut ini merupakan gambar PDRB per kapita di Pulau Jawa tahun 1991-2010 Gambar 7 Pertumbuhan PDRB Perkapita di Pulau Jawa Tahun 1991-2011 Atas Dasar Harga Konstan 2000 Rupiah Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha Tahun 1993, 1995, 1999, 2004, 2007, 2011, 1985-2005, 2000-2015. BPS Jakarta-Indonesia PDRB perkapita menunjukkan rata-rata pendapatan penduduk suatu wilayah dalam periode waktu tertentu. Pendapatan perkapita tidak dapat mengindikasikan tingkat kesejahteraan penduduk karena PDRB perkapita hanya menunjukkan pendapatan yang dihasilkan secara kasar atau secara umum. 2,000,000 4,000,000 6,000,000 8,000,000 10,000,000 12,000,000 PDRB Perkapita Bedasarkan Gambar 7 PDRB perkapita Pulau Jawa menunjukkan tren yang terus meningkat. Kecuali pada tahun 1997-1999 yang turun hingga 17 persen selama dua tahun terakhir. Dengan adanya krisis moneter pada tahun 1998 tidak terlalu berdampak besar terhadap penurunan PDRB perkapita di Pulau Jawa. Sejak tahun 1995 hingga tahun 2004 terjadi fluktuasi dalam PDRB perkapita, namun fluktuasi ini memiliki kecenderungan yang semakin meningkat dengan pertumbuhan PDRB perkapita 12.63 persen setiap tahunnya peningkatan hingga 10,551,975.85 pada tahun 2011. Pajak Daerah Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah merupakan iuran wajib yang dibayarkan oleh pribadi maupun suatu badan kepada daerah yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan dan perundang- undangan yang berlaku untuk membiayai pembangunan daerah dan penyelenggaraan pemerintah daerah. Pajak Daerah termasuk kedalam Pendapatan Asli Daerah yang dibagi atas pendapatan dari provinsi Pajak Daerah Tingkat I dan pendapatan dari kabupaten pajak Daerah Tingkat II. 92 Semakin besar nilai suatu pajak daerah, maka akan semakin besar anggaran yang tersedia untuk membiayai pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. Namun, dengan semakin besarnya jumlah nominal Pajak Daerah yang dipungut dari sektor riil maka hal ini akan menimbulkan dampak negatif. Karena pajak yang tinggi akan menurunkan minat investor dalam berinvestasi pada daerah tersebut 93 Gambar 8 Komposisi Pemungutan Pajak Daerah di Pulau Jawa Sumber: Statistik Keuangan Daerah Tingkat I Tahun 19961997, 19911992, 2000, 2004, 2008, 2010, 2011. BPS. Jakarta-Indonesia. Gambar 8 menunjukkan pajak daerah yang semakin meningkat setiap tahunnya dari tahun1991 hingga tahun 2011. Persentase pajak daerah paling tinggi diperoleh dari wilayah DKI Jakarta dengan rata-rata pemungutan pajak daerah 47.9 persen dari total pajak daeah yang ada di Pulau Jawa. Persentase ini menunjukkan bahwa aktivitas perekonomian di wilayah DKI Jakarta mampu 92 Haki, Dio: Analisis penerimaan Pajak dan Retribusi daerah Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah di Kota BogorSkripsi. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, hal.10-11. 93 Khasanah, Mulaelatul: Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Modal Asing PMA di Batam. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, hal.33 2,000,000,000,000 4,000,000,000,000 6,000,000,000,000 8,000,000,000,000 10,000,000,000,000 12,000,000,000,000 14,000,000,000,000 16,000,000,000,000 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Banten memberikan sumbangan yang cukup tinggi. Sedangkan Yogyakarta merupakan wilayah yang memperoleh pungutan pajak daerah yang paling kecil, hanya 2 persen dari total pendapatan pajak Pulau Jawa tahun 1991-2011. Hal ini menandakan minimnya peran aktivitas perekonomian di wilayah DI Yogyakarta. Tabel 8 Pemungutan Pajak Daerah di Pulau Jawa juta Rupiah Provinsi Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah 1994 1996 1998 Rataan 2005 2007 2009 Rataan DKI Jakarta 37 8 -29 18 18 11 7 18 Jawa Barat 51 12 -47 22 26 11 1 27 Jawa Tengah 44 17 -35 19 25 12 5 28 Jawa Timur 50 14 -32 18 22 10 9 26 DI Yogyakarta 43 16 -35 20 17 16 3 25 Banten 0 0 0 0 30 16 1 33 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Tingkat I Tahun 19961997, 19911992, 2000, 2004, 2008, 2010, 2011. BPS. Jakarta-Indonesia. Pajak daerah berperan penting dalam kebijakan pembangunan daerah yang didanai dari pendapatan dan pajak daerah. Semakin tinggi pajak daerah yang dipungut dari aktivitas dari semua sektor perkonomian artinya wilayah tersebut ketersediaan dana yang semakin besar untuk membiayai pembangunan fisik maupun non-fisik pada wilayah tersebut. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata pemungutan pajak daerah saat setelah otonomi daerah lebih tingi daripada pertumbuhan pemungutan pajak daerah sebelum otonomi daerah. Pada masa sebelum otonomi daerah pemungutan pajak dikelola oleh pemerintah pusat, sehingga jika terdapat kelebihan dana atau anggaran daerah yang berlebih maka akan digunakan untuk mensubsidi wilayah yang kekurangan dana atau anggaran. Sedangkan, pada masa otonomi daerah, pendapatan daerah seperti pajak daerah, penerimaan sumberdaya alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus diserahkan kepada pemerintah masing-masing daerah, akibatnya tidak terjadi lagi subsidi silang dana atau anggaran dari wilayah yang berlebih kepada wilayah yang kekurangan. Dengan demikian wilayah yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi akan mengalami pertumbuhan PDRB yang lebih cepat dibandingkan dengan wilayah yang memiliki pendapatan daerah yang lebih rendah. 94 Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN PMDN merupakan akumulasi dana masyarakat dalam negeri yang merupakan bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia serta diinvestasikan pada suatu wilayah dalam periode waktu tertentu yang digunakan untuk membiayai pembangunan baik fisik maupun non-fisik. Persentase Penanaman Modal Dalam Negeri pada masing-masing wilayah berfluktuasi setiap tahun. Rata-rata 94 Berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1999 kewenangan pendapatan suatu daerah yang berasal dari Sumberdaya Alam diserahkan kepada pemerintah pusat melalui sistem bagi hasil. UU No.251999 justru hanya menguntungkan daerah yang kaya SDA. Sehingga hal ini menimbulkan rasa iri pada wilayah yang memiliki SDA lebih rendah. Baca: Faisal Basri dan Haris Munandar. Lanskap Ekonomi Indonesia. Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-masalah Struktural, Transformasi Baru, dan Prosperk Perekonomian Indonesia. Jakarta:KencanaPrenada Media Group. hal 458- 459 penanaman modal paling tinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat dengan rata-rata penanaman modal 48.3 persen dari tahun 1991-2011. Dengan jumlah penduduk paling banyak dan tingkat upah yang relatif lebih rendah, maka investor dalam negeri lebih tertarik untuk membuka lapangan usaha di provinsi ini. Kemudian, meskipun Provinsi Banten yang merupakan wilayah yang baru terbentuk sejak tahun 2000, namun PMDN dalam wilayah ini mampu menyaingi DI Yogyakarta. Dimana rata-rata persentase PMDN di Provinsi Banten sebesar 8 persen, sedangkan DI Yogyakarta hanya 0.75 persen dari total PMDN di Pulau Jawa. Tabel 9 Persentase Penanaman Modal Dalam Negeri tahun 1991-2010 persen Tahun DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Banten 1991 61 29 10 30 1 1993 10 70 19 8 1 1995 32 61 5 60 3 1997 30 60 7 8 2 1999 26 62 13 30 2000 19 46 33 39 1 2002 17 73 6 2 1 3 2004 47 30 1 5 22 2006 26 42 2 5 30 2008 31 45 12 25 12 2010 17 59 3 30 21 Rataan 33 48 10 24 1 8 Sumber: Laporan Perekonomian Indonesia tahun 1992, 1995, 1998, 2002, 2005, 2008, 2011.BPS. Jakarta-Indonesia. Penanaman Modal Asing PMA Penanaman Modal Asing PMA merupakan arus modal Internasional dimana perusahaan dari suatu negara memperluas atau mendirikan perusahaan di negara lain. 95 Dana PMA diperoleh dari investor baik pribadi, maupun badan atau organisasi yang memberikan pinjaman dana dengan menerapkan sistem bunga kepada negara-negara berkembang seperti IMF International Monetary Found dan World Bank. Investor yang memberikan pinjaman dana pada suatu wilayah memiliki dapat mempengaruhi kebijakan disuatu wilayah yang berhubungan dengan sektor yang didanainya. Sehingga dampak negatif dari PMA dikhawatirkan dapat mempengaruhi nilai-nilai setempat serta ikut campur dalam menentukan kebijakan suatu wilayah yang sebenarnya merupakan wewenang dari pemerintah daerah. Berdasarkan Tabel 10 Penanaman Modal Asing PMA di Pulau Jawa didominasi oleh DKI Jakarta dan Jawa Barat dengan rata-rata PMA masing- 95 PMA pertama digalakkan setelah di sahkannya UU Ni.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Dimana negara-negara yang menjadi Investor pada awal diberlakukannya UU ini berasal dari negara Amerika, Australia, Swiaa dan Norwegia. Baca A.R.Soehoed: Bunga Ramapai Pembangunan. Antara Harapan dan Ancaman Masa Depan.Jakarta:Puri Fajar Mandiridan Fakultas Teknik UI, hal.27 masing provinsi 37.2 persen dan 36 persen. Artinya investor asing lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di kedua wilayah ini. PMA ini juga dipengaruhi oleh tingkat keterbukaan masing-masing provinsi dalam menerima dana yang datang dari luar negeri yang menerapkan sistem bunga. Beberapa wilayah seperti DI Yogyakarta dan Banten memiliki persentase yang kecil terhadap PMA dari seluruh wilayah di Pulau Jawa dengan persentase masing-masing wilayah hanya 0.1 persen dan 6.6 persen. Tabel 10 Persentase Penanaman Modal Asing di Pulau Jawa tahun 1991- 2010 persen Tahun DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Banten 1991 59.38 24.50 6.76 9.36 0.00 0.00 1993 11.44 86.37 0.15 2.04 0.00 0.00 1995 19.73 61.76 2.09 16.39 0.03 0.00 1997 39.63 50.44 1.96 7.82 0.14 0.00 1999 25.08 49.35 13.76 11.47 0.33 0.00 2000 17.64 28.41 1.57 52.29 0.10 0.00 2002 31.66 40.18 0.69 2.77 0.01 24.70 2004 41.82 39.70 3.33 6.19 0.04 8.91 2006 32.12 35.67 8.36 8.09 1.07 14.69 2008 72.33 18.25 0.96 3.31 0.12 5.02 2010 57.02 15.01 0.52 15.69 0.04 11.71 Rataan 37.16 36.05 2.64 17.39 0.15 6.62 Sumber: Laporan Perekonomian Indonesia tahun 1992, 1995, 1998, 2002 ,2005, 2008, 2011. BPS. Jakarta-Indonesia. Inflasi Inflasi menunjukkan kepekaan daya beli terhadap barang pada suatu periode tertentu. Inflasi yang tinggi menunjukkan semakin berkurangnya daya beli konsumen terhadap barang pada periode waktu tertentu. Semakin tinggi nilai inflasi maka semakin rendah daya beli konsumen dengan nilai mata uang yang sama pada periode waktu tertentu. Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa nilai inflasi di Pulau Jawa pada periode 1991 hingga tahun 1997 mengalami fluktuasi dengan nilai rata-rata inflasi sebesar 8.28 persen setiap tahunnya. Namun, akibat krisis moneter pada tahun 1998 inflasi di Indonesia meningkat hingga 77.37 persen. Nilai inflasi yang sangat tinggi ini mengakibatkan merosotnya daya beli masyarakat pada saat itu sehingga banyak sekali sektor perekonomian yang gulung tikar karena tidak mampu bertahan dalam situasi yang diakibatkan oleh krisis ekonomi pada tahun 1998 ini. Namun, setelah terjadinya krisis moneter, maka pemerintah pada tahun 1999 inflasi berhasil ditekan hingga mencapai nilai 2.06 persen. Kemudian, pada masa otonomi daerah inflasi di Pulau Jawa mengalami tren yang semakin turun. Pada tahun 2005 nilai inflasi mencapai titik tertinggi yaitu 16.14 persen. Namun, pada akhir tahun 2011 inflasi di Pulau Jawa mencapai 3.53 persen. Artinya, meskipun kemampuan nilai tukar rupiah terhadap barang semakin turun, namun penurunan ini dinilai lebih baik dari tahun- tahun sebelumnya Gambar 9 Inflasi di Pulau Jawa Tahun1991-2010 Sumber: Indikator Ekonomi Desember 2000, Desember 1998, Desember 2007, September 2011. BPS.Jakarta-Indonesia. Jumlah Tabungan Rostow dalam Arief Budiman menyatakan: Prakondisi untuk lepas landas memerlukan kesanggupan awal untuk menggerakkan tabungan dalam negeri secara produktif, dan juga menciptakan sebuah struktur yang memungkinkan tingkat tabungan yang cukup tinggi. 96 Berdasarkan pernyataan diatas, maka negara akan berupaya untuk mendukung proses investasi dalam negeri. Kemudian, lembaga independen yang dapat membantu mewujudkan akumulasi modal ini adalah Bank Sentral dengan instrument kebijakan tingkat suku bunga. Kebijakan Bank Sentral yang dalam hal ini adalah Bank Indonesia BI diharapkan dapat memacu investor untuk mennamkan modalnya. Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat tingkat suku bunga yang diatur oleh BI Bank Indonesia sebagai Bank Sentral di Indonesia mengalami fluktuasi dengan rata-rata perubahan tingkat suku bunga 0.8 persen setiap tahunnya. Fluktuasi tingkat suku bunga pada awalnya relatif stabil sebelum terjadinya krisis moneter. Namun pada tahun 1997 menuju tahun 1998 terjadi peningkatan tingkat suku bunga bank umum dari 17.34 persen menjadi 23.16 persen, artinya tingkat suku bunga Bank umum pada tahun ini naik sebesar 33.65 persen. Peningkatan pada tahun ini merupakan peningkatan tingkat suku bunga tertinggi dari periode 1995 hingga 2011. Hal ini disebabkan pada periode 1997 hingga 1999 pemerintah Indonesia berupaya untuk mengatasi krisis moneter yang melanda Indonesia. Untuk mengatasi ini, pemerintah berupaya untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat memalui kebijakan moneter dimana Bank Indonesia sebagai Bank Sentral melakukan kebijakan peningkatan tingkat suku bunga. Hal ini diduga juga untuk mengatasi Inflasi yang terjadi pada tahun 1998 dimana nilai inflasi di Indonesia adalah sebesar 77.37 persen. Tingkat suku bunga yang tinggi ini terus dipertahankan hingga akhir tahun 1999. Kemudian pada tahun berikutnya pemerintah kembali menurunkan tingkat 96 Budiman, Arif. Op, Cit, hal.30 ‐10.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata ‐rata inflasi persen suku bunga hingga 16.59 persen. Tingkat suku bunga ini relatif sama dengan tingkat suku bunga saat sebelum terjadinya krisis. Tingkat suku bunga ini relatif stabil dengan fluktuasi sebesar 4.33 persen setiap tahunnya hingga akhir 2011 Gambar 10 Suku Bunga Investasi Bank Umum Sumber: Indikator Ekonomi. Economic Indicators. Desember 2006, Desember 2009, Desember 2012. BPS. Indonesia. Tabel 11 Jumlah Tabungan di Pulau Jawa periode 2001-2011 milyar Rupiah Tahun DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Banten Jumlah Simpanan 2001 408,100 68,440 12,698 66,507 6,223 8,289 570,257 2002 408,100 68,532 14,881 88,787 7,135 14,200 601,635 2003 646,670 81,941 15,915 80,935 8,228 18,563 852,252 2004 495,070 76,025 19,776 88,787 9,157 18,422 707,237 2005 540,414 81,607 23,311 96,573 10,213 23,336 775,455 2006 569,980 93,164 22,291 115,081 11,461 26,714 838,690 2007 616,980 106,144 27,779 125,827 13,902 31,077 921,709 2008 602,330 123,397 35,011 144,484 16,450 36,232 957,904 2009 796,370 166,279 39,994 145,309 16,834 43,194 1,207,980 2010 924,410 179,688 47,085 194,190 21,034 57,044 1,423,451 Rataan 68.36 11.62 2.83 12.91 1.33 2.95 Sumber: DKI Jakarta Dalam Angka. 2001-2011. BPS. Jakarta- Indonesia. Jawa Barat Dalam Angka. 2000- 2008.BPS. Jakarta-Indonesia. Jawa Tengah Dalam Angka. 2003, 2006,2010. BPS. Jakarta-Indonesia. Jawa Timur Dalam Angka. 2007-2010. BPS. Jakarta-Indonesia DI Yogyakarta Dalam Angka. 2001-2012.BPS. Jakarta-Indonesia. Banten Dalam Angka. 2001-2010. BPS.Jakarta-Indonesia Tabel 11 memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan yang sangat besar dari total dana yang ditabungkan masyarakat ke Bank Umum di Pulau Jawa. Tingkat suku bunga bank yang berfluktuasi dengan rata-rata tingkat suku bunga 5 10 15 20 25 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 sebesar 14.61 persen 2001-2010 selama satu dekade terakhir peningkatan jumlah tabungan di Pulau Jawa adalah sebesar 961.168 Milyar rupiah atau sebesar 168.55 persen. Jumlah tabungan paling banyak di Bank Umum terdapat di Provinsi DKI Jakarta. Diduga karena provinsi ini merupakan pusat pemerintahan dan pusat perdagangan, ditambah lagi dengan kepadatan penduduk yang tinggi, serta PDRB yang tinggi. Jumlah Sekolah Sekolah merupakan infrastruktur fisik di bidang pendidikan. Jumlah sekolah yang ideal harus mampu untuk menampung kebutuhan pendidikan yang ada di wilayah tersebut. Artinya semakin banyak penduduk suatu wilayah maka dibutuhkan kemampuan memanpung siswa. Jumlah sekolah yang paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan rata-rata masing-masing jumlah sekolah 29.8 persen, 28.7 persen, dan 29.9 persen. Artinya sepertiga jumlah sekolah di Pulau Jawa berada pada masing-masing provinsi ini. Tingginya jumlah penduduk mengakibatkan semakin ketersediaan fasilitas pendidikan yang semakin banyak untuk mendukung pengmbangan kualitas Sumberdaya Manusia di ketiga provinsi ini. Sedangkan, di wilayah DI Yogyakarta dan DKI Jakarta hanya memiliki 3.3 persen dan 5.9 persen dari seluruh jumlah sekolah di Pulau Jawa. Jumlah sekolah yang ada di Provinsi DI Yogyakarta dan DKI Jakarta termasuk sedikit karena jumlah ini sudah cukup mampu untuk mengimbangi jumlah penduduk yang ada di wilayah ini. Tabel 12 Persentase Jumlah Sekolah di Pulau Jawa tahun 1991-2010 persen Provinsi 1991 1993 1995 2004 2006 2008 2010 Rataan DKI Jakarta 6 6 6 6 6 6 6 6 Jawa Barat 31 32 32 28 29 29 29 30 Jawa Tengah 29 29 29 28 28 28 28 29 Jawa Timur 30 30 30 29 30 28 29 30 DI Yogyakarta 3 3 3 3 3 3 3 3 Banten 0 0 0 5 5 5 5 2 Sumber: DKI Jakarta Dalam Angka 1995- 2011.BPS.Jakarta-Indonesia. Jawa Barat Dalam Angka.BPS.Jakarta-Indonesia. 1991-2011 Jawa Timur Dalam Angka 1994-2011. BPS. Jakarta-Indonesia. DI Yogyakarta Dalam Angka 1995-2011. BPS Jakarta-Indonesia. Fasilitas Pelayanan Rumah Sakit Kesehatan sangat berpengaruh terhadap produktifitas masyarakat. Semakin banyak fasilitas kesehatan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat akan meningkatkan standar dan kualitas kesehatan masyarakat menjadi lebih baik. Kualitas kesehatan yang semakin membaik akan meningkatkan produktifitas. Pelayanan masyarakat yang ideal harus mampu menyediakan pelayanan kesehatan kepada seluruh warga. Artinya, semakin besar jumlah populasi maka dibutuhkan semakin banyak fasilitas kesehatan. Indikator fasilitas kesehatan yang digunakan yaitu jumlah dipan yang tersedia dalam suatu wilayah provinsi. Tabel 13 memperlihatkan jumlah dipan rumah sakit yang ada di Pulau Jawa didominasi oleh empat provinsi yaitu Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian. Sehingga, besar kemungkinan banyak warga negara baik Warga Negara Indonesia WNI maupun asing WNA di wilayah ini. Dengan banyaknya jumlah penduduk, maka dibutuhkan lebih banyak fasilitas kehidupan, termasuk fasilitas kesehatan. Meskipun luas Provinsi DKI Jakarta jauh lebih kecil daripada Provinsi Jawa Barat, namun provinsi ini merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian menyebabkan banyaknya jumlah dipan di provinsi ini, hingga menyamai jumlah dipan rumah sakit yang ada di wilayah Provinsi Jawa Barat. Persentase Jumlah dipan yang ada di Provinsi DKI Jakarta yaitu 20.05 persen dari total seluruh dipan yang ada di Pulau Jawa. Tabel 13 Jumlah Dipan Rumah Sakit di Pulau Jawa Tahun DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Banten 2000 15,761 15,902 17,877 18,712 3,510 2,781 2001 15,987 14,125 18,661 18,987 3,564 771 2002 16,116 14,351 19,062 19,455 3,457 2,781 2003 16,121 14,282 19,141 19,525 3,473 2,781 2004 16,128 14,471 18,902 19,664 3,486 1,096 2005 16,530 15,194 19,375 19,776 3,557 2,908 2006 16,449 15,439 19,783 19,860 3,591 2,868 2007 16,729 16,822 20,431 20,103 3,298 3,151 2008 13,852 16,822 18,355 18,472 3,751 4,124 2009 16,998 19,106 23,574 22,268 3,751 6,479 2010 17,492 26,550 24,012 20,378 6,688 6,979 Sumber: DKI Jakarta Dalam Angka 1995- 2011.BPS.Jakarta-Indonesia. Jawa Barat Dalam Angka1991- 2011. BPS.Jakarta-Indonesia. Jawa Tengah Dalam Angka 1995-2011. BPS. Jakarta-Indonesia. Jawa Timur Dalam Angka 1992-2011. BPS. Jakarta-Indonesia. DI Yogyakarta Dalam Angka 1991-2011. BPS Jakarta-Indonesia. Banten Dalam Angka 2002-2011. BPS Jakarta-Indonesia. Jumlah dipan rumah sakit yang ada di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur relatif banyak dengan persentase masing-masing provinsi 20.72 persen, 25.04 persen dan 25 persen. Jumlah ini sesuai dengan jumlah penduduk pada masing-masing wilayah yang relatif lebih padat. Namun, jumlah dipan rumah sakit yang ada di Provinsi Banten dan DI Yogyakarta hanya memiliki 4.03 persen dan 4.08 persen dari total jumlah dipan yang ada di Pulau Jawa. Jumlah dipan ini sesuai degan kebutuhan wilayah ini dengan jumlah penduduk yang ada. Panjang Jalan Infrastruktur jalan dibutuhkan untuk menghubungkan suatu wilayah dengan wilayah lainnya baik dalam akses informasi maupun akses barang dan jasa. Pada wilayah yang luas serta memiliki kontur yang rumit maka dibutuhkan fasilitas yang jalan lebih banyak sebagai penghubung antar daerah dalam suatu wilayah. Jalan dalam suatu provinsi terdiri dari jalan negara, jalan provinsi dan jalan kabupaten. Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa panjang jalan raya di Pulau Jawa didominasi oleh Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan masing-masing panjang jalan 44.044 km, 29.203 km, dan 25.494 km. Hal ini disebabkan oleh luasnya wilayah ketiga provinsi ini, sehingga dibutuhkan infrasrtuktur jalan yang lebih banyak Tabel 14 Panjang jalan di Pulau Jawa km Tahun DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Banten 2000 6,416 24,882 25,416 31,888 7,803 2001 9,416 24,919 25,416 31,888 7,878 4485 2002 6,528 25,866 25,696 32,047 7,878 4520 2003 6,567 25,805 26,426 32,047 7,878 61 2004 6,336 24,698 26,282 31,414 7,880 3,856 2005 7,130 26,332 29,057 35,028 4,825 4,473 2006 6,185 25,679 28,358 36,338 4,858 3,148 2007 6,185 25,679 28,490 37,027 4,833 4,773 2008 6,185 25,875 28,904 37,824 4,859 4,856 2009 6,410 26,881 29,674 38,565 4,890 5,211 2010 6,743 25,494 29,203 44,044 4,753 6,456 Sumber: Statistik Kendaraan Bermotor dan Panjang Jalan Tahun 1991-2011. BPS- Jakarta. Transaksi barang dan jasa di Pulau Jawa Setiap wilayah di Pulau Jawa memiliki potensi baik barang dan jasa yang tidak dimiliki oleh wilayah lain maupun Internasional. Kelebihan komoditas ini akan diekspor ke luar wilayah dan Internasional untuk dapat memberikan pendapatan kepada daerah. Namun, masing-masing wilayah juga tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan sendiri karena itu masing-masing wilayah akan mengimpor barang dan jasa yang dibutuhkan yang tidak mampu diproduksi sendiri. Pendapatan dari transaksi perdagangan diperoleh dari ekspor barang dan jasa dikurangi dengan impor barang dan jasa. Selisih ini disebut dengan ekspor bersih. Jika ekspor besrsih bernilai positif maka akan diperoleh pemasukan kepada PDRB, namun jika bernilai negatif, maka kekurangan ini akan ditutupi dari PDRB Gambar 11 menunjukkan bahwa transaksi barang dan jasa pada masing- masing provinsi pada tahun 1991 hingga tahun 2010 mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Komoditas ekspor DKI Jakarta lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa, sehingga rata-rata transaksi bersih DKI Jakarta merupakan nilai ekspor bersih yang paling tinggi mencapai 30.892.436 US setiap tahun. Sedangkan provinsi yang memiliki nilai transaksi bersih paling rendah yaitu Provinsi DI Yogyakarta yang hanya 121.325 US setiap tahun. Nilai ini juga dipengaruhi oleh kecilnya jumlah ekspor dan impor yang ada di Provinsi DI Yogyakarta. Kemudian Provinsi Banten yang baru terbentuk pada tahun 2000 mampu menyainyi nilai perdagangan Provinsi DI Yogyakarta dengan nilai ekspor bersih Provinsi Banten senilai 5.748.733 US setiap tahun, artinya nilai ini mencapai 6.9 persen dari total ekspor bersih di Pulau Jawa. Gambar 11 Transaksi Perdagangan di Pulau Jawa tahun 1991-2010 Sumber: Produk Domestik Bruto Provinsi-provinsi di Indonesia Menurut Penggunaan Tahun 1991-2011. BPS. Jakarta-Indonesia. Produk Domestik Bruto Provinsi-provinsi di Indonesia Menurut Penggunaan Tahun 1995-2011. BPS. Jakarta-Indonesia. . Ekspor Bersih DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Banten Analisis Otonomi Pa pertumbuh Analisis in akan men dan tumbu Kuadran relatif tert karakterist wilayah d secara kes masa sebe Gambar Sumber: B Ber Pertumbuh Pertumbuh pada masa yang cepa provinsi y provinsi l Provinsi D 0.64. Seda Pertumbuh Ket termasuk yang relat y = 3.680x R² = N y = ‐2.300x R² = N y = 0.597x R² = N Pertumbuhan Ekonmi Pola Pertu Deaerah B ada bagian han ekonom ni dilakukan nentukan pr uh pesat Ku II, daerah tinggal Ku tik pola d dengan acua seluruhan. elum otonom 12 Klassen Otonom BPS,1993-2 rdasarkan G han ekono han ekonom a sebelum o at maju dan yang paling lainnya. Ta DI Yogyak angkan Pro han sebesar tiga provins kepada Kua tif tertingga + 0.105 NA x + 0.409 NA + 0.150 NA Kuadran III Kuadran HASIL umbuhan Berdasarkan ini akan mi provinsi- n dengan m ovinsi yang uadran I, d h yang maju uadran IV. dan struktu an utama ad Adapun ha mi daerah p n Typology mi Daerah 011 diolah Gambar 12 omi dan P mi dan PD otonomi dae n cepat tum g maju dan abel 15 m karta menca vinsi DKI J r 0.28 dan 0 si lainnya y adran VI, a al di Pulau J IV L DAN PEM Ekonomi n Pendekat diuraikan -provinsi di menggunaka g termasuk daerah yang u tetapi tert Analisis in ur pertumb dalah pola asil analisis periode 199 y Provinsi d 1991-1999 h. 2 DKI Jak PDRB per RB perKap erah kedua mbuh denga n cepat tum menunjukkan apai 0.63 d Jakarta mem .49. yaitu Jawa artinya ketig Jawa pada p PDRB Per MBAHASA Provinsi tan Klassen hasil ana i Pulau Jaw an alat anal ke dalam masih dapa tekan Kua ni akan me buhan ekon dan struktu s Klassen T 1-1999 seb di Pulau J karta dan rkapita yan pita Pulau provinsi in an Provinsi mbuh diban n bahwa la dengan nila miliki nilai Barat, Jawa ga wilayah periode 199 rkapita Kuad Kuadr AN di Pulau n Typology alisis meng wa sebelum lisis Klassen kategori da at berkemba adran III, d enggambark nomi pada ur pertumbu Typology P bagai beriku Jawa Pada DI Yogya ng lebih Jawa Kua ni tergolong DI Yogyak ndingkan d aju pertum ai PBRB p PDRB per a Tengah, d ini tergolon 91-1999. Ha y = ‐2.091x R² = N dran I ran II Jawa Seb genai klasi otonomi da n Typology aerah yang ang dengan dan daerah kan dengan masing-m uhan Pulau Pulau Jawa ut. Masa Seb akarta mem tinggi dar dran I. Ar g kepada wi karta merup dengan prov mbuhan eko erkapita se r Kapita dan dan Jawa T ng pada wi al ini diseba + 1.954 NA DKI Jaka Jawa Ba Jawa Ten DI Yogya Jawa Tim belum fikasi aerah. yang maju pesat yang jelas masing Jawa pada belum miliki ripada rtinya ilayah pakan vinsi- onomi ebesar n laju Timur ilayah abkan rta rat ngah akarta mur karena laju pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB ketiga provinsi ini yang rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan dan nilai PDRB Pulau Jawa secara keseluruhan. Provinsi Jawa Timur memiliki PDRB perKapita dan Pertumbuhan ekonomi 0.12 dan 0.22. Kemudian, PDRB perkapita dan laju pertumbuhan Jawa Barat 0.03 dan 0.21, sedangkan PDRB perkapita dan laju pertumbuhan Provinsi Jawa Tengah 0.11 dan 0.17. Tabel 15 Klassen Typology Provinsi di Pulau Jawa Pada Masa Sebelum Otonomi Daerah 1991-1999 Wilayah 1991-1999 PDRB Perkapita Laju pertumbuhan DKI Jakarta 0.28 0.49 Jawa Barat 0.03 0.21 Jawa Tengah 0.11 0.17 DI Yogyakarta 0.64 0.63 Jawa Timur 0.12 0.22 Jawa 0.15 0.26 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di Pulau Jawa Saat Otonomi Deaerah Berdasarkan Pendekatan Klassen Typology Pada bagian ini akan menjelaskan analisis klasifikasi pertumbuhan ekonomi provinsi di Pulau Jawa saat otonomi daerah. Analisis ini menggunakan pendekatan yang sama dengan pendekatan sebelum otonomi daerah. Pada pembahasan ini terdapat satu provinsi baru yang merupakan salah satu dari produk otonomi daerah yaitu Provinsi Banten. Provinsi ini dibentuk berdasarkan UU No. 23 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Provinsi Banten yang kemudian diresmikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 18 Nopember 2000. 97 Dengan terbentuknya provinsi baru ini, maka akan berpegaruh terhadap klasifikasi ketimpangan pendapatan perekonomian provinsi di Pulau Jawa. Berikut adalah hasil analisis Typology Klassen Pulau Jawa pada masa otonomi daerah periode 2001-2010. Berdasarkan Gambar 13, provinsi yang termasuk pada wilayah maju dan cepat tumbuh pada masa otonomi daerah yaitu Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur Kuadran I. Provinsi DKI Jakarta berhasil mempertahankan klasifikasinya karena pada masa sebelum otonomi daerah provinsi ini juga berada pada Kuadran I dengan nilai PDRB perkapita 0.41 dan laju pertumbuhan sebesar 0.49. Sedangkan Provinsi Jawa Timur yang termasuk pada wilayah yang relatif tertinggal Kuadran IV pada masa sebelum otonomi daerah mengalami perkembangan yang baik, sehingga pada masa otonomi daerah provinsi ini 97 Badan Pusat Statistik: Banten Dalam Angka Tahun 2001Jakarta:BPS.Jakarta-Indonesia, hal. xxvii Pemikiran tentang hubungan investasi modal dari dalam negeri disampaikan dalam buku H. Djoko Sudantoko. dan Muliawan Hamdani: Dasar-dasar Pengantar Ekonomi Pembangunan Jakarta: PT.PP.Mardi Mulyo, hal.90 terklasifik 0.39 dan 0 Pro yang relat wilayah m mengalam otonomi, s pada masa paling kec yang term Wilayah i otonomi pertumbuh Namun, p sama den berada di b Gambar Sumber: B Be Jawa men perkapita 0.26 menj perkapita menunjuk masing-m daerah. Se pada Kuad dan Jawa y = ‐2.5 R² y = 1.029x R² = N Pertumbuhan Ekonomi kasi pada Ku 0.44. ovinsi Bant tif tertingga maju dan be mi penuruna sehingga pr a otonomi cil diantara masuk pada ini mengal termasuk han berada pada masa ngan pertum bawah nilai 13 Klassen Daerah BPS, 1993-2 erdasarkan T ngalami p meningkat adi 0.70. A dan laju kkan pola pe masing provi ebelum oton dran I, seda Timur terk 529x + 1.081 = NA y = 0.879 R² = + 0.114 NA uadran I de ten, Jawa T al Kuadran erkembang an Laju per rovinsi ini te daerah den a provinsi l wilayah ya lami pening pada wila di bawah otonomi d mbuhan eko i PDRB Pul n Typology h 2001-201 2011 diolah Tabel 16 ni eningkatan dari 0.15 m Artinya kebij pertumbuh ersebaran L insi tidak m nomi daerah angkan tiga klasifikasi p y = 7.89 R² = 9x + 0.083 NA Kuadran III Kuadran VI engan nilai P engah dan D n IV. Provi Kuadran I rtumbuhan erklasifikas ngan nilai P lainnya yait ang berkem gkatan klas ayah terting nilai PDRB daerah pertu onomi Pula lau Jawa. Provinsi d 10 h. ilai PDRB p dari mas menjadi 0.51 ijakan desen han di Pul Laju Pertum merata pad h, Provinsi D a provinsi la pada wilaya 99x ‐ 2.586 = NA PDRB Perk I PDRB perk DI Yogyak insi DI Yog I pada mas dan nilai P i pada wilay PDRB perka tu 0.11 dan mbang cepat sifikasi. Di ggal karen B dan laju umbuhan ek au Jawa, m di Pulau J perkapita da a sebelum 1 dan laju p ntralisasi m au Jawa. mbuhan dan a masa seb DKI Jakarta ainnya yaitu ah tertiggal y y = 1.014 R² = kapita Kuad Kuadr kapita dan la karta termas gyakarta ter sa sebelum PDRB perka yah tertingg apita dan la n 0.19. Kem t yaitu Prov imana pada na nilai P pertumbuh konomi pro meskipun ni awa Pada an Laju Per m otonomi pertumbuhan mampu meni Dari Gamb nilai PDRB belum dan a dan DI Yo u Jawa Bar l Kuadran y = ‐593.3x + 4 R² = NA 4x + 0.119 NA dran I an II aju pertumb uk pada wi rklasifikasi otonomi d apita pada gal Kuadra aju pertumb mudian pro vinsi Jawa B a masa seb PDRB dan han Pulau J ovinsi ini r ilai PDRB Masa Oto rtumbuhan P daerah. P n meningka ingkatkan P bar 12 da B perkapita setelah oto ogyakarta b rat, Jawa Te IV. Kemu 418 DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Teng DI Yogyaka Jawa Timu buhan ilayah pada daerah masa an IV buhan ovinsi Barat. belum laju Jawa. relatif tetap onomi Pulau PDRB at dari PDRB an 13 pada onomi berada engah udian, a t gah arta ur pada masa otonomi daerah Klasifikasi Tipologi Klassen provinsi di Pulau Jawa tersebar pada Kuadran I Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Timur, dengan PDRB perkapita dan pertumbuhan ekonomi masing-masing Provinsi DKI Jakarta 0.7 dan 0.95, sedangkan Provinsi Jawa Timur 0.65 dan 0.77. Provinsi Jawa Barat pada Kuadran III dengan PDRB perkapita dan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.42 dan 0.71. Kuadran IV terdiri atas Provinsi Banten, Jawa Tengah dan Provinsi DI Yogyakarta dengan PDRB perkapita dan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten 0.2 dan 0.58, provinsi ini merupakan salah satu produk otonomi daerah pada masa sebelum otonomi termasuk pada salah satu kabupaten di Jawa Barat, ternyata masih tergolong pada wilayah yang relatif tertinggal. 98 Kemudian Provinsi Jawa Tengah 0.30 dan 0.35 dan Provinsi DI Yogyakarta 0.12 dan 0.24. Tabel 16Klassen Typology Provinsi di Pulau Jawa Pada Masa Otonomi Daerah 2001-2010 Wilayah 2000-2010 PDRB Perkapita Laju pertumbuhan DKI Jakarta 0.70 0.95 Jawa Barat 0.42 0.71 Banten 0.20 0.58 Jawa Tengah 0.30 0.35 DI Yogyakarta 0.12 0.24 Jawa Timur 0.65 0.77 Jawa 0.51 0.70 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Provinsi DI Yogyakarta yang pada masa sebelum otonomi daerah berada pada kuadran I justru pada masa otonomi daerah berada pada kuadran IV. Hal ini disebabkan karena lebih rendahnya pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita Provinsi DI Yogyakarta daripada pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita Pulau Jawa secara keseluruhan. Sehingga, meskipun PDRB dan PDRB perkapita Provinsi DI Yogyakarta mengalami peningkatan, namun peningkatan ini belum mampu untuk menyamai pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita Pulau Jawa pada masa otonomi daerah. Sehingga, Provinsi DI Yogyakarta berada pada klasifikasi wilayah yang relatif tertinggal. Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita Provinsi DI Yogyakarta diduga disebabkan oleh turunnya pendapatan provinsi ini pada sektor pertanian, dimana sektor Pertanian merupakan salah satu sektor basis yang ada di provinsi ini yang memiliki kontribusi pada sektoral PDRB dari sisi penawaran yaitu sebesar 17.9 persen. Kontribusi ini tergolong pada tiga sektor terbesar yang berkontribusi pada sektoral PDRB di Provinsi DI Yogyakarta. 99 Penurunan produktivitas pada sektor pertanian disebabkan oleh bencana alam erupsi gunung Merapi pada bulan April-Juni 2006 yang mengakibatkan turunnya produktivitas tanaman bahan makanan sebesar 1.45 98 Badan Pusat Statistik BPS: DI Yogyakarta Dalam Angka 2006. Jakarta:BPS, hal. 66 99 Struktur ekonomi DI Yogyakarta didominasi oleh sektor Perdagangan 20.79, Jasa 17.4 persen, Pertanian 17.19, dan Industri Pengolahan 13.28. www.jogjainvest.jogjaprov.go.ididmengapa-yogyakarta makroekonomi. persen, kemudian letusan gunung Merapi pada 24 Oktober 2010 juga berdampak pada menurunnya produktifitas sektor pertanian sebesar 16.7 persen. Sedangkan faktor lain yang mengakibatkan turunnya produktifitas pertanian yaitu penyusutan lahan pertanian menjadi lahan pembangunan gedung, perkantoran dan perumahan sebesar 0.4 persen pertahun. 100 Penurunan ini berpengaruh pada pertumbuhan sektor Pertanian di DI Yogyakarta yang hanya mampu tumbuh sebesar 0.64 persen selama periode 1991- 1999 dan 2.61 persen selama periode 2000-2010. Pertumbuhan pada sektor Pertanian tergolong kecil dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor lain yang ada di Provinsi DI Yogyakarta. Penurunan ini akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan PDRB dan PDRB perkapita Propinsi DI Yogyakarta selanjutnya. Sehingga pada periode perhitungan pertumbuhan PDRB dan PDRB perkapita 2000-2010 Provinsi DI Yogyakarta memiliki pertumbuhan PDRB dan PDRB perkapita paling rendah diantara provinsi lainnya. Indeks Williamson di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah Ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa dapat dianalisis dengan menggunakan Indeks Williamson. Nilai Indeks Williamson yang rendah menggambarkan kondisi ketimpangan pendapatan yang baik atau cenderung lebih merata, sedangkan nilai Indeks Williamson yang tinggi menggambarkan kondisi ketimpangan pendapatan yang buruk. Berdasarkan kriteria yang ada, ketimpangan pendapatan antar provinsi berada pada taraf rendah jika nilai Indeks Williamson kurang dari 0.35 CVw0.35, ketimpangan pendapatan taraf sedang jika Indeks Williamson antara 0.35 dan 0.5 0.35CVw0.5, dan ketimpangan pendapatan taraf tinggi jika Indeks Williamson lebih dari 0.5 CVw0.5. Terdapatnya ketimpangan pendapatan antar wilayah disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya pemberian alam, keterampilan masyarakat dan penguasaan terhadap teknologi, kedekatan dan aksesibilitas terhadap pasar, kondisi dan mental ketenagakerjan serta kebijakan pemerintah. Faktor-faktor tersebut akan berpengaruh terhadap daya jual dari komoditi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. 101 Hal ini menimbulkan perbedaan dalam daya jual komoditi yang menjadi basis perekonomian pada masing-masing wilayah. Sehingga, wilayah yang memiliki daya jual yang lebih tinggi memiliki pendapatan yang lebih tinggi, dibandingakan dengan wilayah yang komoditinya berdaya jual rendah. Adapun hasil perhitungan Indeks Williamson selama tahun 1991-2010 berdasarkan PDRB harga konstan tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 17. Berdasarkan Tabel 17, rata-rata indeks ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa sebelum otonomi sebesar 0,665, kemudian pada saat otonomi rata-rata indeks ketimpangan meningkat menjadi 0.872. Hal ini menunjukkan ketimpangan pendapatan yang lebih parah pada masa otonomi daerah dibandingkan dengan ketimpangan pendapatan saat sebelum otonomi daerah. Pada tahun 1991 indeks ketimpangan di Pulau Jawa paling kecil yakni sebesar 0.549. Kemudian indeks ketimpangan meningkat pada tahun 1992 menjadi 0.553. Artinya ketimpangan pendapatan yang semakin meningkat. Kemudian pada tahun 1993 hingga tahun 1997 indeks ketimpangan kembali meningkat dengan rata-rata indeks ketimpangan 0.707, artinya pada tahun 1993 hingga tahun 1997 ketimpangan 100 Bank Indonesia: Laporan Perekonomian DI Yogyakarta 2010.Jakarta:BI, hal. 10 101 Tarigan, Robinson. Op, cit. hal.95 pendapatan di Pulau Jawa semakin timpang. Namun, pada tahun 1998 indeks ketimpangan menurun menjadi 0.686 dan kembali menurun pada tahun 1999 dengan nilai indeks ketimpangan menjadi 0.664. Artinya, pada tahun 1998 dan 1999 ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa semakin membaik. Tabel 17 Indeks Williamson Pulau Jawa berdasarkan PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pulau Jawa tahun 1991-2010 Sebelum Otonomi Setelah Otonomi Tahun IW Tahun IW 1991 0.549 2000 0.738 1992 0.553 2001 0.871 1993 0.704 2002 0.892 1994 0.703 2003 0.891 1995 0.712 2004 0.892 1996 0.708 2005 0.886 1997 0.710 2006 0.874 1998 0.686 2007 0.892 1999 0.664 2008 0.895 2009 0.889 2010 0.875 Rata-Rata 0.665 Rata-Rata 0.872 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Pada masa otonomi daerah ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa semakin tinggi dengan rata-rata Indeks Williamson 0.872. Tahun 1999 nilai Indeks Williamson 0.665 meningkat menjadi 0.738 pada tahun 2000 awal otonomi, kemudian semakin naik menjadi 0.871 pada tahun 2001. Tahun berikutnya Indeks Williamson terus meningkat hingga tahun 2004 dengan indeks ketimpangan pendapatan sebesar 0.892. Artinya, semenjak awal otonomi hingga tahun 2004 tingkat ketimpangan pendapatan semakin tinggi. Tahun 2005 dan 2006 indeks ketimpangan pendapatan turun menjadi 0.886 dan 0.874, namun kembali naik pada tahun 2008 dan 2009 dengan indeks ketimpangan pendapatan 0.892 dan 0.895. Kemudian tahun 2010 indeks ketimpangan pendapatan kembali menurun menjadi 0.875. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa dengan berlakunya UU Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola daerah masing-masing, justru mengakibatkan ketidak-seragaman dalam pertumbuhan perekonomian wilayah yang ada di Pulau Jawa. Sehingga, terdapat beberapa wilayah yang lebih maju daripada wilayah lainnya yang mengakibatan kondisi ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa semakin parah. Ketimpangan ini disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya Sumberdaya Alam SdA, keahlian dan keterampilan penduduk, serta sarana dan prasarana. 102 102 Dumairy: Op,cit, hal.66 Indikator Penyebab Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang sangat besar antara Indikator yang dapat menyebabkan ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa, diantaranya sumberdaya alam yang ditunjukkan dengan PDRB perkapita dan pajak daerah, Keahlian dan keterampilan penduduk yang ditunjukkan dengan Upah Minimum Provinsi, serta modal yang ditunjukkan dengan jumlah Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN dan Penanaman Modal Asing PMA. Meskipun pemerintah pusat memberikan wewenang dalam mengurus dan mengatur daerah masing-masing berdasarkan UU No. 22 tentang Pemerintahan Daerah Tahun 1999, 103 namun pemerintah pusat tetap memiliki kewenangan dalam mengatur pendapatan yang diperoleh dari sumberdaya alam seperti minyak bumi, gas alam, dan pertambangan. 104 Berdasarkan UU No. 22 tentang Pemerintahan Daerah Tahun 1999, provinsi yang memiliki sumberdaya alam tetap mendapatkan bagian dari bagi hasil dengan pemerintah pusat sebesar 15-30 persen untuk pemerintah daerah pada sektor Migas dan 80 persen untuk pemerintah daerah pada sektor non Migas. Dengan demikian, provinsi yang memiliki sumberdaya alam yang berdaya jual tinggi tetap memiliki pendapatan daerah yang lebih besar daripada wilayah lain yang memiliki sumberdaya alam yang berdaya jual rendah. Tabel 18 Indikator Penyebab Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa Provinsi Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah A B C D E A B C D E DKI Jakarta 20 435 1.51 16.3 5.5 34 1,118 10.8 46 38.2 Jawa Barat 5 233 0.4 30 22.7 6 672 6.5 67 18 Banten 0 0 0 0 0 7 955 2.2 22 6.3 Jawa Tengah 4 229 0.2 5.3 0.8 5 660 4 17 1.1 DI Yogyakarta 5 0 0.5 0.9 0.07 5 746 0.6 0.4 0.2 Jawa Timur 5 242 0.05 14 75 7 630 6 29 10 Sumber: BPS, 1993-2011 Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 1992-2011. BPS. Jakarta- Indonesia. Statistik Keuangan Daerah Tingkat I Tahun 19961997-2011. BPS. Jakarta-Indonesia. diolah. Keterangan: A= Rata-rata PDRB Perkapita juta B = Upah Minimum Provinsi ribu Rupiah C = Pajak Daerah tahun 2010 triliyun Rupiah D = PMDN triliyun Rupiah E = PMA miliyar US Keahlian dan keterampilan penduduk yang dilihat dari Upah Minumum Provinsi UMP, dimana peringkat UMP tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta sebelum otonomi daerah sebesar 435 ribu Rupiah, kemudian Provinsi Jawa Timur 103 Wijaya, HAW. Op,cit, hal. 243 104 Basri, Faisal: Landskap Ekonomi Indonesia- Kajian dan Renungan Masalah-masalah Struktural, Transformasi Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.hal. 464 sebesar 242 ribu Rupiah, Provinsi Jawa Barat sebesar 233 ribu Rupiah, dan Provinsi Jawa Tengah sebesar 229 ribu Rupiah yang merupakan provinsi yang memiliki UMP terendah dari provinsi lainnya. Sedangkan, pada masa otonomi daerah UMP di Pulau Jawa mengalami peningkatan diantaranya Provinsi DKI Jakarta 1.118 juta Rupiah, Banten 955 ribu Rupiah, DI Yogyakarta 746 ribu Rupiah, Jawa Barat 672 ribu Rupiah, Jawa Tengah 660 ribu Rupiah dan Jawa Timur 630 ribu Rupiah. Demikian juga halnya dengan pajak daerah, pada masa sebelum otonomi daerah Provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah yang memperoleh penerimaan dari pajak daerah tertinggi daripada wilayah lainnya, yaitu sebesar 1.5 triliyun Rupiah, kemudian DI Yogyakarta sebesar 0.5 triliyun Rupiah, Jawa Barat sebesar 0.4 triliyun Rupiah, Jawa Tengah sebesar 0.3 triliyun Rupiah, dan 0.05 triliyun Rupiah. Sedangkan pada masa otonomi daerah, pendapatan pajak daerah DKI Jakarta sebesar 10.8 triliyun Rupiah, kemudian Jawa Barat sebesar 6.5 triliyun Rupiah, Jawa Timur sebesar 5.9 triliyun Rupiah, Jawa Tengah sebesar 3.9 triliyun Rupiah, Banten 2.2 triliyun Rupiah dan DI Yogyakarta sebesar 635 miliyar Rupiah. Kemudian, pada masa sebelum otonomi daerah, provinsi yang memperoleh PMDN dan PMA terbesar yaitu Provinsi Jawa Barat dengan PMDN sebesar 0.023 triliyun Rupiah dan 6 miliyar US, kemudian Provinsi Jawa Timur dengan PMDN dan PMA sebesar 0.014triliyun Rupiah dan 75 miliyar US, Provinsi DKI Jakarta 0.02 triliyun Rupiah dan 5.5 miliyar US, Provinsi Jawa Tengah dengan PMDN dan PMA sebesar 5 miliyar dan 806 juta US, dan Provinsi DI Yogyakarta dengan PMDN dan PMA sebesar 880 miliyar Rupiah dan 63 juta US. Sedangkan, pada masa otonomi daerah PMDN dan PMA di pulau Jawa juga megalami peningkatan dengan PMDN dan PMA Provinsi Jawa Barat sebesar 67 triliyun Rupiah dan 17.6 miliyar US, PMDN dan PMA Provinsi DKI Jakarta sebesar 46.1 triliyun Rupiah dan 38.2 miliyar US, PMDN dan PMA Provinsi Jawa Timur sebesar 29 triliyun Rupiah dan 9.8 miliyar US, PMDN dan PMA Provinsi Banten sebesar 21.5 triliyun Rupiah dan 6.3 miliyar Rupiah, sedangkan Provinsi DI Yogyakarta jumlah PMDN dan PMA sebesar 0.4 triliyun Rupiah dan 0.14 miliyar US. Dengan demikian, terlihat bahwa terdapat peningkatan jumlah pada indikator yang menyebabkan ketimpangan di Pulau Jawa, meskipun indikator pada masing-masing provinsi mengalami peningkatan, namun selisih indikator yang sama antar provinsi di Pulau Jawa masih tinggi. Dengan demikian, semakin tinggi selisih perbedaan indikator antar provinsi akan semakin tinggi pula ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa. Indeks Williamson di Luar Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah Ketimpangan pendapatan pembangunan di luar Pulau Jawa pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah di analisis menggunakan pendekatan yang sama dengan pendekatan di Pulau Jawa, yaitu menggunakan Indeks Williamson. Adapun hasil perhitungan Indeks Williamson selama tahun 1991-2010 di luar Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 19. Berdasarkan Tabel 19 rata-rata indeks ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa sebesar 0.725. Ketimpangan pendapatan paling tinggi terjadi pada tahun 1991 dan 1992 dengan nilai indeks ketimpangan pendapatan 0.950 dan 0.946. Hal ini disebabkan oleh tingginya PDRB provinsi DI Aceh dan provinsi Riau pada tahun 1991 dan tahun 1992. PDRB provinsi DI Aceh pada tahun 1991 yaitu sebesar 53 Miliyar Rupiah dan provinsi Riau sebesar 86 Miliyar Rupiah, sedangkan pada tahun 1992 PBRD provinsi DI Aceh sebesar 55 Miliyar Rupiah dan provinsi Riau sebesar 95 Miliyar. 105 Namun, pada tahun 1993 PDRB provinsi DI Aceh mengalami penurunan sebesar 33 persen dan PDRB provinsi Riau turun hingga 39 persen. Sehingga, PDRB propinsi DI Aceh pada tahun 1993 sebesar 36 Miliyar Rupiah dan provinsi Riau 85 miliyar Rupiah. Penurunan PDRB kedua provinsi ini sangat berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan antar provinsi di luar Pulau Jawa. Tabel 19 Indeks Williamson Berdasarkan PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Luar Pulau Jawa tahun 1991-2010 Sebelum Otonomi Setelah Otonomi Tahun IW Tahun IW 1991 0.950 2000 0.876 1992 0.946 2001 0.896 1993 0.764 2002 0.869 1994 0.787 2003 0.494 1995 0.775 2004 0.746 1996 0.675 2005 0.824 1997 0.696 2006 0.768 1998 0.465 2007 0.741 1999 0.465 2008 0.734 2009 0.713 2010 0.677 Rata-rata 0.725 Rata-rata 0.758 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Indeks ketimpangan pendapatan pada tahun 1993 hingga 1995 mengalami penurunan dan relatif stabil pada angka 0.776 yang menandakan ketimpangan pendapatan pendapatan antar daerah semakin menurun meskipun masih berada pada klasifikasi ketimpangan pendapatan yang parah. Tahun 1996 indeks ketimpangan pendapatan kembali menurun menjadi 0.675 yang menandakan ketimpangan pendapatan pendapatan semakin menurun. Indeks ketimpangan pendapatan meningkat kembali pada tahun 1997 menjadi 0.696 yang menandakan ketimpangan pendapatan pendapatan kembali meningkat. Pada tahun 1998 dan 1999 indeks ketimpangan pendapatan kembali menurun sehingga ketimpangan pendapatan termasuk pada ketimpangan pendapatan taraf sedang dengan indeks ketimpangan pendapatan pada tahun 1998 dan 1999 sebesar 0,465. Artinya, ketimpangan pendapatan pendapatan antar daerah semakin menurun. Diduga akibat krisis Asia yang melanda Indonesia pada tahun 1998 berdampak positif terhadap ketimpangan pendapatan antar provinsi di wilayah luar Pulau Jawa. 105 Badan Pusat Statistik: Produk Domestik Regional Bruto Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha Tahun 1988-1993. BPS Jakarta-Indonesia. hal.4 Pada masa otonomi daerah 2000-2010 ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa semakin parah dengan rata-rata nilai Indeks Williamson 0.758. Pada awal otonomi daerah indeks ketimpangan pendapatan wilayah di luar Pulau Jawa meningkat dari 0.725 pada tahun 1999 menjadi 0.876 pada tahun 2000. Hal ini menandakan kondisi ketimpangan pendapatan ketimpangan pendapatan pendapatan antarwilayah semakin meningkat sejak diberlakukannya UU Otonomi Daerah. Pada tahun 2001 ketimpangan pendapatan semakin parah dengan nilai indeks ketimpangan pendapatan mencapai 0.896, namun kemudian ketimpangan pendapatan semakin membaik pada tahun 2002 dengan nilai indeks ketimpangan pendapatan 0.869, artinya ketimpangan pendapatan pendapatan antar daerah manurun. Pada tahun 2003 ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa membaik hingga termasuk pada klasifikasi ketimpangan pendapatan taraf sedang dengan nilai indeks ketimpangan pendapatan 0.494 yang merupakan nilai Indeks Williamson terkecil pada periode otonomi daerah. Membaiknya kondisi keimpangan pada tahun 2003 diduga akibat turunnya PDRB Provinsi Riau sebesar 25 persen dan provinsi Papua sebesar 17 persen dari tahun sebelumnya. 106 Indeks ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa pada tahun 2004 kembali pada taraf tinggi dengan nilai indeks ketimpangan pendapatan meningkat menjadi 0.746, kemudian pada tahun 2005 menjadi 0.824 yang mendandakan ketimpangan pendapatan pendapatan antarwilayah semakin meningkat. Pada tahun 2007 indeks ketimpangan pendapatan turun menjadi 0.741, 0.734 dan 0.713 pada tahun 2008 dan 2009. Ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa kembali membaik pada tahun 2010 dengan indeks ketimpangan pendapatan 0.677 pada tahun 2010 yang menandakan ketimpangan pendapatan pendapatan antar daerah yang semakin membaik. Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa nilai Indeks Williamson di luar Pulau Jawa pada masa otonomi daerah lebih tinggi dibanding sebelum otonomi daerah. Rata-rata indeks ketimpangan pendapatan sebelum otonomi daerah sebesar 0.725 dan setelah otonomi daerah sebesar 0.758. Hal ini menandakan bahwa ketimpangan pendapatan pendapatan lebih tinggi pada masa otonomi daerah dibandingkan dengan ketimpangan pendapatan pendapatan sebelum otonomi daerah. Berdasarkan Tabel 17 dan 19, rata-rata indeks ketimpangan pendapatan sebelum otonomi daerah di luar Pulau Jawa lebih tingi daripada indeks ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa. Hal ini menandakan bahwa ketimpangan pendapatan yang lebih parah di luar Pulau Jawa pada saat sebelum otonomi daerah. Sedangkan pada masa otonomi daerah, rata-rata indeks ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa lebih rendah daripada indeks ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa. Hal ini menandakan bahwa pada saat otonomi daerah, ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa lebih parah dibandingkan dengan ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa. Analisis Shift-share Sektor Perekonomian di Pulau Jawa Sebelum Otonomi Daerah 1991-1999 Berdasarkan Tabel 20 kebijakan pemerintah secara sentralistik pada masa sebelum otonomi daerah 1991-1999 mampu meningkatkan PDRB di Pulau Jawa sebesar 117,773 Miliyar Rupiah yang terdiri dari peningkatan PDRB Provinsi 106 Bdan Pusat Statistik: Statistik Indonesia Statistic of Indonesia 2007. BPS.Jakarta-Indonesia. hal. 553 DKI Jakarta sebesar 32,201 Miliyar Rupiah, Jawa Barat sebesar 36,446 miliyar, Jawa Tengah 20,236 miliyar Rupiah, Jawa Timur sebesar 27,185 miliyar Rupiah dan DI Yogyakarta sebesar 1,666 miliyar Rupiah. Sebagai pusat pemerintahan, sektor Bangunan dan Konstruksi serta Sektor Bank dan lembaga keuangan lain di Provinsi DKI Jakarta berkembang pesat dan berdaya saing tinggi pada sektor yang sama pada wilayah lain di Pulau Jawa Kuadran I. Kemudian sektor Industri Pengolahan, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, sektor Pengangkutan dan Komunikasi dan sektor Jasa meskipun berdaya saing baik, namun kelima sektor ini berkembang lambat di Provinsi DKI Jakarta Kuadran II. Sedangkan sektor Pertanian merupakan sektor perekonomian yang berkembang lambat dan tidak memiliki daya saing di provinsi ini Kuadran III. Tabel 20 Komponen Pertumbuhan Nasional PN Pulau Jawa tahun 1991- 1999 miliyar Rupiah Sektor DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Pertanian 275 7,078 6,274 10,154 521 Pertambangan 0 4,988 134 240 11 Industri Pengolahan 8,939 8,416 5,932 8,218 241 Listrik, gas dan air minum 1,516 723 215 412 29 BangunanKonstruksi 3,102 2,602 1,074 46 87 Perdagangan, Hotel dan Restoran 7,228 8,119 4,484 2,184 427 Pengangkutan dan Komunikasi 3,957 2,196 945 2,486 175 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 4,679 970 560 1,412 57 Jasa 2,505 1,354 620 2,032 118 Jumlah 32,201 36,446 20,236 27,185 1,666 Total Pulau Jawa 117,733 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Tabel 21 Klasifikasi Sektor Perekonomian di Pulau Jawa Berdasarkan Analisis Shift-share Kuadran DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Yogyakarta I PP0,PPW0 5.8 3.4.9 4.7.9 3.4.5.6.7 3.5.7.8.9 II PP0,PPW0 3.4.6.7.9 5.6.7.8 3.5.6.8 8.9 4.6 IIIPP0,PPW0 1 2 1 1 IVPP0,PPW0 1 2 2 1.2 Keterangan: PP = Pertumbuhan Proporsional yang menunukkan pertumbuhan sektor PPW = Perumbuhan Pangsa Wilayah yang menunjukkan daya saing 1. Pertanian 2.Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan, 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5.Bangunan dan Konstruksi 6.Perdagangan Hotel dan Restoran 7.Pengangkutan dan Komunikasi 8. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 9. Jasa Pada masa sebelum Otonomi daerah, Provinsi Jawa Barat memiliki peningkatan PDRB tertinggi diantara provinsi lainnya di Pulau Jawa yaitu sebesar 36,446 Miliyar Rupiah. Sektor yang berkembang pesat dan berdaya saing tinggi di Jawa Barat yakni sektor Industri Pengolahan, Sektor Listrik, Gas dan Air Minum dan sektor Jasa Kuadran I. Kemudian sektor Bangunan dan Konstruksi, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, sektor Pengangkutan dan Komunikasi serta sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya meskipun kurang berkembang dengan baik di provinsi ini, namun keempat sektor ini memiliki daya saing yang tinggi Kuadran II. Sementara itu Sektor Pertambangan dan Penggalian tidak mampu berkembang dan berdaya saing lemah Kuadran III, kemudian sektor Pertanian juga berdaya saing lemah, namun sektor ini mampu berkembang dengan pesat di Provinsi Jawa Barat Kuadran IV. Sektor Industri Pengolahan, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih dan sektor Jasa merupakan sektor yang berkembang pesat dan berdaya saing tinggi di Provinsi Jawa Tengah Kuadran I. Sedangkan sektor Industri Pengolahan, sektor Bangunan dan Konstruksi, sektor Perdagangan Hotel dan Restoran serta sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya merupakan sektor yang berdaya saing tinggi, namun berkembang lambat di provinsi ini Kuadran II. Kemudian sektor Pertambangan dan Penggalian berdaya saing lemah dan berkembang lambat kuadran III, sedangkan sektor Pertanian meskipun berdaya saing lemah namun sektor ini berkembang cukup baik di provinsi ini Kuadran IV. Sektor Industri Pengolahan, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, sektor Bangunan dan Konstruksi, sektor Perdagangan Hotel dan Restoran serta sektor Pengangkutan dan Komunikasi merupakan sektor yang berkembang pesat dan memiliki daya saing yang tinggi di Provinsi Jawa Timur Kuadran I. Kemudian, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, serta sektor Jasa memiliki daya saing tinggi meskipun berkembang lambat di provinsi ini Kuadran II. Sektor Pertanian berkembang lambat dan berdaya saing lemah Kuadran III, sedangkan sektor Pertambangan dan Penggalian berkembang pesat namun berdaya saing lemah Kuadran IV. Kemudian di Provinsi DI Yogyakarta sektor Industri Pengolahan, sektor Bangunan dan Konstruksi, sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, dan sektor Jasa berkembang baik dan memiliki daya saing tinggi Kuadran I. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih dan sektor Perdagangan Hotel dan Restoran berdaya saing tinggi meskipun berkembang lambat Kuadran II. Sedangkan sektor Pertanian dan sektor Pertambangan dan Penggalian berkembang pesat meskipun berdaya saing lemah Kuadran IV Analisis Shift-share Sektor Perekonomian di Pulau Jawa Setelah Otonomi Daerah 2000-2010 Peningkatan PDRB DKI Jakarta sebesar 160,270 miliyar Rupiah atau terjadi peningkatan pendapatan regional sebesar 298 persen dibandingkan pendapatan saat sebelum otonomi yang hanya 36,446 miliyar Rupiah. Pada masa otonomi daerah, sektor perekonomian yang cepat berkembang dan berdaya saing tinggi di Provinsi DKI Jakarta yakni sektor Pengangkutan dan Komunikasi Kuadran I. Kemudian, sektor Industri Pengolahan, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, sektor Perdagangan Hotel dan Restoran, sektor Pengangkutan dan Komunikasi dan sektor Jasa termasuk sektor perekonomian yang berkembang lambat namun memiliki daya saing tinggi Kuadran II. Sektor Pertanian merupakan sektor yang berkembang lambat dan tidak memiliki daya saing di provinsi ini. Peningkatan PDRB Jawa Barat pada masa Otonomi Daerah sebesar 117,437 miliyar Rupiah. sektor Industri Pengolahan, sektor Bangunan dan Konstruksi dan sektor Perdagangan Hotel dan Restoran memiliki daya saing tinggi dan cepat berkembang di Provinsi Jawa Barat Kuadran I. Kemudian, sektor Pengangkutan dan Komunikasi memiliki daya saing tinggi namun pertumbuhannnya lambat Kuadran II. Sektor Pertambangan dan Penggalian, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih dan sektor Jasa memiliki daya saing lemah dan berkembang lambat Kuadran III. Sektor Pertanian serta sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya memiliki pertumbuhan yang lambat, namun berdaya saing tinggi Kuadran IV. Berdasarkan Tabel 22, pertumbuhan PDRB di Pulau Jawa pada masa orde baru 2000-2010 sebesar 539,971 miliyar Rupiah. Peningkatan ini lebih besar daripada pertumbuhan PDRB pada masa sebelum otonomi daerah 1991-1999 yang hanya sebesar 177,733 miliyar Rupiah. Dengan demikian, kebijakan Desentralisasi mampu meningkatkan pendapatan wilayah di Pulau Jawa. Tabel 22 Komponen Pertumbuhan Nasional PN Pulau Jawa Tahun 2000- 2010 miliyar Rupiah Sektor DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Yogyakarta Banten Pertanian 275 16,547 18,367 28,143 1,672 2,820 Pertambangan 905 7,358 774 2,942 112 33 Industri Pengolahan 28,393 46,065 25,091 42,487 1,232 14,977 Listrik, Gas dan Air Minum 1,021 3,798 610 2,182 71 1,255 Bangunan Konstruksi 16,790 4,019 3,700 5,716 744 715 Perdagangan, Hotel dan Restoran 32,085 19,284 18,326 34,785 1,468 5,159 Pengangkutan dan Komunikasi 8,890 5,715 3,643 7,465 1,131 2,360 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 52,685 4,697 3,052 6,559 973 786 Jasa 19,226 9,953 7,080 12,323 1,905 1,608 Jumlah 160,270 117,437 80,642 142,602 9,307 29,713 Total Pulau Jawa 539,971 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Pada masa otonomi daerah, peningkatan PDRB Provinsi Jawa Tengah sebesar 80,642 miliyar Rupiah. Peningkatan ini 299 persen dari peningkatan PDRB pada masa sebelum otonomi daerah yang hanya 20,236 miliyar Rupiah. Sektor Bangunan dan Konstruksi berkembang cepat dan memiliki daya tinggi di provinsi ini Kuadran I. Kemudian, sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan Hotel dan Restoran serta sektor Pengangkutan dan Komunikasi berkembang lambat namun memiliki daya saing tinggi Kuadran II. Sektor Pertanian berkembang lambat dan berdaya saing lemah di provinsi ini Kuadran III. Sedangkan sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya dan sektor Jasa berkembang cepat, namun memiliki daya saing rendah di Provinsi Jawa Tengah Kuadran IV. Tabel 23 Klasifikasi Sektor Perekonomian di Pulau Jawa Berdasarkan Analisis Shift-share Klasifikasi DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Yogyakarta Banten I PP0,PPW0 7 3.5.6 5 6 5 3.5.6 II PP0,PPW0 3.5.6 7 3.6,7 3,5.7 3.6.7 7 IIIPP0,PPW0 1.2.8.9 2.4.9 1 1.4 2.8.9 1.9 IVPP0,PPW0 4 1.8 2.4.8.9 2.8.9 1.4 2.4.8 Keterangan: PP = Pertumbuhan Proporsional yang menunukkan pertumbuhan sektor PPW = Perumbuhan Pangsa Wilayah yang menunjukkan daya saing 1. Pertanian 2.Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan, 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5.Bangunan dan Konstruksi 6.Perdagangan Hotel dan Restoran 7.Pengangkutan dan Komunikasi 8. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 9. Jasa Peningkatan PDRB Jawa Timur pada masa otonomi daerah sebesar 142.602 miliyar Rupiah atau sebesar 425 persen dari peningkatan PDRB Provinsi Jawa Timur sebelum otonomi. Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran berkembang cepat dan berdaya saing tinggi Kuadran I. Kemudian, sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan Hotel dan Restoran, serta sektor Pengangkutan dan Komunikasi berkembang lambat, namun berdaya saing tinggi Kuadran II. Sektor Pertanian dan Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih berkembang lambat dan berdaya saing rendah. Kemudian, sektor Pertambangan dan Penggalian, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya dan sektor Jasa berkembang pesat namun berdaya saing rendah Kuadran IV. Peningkatan PDRB Provinsi Yogyakarta pada masa otonomi daerah sebesar 9.307 miliyar Rupiah. Sektor Bangunan dan Konstruksi berkembang cepat dan berdaya saing tinggi Kuadran I. Kemudian, sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan Hotel dan Restoran, serta sektor Pengangkutan dan Komunikasi berkembang lambat namun berdaya saing tinggi Kuadran II. Namun, sektor Pertanian, dan sektor Listrik, Gas dan Air Bersih berkembang lambat dan berdaya saing lemah Kuadran III. Kemudian, sektor Pertanian dan sektor Listrik, Gas dan Air Bersih berkembang cepat namun berdaya saing lemah Kuadran IV. Sebagai provinsi baru yang memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat, klasifikasi sektor perekonomian di Provinsi Banten relatif sama dengan Provinsi Jawa Barat. Peningkatan PDRB Provinsi Banten pada tahun 2000-2010 sebesar 23.713 miliyar Rupiah. Sektor yang bertumbuh cepat dan berdaya saing tinggi diantaranya sektor Industri Pengolahan, sektor Bangunan dan Konstruksi serta sektor Perdagangan Hotel dan Restoran Kuadran I. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi pertumbuhannya lambat dan memiliki daya saing tinggi Kuadran II. Kemudian, sektor Pertanian dan sektor Jasa pertumbuhannya lambat dan berdaya saing lemah. Sedangkan sektor Pertambangan dan Penggalian, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, serta sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya pertumbuhannya cepat dan berdaya saing lemah. Analisis Sektor Ekonomi Basis di Pulau Jawa Sektor yang menjadi unggulan wilayah pada dasarnya adalah sektor yang dapat memberikan kontribusi bukan hanya dalam pemenuhan kebutuhan daerah itu sendiri, namun juga mampu mengekspor outputnya untuk memenuhi kebutuhan daerah lain. Sehingga, dari hasil ekspor dari produk pada sektor perekonomian tertentu dapat memberikan pendapatan dalam jumlah yang relatif besar. Analisis LQ lazim digunakan untuk menentukan sektor basis di suatu daerah dengan nilai LQ antara nol sampai dengan positif tak hingga. Nilai LQ lebih besar dari satu LQ1 menunjukkan bahwa sektor tersebut memiliki potensi ekspor dan dikategorikan sebagai sektor basis, artinya produksi sektor ini mampu untuk memenuhi kebutuhan pada sektor yang sama di wilayah lain. Jika LQ antara nol dan satu 0LQ1 maka sektor perekonomian tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan wilayah yang bersangkutan dan sektor tersebut dikategorikan sebagai sektor non basis, karena produktifitas dari sektor ttersebut hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri. Analisis Sektor Basis di DKI Jakarta Sebelum Otonomi Daerah 1991 dan 1999 dan Setelah Otonomi Daerah 2001 dan 2010 Tabel 24 memperlihatkan pergeseran sektor basis di DKI Jakarta pada masa sebelum dan setelah otonomi daerah. Pada tahun 1991, sektor yang tergolong pada sektor non-basis hanya sektor Pertanian dan Sektor Pertambangan, sedangkan sisanya terklasifikasi pada sektor basis. Pada tahun 1999 terjadi perubahan pada tiga sektor yaitu sektor Industri Pengolahan dan sektor Listrik, Gas dan Air Minum, serta sektor Jasa yang pada tahun 1991 termasuk pada sektor basis, namun pada tahun 1999 terklasifikasi pada sektor non basis. Penurunan nilai LQ pada sektor basis Industri Pengolahan diakibatkan karena semakin turunnya produktivitas sektor ini disebabkan oleh reloksasi industri ke wilayah lain di luar DKI Jakarta. Wilayah yang menjadi sasaran relokasi diantaranya adalah Jawa Tengah Sragen, Salatiga, Kendal, Boyolali, Semarang dan Jawa Timur Jombang dan Mojokerto. Salah satu faktor yang mengakibatkan pengusaha sektor industri pengolahan merelokasi bisnis mereka dari DKI Jakarta adalah akibat krisis moneter dan tingginya krisis kepercayaan pasca krisis moneter yang menimbulkan tingginya “biaya siluman” untuk perijinan suatu usaha. Kemudian, setelah otonomi daerah relokasi semakin banyak dilakukan karena tingginya Upah Minimum Provinsi UMP di DKI Jakarta dibandingkan dengan wilayah lain. Pada tahun 2012 UMP di DKI Jakarta sebesar 2.2 juta rupiah, sedangkan UMP di Jawa Tengah sebesar 830 ribu rupiah dan di Jawa Timur sebesar 866 ribu rupiah. 107 Sedangkan, sektor yang mengalami penurunan nilai LQ selanjutnya adalah sektor Listrik, Gas dan Air Minum. Industri pengolahan air minum ini direlokasi ke wilayah Sukabumi, Jawa Barat sehingga produktifitas sektor ini di Provinsi DKI Jakarta semakin menurun. Kemudian, pada masa otonomi daerah 2000-2010 Provinsi DKI Jakarta hanya memiliki empat sektor basis, diantaranya sektor BangunanKonstruksi, sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, serta sektor Jasa. Sektor lainnya termasuk sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran yang pada masa sebelum otonomi terklasifikasi pada basis, namun pada masa otonomi termasuk pada sektor non-basis. Peningkatan nilai LQ pada sektor BangunanKonstruksi pada masa sebelum dan setelah otonomi daerah disebabkan karena terjadinya peningkatan proyek pembangunan penyediaan fasilitas di wilayah DKI Jakarta. Diantaranya, di Jakarta Pusat Petamburan, Karet Tengsin, Bendungna Hilir, Jakarta Timur Cakung, Pulogadung, Cipayung, Jakarta Barat Grogol, Slipi-Palmerah dan Jakarta Utara Pademangan, dan Penjaringan, wilayah-wilayah tersebut digunakan untuk proyek pembangunan perumahanapartemen, perkantoran dan lain-lain. 108 Tabel 24 Perhitungan LQ Sembilan Sektor Perekonomi di Provinsi DKI Jakarta Sektor Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi daerah 1991 1999 2000 2010 Pertanian 0.04 0.02 0.01 0.01 Pertambangan 0.00 0.00 0.25 0.18 Industri Pengolahan

1.03 0.77 0.60 0.53

Listrik, gas dan air minum

1.91 0.87 0.38 0.45

BangunanKonstruksi 1.64 1.77 1.79 1.77 Perdagangan, Hotel dan Restoran

1.18 1.10 0.97 0.91

Pengangkutan dan Komunikasi

1.48 1.26 1.03 1.49

Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya

2.23 2.25 2.58 2.49

Jasa 1.38 0.93

1.24 1.26

Rata-rata Multiplier 0.172 0.386 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Kemudian, sektor basis Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya semakin meningkat dari masa sebelum otonomi hingga setelah otonomi. Peningkatan sektor basis ini disebabkan Provinsi DKI Jakarta merupakan pusat bisnis dan keuangan, sehingga hal ini mendorong penciptaan lapangan kerja dan produksi di bidang perbankan, persewaan bangunan, ruko rumah-toko, rukan rumah 107 Hal ini disampaikanoleh Menakertrans Muhamimin Iskandar pada www.radarcirebon.compemerintah-setuju-relokasi-industri 108 http:repository.ipb.ac.idbitstreamhandle12345678952129BAB20IV20Hasil20dan2 0Pembahasan.pdf hal 44 kantor, dan perusahaan jasa lain yangsangat cepat dengan basis kegiatan diantaranya Jakarta Pusat Thamrin-Sudirman, Harmoni dan Kemayoran, Jakarta Selatan Kuningan, MT. Haryono, Gatot Subroto, Jakarta Barat Grogol, Slipi, Palmerah, dan Jakarta Utara Kemayoran, Tanjung Priok dan Kelapa Gading. 109 Rata-rata nilai multiplier sektor Basis di Provinsi DKI Jakarta pada masa sebelum otonomi sebesar 0.172 sedangkan pada masa otonomi 0.386. Artinya pada jika terjadi peningkatan pendapatan dari sektor basis sebesar 1 miliyar Rupiah pada masa sebelum otonomi akan meningkatkan PDRB sebesar 0.172 miliyar Rupiah, sedangkan jika terjadi peningkatan pendapatan dari sektor basis sebesar 1 miliyar Rupiah pada masa otonomi, maka akan meningkatkan PDRB sebesar 0.386 miliyar Rupiah. Analisis Sektor Basis di Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah 1991 dan 1999 dan Setelah Otonomi Daerah 2001 dan 2010 Berdasarkan Tabel 25, sektor yang termasuk sektor basis di Provinsi Jawa Barat pada masa sebelum dan sesudah otonomi hanya sektor Pertambangan. Sektor Pertanian, Industri Pengolahan dan sektor Listrik, Gas dan Air Minum hanya menjadi sektor basis pada akhir periode sebelum otonomi daerah 1999. Kemudian sektor Bangunan dan Konstruksi serta sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran hanya menjadi sektor basis pada tahun 1991. Sektor Bank dan lembaga keuangan lain serta sektor Jasa hanya menjadi sektor non-basis pada masa sebelum dan setelah otonomi. Kebijakan desentralisasi di Provinsi Jawa Barat tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan ekonomi basis dan non-basis. Hal ini terlihat dari tidak adanya perubahan klasifikasi sektor basis dan non-basis saat sebelum dan setelah otonomi daerah. Tabel 25 Perhitungan LQ Sembilan Sektor Perekonomian di Provinsi Jawa Barat Sektor Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi daerah 1991 1999 2000 2010 Pertanian 0.94

1.21 1.12 1.33

Pertambangan 3.00 2.22 2.79 1.69 Industri Pengolahan 0.86

1.25 1.34 1.45

Listrik, gas dan air minum 0.81

1.45 1.95 1.56

BangunanKonstruksi 1.22 0.58 0.58 0.62 Perdagangan, Hotel dan Restoran

1.17 0.92 0.80 0.91

Pengangkutan dan Komunikasi 0.73 0.79 0.90 0.60 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 0.41 0.40 0.31 0.29 Jasa 0.66 0.93 0.88 0.73 Rata-rata Multiplier 2.037 1.633 Sumber: BPS, diolah. 109 Op,cit hal 46