Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Di Provinsi Jawa Barat Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi

(1)

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR

PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA BARAT

SEBELUM, PADA MASA, DAN SETELAH KRISIS EKONOMI

OLEH ANA PERTIWI

H14103069

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(2)

WIDYASTUTIK).

Pembangunan wilayah merupakan bagian integral dan penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan permasalahan di daerah yang diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah melalui pembangunan yang serasi antar sektor maupun antara pembangunan sektoral dengan perencanaan pembangunan oleh daerah yang efisien dan efektif menuju terciptanya kemandirian daerah dan kemajuan yang merata di seluruh tanah air. Dalam hal ini pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Kondisi perekonomian Indonesia pada masa sebelum terjadi krisis ekonomi (1993-1996) menunjukkan pertumbuhan yang positif. Namun, pada pertengahan tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Krisis ekonomi tersebut telah berdampak pada melumpuhnya pertumbuhan seluruh sektor-sektor perekonomian nasional. Terganggunya struktur perekonomian nasional juga berdampak pada struktur perekonomian daerahnya, dalam hal ini Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDB Nasional. Selain itu, Jawa Barat juga merupakan daerah hinterland bagi DKI Jakarta.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat sebelum, pada masa, dan setelah krisis ekonomi, yang dilihat dari laju pertumbuhannya, pertumbuhan sektor-sektor perekonomiannya maupun daya saing sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat. Selain itu juga untuk mengidentifikasi profil pertumbuhan Provinsi Jawa Barat serta pergeseran bersih, sehingga dapat diketahui sektor-sektor perekonomian tersebut termasuk dalam kelompok pertumbuhan progresif atau pertumbuhan lamban.

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa nilai PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDB Nasional tahun 1993-2005 atas dasar harga konstan 1993 menurut sektor-sektor perekonomian. Periode penelitian ini dibagi dalam tiga periode yaitu periode pertama sebelum krisis (1993 dan 1996), periode kedua pada masa krisis (1997 dan 2001) dan periode ketiga setelah krisis (2002 dan 2005). Dalam hal ini tahun yang digunakan sebagai tahun dasar adalah tahun 1993, 1997 dan 2002. Sedangkan tahun akhir analisis adalah tahun 1996, 2001 dan 2005. Penelitian ini menggunakan analisis Shift Share dengan bantuan

softwareMicrosoft Excel.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa laju pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat setelah krisis mengalami penurunan dari 37,06 persen


(3)

(sebelum krisis) menjadi 26,38 persen, bahkan pada saat krisis mengalami pertumbuhan yang negatif sebesar -10,55 persen. Laju pertumbuhan ekonomi nasionalnya juga mengalami penurunan, namun relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan Jawa Barat yaitu dari 25,48 persen (sebelum krisis) menjadi 16,18 persen dan pada saat krisis pertumbuhan nasional juga mengalami pertumbuhan yang negatif yaitu sebesar -4,96 persen. Sektor yang mengalami peningkatan kontribusi terbesar sebelum krisis adalah sektor listrik, gas dan air bersih sedangkan terendah adalah sektor pertanian. Pada masa krisis sektor yang memberikan kontribusi terbesar adalah sektor listrik, gas dan air bersih, sedangkan kontribusi terendah adalah sektor bangunan. Setelah krisis, sektor yang memberikan kontribusi terbesar adalah sektor pengangkutan dan komunikasi sedangkan terendah adalah sektor pertambangan dan penggalian. Secara umum sektor-sektor perekonomian di Jawa Barat sebelum krisis, memiliki daya saing yang baik. Sedangkan pada saat dan setelah krisis, daya saingnya menjadi kurang baik. Pergeseran bersih sektor-sektor perekonomiannya, sebelum krisis sebesar 11,59 persen. Hal ini berarti sektor-sektor perekonomiannya termasuk kedalam kelompok progresif. Nilai tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan pada saat krisis (-5,59) dan setelah krisis yaitu sebesar -0,48 persen atau termasuk ke dalam kelompok lamban. Berdasarkan teori perkembangan ekonomi Rostow, dapat disimpulkan bahwa Provinsi Jawa Barat berada pada fase prasyarat untuk lepas landas (take-off). Ciri-ciri pendukungnya adalah dilihat dari ketergantungan wilayah Jawa Barat terhadap DKI Jakarta. Selain itu juga pemerintah daerah masih kurang memberikan perhatian pada fasilitas umum, pertanian dan perdagangan.

Pemerintah daerah diharapkan terus meningkatkan kinerja sektor yang memiliki pertumbuhan yang cepat, misalnya sektor pengangkutan dan komunikasi. Upaya yang harus dilakukan misalnya dengan menyediakan dan memperbaiki sarana dan prasarana transportasi. Sedangkan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor industri pengolahan yang merupakan salah satu sektor penopang utama perekonomian Jawa Barat adalah dengan meningkatkan kredit investasi dan kredit modal kerja pada sektor tersebut.


(4)

Oleh Ana Pertiwi

H14103069

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

ISTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Ana Pertiwi

Nomr Registrasi Pokok : H14103069 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Jawa Barat Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui : Dosen Pembimbing,

Widyastutik, S.E., M. Si. NIP : 132 311 725

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Ir. Rina Oktaviani, M.S., Ph.D. NIP. 131 846 872 Tanggal kelulusan :


(6)

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2007

Ana Pertiwi H14103069


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ana Pertiwi, lahir di Depok pada tanggal 29 Maret 1985. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Ayah Ardi dan Ibu Siti Bahiah (Alm). Penulis menamatkan sekolah dasar pada tahun 1997 di SDN Limo 1 Depok, kemudian melanjutkan ke SLTPN 226 Jakarta dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Widuri Jakarta dan lulus pada tahun 2003.

Pada tahun 2003 penulis di terima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Program Studi Ilmu Ekonomi. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan HIPOTESA dan Gerakan Kakak Asuh (GKA).


(8)

Skripsi ini berjudul ”Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Jawa Barat Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi. Krisis Ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah berdampak pada melumpuhnya seluruh sektor perekonomian nasional, yang pada akhirnya berdampak pula pada struktur perekonomian daerahnya. Penulis mengambil topik tersebut karena krisis ekonomi merupakan suatu fenomena ekonomi yang sangat menarik untuk diteliti khususnya pada wilayah Provinsi Jawa Barat. Selain itu, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Widyastutik, S.E., M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dengan penuh kesabaran sehingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Sahara, S.P., M.Si., selaku dosen penguji utama yang telah menguji skripsi ini. Saran dan kritik dari beliau sangat membantu dalam penyempurnaan skripsi ini.

3. Syamsul Hidayat Pasaribu, S.E., M.Si., selaku komisi pendidikan yang telah memberikan saran atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini.

4. Orang tua penulis, Ardi (Ayah), Siti Bahiah (Ibu Alm), Ami Khasanah (Ibu), Nurul Fitriyani, Adi Saputra, Novita Sari dan Keysar Prasetyo. Atas kesabaran, doa, kasih sayang serta dorongan yang mereka berikan, sehingga terselesaikannya skripsi ini.

5. Arum, Oma Efa, Uut, Wilma, Maruti, Efa DP, Linda, Echa, Winsih, Dony dan teman-teman IE 40 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Atas dukungan, semangat serta kebersamaan yang telah mereka berikan selama empat tahun ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(9)

6. Hady Yulistyo dan keluarga yang telah memberikan kasih sayang, doa serta motivasi kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Tante Wiwi, Linda, Ade, Om Amin serta seluruh keluarga penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas doa dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

8. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan semua pihak yang membutuhkan pada umumnya.

Bogor, Juli 2007

Ana Pertiwi H14103069


(10)

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Wilayah ... 9

2.2. Teori Perkembangan Ekonomi Rostow ... 13

2.3. Konsep Pembangunan Wilayah ... 16

2.4. Teknik Analisis Shift Share... 20

2.4.1. Kelebihan-kelebihan Analisis Shift Share... 22

2.4.2. Kelemahan-kelemahan Analisis Shift Share... 23

2.4.3. Analisis PDRB dan PDB... 24

2.4.4. Rasio PDRB dan PDB (nilai ri, Ra dan Ri) ... 29

2.4.5. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ... 29

2.4.6. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian... 30

2.5. Hasil Penelitian Terdahulu... 31

2.6. Kerangka Pemikiran Penelitian... 34

III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data ... 37

3.2. Metode Analisis ... 37

3.2.1. Analisis PDRB Jawa Barat dan PDB Nasional... 38

3.2.2. Rasio PDRB Jawa Barat dan PDB Nasional (nilai ri, Ri dan Ra) 40 3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ... 41


(11)

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR

PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA BARAT

SEBELUM, PADA MASA, DAN SETELAH KRISIS EKONOMI

OLEH ANA PERTIWI

H14103069

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(12)

WIDYASTUTIK).

Pembangunan wilayah merupakan bagian integral dan penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan permasalahan di daerah yang diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah melalui pembangunan yang serasi antar sektor maupun antara pembangunan sektoral dengan perencanaan pembangunan oleh daerah yang efisien dan efektif menuju terciptanya kemandirian daerah dan kemajuan yang merata di seluruh tanah air. Dalam hal ini pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Kondisi perekonomian Indonesia pada masa sebelum terjadi krisis ekonomi (1993-1996) menunjukkan pertumbuhan yang positif. Namun, pada pertengahan tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Krisis ekonomi tersebut telah berdampak pada melumpuhnya pertumbuhan seluruh sektor-sektor perekonomian nasional. Terganggunya struktur perekonomian nasional juga berdampak pada struktur perekonomian daerahnya, dalam hal ini Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDB Nasional. Selain itu, Jawa Barat juga merupakan daerah hinterland bagi DKI Jakarta.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat sebelum, pada masa, dan setelah krisis ekonomi, yang dilihat dari laju pertumbuhannya, pertumbuhan sektor-sektor perekonomiannya maupun daya saing sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat. Selain itu juga untuk mengidentifikasi profil pertumbuhan Provinsi Jawa Barat serta pergeseran bersih, sehingga dapat diketahui sektor-sektor perekonomian tersebut termasuk dalam kelompok pertumbuhan progresif atau pertumbuhan lamban.

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa nilai PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDB Nasional tahun 1993-2005 atas dasar harga konstan 1993 menurut sektor-sektor perekonomian. Periode penelitian ini dibagi dalam tiga periode yaitu periode pertama sebelum krisis (1993 dan 1996), periode kedua pada masa krisis (1997 dan 2001) dan periode ketiga setelah krisis (2002 dan 2005). Dalam hal ini tahun yang digunakan sebagai tahun dasar adalah tahun 1993, 1997 dan 2002. Sedangkan tahun akhir analisis adalah tahun 1996, 2001 dan 2005. Penelitian ini menggunakan analisis Shift Share dengan bantuan

softwareMicrosoft Excel.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa laju pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat setelah krisis mengalami penurunan dari 37,06 persen


(13)

(sebelum krisis) menjadi 26,38 persen, bahkan pada saat krisis mengalami pertumbuhan yang negatif sebesar -10,55 persen. Laju pertumbuhan ekonomi nasionalnya juga mengalami penurunan, namun relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan Jawa Barat yaitu dari 25,48 persen (sebelum krisis) menjadi 16,18 persen dan pada saat krisis pertumbuhan nasional juga mengalami pertumbuhan yang negatif yaitu sebesar -4,96 persen. Sektor yang mengalami peningkatan kontribusi terbesar sebelum krisis adalah sektor listrik, gas dan air bersih sedangkan terendah adalah sektor pertanian. Pada masa krisis sektor yang memberikan kontribusi terbesar adalah sektor listrik, gas dan air bersih, sedangkan kontribusi terendah adalah sektor bangunan. Setelah krisis, sektor yang memberikan kontribusi terbesar adalah sektor pengangkutan dan komunikasi sedangkan terendah adalah sektor pertambangan dan penggalian. Secara umum sektor-sektor perekonomian di Jawa Barat sebelum krisis, memiliki daya saing yang baik. Sedangkan pada saat dan setelah krisis, daya saingnya menjadi kurang baik. Pergeseran bersih sektor-sektor perekonomiannya, sebelum krisis sebesar 11,59 persen. Hal ini berarti sektor-sektor perekonomiannya termasuk kedalam kelompok progresif. Nilai tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan pada saat krisis (-5,59) dan setelah krisis yaitu sebesar -0,48 persen atau termasuk ke dalam kelompok lamban. Berdasarkan teori perkembangan ekonomi Rostow, dapat disimpulkan bahwa Provinsi Jawa Barat berada pada fase prasyarat untuk lepas landas (take-off). Ciri-ciri pendukungnya adalah dilihat dari ketergantungan wilayah Jawa Barat terhadap DKI Jakarta. Selain itu juga pemerintah daerah masih kurang memberikan perhatian pada fasilitas umum, pertanian dan perdagangan.

Pemerintah daerah diharapkan terus meningkatkan kinerja sektor yang memiliki pertumbuhan yang cepat, misalnya sektor pengangkutan dan komunikasi. Upaya yang harus dilakukan misalnya dengan menyediakan dan memperbaiki sarana dan prasarana transportasi. Sedangkan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor industri pengolahan yang merupakan salah satu sektor penopang utama perekonomian Jawa Barat adalah dengan meningkatkan kredit investasi dan kredit modal kerja pada sektor tersebut.


(14)

Oleh Ana Pertiwi

H14103069

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

ISTITUT PERTANIAN BOGOR


(15)

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Ana Pertiwi

Nomr Registrasi Pokok : H14103069 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Jawa Barat Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui : Dosen Pembimbing,

Widyastutik, S.E., M. Si. NIP : 132 311 725

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Ir. Rina Oktaviani, M.S., Ph.D. NIP. 131 846 872 Tanggal kelulusan :


(16)

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2007

Ana Pertiwi H14103069


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ana Pertiwi, lahir di Depok pada tanggal 29 Maret 1985. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Ayah Ardi dan Ibu Siti Bahiah (Alm). Penulis menamatkan sekolah dasar pada tahun 1997 di SDN Limo 1 Depok, kemudian melanjutkan ke SLTPN 226 Jakarta dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Widuri Jakarta dan lulus pada tahun 2003.

Pada tahun 2003 penulis di terima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Program Studi Ilmu Ekonomi. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan HIPOTESA dan Gerakan Kakak Asuh (GKA).


(18)

Skripsi ini berjudul ”Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Jawa Barat Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi. Krisis Ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah berdampak pada melumpuhnya seluruh sektor perekonomian nasional, yang pada akhirnya berdampak pula pada struktur perekonomian daerahnya. Penulis mengambil topik tersebut karena krisis ekonomi merupakan suatu fenomena ekonomi yang sangat menarik untuk diteliti khususnya pada wilayah Provinsi Jawa Barat. Selain itu, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Widyastutik, S.E., M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dengan penuh kesabaran sehingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Sahara, S.P., M.Si., selaku dosen penguji utama yang telah menguji skripsi ini. Saran dan kritik dari beliau sangat membantu dalam penyempurnaan skripsi ini.

3. Syamsul Hidayat Pasaribu, S.E., M.Si., selaku komisi pendidikan yang telah memberikan saran atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini.

4. Orang tua penulis, Ardi (Ayah), Siti Bahiah (Ibu Alm), Ami Khasanah (Ibu), Nurul Fitriyani, Adi Saputra, Novita Sari dan Keysar Prasetyo. Atas kesabaran, doa, kasih sayang serta dorongan yang mereka berikan, sehingga terselesaikannya skripsi ini.

5. Arum, Oma Efa, Uut, Wilma, Maruti, Efa DP, Linda, Echa, Winsih, Dony dan teman-teman IE 40 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Atas dukungan, semangat serta kebersamaan yang telah mereka berikan selama empat tahun ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(19)

6. Hady Yulistyo dan keluarga yang telah memberikan kasih sayang, doa serta motivasi kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Tante Wiwi, Linda, Ade, Om Amin serta seluruh keluarga penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas doa dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

8. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan semua pihak yang membutuhkan pada umumnya.

Bogor, Juli 2007

Ana Pertiwi H14103069


(20)

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Wilayah ... 9

2.2. Teori Perkembangan Ekonomi Rostow ... 13

2.3. Konsep Pembangunan Wilayah ... 16

2.4. Teknik Analisis Shift Share... 20

2.4.1. Kelebihan-kelebihan Analisis Shift Share... 22

2.4.2. Kelemahan-kelemahan Analisis Shift Share... 23

2.4.3. Analisis PDRB dan PDB... 24

2.4.4. Rasio PDRB dan PDB (nilai ri, Ra dan Ri) ... 29

2.4.5. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ... 29

2.4.6. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian... 30

2.5. Hasil Penelitian Terdahulu... 31

2.6. Kerangka Pemikiran Penelitian... 34

III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data ... 37

3.2. Metode Analisis ... 37

3.2.1. Analisis PDRB Jawa Barat dan PDB Nasional... 38

3.2.2. Rasio PDRB Jawa Barat dan PDB Nasional (nilai ri, Ri dan Ra) 40 3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ... 41


(21)

3.2.4. Analisis Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian... 45

3.3. Definisi Operasional Data ... 47

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT 4.1. Gambaran Umum Wilayah Provinsi Jawa Barat ... 53

4.2. Kependudukan ... 53

4.3. Kondisi Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat ... 54

4.4. Pendidikan, Kesehatan dan Agama... 55

4.5. Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Barat ... 56

V. ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN 5.1. Analisis PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDB Nasional Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi (1993-1996, 1997-2001, dan 2002- 2005 ... 58

5.2. Rasio PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDB Nasional Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi (1993-1996, 1997-2001, dan 2001-2005) ... 66

5.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi... 70

5.4. Pergeseran Bersih dan Profil pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Jawa Barat Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi (1993-1996, 1997-2001, dan 2002-2005) ... 76

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 87

6.2. Saran... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89


(22)

Perekonomian Atas Dasar Harga Konstan 1993, Tahun 1991-2005

(Persen) ... 1 1.2. PDRB Provinsi Atas Dasar Harga Konstan 1993 Berdasarkan Peringkat

Tiga Besar Provinsi, 1993-2005... 3 1.3. Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (RLPE) Jawa Barat Menurut

Sektor Perekonomian Atas Dasar Harga Konstan 1993, Tahun

1991-2005 (Persen) ... 4 1.4. Distribusi Persentase PDRB Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan 1993

Menurut Sektor Perekonomian, Tahun 1993-2005... 6 5.1. PDRB Provinsi Jawa Barat Menurut Sektor Perekonomian Berdasarkan

Harga Konstan 1993 Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi

(1993-1996, 1997-2001, dan 2001-2005) ... 60 5.2. PDB Nasional Menurut Sektor Perekonomian Atas Dasar Harga Konstan

1993 Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi (1993-1996, 1997-2001, dan 2002-2005) ... 63 5.3. Rasio PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDB Nasional (Nilai Ra, Ri, dan ri) ... 67 5.4. Analisis Shift Share Menurut Sektor Perekonomian di Provinsi Jawa

Barat Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi (1993-1996, 1997-2001, dan

2002-2005) ... 71 5.5. Analisis Shift Share Menurut Sektor Perekonomian di Provinsi Jawa

Barat Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi (1993-1996, 1997-2001, dan

2002-2005) ... 73 5.6. Analisis Shift Share Menurut Sektor Perekonomian di Provinsi Jawa

Barat Berdasarkan Komponen Pangsa Wilayah Sebelum, Pada Masa, dan

Setelah Krisis Ekonomi (1993-1996, 1997-2001, dan 2002-2005) ... 75 5.7. Pergeseran Bersih Provinsi Jawa Barat Sebelum, Pada Masa, dan Setelah


(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 2.1. Model Analisis Shift Share... 21 2.2. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian... 30 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian... 36 5.1. Profil Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Jawa


(24)

2. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 1993... 93 3. Contoh Perhitungan Perubahan PDRB Provinsi Jawa Barat Sebelum,

Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi (1993-1996, 1997-2001, dan 2002- 2005) ... 94 4. Contoh Perhitungan Perubahan PDB Nasional Sebelum, Pada Masa,

dan Setelah Krisis Ekonomi (1993-1996, 1997-2001, dan 2002-2005 94 5. Contoh Perhitungan Shift Share Rasio PDRB Provinsi Jawa Barat dan

PDB Nasional (Nilai Ra, Ri dan ri)... 95 6. Contoh Perhitungan Shift Share Menurut Sektor Perekonomian di

Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional Sebelum, Pada Masa dan Setelah Krisis Ekonomi (1993-1996,

1997-2001, dan 2002-2005) ... 95 7. Contoh Perhitungan Shift Share Menurut Sektor Perekonomian di

Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi (1993-1996, 1997-2001, dan 2002-2005) ... 96 8. Contoh Perhitungan Shift Share Menurut Sektor Perekonomian di

Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pangsa Wilayah Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi (1993-1996,

1997-2001 dan 2002- 2005) ... 96 9. Contoh Perhitungan Shift Share Menurut Sektor Perekonomian di

Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Pergeseran Bersih Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi (1993-1996, 1997-2001, dan

2002-2005) ... 97 10. Peta Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat Menurut Sumber


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kinerja perekonomian Indonesia sejak memasuki masa Orde Baru secara bertahap terus mengalami peningkatan kearah yang positif. Pemerataan pembangunan terjadi di segala bidang terutama peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Selain itu, laju pertumbuhan PDB nasional yang meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi menjelang pertengahan tahun 1997 pertumbuhan PDB nasional mulai melambat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (RLPE) Nasional Menurut Sektor Perekonomian Atas Dasar Harga Konstan 1993, Tahun 1991-2005 (Persen)

RLPE LPE RLPE Sektor Perekonomian (1991-1996) 1997 1998 (1999-2005)

1. Pertanian 2,96 1,00 -1,33 2,89 2. Pertambangan dan

Penggalian 4,86 2,12 -2,76 1,02

3. Industri Pengolahan 10,65 5,25 -11,44 4,51 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 13,08 12,37 3,03 6,79 5. Bangunan 12,45 7,36 -36,44 5,13 6. Perdagangan, Hotel dan

restoran 7,54 5,83 -18,22 4,39

7. Pengangkutan dan

komunikasi 8,88 7,01 -15,13 8,44 8. Keuangan, Persewaan,

dan Jasa Persewaan 9,5 5,93 -26,63 3,96 9. Jasa-jasa 3,63 3,62 -3,85 3,1

Total 7,38 4,7 -13,13 4,11

Sumber : BPS Jakarta, 1991-2005

Terdepresiasinya nilai tukar rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga terganggu, bank-bank nasional dalam kesulitan besar. Perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, banyak yang mengalami kebangkrutan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal


(26)

juga insolvent atau bangkrut. Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja. Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menurun menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998 (Laporan Akhir Tahun Kompas, 21 Desember 1999).

Terdepresiasinya nilai tukar rupiah juga telah menurunkan kinerja perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 1997 sebesar 4,7 persen, sedangkan tahun 1996 pertumbuhan ekonomi sebesar 7,82 persen. Keadaan ini terus menurun tajam, bahkan pada tahun 1998 perekonomian nasional mengalami penurunan pertumbuhan hingga mencapai -13,13 persen. Menurunnya pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 1998 berasal dari melemahnya kegiatan perekonomian, sehingga seluruh sektor perekonomian mengalami kontraksi kecuali sektor listrik, gas dan air bersih. Pertumbuhan Sektor listrik, gas dan air bersih mengalami penurunan, akan tetapi sektor tersebut masih memiliki pertumbuhan yang bernilai positif yakni sebesar 3,03 persen (BPS, 2002).

Menurunnya kinerja perekonomian nasional berdampak pada menurunnya kinerja perekonomian di suatu wilayah di Indonesia. Oleh sebab itu suatu wilayah harus berusaha untuk meningkatkan perekonomian daerahnya untuk mengatasi


(27)

3

krisis. Upaya peningkatan perekonomian daerah ini dapat dilakukan dengan menggali potensi-potensi daerah.

Tabel 1.2. PDRB Provinsi Atas Dasar Harga Konstan 1993, Berdasarkan Peringkat Tiga Besar Provinsi, Tahun 1993-2005 (trilyun rupiah)

PDRB Provinsi

No Tahun Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Timur

1. 1993 53,93 51,10 49,17 2. 1994 57,82 55,50 52,72

3. 1995 62,49 60,64 57,04

4. 1996 68,24 66,20 61,79

5. 1997 71,56 69,54 64,85

6. 1998 58,84 57,38 54,40

7. 1999 60,20 57,22 55,06

8. 2000 55,66 59,69 56,85

9. 2001 58,31 61,86 58,75

10. 2002 60,59 64,33 60,75

11. 2003 63,17 67,16 63,25

12. 2004 66,57 70,95 66,93

13. 2005 70,10 75,22 70,84

Sumber : BPS Jakarta, 1993-2005

Salah satu provinsi di Indonesia yang cukup berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional adalah Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah yang memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan PDB Nasional (Tabel 1.2). Selain itu, Jawa Barat merupakan daerah hinterland DKI Jakarta dan sebagai wilayah pemasok berbagai kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Berdasarkan semua hal tersebut, maka terjadinya krisis ekonomi telah mengakibatkan terjadi perubahan dalam pembentukan PDRB Jawa Barat.

1.2. Perumusan Masalah

Tumbuhnya perekonomian nasional tidak terlepas dari peranan dan kontribusi dari setiap wilayah didalamnya. Jika pertumbuhan nasional mengalami penurunan, hal tersebut juga berpengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian daerahnya. Adanya krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 yang melanda


(28)

Indonesia telah mengakibatkan terganggunya pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonominya (Tabel 1.3). Sebelum terjadi krisis rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (RLPE) Jawa Barat hingga tahun 1996 sebesar 8,18, sedangkan tahun 1998 yang merupakan puncak terjadinya krisis ekonomi, pertumbuhan mencapai nilai negatif hingga (-17,17 persen). Demikiannya dengan Jawa Barat, perekonomian nasional pun mengalami penurunan pertumbuhan pada tahun 1998 sebesar -13,13 persen (Tabel 1.1). Namun demikian penurunan pertumbuhan nasional jauh lebih kecil bila dibanding dengan penurunan pertumbuhan pada Jawa Barat. Penurunan ini merupakan dampak dari terjadinya krisis ekonomi tahun 1997.

Tabel 1.3. Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (RLPE) Jawa Barat Menurut Sektor Perekonomian Atas Dasar Harga Konstan 1993, Tahun 1991-2005 (Persen)

RLPE LPE RLPE Sektor Perekonomian

(1991-1996) 1997 1998 (1999- 2005)

1. Sektor Pertanian 3,02 -7,13 -7,63 1,48

2. Pertambangan dan

Penggalian 0,24 0,98 -19,64 -0,08

3. Industri Pengolahan 14,52 9,11 -20,51 4,93 4. Listrik, Gas dan Air

Bersih 14,2 13,84 -2,32 1,71

5. Bangunan/ Konstruksi 8,98 -2,23 -46,17 7,96 6. Perdagangan, Hotel dan

Restoran 7,86 7,64 -14,4 4,39

7. Pengangkutan dan

Komunikasi 7,69 1,67 -10,5 3,97

8. Keuangan, Persewaan

dan Jasa Perusahaan 7,14 13,85 -40,29 4,69

9. Jasa-jasa 3,49 2,66 -2,16 4,12

Total 8,18 4,86 -17,76 4,00

Sumber : BPS Jawa Barat, tahun 1991-2005

Memasuki tahun 1999 mulai terjadi proses recovery ekonomi cukup signifikan yang ditandai oleh pertumbuhan yang positif dan hingga tahun 2005


(29)

5

laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,00 persen. Meskipun setelah krisis pertumbuhan Jawa Barat sudah menunjukkan angka yang positif, akan tetapi pertumbuhannya masih jauh lebih kecil bila dibandingkan sebelum krisis. Setelah krisis hampir seluruh sektor perekonomian bernilai positif, namun ada satu sektor yang bernilai negatif yaitu sektor pertambangan dan penggalian sebesar -0,08 persen.

Namun demikian pertumbuhan positif mulai lamban karena seiring terjadinya pergolakan kondisi sosial politik dan keamanan dalam negeri bahkan berdampak terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Kondisi tersebut tentu saja berdampak buruk bagi roda perekonomian Provinsi Jawa Barat, baik secara global maupun per sektor perekonomian, meskipun setelah masa krisis berlalu PDRB mengalami pertumbuhan positif tetapi masih relatif kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Terjadinya perubahan laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Jawa Barat, telah menyebabkan terjadinya perubahan pada kontribusi dari masing-masing sektornya. Besarnya nilai PDRB Jawa Barat berasal dari kontribusi yang diberikan oleh sektor-sektor ekonomi yang ada didalamnya. Adapun sektor perekonomian tersebut yaitu: 1) sektor pertanian, 2) sektor pertambangan dan penggalian, 3) sektor industri pengolahan, 4) sektor listrik, gas dan air bersih, 5) sektor bangunan, 6) sektor perdagangan, hotel dan restoran, 7) sektor pengangkutan dan komunikasi, 8) sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9) sektor jasa-jasa.


(30)

Tabel 1.4. Distribusi Persentase PDRB Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Sektor Perekonomian, Tahun 1993-2005

Distribusi Persentase PDRB Jawa Barat Menurut Sektor

Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1993 17,29 7,14 27,88 2,22 6,11 18,83 5,85 4,83 9,84 1994 15,94 6,27 29,63 2,31 6,31 19,15 5,88 5,03 9,47 1995 15,37 5,69 31,49 2,28 6,32 19,03 5,87 4,96 8,89 1996 13,69 5,26 35,33 2,39 6,3 18,39 5,63 4,72 8,28 1997 12,12 5,06 36,76 2,60 5,87 18,88 5,46 5,12 8,12 1998 13,62 4,95 35,54 3,09 3,84 19,65 5,94 3,72 9,65 1999 15,11 3,56 34,93 3,40 3,67 19,88 5,91 3,94 9,60 2000 14,11 6,28 39,29 3,24 3,43 16,45 4,87 3,84 8,49 2001 13,99 5,66 39,62 3,32 3,24 16,43 5,00 4,06 8,69 2002 11,18 7,87 21,75 24,42 9,03 12,88 8,98 8,81 13,78 2003 10,54 7,41 21,84 23,83 9,22 12,74 9,18 9,19 13,78 2004 10,64 6,61 21,25 24,59 9,60 12,91 9,60 9,10 15,30 2005 10,28 5,85 21,82 24,70 10,82 12,60 9,13 9,01 15,30

Sumber : BPS Jakarta, Tahun 1993-2005 Keterangan : 1). Pertanian,

2). Pertambangan dan Penggalian, 3). Industri Pengolahan,

4). Listrik, Gas dan Air Bersih, 5). Bangunan,

6). Perdagangan, Hotel dan Restoran, 7). Pengangkutan dan Komunikasi,

8). Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, 9). Jasa-jasa.

Berdasarkan Tabel 1.4, memperlihatkan bahwa sebelum terjadi krisis sektor yang mendominasi perekonomian Jawa Barat adalah sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pertanian. Sedangkan setelah krisis dan adanya pemekaran wilayah, tiga sektor yang mendominasi perekonomian Jawa Barat adalah sektor listrik, gas dan air bersih, sektor industri pengolahan serta sektor jasa-jasa. Dengan demikian terjadinya krisis dan pemekaran wilayah telah menyebabkan terjadinya pergeseran kontribusi dari masing-masing sektor perekonomian Jawa Barat

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:


(31)

7

1. Bagaimana laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional sebelum krisis, pada masa krisis, dan setelah krisis ekonomi ?

2. Bagaimanakah pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat sebelum krisis, pada masa krisis, dan setelah krisis ekonomi ?

3. Bagaimana daya saing sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat sebelum krisis, pada masa krisis, dan setelah krisis ekonomi ?

4. Bagaimana profil pertumbuhan dan pergeseran bersih sektor-sektor perekonomian sebelum krisis, pada masa krisis, dan setelah krisis ekonomi di Provinsi Jawa Barat ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional sebelum krisis, pada masa krisis dan setelah krisis ekonomi.

2. Menganalisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang ada di Provinsi Jawa Barat sebelum krisis, pada masa krisis, dan setelah krisis ekonomi. 3. Menganalisis sektor-sektor ekonomi yang dapat bersaing dengan baik di

Provinsi Jawa Barat dilihat dari keunggulan komparatif yang dimilikinya sebelum krisis, pada masa krisis, dan setelah krisis ekonomi.


(32)

4. Mengidentifikasi profil pertumbuhan dan pergeseran bersih sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat sebelum krisis, pada masa krisis, dan setelah krisis ekonomi.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam merumuskan serta merencanakan kebijakan pembangunan ekonomi, khususnya sektor-sektor ekonomi di Jawa Barat. Selain itu juga penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah mengenai pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat sebelum krisis, pada masa krisis, dan setelah krisis ekonomi, tahun 1993-2005. Sehubungan dengan terjadinya pemekaran wilayah di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2000, menyebabkan Banten lepas menjadi Provinsi Banten. Maka periode dalam penelitian ini, yaitu periode sebelum krisis, pada masa krisis, dan setelah krisis ekonomi, kontribusi Banten terhadap Jawa Barat sudah tidak dimasukkan kedalam perhitungan.


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Wilayah

Menurut Budiharsono (2001), mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Batas-batas wilayah didasarkan atas kriteria (1) Homogenitas, (2) Nodalitas dan (3) Unit Program atau Unit Administrasi.

1. Konsep Homogenitas

Menurut konsep ini, wilayah dapat dibatasi berdasarkan beberapa persamaan unsur tertentu, seperti persamaan dalam unsur ekonomi, keadaan sosial politik dan sebagainya. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan pada satu wilayah akan berpengaruh terhadap wilayah lainnya. Daerah Pantura, Jawa Barat (Indramayu, Subang dan Karawang) merupakan salah satu contoh wilayah homogen dari segi produksi padi. Hal ini berarti bahwa setiap perubahan yang terjadi di wilayah tersebut, seperti subsidi harga pupuk, perubahan harga padi dan sebagainya akan mempengaruhi seluruh bagian wilayah tersebut dengan proses yang sama.

2. Konsep Nodalitas

Konsep ini menekankan pada perbedaan struktur tata ruang di dalam wilayah, dimana terdapat hubungan saling ketergantungan yang bersifat fungsional merupakan dasar dalam penentuan batas wilayah. Hubungan saling ketergantungan dapat dilihat dari hubungan antara pusat (inti) dengan daerah belakang (hinterland). Batas wilayah nodal dapat dilihat dari pengaruh suatu inti kegiatan perekonomian jika digantikan oleh pengaruh inti kegiatan ekonomi


(34)

lainnya. Pada wilayah ini perdagangan secara intern mutlak dilakukan, daerah

hinterland akan menjual bahan baku dan tenaga kerja kepada daerah inti untuk proses produksi. Contoh wilayah nodal adalah Provinsi DKI Jakarta dan BOTABEK (Bogor, Tanggerang, Bekasi), yang mana DKI Jakarta sebagai daerah inti dan BOTABEK sebagai daerah belakangnya (hinterland).

3. Konsep Administratif atau unit program

Wilayah administratif merupakan wilayah yang batas-batasnya didasarkan atas perlakuan kebijakan yang seragam, seperti sistem ekonomi, tingkat pajak yang sama dan sebagainya. Penetapan wilayah berdasarkan satuan administrasi yang menyebutkan bahwa negara terbagi atas beberapa provinsi, provinsi terbagi atas beberapa kab/kota, kabupaten terbagi atas beberapa kecamatan dan kecamatan terbagi atas beberapa desa dalam tata ruang ekonominya.

Selain penggunaan batasan berdasarkan konsep homogenitas, nodalitas dan administratif, klasifikasi wilayah dapat pula dibedakan atas dasar wilayah formal, fungsional dan perencanaan (Hanafiah, 1987). Wilayah formal adalah wilayah yang mempunyai beberapa persamaan dalam beberapa kriteria tertentu, sedangkan wilayah fungsional didefinisikan sebagai wilayah yang memperlihatkan adanya suatu hubungan fungsional yang saling tergantung dalam kriteria tertentu. Kadang-kadang wilayah fungsional diartikan juga sebagai wilayah nodal atau wilayah polaritas yang secara fungsional saling tergantung.

Perpaduan antara wilayah formal dengan wilayah fungsional menciptakan wilayah perencanaan. Boudeville dalam Budiharsono (2001), mengemukakan bahwa wilayah perencanaan adalah wilayah yang memperlihatkan koherensi/


(35)

11

kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Wilayah perencanaan dirancang sedemikian rupa berdasarkan potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut sehingga dapat meningkatkan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di wilayah tersebut.

Menurut Klaessen dalam Budiharsono (2001) menyatakan bahwa perencanaan harus memiliki ciri-ciri : (1) cukup besar untuk mengambil keputusan-keputusan investasi yang berskala ekonomi, (2) mampu mengubah industrinya sendiri dengan tenaga kerja yang ada, (3) memiliki struktur ekonomi yang homogen, (4) mempunyai sekurang-kurangnya satu titik pertumbuhan, (5) menggunakan suatu cara pendekatan perencanaan pembangunan, (6) masyarakat dalam wilayah itu mempunyai kesadaran bersama terhadap persoalan-persoalannya. Contohnya adalah Pulau Batam. Daerah perencanaan ini sudah lintas batas wilayah administratif.

Gunawan (2000) mengatakan bahwa pertumbuhan suatu wilayah seringkali tidak seimbang dengan wilayah lainnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : perbedaan karakteristik potensi sumberdaya manusia, demografi, kemampuan sumberdaya manusia, potensi lokal, aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan serta aspek potensi pasar. Berdasarkan perbedaan ini, wilayah dapat diklasifikasikan menjadi empat wilayah , yaitu : 1. Wilayah maju

Wilayah maju merupakan wilayah yang telah berkembang dan diidentifikasikan sebagai wilayah pusat pertumbuhan, pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, pasar potensial, tingkat pendapatan yang tinggi dan


(36)

memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas. Perkembangan wilayah maju didukung oleh potensi sumberdaya yang ada di wilayah tersebut maupun wilayah belakangnya (hinterland) dan potensi lokasi yang strategis. Sarana pendidikan yang memadai serta pembangunan infrastruktur yang lengkap, seperti jalan, pelabuhan, alat komunikasi dan sebagainya mengakibatkan adanya aksesibilitas yang tinggi terhadap pasar domestik maupun intenasional.

2. Wilayah sedang berkembang

Wilayah ini memiliki karakteristik pertumbuhan penduduk yang cepat sebagai implikasi dari peranannya sebagai penyangga wilayah maju. Wilayah sedang berkembang juga mempunyai tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi. Potensi sumberdaya alam yang melimpah, keseimbangan antara sektor pertanian dan industri serta mulai berkembangnya sektor jasa.

3. Wilayah belum berkembang

Potensi sumberdaya alam yang terdapat pada wilayah ini, keberadaannya masih belum dikelola dan dimanfaatkan. Tingkat pertumbuhan dan kepadatan penduduk masih rendah, aksesibilitas yang rendah terhadap wilayah lain, struktur ekonomi wilayah didominasi oleh sektor primer dan belum mampu membiayai pembangunan secara mandiri.

4. Wilayah tidak berkembang

Karakteristik wilayah ini diidentifikasikan dengan tidak adanya sumberdaya alam, sehingga secara alamiah tidak berkembang. Selain itu, tingkat kepadatan penduduk, kualitas sumberdaya manusia dan tingkat pendapatan masih


(37)

13

tergolong rendah. Pembangunan infrastruktur pun tidak lengkap, sehingga aksesibilitas pada wilayah lain pun sangat rendah.

2.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi Rostow

Menurut W. W. Rostow, dalam Irawan dan Suparmoko (1992), dapat dikatakan bahwa sejarah perkembangan ekonomi itu melalui beberapa tingkat yaitu :

1. Masyarakat tradisional

Fase ini ditandai dengan adanya fungsi produksi yang terbatas. Namun, dalam kenyataan yang sebenarnya, perubahan-perubahan ekonomi selalu ada. Ini dapat dilihat dari adanya perubahan didalam perdagangan dan tingkat pertambahan produksi pertanian. Demikian pula perubahan-perubahan terjadi dalam hasil industri (pabrik), jumlah penduduk dan pendapatan riil. Perkembangan ini dibatasi tingkat teknologi. Dalam masyarakat fase ini tidak kekurangan akan penemuan-penemuan dan inovasi, tetapi belum ada pengertian sistematis terhadap alam sekitarnya yang dapat mendorong perkembangan lebih lanjut. Pengertian terhadap perkembangan masa depan dirasa kurang.

Tingkat produksi yang dapat dicapai masih terbatas, karena ilmu pengetahuan dan teknologi modern belum ada atau belum digunakan secara sistematis. Sehingga dengan terbatasnya produktivitas, maka sebagian besar sumber tenaga kerja berada di sektor pertanian. Hubungan keluarga masih erat dan berpengaruh besar dalam organisasi-organisasi sosial. Kekuasaan di pegang oleh mereka yang mempunyai tanah yang luas.


(38)

2. Masyarakat prasyarat untuk lepas landas (precondition for take-off)

Merupakan fase yang diperlukan agar perkembangan ekonomi dapat lepas landas (take-off). Proses seluruhnya diperbaiki dengan adanya perluasan pasar dan koloni. Faktor-faktor non ekonomi juga tidak dapat diabaikan peranannya dalam perkembangan tersebut. Terdapat dua keadaan yang saling mempengaruhi satu sama lain yaitu : (1) pertumbuhan perlahan-lahan (evolusi) dalam ilmu pengetahuan modern, (2) banyaknya inovasi yang dilakukan, bersama-sama dengan penemuan daerah-daerah baru dalam sektor-sektor yang cukup penting. Perluasan pasar untuk memajukan perdagangan dan juga menaikkan spesialisasi produksi. Selain itu ditandai juga dengan ketergantungan satu daerah dengan daerah lainnya. Dan adanya perluasan lembaga-lembaga keuangan.

Masyarakat yang memasuki fase ini ditandai dengan tiga perubahan radikal. Pertama, adanya pembangunan fasilitas prasarana umum terutama dibidang transportasi. Kedua, revolusi teknik dibidang pertanian yang ditandai dengan kenaikan produksi menggunakan teknik baru serta banyaknya urbanisasi. Ketiga, perluasan impor yang dibiayai oleh perdagangan komoditi sumber-sumber alam yang ada.

Secara positif dikatakan apabila pemerintah belum menaruh perhatian pada tiga sektor perkembangan tersebut, yaitu fasilitas umum, pertanian dan perdagangan, maka fase lepas landas akan tertunda. Ketiga sektor tersebut adalah sektor-sektor yang penting untuk mengadakan perkembangan industri secara terus menerus.


(39)

15

3. Masyarakat lepas landas (take-off)

Fase ini ditandai dengan penerapan teknik-teknik baru dalam industri sudah berjalan dengan sendirinya. Untuk masuk fase ini selain prasarana umum, pertanian dan perdagangan, harus ditambahkan dengan adanya golongan wiraswasta dan teknik-teknik baru serta sumber-sumber kapital yang teratur. Fase ini biasanya menandakan kemenangan-kemenangan sosial, politik dan kebudayaan. Perkembangan ini selanjutnya mendorong masyarakat untuk memusatkan pada usaha-usaha teknik modern diluar sektor-sektor yang telah dimordenisasi selama fase lepas landas.

4. Masyarakat menuju kematangan (drive to maturity)

Periode ketika masyarakat secara efektif menerapkan teknologi modern terhadap sumber-sumber ekonomi. Perluasan industrialisasi bukan lagi merupakan tujuan pokok, dikarenakan berlaku hukum the law of diminishing marginal utility.

Sektor-sektor penting bukan hanya ditentukan oleh adanya teknologi tetapi juga kualitas persediaan sumber-sumber ekonomi. Bila suatu masyarakat berkembang ke kematangan teknologi maka struktur dan kualitas tenaga kerja berubah terutama pada perbandingan jumlah antara yang bekerja di sektor pertanian dan non pertanian.

5. Masyarakat konsumsi yang berlebih (high mass consumption)

Cara-cara yang digunakan dalam fase ini adalah (1) menyediakan atau menawarkan jaminan yang lebih baik, kemakmuran dan leisure kepada angkatan kerja dan disesuaikan dengan ukuran masyarakat setempat, (2) menyediakan


(40)

konsumsi bagi setiap individu dalam porsi yang lebih banyak, dan (3) mencari perluasan pengaruh bagi negara yang bersangkutan di mata dunia.

2.3. Konsep Pembangunan Wilayah

Pembangunan wilayah merupakan bagian integral dan penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan permasalahan di daerah yang diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar kota, antar desa dan antar kota dengan desa. Pembangunan daerah bertujuan unuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di wilayah atau daerah melalui pembangunan yang serasi antar sektor maupun antara pembangunan sektoral dengan perencanaan pembangunan oleh daerah yang efisien dan efektif menuju terciptanya kemandirian daerah dan kemajuan yang merata di seluruh pelosok Tanah Air (Soegijoko, 1997).

Menurut Anwar (1996), mengemukakan bahwa pembangunan wilayah diarahkan pada tiga tujuan. Tujuan tersebut antara lain :

1. Pertumbuhan (growth)

Tingkat pertumbuhan yang tinggi akan tercapai dengan adanya pengalokasian sumberdaya alam dan sumberdaya manusia secara maksimal, sehingga dapat meningkatkan kegiatan yang produktif.

2. Pemerataan (equity)

Seluruh masyarakat dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata.


(41)

17

3. Berkelanjutan (sustainability)

Pemanfaatan sumberdaya yang diperoleh baik melalui sistem pasar maupun di luar sistem pasar tidak melebihi kapasitas produksi yang ada.

Jhingan (2002), menjelaskan bahwa syarat utama bagi pembangunan ekonomi adalah proses pertumbuhannya harus bertumpu pada kemampuan perekonomian di dalam negeri. Hasrat untuk memperbaiki nasib dan prakarsa untuk menciptakan kemajuan material harus muncul dari warga masyarakatnya sendiri dan tidak dapat di pengaruhi atau diintimidasi oleh daerah luar.

Hanafiah (1987), menyatakan bahwa pembangunan tidak lagi dapat dilihat sebagai subjek yang tunggal tetapi harus dilihat secara komprehensif atau berdimensi banyak. Hal ini disebabkan karena GNP (Gross National Product) tidak lagi menjadi tujuan dan tongkat pengukur keberhasilan pembangunan. Perencanaan pembangunan yang dilaksanakan hendaknya berorientasi pada aspek regional, dimana dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional, setiap wilayah dilihat fungsi dan peranannya untuk masing-masing wilayah serta dilihat juga peranan dan fungsinya dalam pembangunan ekonomi nasional. Hanafiah menyatakan bahwa kegiatan perencanaan wilayah mencakup tiga kegiatan yang saling berkaitan yaitu:

1. Perencanaan antar wilayah dalam suatu negara, 2. Perencanaan antar lokasi dalam suatu wilayah, 3. Perencanaan lokasi dalam tiap sektor.


(42)

Pada analisis Shift Share, menurut Budiharsono (2001) diasumsikan bahwa perubahan PDRB di suatu wilayah antara tahun dasar analisis dengan tahun akhir analisis dibagi menjadi tiga komponen pertumbuhan, yaitu :

1. Komponen Pertumbuhan Nasional (National Growth Componen)

Komponen pertumbuhan nasional (PN) adalah perubahan PDRB suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan PDB nasional secara umum, perubahan kebijkan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah.

2. Komponen Pertumbuhan Proporsional (Propotional mix growth component) Komponen pertumbuhan proporsional (PP) tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti kebijakan perpajakan, subsidi dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.

Menurut Soegijoko (1997), dalam pembangunan wilayah untuk dapat mewujudkan keterpaduan antarsektor dan menghilangkan kesenjangan antar wilayah/ daerah, bukan merupakan pekerjaan yang mudah karena adanya beberapa kendala sebagai berikut :

1. Keterbatasan kemampuan pemerintah untuk mencurahkan dana yang lebih besar untuk membangun sarana dan prasarana yang akan lebih membuka dan menyeimbangkan kesempatan berkembangnya kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di wilayah-wilayah terbelakang secara lebih cepat.

2. Keterbatasan sumberdaya manusia di wilayah terbelakang, yang antara lain menjadi penyebab sekaligus akibat keterbelakangan itu.


(43)

19

3. Persaingan antar pengusaha, sektor/ wilayah untuk memanfaatkan kesempatan dan tantangan menghadapi globalisasi.

4. Sulitnya menarik investasi swasta sebagai sumber dan pemacu pertumbuhan ke wilayah terbelakang terutama investasi yang berkualitas yang mampu membuka lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan daerah secara berkelanjutan.

Strategi yang perlu diperhatikan dalam pengembangan regional adalah sebagai berikut :

1. Desentralisasi kekuasaan dalam pengeluaran daerah

Pemerintah daerah harus mulai meningkatkan kemampuan dalam memperbesar pendapatan daerah. Sedangkan pemerintah pusat harus tetap meneruskan pengalihan sumberdaya kepada pemerintah daerah dalam bentuk bantuan yang tidak mengikat sehingga memberikan keleluasaan dalm membuat keputusan. Pada jangka menengah dan panjang perlu dipertimbangkan suatu strategi tahapan pembangunan yang sedikit demi sedikit memberikan pengawasan perencanaan, pendanaan dan proses implementasi kepada administrasi pemerintah daerah.

2. Peningkatan pendapatan daerah

Pemerintah daerah perlu menyusun sejumlah kriteria untuk pemasukan keuangan daerah, seperti kemampuan administrasi dan proses budgeting yang baik dalam rangka menunjang perbaikan kelembagaannya.


(44)

3. Pengembangan Kelembagaan

Program pengembangan kelembagaan yang perlu dicapai adalah koordinasi antar kelembagaan, transparansi dan rasa tanggung jawab, profesionalisasi pegawai sipil dengan peningkatan standar kinerja dan pengupahan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah.

4. Keanekaragaman budaya

Masyarakat Indonesia yang majemuk memiliki kemauan dan kebutuhan yang berbeda-beda dan dituangkan dengan cara yang berbeda-beda pula. Oleh sebab itu, aparat pemerintah daerah harus tanggap terhadap perbedaan-perbedaan itu, sehingga perlu adanya suatu penilaian sosial yang menggambarkan pendekatan strategi kebudayaan untuk masing-masing daerah.

2.4. Teknik Analisis Shift Share

Analisis shift share pertama kali diperkenalkan oleh Perloft et all pada tahun 1960. Pada awalnya, analisis shift share digunakan untuk mengidentifikasikan sumber pertumbuhan ekonomi wilayah di Amerika Serikat. Selain itu analisis shift share juga digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan sektor-sektor/ wilayah yang lambat di Indonesia dan Amerika Serikat. Manfaat lain dari analisis shift share dapat menduga dampak kebijakan wilayah ketenagakerjaan.

Menurut Glasson (1978), tiga kegunaan analisis shift share adalah untuk melihat perkembangan : (1) sektor perekonomian disuatu wilayah terdapat perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas, (2) sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, dan (3) suatu


(45)

21

wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, sehingga dapat membandingkan besarnya aktifitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah. Dengan demikian, dapat ditunjukkan adanya shift (pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah, bila daerah itu memperoleh kemajuan sesuai dengan kedudukannya dalam perekonomina nasional.

Pada Gambar 2.1, analisis shift share menunjukkan bahwa perubahan sektor i pada wilayah j dipengaruhi oleh tiga komponen pertumbuhan wilayah. Ketiga komponen pertumbuhan tersebut yaitu : komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Berdasarkan tiga komponen pertumbuhah wilayah tersebut dapat ditentukan dan diidentifikasikan perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah. Apabila PP + PPW ≥ 0, maka disimpulkan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk kedalam kelompok progresif

(maju). Sedangkan jika PP + PPW < 0 maka pertumbuhan sektor ke i pada wilayah ke j dikategorikan pertumbuhan lambat.

Sumber : Budiharsono, 2001

Gambar 2.1. Model Analisis Shift Share

Komponen Pertumbuhan Nasional

Wilayah ke j sektor ke i

Wilayah ke j sektor i

Maju PP+PPW≥ 0

Lamban PP+PPW < 0 Komponen

Pertumbuhan Proporsional

Komponen Pertumbuhan

Pangsa Wilayah


(46)

Dalam rangka melihat perkembangan sektor-sektor perekonomian. Teknik analisis shift share dibagi kedalam tiga analisis. Ketiga analisis tersebut antara lain analisis PDRB dan PDB. Analisis komponen pertumbuhan wilayah serta analisis profil pertumbuhan dan pergeseran bersih sektor-sektor perekonomian.

Analisis PDRB dan PDB digunakan untuk melihat pertumbuhan PDRB dan PDB masing-masing sektor ekonomi. Sedangkan analisis komponen pertumbuhan wilayah dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah. Profil pertumbuhan dan pergeseran bersih sektor-sektor perekonomian digunakan untuk mengidentifikasikan pertumbuhan suatu sektor dalam suatu wilayah tertentu.

2.4.1. Kelebihan-kelebihan Analisis Shift Share

Menurut Soepono (1993), analisis shift share memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan analisis lain, yaitu :

1). Analisis shift share dapat melihat perkembangan produksi atau kesempatan kerja di suatu wilayah hanya pada dua titik waktu tertentu, yang mana suatu titik waktu dijadikan sebagai dasar analisis, sedangkan satu titik waktu lainnya dijadikan sebagai akhir analisis.

2). Perubahan indikator kegiatan ekonomi di suatu wilayah antara tahun dasar analisis dengan tahun akhir analisis dapat dilihat melalui tiga komponen pertumbuhan wilayah, yakni komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW).


(47)

23

3). Berdasarkan komponen PN, dapat diketahui laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dibandingkan laju pertumbuhan nasional.

4). Komponen PP, dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah. Hal ini berarti bahwa suatu wilayah dapat mengadakan spesialisasi di sektor-sektor yang berkembang secara nasional dan bahwa sektor-sektor dari perekonomian wilayah telah berkembang lebih cepat daripada rata-rata nasional untuk sektor-sektor itu.

5). Komponen PPW, dapat digunakan untuk melihat daya saing sektor-sektor ekonomi dibandingkan dengan sektor ekonomi pada wilayah lainnya.

6). Jika persentase PP dan PPW dijumlahkan, maka dapat ditunjukkan adanya

shift (pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah.

2.4.2. Kelemahan-kelemahan Analisis Shift Share

Menurut Soepono (1993), analisis shift share juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu :

1. Analsis shift share tidak lebih daripada suatu teknik pengukuran atau prosedur baku untuk mengurangi pertumbuhan suatu variabel wilayah menjadi komponen-komponen. Persamaan shift share hanyalah identity equation dan tidak mempunyai implikasi-implikasi keprilakuan. Metode shift share tidak untuk menjelaskan mengapa, misalnya pengaruh keunggulan kompetitif adalah positif di beberapa wilayah, tetapi negatif di daerah lain. Metode shift share merupakan teknik pengukuran yang mencerminkan suatu perhitungan semata dan tidak analitik.


(48)

2. Komponen pertumbuhan nasional secara implisit mengemukakan bahwa laju pertumbuhan suatu wilayah hendaknya tumbuh pada laju nasional tanpa memperhatikan sebab-sebab laju pertumbuhan wilayah.

3. Kedua komponen pertumbuhan wilayah (PP dan PPW ) berkaitan dengan hal-hal yang sama seperti perubahan penawaran dan permintaan, perubahan teknologi dan perubahan lokasi, sehingga tidak dapat berkembang dengan baik.

4. Teknik analisis shift share secara implisit mengambil asumsi bahwa semua barang dijual secara nasional, padahal tidak semua demikian. Bila pasar suatu wilayah bersifat lokal, maka barang itu tidak dapat bersaing dengan wilayah lain yang menghasilkan barang yang sama sehingga tidak mempengaruhi permintaan agregat.

2.4.3. Analisis PDRB dan PDB

Konsep analisis PDRB digunakan untuk mengetahui pertumbuhan PDRB suatu sektor pada suatu wilayah tertentu. Adapun konsep analisis PDRB terbagi atas perubahan PDRB dan persentase perubahan PDRB. Perubahan PDRB didasarkan kepada selisih antara PDRB suatu sektor pada tahun akhir analisis dengan PDRB suatu sektor tahun dasar analisis.

PDRB di bagi dua yaitu: PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menggambarkan nilai tambah barang dan jasa


(49)

25

tersebut berdasarkan harga pada suatu tahun tertentu (tahun dasar), dalam perhitungan ini digunakan tahun 1993 sebagai tahun dasar.

Metode penghitungan PDRB dibagi menjadi dua cara, yaitu : 1. Metode Penghitungan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku

Penghitungan PDRB atas dasar harga berlaku ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

1). Metode Langsung

Pada penghitungan metode langsung ini dilakukan pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Dari ketiga pendekatan tersebut akan memberikan hasil yang sama.

2). Metode Tidak Langsung

Dalam metode ini, nilai tambah disuatu wilayah region diperoleh dengan mengalokasikan nilai tambah suatu kegiatan ekonomi nasional ke dalam masing-masing kegiatan ekonomi pada tingkat regional dengan menggunakan indikator yang mempunyai pengaruh paling erat dengan kegiatan ekonomi tersebut.

2. Metode Penghitungan PDRB Atas Dasar Harga Konstan

Ada empat cara yang untuk menghitung nilai tambah bruto (NTB) atas dasar harga konstan :

1). Revaluasi

Metode ini dilakukan dengan cara menilai produksi dan biaya antara masing-masing tahun dengan harga pada tahun dasar. Hasilnya merupakan


(50)

output dan biaya antara atas dasar harga konstan. Selanjutnya NTB atas dasar harga konstan, diperoleh dari selisih antara output dan biaya antara. 2). Ekstrapolasi

Nilai tambah masing-masing tahun atas dasar harga konstan diperoleh dengan cara mengalikan nilai tambah pada tahun dasar dengan indeks produksi. Indeks produksi sebagai ekstrapolator dapat merupakan indeks dari maisng-masing produksi yang dihasilkan ataupun indeks dari berbagai indikator produksi misalnya tenaga kerja, jumlah perusahaan dan lainnya, yang dianggap cocok dengan jenis kegiatan yang dihitung. Ekstrapolasi dapat juga dilakukan terhadap penghitungan output atas dasar harga konstan. Kemudian dengan menggunakan rasio tetap nilai tambah terhadap output akan diperoleh perkiraan nilai tambah atas dasar harga konstan.

3). Deflasi

Nilai tambah atas dasar harga konstan diperoleh dengan cara membagi nilai tambah atas dasar harga yang berlaku masing-masing tahun dengan indeks harga. Indeks harga yang digunakan sebagai deflator biasanya merupakan Indeks Harga Konsumen (IHK), Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) dan sebagainya. Indeks harga diatas dapat pula dipakai sebagai inflator dalam keadaan dimana nilai tambah atas dasar harga yang berlaku justru diperoleh dengan mengalikan nilai tambah atas dasar harga konstan dengan indeks harga tersebut.


(51)

27

4). Deflasi Berganda

Dalam deflasi berganda ini, yang dideflasi adalah output dan biaya antaranya, sedangkan nilai tambah diperoleh dari selisih antara output dan biaya antara hasil deflasi tersebut. Indeks harga yang digunakan sebagai deflator untuk penghitungan output atas dasar harga konstan biasanya merupakan indeks harga produsen atau indeks harga perdagangan besar sesuai dengan cakupan komoditinya. Sedangkan indeks harga untuk biaya antara adalah indeks harga dari komponen input terbesar.

Konsep analisis PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB dibagi dua, yaitu : PDB atas dasar harga berlaku dan PDB atas dasar harga konstan. PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar.

Untuk menghitung angka-angka PDB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu :

1). Pendekatan Produski

PDB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi 9


(52)

lapangan usaha (sektor). Setiap sektor tersebut dirinci lagi menjadi sub-sub sektor.

2). Pendekatan Pendapatan

PDB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi).

3). Pendekatan Pengeluaran

PDB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari : (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, (2) pengeluaran konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal tetap domestik bruto, (4) perubahan inventori, dan (5) ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor).

Secara konsep ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDB atas dasar harga pasar, karena di dalamnya sudah dicakup pajak tak langsung neto.


(53)

29

2.4.4. Rasio PDRB dan PDB (nilai ri, Ra dan Ri)

Rasio PDRB digunakan untuk mengidentifikasikan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Sedangkan rasio PDB dimanfaatkan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi secara nasional. Rasio PDRB maupun PDB terbagi atas nilai ri, Ra dan Ri.

Nilai ri menunjukkan selisih antara PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun akhir analisis dengan PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis dibagi dengan PDRB dari sektor i pada wilayah tertentu pada tahun dasar analisis. Nilai Ra menunjukkan selisih antara PDB nasional pada tahun akhir analisis dengan PDB tahun dasar analisis dibagi PDB tahun dasar analisis. Sedangkan Ri menunjukkan selisih antara PDB tahun akhir analisis dari sektor i dengan PDB tahun dasar analisis dari sektor i dibagi PDB tahun dasar analisis dari sektor i.

2.4.5. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah

Analisis komponen pertumbuhan wilayah digunakan untuk mengidentifikasikan bagaimana perkembangan suatu sektor pada wilayah yang bersangkutan dan mengidentifikasikan bagaimana perkembangan suatu wilayah/ sektor yang bersangkutan jika dibandingkan dengan wilayah/ sektor lainnya. Konsep ini dirumuskan berdasarkan tiga komponen wilayah yaitu : komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW).


(54)

2.4.6. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian

Profil pertumbuhan sektor perekonomian digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan sektor perekonomian disuatu wilayah yang bersangkutan pada kurun waktu yang telah ditentukan, dengan cara mengekspresikan persen perubahan komponen pertumbuhan proporsional (PPij) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPWij). Pada sumbu horizontal, terdapat PP sebagai absis, sedangkan pada sumbu vertikal terdapat PPW sebagai ordinat.

Kuadran IV Kuadran I

PP

Kuadran III Kuadran II

PPW

Sumber : Budiharsono, 2001

Gambar 2.2. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian

(i) Kuadran I menunjukkan bahwa sektor-sektor di wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang cepat, demikian juga daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut baik apabila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah yang bersangkutan merupakan wilayah progresif (maju).

(ii) Kuadran II menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi yang ada di wilayah yang bersangkutan pertumbuhannya cepat, tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya tidak baik.


(55)

31

(iii) Kuadran III menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi di wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat dengan daya saing yang kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lain. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah yang bersangkutan merupakan wilayah lamban.

(iv) Kuadran IV menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi pada wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat, tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. (v) Pada kuadran II dan kuadran IV terdapat garis miring yang membentuk

sudut 450 dan memotong kedua kuadran tersebut. Bagian atas garis tersebut menunjukkan bahwa wilayah yang bersangkutan merupakan wilayah yang progresif (maju), sedangkan dibawah garis berarti wilayah yang bersangkutan menunjukkan wilayah yang lamban.

2.5. Hasil Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelitian dari Restuningsih (2004) mengenai pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi DKI Jakarta pada masa krisis ekonomi dengan menggunakan analisis shift share, menunjukkan pada masa krisis ekonomi pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta, menurun sebesar Rp-5.284.370 juta (-7,60 persen) sedangkan pertumbuhan ekonomi nasional menurun sebesar Rp-6.505.500 juta (-1,50 persen). Akan tetapi, masa krisis ekonomi mengakibatkan peningkatan PDRB DKI Jakarta terhadap pengaruh pertumbuhan pangsa wilayah sebesar Rp111.921 juta (0,16 persen). Sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor bangunan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sedangkan sektor yang mengalami pertumbuhan yang cepat terdapat pada sektor industri


(56)

pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor pertanian serta sektor jasa-jasa.

Berdasarkan penelitian Rini (2006) mengenai pertumbuhan sektor-sektor perekonomian 30 provinsi di Indonesia tahun 1998 dan 2003 dengan menggunakan analisis shift share, menunjukkan terjadi pergeseran pertumbuhan pada tahun 1998 dan 2003 pada beberapa provinsi terkait dengan pemekaran provinsi yang terjadi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi pada masa ini menunjukkan pertumbuhan yang positif. Kontribusi pertumbuhan ekonomi nasional pada masa itu meningkat sebesar 21 persen. Provinsi dengan kontribusi pertumbuhan ekonomi terbesar adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat sedangkan terkecil adalah Provinsi Maluku. Secara sektoral, sektor industri pengolahan merupakan sektor yang mempunyai nilai pertumbuhan nasional terbesar. Berdasarkan nilai pergeseran bersih terdapat 16 provinsi yang termasuk dalam kelompok provinsi yang pertumbuhannya progresif sedangkan 14 provinsi lain termasuk dalam pertumbuhan lambat.

Putra (2004) dalam penelitiannya mengenai pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Jambi sebelum dan pada masa Otonomi Daerah menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1994-1996, Sektor industri pengolahan merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan paling cepat, sedangkan sektor yang laju pertumbuhannya paling lambat adalah sektor jasa. Dilihat dari daya saing, sektor pertambangan merupakan sektor yang memiliki daya saing paling baik bila dibandingkan dengan kabupaten lain adalah sektor industri pengolahan. Pada masa Otonomi Daerah pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kota Jambi


(57)

33

termasuk dalam kelompok pertumbuhan lambat. Pertumbuhan yang lambat ini bukan berarti kebijakan Otonomi Daerah tidak efektif, tetapi karena pada penelitiannya kurun waktu yang digunakan hanya 2 tahun yaitu tahun 2000-2002 sehingga belum terlihat dengan jelas perubahan struktur perekonomian.

Setiawan (2004) dalam penelitiannya mengenai pertumbuhan ekonomi antar kab/ kota di Provinsi Sumatera Utara (1993-2002), memperlihatkan adanya peningkatan perekonomian Provinsi Sumatera Utara pada kurun waktu 1993-1997. Hal ini dapat dilihat dari PDRB Provinsi Sumatera utara yang tumbuh sebesar 38 persen. Daerah yang memberikan kontribusi paling besar terhadap PDRB adalah Kota Medan. Pada kurun waktu 1997-2002 juga memperlihatkan pertumbuhhan yang positif yakni dengan pertumbuhan sebesar 18 persen. Pertumbuhan nasional tebesar adalah Kota Medan. Hal ini berarti Kota Medan merupakan daerah yang memberikan kontribusi paling besar. Sedangkan wilayah yang paling lambat pertumbuhannya adalah Kabupaten Langkat.

Mahardini (2006) penelitiannya tentang Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat Periode Sebelum dan Sesudah Pemekaran Wilayah (1995-2004), menunjukkan bahwa selama periode tersebut pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat mengalami peningkatan. Laju pertumbuhan PDRB Total pada periode sebelum pemekaran sebesar 0,15 mengalami peningkatan menjadi 0,20 pada periode setelah pemekaran wilayah. Pertumbuhan PDRB tidak lepas dari kontribusi sektoral di Provinsi Jawa Barat sebelum dan sesudah pemekaran wilayah kontribusi terbesar sebelum pemekaran wilayah dimiliki sektor industri, setelah pemekaran wilayah dimiliki oleh sektor utilitas.


(58)

Pertumbuhan sektor primer merupakan yang paling kecil selama dua periode penelitian. Kabupaten dan kota secara konsisten tumbuh progresif pada dua periode ini adalah Kabupaten Bekasi dan Kota Bogor. Kabupaten Sumedang, Cianjur, Ciamis dan Purwakarta tidak tumbuh progresif selama dua periode. Kota hasil pemekaran yang sudah dapat tumbuh progresif periode 2000-2004 adalah Kota Depok dan Kota Bekasi. Kota Banjar, Tasikmalaya dan Cimahi periode 2000-2004 daerah ini belum mampu tumbuh progresif dibandingkan daerah lain di Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Sumedang, Cianjur, Ciamis dan Purwakarta memiliki pertumbuhan yang paling lambat.

Penelitian sebelumnya lebih fokus pada pertumbuhan PDRB Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat antara periode sebelum dan sesudah pemekaran. Pada penelitian ini, analisis Shift Share akan dipergunakan untuk menganalisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Provinsi Jawa Barat dibandingkan dengan Perekonomian Nasional dengan tiga titik waktu yaitu sebelum krisis, pada masa krisis, dan setelah krisis ekonomi (1993-2005). Penelitian ini lebih di tekankan untuk melihat perkembangan sektor-sektor perekonomian serta kontribusinya terhadap perekonomian Provinsi Jawa Barat dan Nasional.

2.6. Kerangka Pemikiran Penelitian

Kondisi perekonomian suatu wilayah selain dipengaruhi oleh potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut juga sangat di pengaruhi oleh kondisi perekonomian nasionalnya. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memberikan kontribusi terbesar terhadap perekonomian nasional. Adanya krisis


(1)

(1) 405.693 = 8.435.943-8.047.249

(2) 5,05 =

*

100

249

.

047

.

8

693

.

405

%

Lampiran 4. Contoh Perhitungan Perubahan PDB Nasional

Sebelum

Krisis Ekonomi (Juta Rupiah)

Perubahan PDB Pada Masa Krisis Ekonomi

Perubahan PDB

Setelah Krisis Ekonomi

(Juta Rupiah)

Perubahan PDB

Sektor Perekonomian 1993 1996 Juta Rupiah (Persen) 1997 2001 Juta Rupiah Persen 2002 2005 Juta Rupiah Persen

1. Pertanian 58.963.400 63.827.800 4.864.400 8,25 64.468.000 67.318.700 2.850.700 4,42 69757400 77.616.071 7.858.671(1) 11,27(2)

(1)

7.858.671 = 77.616.071-69.757.40

(2) 11,27 =

*

100

400

.

757

.

69

671

.

858

.

7


(2)

95

Lampiran 5. Contoh Perhitungan

Shift Share

Rasio PDRB Provinsi Jawa

Barat dan PDB Nasional (Nilai Ra, Ri an ri)

Sebelum Krisis Ekonomi (1993 ban 1996)

Pada Masa Krisis Ekonomi (1997 dan 2001)

Setelah Krisis Ekonomi (2002 dan 2005) Sektor

Perekonomian

Ra Ri ri Ra Ri ri Ra Ri ri

1. Pertanian 0,25 0,08 0,12 -0,05 0,04 -0,03 0,16(1) 0,11(2) 0,05(3) Total 0,25 0,25 0,37 -0,05 -0,05 -0,11 0,16(4) 0,16(5) 0,16(6)

(1) 0,16=

500

.

187

.

429

500

.

187

.

429

892

.

628

.

498

(4) 0,16=

500

.

187

.

429

500

.

187

.

429

892

.

628

.

498

(2) 0,11=

400

.

757

.

69

400

.

757

.

69

071

.

616

.

77

(5)

0,16=

500

.

187

.

429

500

.

187

.

429

892

.

628

.

498

(3) 0,05=

047249

.

8

249

.

047

.

8

943

.

453

.

8

(6) 0,16=

235

.

594

.

60

235

.

594

.

60

100

.

106

.

70

Lampiran 6. Contoh

Perhitungan

Shift Share

Menurut Sektor

Perekonomian di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen

Pertumbuhan Nasional

Sebelum Krisis Ekonomi (1993 ban 1996)

Pada Masa Krisis Ekonomi (1997 dan 2001)

Setelah Krisis Ekonomi (2002 dan 2005) Sektor

Perekonomian

Ra Ri ri Ra Ri ri Ra Ri ri

1. Pertanian 0,25 0,08 0,12 -0,05 0,04 -0,03 0,16(1) 0,11(2) 0,05(3) Total 0,25 0,25 0,37 -0,05 -0,05 -0,11 0,16(4) 0,16(5) 0,16(6)

(1) 1.320.023 = 0,16 x 8.047.249

(2) 16,18 =

100

249

.

047

.

8

023

.

302

.

1

x

%

(3) Penjumlahan nilai PNij pada semua sektor perekonomian setelah krisis

ekonomi.

(4) 16,18 =

100

235

.

594

.

60

986

.

803

.

9

x

%


(3)

Lampiran 7. Contoh

Perhitungan

Shift Share

Menurut Sektor

Perekonomian di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen

Pertumbuhan Proporsional

Sektor

Perekonomian

PPiJawa Barat

Sebelum

Krisis Ekonomi

Pada Masa Krisis Ekonomi

Setelah Krisis Ekonomi Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen

1. Pertanian -1.374.838 -17,23 815.218 9,38 -395.443(1) -4,91(2)

Total 300.871 0,67 1.119.348 1,72 -66.887(3) -0,11(4)

(1) -395.443 = (0,11-0,16) x 8.047.249

(2) -4,91 =

100

%

249

.

047

.

8

443

.

395

x

(3) Penjumlahan nilai PPij pada semua sektor perekonomian setelah krisis

ekonomi.

(4) -0,11 =

100

%

235

.

594

.

60

887

.

66

x

Lampiran 8. Contoh

Perhitungan

Shift Share

Menurut Sektor

Perekonomian di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen

Pangsa Wilayah

PPWiJawa Barat

Sebelum Krisis Ekonomi

Pada Masa Krisis Ekonomi

Setelah Krisis Ekonomi Sektor Perekonomian

Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen

1. Pertanian 300.089 3,76 -604.604 -6,96 -499.887(1) -6,21(2)

Total 4.866.894 10,91 -4.760.226 -7,30 -225.234(3) -0,37(4)

(1) -499.887 = (0,05-0,11) x 8.047.249

(2) -6,21 =

100

%

249

.

047

.

8

887

.

499

x

(3) Penjumlahan nilai PPWij pada semua sektor perekonomian setelah krisis

ekonomi.

(4) -0,37=

100

%

235

.

594

.

60

234

.

225

x


(4)

97

Lampiran 9. Contoh

Perhitungan

Shift Share

Menurut Sektor

Perekonomian di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan

Pergeseran Bersih

PBiJawa Barat Sebelum

Krisis Ekonomi

Pada Masa Krisis Ekonomi

Setelah Krisis Ekonomi Sektor Perekonomian

Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen

1. Pertanian -1.074.748 -13,47 210.614 2,42 -895.330(1) 11,13(2)

-Total 5.167.766 11,59 -3.640.878 -5,59 -292.121(3) -0,48(4)

(1) -895.330 = (-395.443 ) + (-499.887)

(2) 11,13 =

100

%

249

.

047

.

8

330

.

895

x

(3) Penjumlahan nilai PBij pada semua sektor perekonomian setelah krisis

ekonomi.

(4) -0,48=

100

%

235

.

594

.

60

121

.

292

x


(5)

1. Pertanian 58.963.400 63.827.800 4.864.400 8,25 64.468.000 67.318.700 2.850.700 4,42 69757400 77.616.071 7.858.671 11,27 2. Pertambangan dan

Penggalian 31.497.300 37.739.400 6.242.100 19,82 38.538.200 39.401.300 863.100 2,24 40473100 40.094.076 -379.024 -0,94 3. Industri Pengolahan 73.556.400 102.259.700 28.703.300 39,02 107.629.700 108.272.400 642.700 0,60 112889200 129.805.276 16.916.076 14,98 4. Listrik, Gas & Air

Bersih 3.290.300 4.876.800 1.586.500 48,22 5.479.900 7.111.900 1.632.000 29,78 7568100 8.937.879 1.369.779 18,10 5. Bangunan 22.512.900 32.923.700 10.410.800 46,24 35.346.400 24.308.200 -11.038.200 -31,23 25640600 31.781.354 6.140.754 23,95 6. Perdag, Hotel dan

Restoran 55.297.600 69.475.000 14.177.400 25,64 73.523.800 65.824.600 -7.699.200 -10,47 68333200 81.073.639 12.740.439 18,64 7. Pengangkutan dan

Komunikasi 23.248.900 29.701.100 6.452.200 27,75 31.782.500 31.339.100 -443.400 -1,40 33855200 47.315.687 13.460.487 39,76 8. Keuangan, Persewaan

dan Jasa Perusahaan 28.047.800 36.384.200 8.336.400 29,72 38.543.000 28.932.600 -9.610.400 -24,93 30590800 36.850.284 6.259.484 20,46 9. Jasa-jasa 33.361.400 36.610.200 3.248.800 9,74 37.934.500 39.245.600 1.311.100 3,46 40079900 45.154.625 5.074.725 12,66

PDB 329.776.000 413.797.900 84.021.900 25,48 433.246.000 411.754.400 -21.491.600 -4,96 429187500 498.628.892 69.441.391 16,18


(6)

Tabel 5.1. PDRB Provinsi Jawa Barat Menurut Sektor Perekonomian Atas Dasar Harga Konstan 1993

Sebelum

Krisis Ekonomi

(Juta Rupiah) Perubahan PDRB

Pada Masa Krisis Ekonomi

(Juta Rupiah)

Perubahan PDRB

Setelah Krisis Ekonomi

(Juta Rupiah) Perubahan PDRB Sektor Perekonomian

1993 1996 Juta

Rupiah Persen 1997 2001

Juta

Rupiah Persen 2002 2005

Juta

Rupiah Persen

1. Pertanian 7.979.967 8.938.392 958.425 12,01 8.688.723 8.468.325 -220.399 -2,54 8.047.249 8.453.943 406.693 5,05

2. Pertambangan dan

Penggalian 3.715.488 3.621.249 -94.239 -2,54 3.191.279 3.273.481 82.203 2,58 3.126.111 2.626.186 -499.925 -15,99

3. Industri Pengolahan 12.652.417 21.277.399 8.624.983 68,17 23.846.522 22.908.171 -938.351 -3,93 23.631.807 27.289.399 3.657.592 15,48

4. Listrik, Gas & Air Bersih 855.265 1.140.009 284.744 33,29 1.324.885 1.919.108 594.223 44,85 2.072.936 2.439.095 366.159 17,66

5. Bangunan 2.464.335 3.404.942 940.607 38,17 3.619.120 1.875.250 -1.743.870 -48,18 2.032.148 2.837.085 804.937 39,61

6. Perdag, Hotel & Restoran 8.407.156 11.819.752 3.412.597 40,59 12.724.410 9.596.985 -3.127.425 -24,58 10.415.295 12.094.450 1.679.156 16,12 7. Pengangkutan dan

Komunikasi 2.144.393 3.056.806 912.413 42,55 3.285.584 2.894.893 -390.691 -11,89 3.232.450 3.859.982 627.532 19,41 8. Keuangan, Persewaan

dan Jasa Perusahaan 2.048.130 2.799.320 751.190 36,68 3.143.327 2.471.576 -671.751 -21,37 2.720.137 3.291.600 571.463 21,01 9. Jasa-jasa 4.338.590 5.080.499 741.909 17,10 5.362.458 4.904.009 -458.449 -8,55 5.316.102 7.214.360 1.898.258 35,71

PDRB 44.605.740 61.138.368 16.532.629 37,06 65.186.307 58.311.798 -6.874.509 -10,55 60.594.235 70.106.100 9.511.865 15,70