Analisis Ketimpangan Perekonomian Pada Provinsi di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah, Serta Solusi Dengan Peningkatan Pendapatan dari Sektor Basis

(1)

ANALISIS KETIMPANGAN PEREKONOMIAN PADA PROVINSI DI PULAU JAWA SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH SERTA SOLUSI DENGAN PENINGKATAN PENDAPATAN DARI

SEKTOR BASIS (PERIODE 1991-2010)

 

RIDHO FUADI

 

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Ketimpangan

Perekonomian Pada Provinsi di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah serta Solusi dengan Peningkatan Pendapatan dari Sektor Basis (Periode 1991-2010)adalah benar karangan saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Ridho Fuadi


(3)

ABSTRAK

RIDHO FUADI. Analisis Ketimpangan Perekonomian Pada Provinsi di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah, serta Solusi dengan Peningkatan Pendapatan dari Sektor Basis(Periode 1991-2010). Dibimbing oleh Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A.

Tingkat ketimpangan pendapatan di pulau Jawa dan luar pulau Jawa pada masa setelah otonomi daerah lebih parah daripada ketimpangan pendapatan sebelum masa otonomi daerah, dengan rata-rata indeks ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa lebih tinggi daripada indeks ketimpangan pendapatan di luar Pulau Jawa. Data yang digunakan adalah PDRB 33 provinsi di Indonesia, PDRB sembilan sektor perekonomian provinsi di Pulau Jawa dan jumlah penduduk masing-masing provinsi di Indonesia.Alat analisis yang digunakan adalah Analisis Indeks Williamson, Uji Shift-share, dan Analisis Sektor Basis (LQ). Dari hasil penelitian ini terdapat enam sektor Basis di Pulau Jawa, yakni sektor Industri pengolahan, sektor Listrik, Gas dan Air Minum, serta sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran yang mampu mengurangi tingkat ketimpangan. Tiga sektor lainnya yakni sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya serta sektor Jasa yang justru meningkatkan tingkat ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa.

Kata Kunci: Ketimpangan Pendapatan, Otonomi daerah, Indeks Williamson

ABSTRACT

RIDHO FUADI. Economis Analysis of Inequality in the Province of Java Before and After the Regional Autonomy, as well as Solution to Increase Revenue from Base. Superviced by Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A.

The level of income inequality in Java and outside Java in aftermath of regional autonomy are worse before decentralization, where the average index of income inequality on the Java is higher than the outside. The data that used is The Gross Regional Income in 33 provinces in Indonesia, Gross Domestic Regional Bruto from 9 economics sectors in Java and the population of each province in Indonesia. The analysis tools used are Williamson Index Analysis, Shift-share Analysis, and Location Quotion (LQ). From the result of this study, there are six sectors base on the Java, they are The processing Industry, The Electricity, Gas And Water, The Trade, Hotel and Restaurant, are able to reduce the level of inequality. Three other sectors are The Transportation and Communication, The Bank and Other Financial Institution, and The Service Sector, which actually increase the level of income inequality in Java.


(4)

Judul Skripsi : Analisis Ketimpangan Perekonomian Pada Provinsi di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah, serta Solusi dengan Peningkatan Pendapatan dari Sektor Basis (Periode

1991-2010) Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

ANALISIS KETIMPANGAN PEREKONOMIAN PADA PROVINSI DI PULAU JAWA SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH SERTA SOLUSI DENGAN PENINGKATAN PENDAPATAN DARI

SEKTOR BASIS (PERIODE 1991-2010)

RIDHO FUADI

 

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013  


(5)

Nama NIM

1991-2010) : Ridho Fuadi : H14090003

Disetujui oleh

Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D .E.A. Pembimbing

Diketahui oleh

M.Ec.


(6)

Judul Skripsi : Analisis Ketimpangan Perekonomian Pada Provinsi di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah, Serta Solusi Dengan Peningkatan Pendapatan dari Sektor Basis

Nama : Ridho Fuadi

NIM : H14090003

Disetujui oleh

Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Ketua Departemen


(7)

PRAKATA

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji Syukur kehadirat Allah SWT Sang Maha Tak Terhingga yang berkat kasih dan sayang-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing dan mengajarkan kepada kita jalan hidup, sehingga membawa hidayah bagi umat manusia.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Manajemen IPB. Adapun judul skripsi ini adalah “Analisis Ketimpangan Perekonomian Pada Provinsi di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah, serta Solusi dengan Peningkatan Pendapatan dari Sektor Basis (Periode 1991-2010)”. Penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepadaorang-orang yang telah banyak memberikan bantuan, semangat, dan selamat bagi penulis yaitu:

1. Prof.Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Keluarga besar yakni Jon Akhyar (bapak) dan Yurnalis (ibu), kakak saya

Rahmi Mebbruri kemudian kedua adik saya Nurfadilla dan Aulia Fitri yang telah banyak memberikan sangat banyak ilmu hidup, semangat, doa, dukungan moral dan spiritual hingga akhir penulisan skripsi ini.

3. Dosen, staff penunjang da seluruh civitas Departemen Ilmu Ekonomi atas ilmu dan bantuan yang diberikan selama masa perkuliahan.

4. Keluarga “Bako” Ama Her, Om Harman, keluarga Alikin Ali dan keluarga Haji Bustamam yang selama ini telah memberikan semangat, motivasi, dan fasilitas kepada penulis hingga penulis bisa menikmati pendidikan Strata 1 di Institut Pertanian Bogor.

5. Kepada rekan sebimbingan yaitu Ahmad Rivano Tuwow, Qiki Qilang Syahbudi, dan Lira Wigiana yang selama ini sudah banyak memberikan semangat dan membantu penulis dalam melakukan penelitian.

6. Sahabat-sahabat Pakuan Regency Teguh, Nanang Andrian, S.E, Adrian, Jajang, Widy, Bram, Rheza, Adi, Taufik, Aim, Kokom, Raga, Adli, Gibran, Lintang, Fahmi, Bronson, Ardhi, Meiyora, Farhana dan Mega.

7. Teman-teman Karemata Angkatan “Kabut Purnama”, Bagas, Ardhi, Tiara, Trisa, Nia, Noer, Nurul, Tazkiya, dan Linda yang sudah penulis anggap sebagai saudara sendiri. Terimakasih atas kerjasama dan persahabatannya. 8. Tim “Mendadak Katering” Farah Hulliandini dan Sarida Wardani yang telah

berjuang dan memotivasi penulis dalam keseharian di bisnis katering. Terimakasih atas dorongan, semangat dan motivasi yang telah diberikan.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Bogor, September 2013


(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA 9

Pendahuluan 9

Pembangunan Ekonomi 11

Pertumbuhan Ekonomi 13

Otonomi Daerah dan Desentralisasi 15

Ketimpangan 17

Konsep Ekonomi Basis 21

Penelitian Terdahulu 22

Kerangka Pemikiran 24

METODOLOGI PENELITIAN 27

Pendahuluan 27

Jenis dan Sumber Data 27

Metode Pengumpulan Data 27

Metode Analisis Data 27

Indikator Ketimpangan 28

Tipologi Klassen 28

Analisis Indeks Williamson 28

Uji Shift-Share 29

Analisis Sektor Basis Location Quotion ((LQ) 32

GAMBARAN UMUM 33

Letak Geografis dan Wilayah Administrasif Pulau Jawa 33

Demografi 33

Perekonomian Pulau Jawa 34

Pertumbuhan Ekonomi 34

Struktur Perekonomian Menurut Lapangan Usaha 36

Perkembangan PDRB Per Kapita 37

Pajak Daerah 38

Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN) 39

Penanaman Modal Asing (PMA) 40

Inflasi 41

Jumlah Tabungan 42

Jumlah Sekolah 44

Fasilitas Pelayanan Rumah Sakit 44

Panjang Jalan 45

Transaksi Barang dan Jasa di Pulau Jawa 46

HASIL DAN PEMBAHASAN 48

Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi di Pulau Jawa Sebelum Otonomi Daerah Berdasarkan Pendekatan Klassen Typology 48


(9)

Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi di Pulau Jawa Saat Otonomi Daerah

Berdasarkan Pendekatan Klassen Typology 49

Indeks Williamson di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah 52 Indikator Penyebab Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa 54

Indeks Williamson Luar di Pulau Jawa

Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah 55

Analisis Shift-share Sektor Perekonomian di Pulau Jawa

Sebelum Otonomi Daerah (1991-1999) 57

Analisis Shift-share Sektor Perekonomian di Pulau Jawa

Setelah Otonomi Daerah (2000-2010) 59

Analisis Sektor Ekonomi Basis di PulauJawa 62 Analisis Sektor Basis di DKI Jakarta Sebelum Otonomi Daerah dan Setelah Otonomi Daerah 62

Analisis Sektor Basis di Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah dan Setelah Otonomi Daerah 64

Analisis Sektor Basis di Jawa Tengah Sebelum Otonomi Daerah dan Setelah Otonomi Daerah 66

Analisis Sektor Basis di Jawa Timur Sebelum Otonomi Daerah dan Setelah Otonomi Daerah 67

Analisis Sektor Basis di DI Yogyakarta Sebelum Otonomi Daerah dan Setelah Otonomi Daerah 68

Analisis Sektor Basis di Banten Sebelum Otonomi Daerah dan Setelah Otonomi Daerah 69

Analisis Sektor Basis di Pulau Jawa Tahun 1991-2010 70 Peranan Sektor Basis Dalam Mengurangi Ketimpangan

Pendapatan di Pulau Jawa 71

Peranan Sektor Basis Industri Pengolahan dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa 71

Peranan Sektor Basis Listrik, Gas dan Air Minumdalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa 72

Peranan Sektor Basis Perdagangan, Hotel dan Restoran dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa 73

Peranan Sektor Basis Pengangkutan dan Komunikasi dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa 74

Peranan Sektor Basis Bank dan Lembaga Keuangan Lainnyadalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa 74

Peranan Sektor Basis dan Jasa dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa 75

Pengaruh Sektor Perekonomian Terhadap PDRB di Pulau Jawa 76

SIMPULAN DAN SARAN 79

Simpulan 79 Saran 79

DAFTAR PUSTAKA 81

LAMPIRAN 83


(10)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah penduduk Indonesia 4

2 Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto (PDB) Provinsi di

Indonesia 5 3 Rata-rata Jumlah Investasi Pengusaha pada Wilayah di Indonesia

Tahun1991-2010 7

4 Jumlah Penduduk di Pulau Jawa 33

5 Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi di Pulau Jawa 35 6 Peran Sektor Unggulan Terhadap PDRB di Pulau Jawa Tahun

1991-2010 36

7 Upah Pekerja per Bulan (ribu Rupiah) 37

8 Pemungutan Pajak Daerah di Pulau Jawa 39

9 Persentase Penanaman Modal Dalam Negeri tahun 1991-2011 40 10 Persentase Penanaman Modal Asing di Pulau Jawa tahun 1991-2011 41 11 Jumlah Tabungan di Pulau Jawa periode 2001-2011 (milyar Rupiah) 43 12 Persentase Jumlah Sekolah di Pulau Jawa Tahun 1991-2010 44 13 Jumlah Dipan Rumah Sakit di Pulau Jawa Tahun 45 14 Panjang Jalan di Pulau Jawa Tahun 1991-2010 46 15 Klassen Typology Propinsi Di Pulau Jawa pada masa sebelum

Otonomi Daerah (1991-1999) 49

16 Klassen Typology Propinsi Di Pulau Jawa pada masa setelah

Otonomi Daerah (2001-2010) 51

17 Indeks Williamson Pulau Jawa berdasarkan PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pulau Jawa tahun 1991-2010 53 18 Indikator Penyebab Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa 54 19 Indeks Williamson Berdasarkan PDRB per Kapita

Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Luar Pulau Jawa tahun 1991-2010 56 20 Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) Pulau Jawa

tahun 1991-1999 (miliyar Rupiah) 58

21 Klasifikasi Sektor Perekonomian di Pulau Jawa berdasarkan

analisis Shift-share 58

22 Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) Pulau Jawa

Tahun 2000-2010 (Miliyar Rupiah) 60

23 Klasifikasi Sektor Perekonomian di Pulau Jawa berdasarkan

analisis Shift-share 60

24 Perhitungan LQ Sembilan Sektor Perekonomi di Propinsi DKI Jakarta 63 25 Perhitungan LQ Sembilan Sektor Perekonomian di Propinsi Jawa Barat 64 26 Perhitungan LQ Sembilan Sektor Perekonomian di Propinsi Jawa

Tengah 66 27 Perhitungan LQ Sembilan Sektor Perekonomian di Propinsi Jawa

Timur 68 28 Perhitungan LQ Sembilan Sektor Perekonomian di Propinsi DI

Yogyakarta 69 29 Perhitungan LQ Sembilan Sektor Perekonomian di Propinsi Banten 70

30 Perhitungan LQ Sembilan Sektor Perekonomian di Pulau Jawa 71 31 Peranan Sektor Basis Industri Pengolahan Terhadap Ketimpangan


(11)

32 Peranan Sektor Basis Listrik, Gas dan Air Minum Terhadap Ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa Periode 1991-2010 72 33 Peranan Sektor Basis Perdagangan Terhadap Ketimpangan

Pendapatan di Pulau Jawa Periode 1991-2010 73 34 Peranan Sektor Basis Pengangkutan dan Komunikasi Terhadap

Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa Periode 1991-2010 74 35 Peranan Sektor Basis Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Terhadap

Ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa Periode 1991-2010 75 36 Peranan Sektor Basis Jasa Terhadap Ketimpangan Pendapatan

di Pulau Jawa Periode 1991-2010 76

37 Rata-rata Persentase Peran Sektor Perekonomian Terhadap PDRB di

Pulau Jawa (1991-2010) 77

DAFTAR GAMBAR

1 Kondisi Perekonomian Antar Pulau di Indonesia 6

2 Koefisien Gini Menurut Kurva Lorenz 20

3 Kerangka Pemikiran 26

4 Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian 31 5 Persentase Pengguna Listrik di Pulau Jawa Pada Periode 2001-2011 34 6 Laju Pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa tahun 1991-2011 35 7 Pertumbuhan PDRB perkapita di Pulau Jawa dari tahun 1991-2011

Berdasarkan Harga Tahun Dasar 2000 37

8 Komposisi Pemungutan Pajak Daerah di Pulau Jawa 38

9 Inflasi di pulau Jawa tahun1991-2010 42

10 Suku Bunga Investasi Bank Umum 43

11 Transaksi Perdagangan di Pulau Jawa tahun 1991-2010 47 12 Klassen Typology Propinsi Di Pulau Jawa Pada Masa Sebelum

Otonomi Daerah (1991-1999) 48

13 Klassen Typology Propinsi Di Pulau Jawa Pada Masa Setelah

Otonomi Daerah (2001-2010) 50

14 Rata-rata Peran Sektor Perekonomian Terhadap PDRB di Pulau Jawa 77

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 1991 83

2 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 1992 83

3 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 1993 83

4 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 1994 84

5 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau


(12)

6 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 1996 84

7 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 1997 85

8 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 1998 85

9 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 1999 85

10 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2000 86

11 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2001 86

12 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2002 86

13 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2003 87

14 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2004 87

15 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2005 87

16 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2006 88

17 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2007 88

18 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2008 88

19 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2009 89

20 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2010 89

21 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 90

22 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 91

23 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 92

24 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 93

25 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 94

26 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 95

27 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 96

28 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 97

29 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar


(13)

30 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 99

31 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 100

32 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 101

33 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 102

34 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 103

35 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 104

36 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 105

37 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 106

38 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 107

39 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar

Pulau Jawa Tahun 1991 108

40 Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar


(14)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembanguan memiliki berbagai tolok ukur, salah satunya yaitu pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama dan suatu keharusan bagi kelangsungan pembanguan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan.1 Kuznet mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan kapasitas dalam jangka suatu negara yang bersangkutan untuk menyediakan barang ekonomi kepada penduduknya. Pembangunan di negara berkembang umumnya difokuskan pada pembangunan ekonomi melalui usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi, atau popular disebut strategi pembangunan ekonomi. Strategi yang banyak dilakukan oleh Negara Sedang Berkembang (NSB) sering berorientasi pada peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Pertumbuhan PDB yang tinggi dianggap sebagai sebuah keberhasilan ekonomi, namun penurunan PDB dianggap sebagai kemunduran ekonomi. Oleh karena itu banyak negara berkembang yang berupaya untuk meningkatkan PDB. Namun pertumbuhan PDB saja tidak cukup, terdapat beberapa hal lain yang harus diperhatikan dalam pertumbuhan ekonomi.2

Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan peningkatan barang dan jasa yang diproduksi masyarakat dalam suatu perekonomian. Semakin banyak barang dan jasa yang diproduksi dapat meningkatkan pendapatan perkapita. Dengan meningkatnya pendapatan perkapita, masalah perekonomian seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan diharapkan dapat terpecahakan melalui apa yang dikenal dengan dampak Trickle Down Effect

(dampak merembes kebawah). Menurut Djojohadikusumo proses pembangunan ekonomi merupakan proses pertumbuhan dalam sektor perekonomian yang mengandung unsur-unsur kemandirian untuk terus berinvestasi dengan jumlah yang semakin besar demi peningkatan produktivitas dan pendapatan. Peningkatan produktivitas dan pendapatan atau produksi sangat berbeda. Peningkatan pendapatan dapat diperoleh dengan cara menambah jam kerja atau meningkatkan jumlah pekerja. Sedangkan peningkatan produktivitas merupakan peningkatan jumlah yang dihasilkan dengan jam kerja dan jumlah karyawan atau pekerja dengan jumlah yang sama dengan sebelumnya. Peningkatan produktivitas inilah yang menjadi tujuan dari pembangunan ekonomi.3

Kemudian pembangunan ekonomi menurut Todaro diartikan sebagai proses multidimensional yang mencakup perubahan struktur, sikap hidup dan kelembagaan, selain mencakup peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan dan pemberantasan kemiskinan. Salah satu tugas negara adalah meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan kemakmuran kepada seluruh warga. Pemerataan ini dapat terjadi jika seluruh rakyat dilibatkan dalam proses pembangunan, sehingga hasil dari pembangunan juga dapat dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali. Permasalahan yang sering timbul pada negara berkembang dalam proses pembangunan adalah masalah kemiskinan       

1

Tambunan, Tulus: Perekonomoan Indonesia(Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hal. 37

2

Damanhuri, Didin: Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang (Bogor: IPB Press,2010), hal. 1

3

Djojohadikusumo, Sumitro: Ekonomi Pembangunan, Pengantar Ilmu Ekonomi (Jakarta: PT. Pembangunan Jakarta,1955), hal. 39


(15)

dan ketimpangan.4 Masalah ini timbul karena pertumbuhan ekonomi cenderung dilihat dari pertumbuhan nilai PBD. Pemerataan ini masih belum dapat tercapai di Indonesia, seperti yang digambarkan oleh Tabel 1. PBRD yang tinggi belum tentu menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang baik. Karena terdapat kemungkinan nilai PDB yang tinggi dimiliki oleh segelintir atau sekelompok orang. Nilai PDB tersebut mampu untuk menutupi penduduk yang berpenghasilan rendah dalam perhitungan PDB. Oleh karena itu wajar jika nilai PDB suatu wilayah di Indonesia tinggi, namun masih banyak ditemukan masyarakat miskin seperti gelandangan, pengemis dan pemukiman kumuh pada wilayah yang sama.

Pertumbuhan ekonomi yang kita pacu selama ini belum mencerminkan distribusi pendapatan yang adil dan merata, karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini hanya dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat, seperti masyarakat perkotaan, sedangkan masyarakat pedesaan atau pinggiran mendapat porsi yang kecil dan tertinggal. Sehingga masih terjadi kesenjangan (disparitas) terutama antar daerah dan sektor serta antar golongan masyarakat. Menurut Sjafrizal ketimpangan pembangunan antarwilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah.5 Akibatnya kemampuan daerah yang berbeda juga mendorong proses pembangunan yang berbeda pula. Kesenjangan antar daerah ini paling menyolok adalah antara daerah pengembangan kawasan industri dengan kawasan pengembangan pertanian. Daerah pengembangan pertanian tersebut mata pencarian pokok masyarakatnya hanya bergantung kepada pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia seperti perkebunan, mencari kayu, petani tradisional (subsistem), dan nelayan.6

Indonesia merupakan wilayah kepulauan dengan karakteristik wilayah, alam, budaya, demografi dan fasilitas dan infrastruktur perekonomian yang berbeda-beda. Hal ini cenderung menimbulkan perbedaan dalam pendapatan dan tingkat produktivitas perekonomian pada masing-masing wilayah.7 Menurut Sjafrizal terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan di berbagai wilayah. Diantaranya perbedaan kandungan Sumberdaya Alam, perbedaan kondisi demografis, kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa, konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, dan alokasi dana pembangunan antarwilayah.8 Daya jual dan kandungan sumberdaya mempengaruhi pendapatan yang diperoleh wilayah tersebut dari hasil penjualan sumberdaya. Wilayah yang memilki nilai jual yang tinggi dan biaya produksi yang lebih rendah akan memperoleh pendapatan atau PDRB yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang nilai jual sumberdaya yang lebih murah. Kemudian wilayah yang memiliki kandungan alam yang lebih tinggi akan memproduksi lebih banyak barang dengan ongkos produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah       

4

Tambunan, Tulus. Op, cit, hal.81

5

Sjafrizal: Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi (Padang :Bandous Media, 2008), hal. 104

6 

Sjafrizal. Op, cit, hal. 109 dan 115 

7

Ibid, hal. 117‐120 

8


(16)

yang kandungan alamnya memiliki nilai jual yang rendah. Dari sisi kandungan sumberdaya dapat dilihat bahwa wilayah yang memilki kandungan sumberdaya yang tinggi akan mempunyai PDRB yang lebih besar.

Kondisi demografis yang dimaksud seperti pertumbuhan penduduk, kondisi kesehatan dan pendidikan, produktifitas tenaga kerja, serta etos kerja yang penduduk suatu wilayah. Jika kondisi demografisnya bagus, maka hal ini akan menarik minat investor untuk berinvestasi di wilayah tersebut. Investasi akan berpengaruh kepada sarana dan infrastruktur yang ada pada suatu wilayah, semakin tinggi investasi dan dana yang dianggarkan pemerintah untuk pembangunan suatu wilayah. Maka kemudahan akses, serta mobilitas barang dan jasa akan semakin lancar. Dengan demikian aktivitas perekonomian semakin tinggi dan pendapatan wilayah tersebut akan meningkat. Wilayah Pulau Jawa merupakan wilayah yang padat penduduknya karena tingginya aktifitas perekonomian di wilayah ini. Aktivitas ekonomi yang tinggi akan menarik minat masyarakat untuk berpindah atau menetap di pulau ini. Akibatnya penduduk jumlah penduduk yang tinggi terdapat di Pulau Jawa (dapat dilihat pada Tabel 1). Melalui penggunaan strategi pertumbuhan ekonomi dengan proses Trickle down effect (penetesan kebawah), diharapkan hasil pembangunan dapat mengalir dan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Sehingga, pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat meningkat sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.

Pembangunan yang terjadi sejauh ini cukup mampu untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan ini belum tentu mampu untuk mengurangi ketimpangan (disparitas). Secara umum ketimpangan yang terjadi meliputi ketimpangan pendapatan yang menimbulkan perbedaan (gap) antara orang kaya dan miskin, ketimpangan spasial yang menyebabkan adanya wilayah maju dan wilayah tertinggal serta ketimpangan sektoral yang menciptakan sektor unggulan dan non unggulan. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan antar daerah maupun wilayah diantaranya: Pertama,

perbedaan kandungan Sumberdaya Alam (SdA). Wilayah di Indonesia memiliki kontur tanah, kondisi alam, cuaca dan ketinggian yang beragam. Perbedaan ini akan menyebabkan terdapatnya keragaman dalam sumberdaya alam. Wilayah yang memiliki kekayaan alam yang lebih mahal seperti minyak bumi dan batubara tentu akan mendatangkan pendapatan yang tinggi kepada wilayah yang bersangkutan. Demikian pula pada wilayah yang memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi, tentu akan memberikan pendapatan dari sektor pertanian yang lebih tinggi kepada wilayahnya. Kedua, perbedaan kondisi geografis yang terdiri atas pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan serta perbedaan tingkah laku dan kebiasaan dalam etos kerja. Kondisi demografis yang baik akan meningkatkan tingkat produktifitas masyarakat dalam wilayah tersebut dan akan berdampak pada peningkatan etor kerja masyarakatnya.9

Ketiga, mobilitas barang dan jasa. Jika mobilitas barang dan jasa kurang lancar yang mungkin disebabkan oleh terkendalanya infrastruktur transportasi dan komunikasi akan menyebabkan kelebihan produksi dalam suatu daerah tidak tersalurkan dengan baik. Tentu daerah yang membutuhkan kelebihan ini tidak dapat memenuhi kebutuhan daerahnya. Sedangkan, wilayah yang memiliki       

9


(17)

kelebihan produksi akan mengalami kerugian, karena barang dan jasa yang berlebih tidak termanfaatkan secara efisien atau terbuang. Keempat, konsentrasi kegiatan ekonomi. Pertumbuhan yang tinggi pada daerah yang memilki tingkat konsentrasi ekonomi yang tinggi memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang banyak serta tingkat pendapatan masyarakat yang lebih tinggi dari daerah-daerah pinggirnya.10 Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pemusatan pada suatu wilayah diantaranya, tersedianya sumberdaya alam yang lebih banyak, meratanya fasilitas transportasi, dan kondisi demografis yang memadai.

Kelima, alokasi dana pembangunan antarwilayah. Jika terjadi peningkatan investasi maka pembangunan wilayah yang bersangkutan juga akan meningkat. Dengan demikian maka akan memperbesar peluang dan kesempatan kerja sehingga besar kemungkinan akan terjadi peningkatan pendapatan perkapita pada wilayah ini. Namun, pada masa pemerintahan sentralisasi realisasi alokasi dana pembangunan lebih banyak di pemerintah pusat, hal ini akan meningkatkan tingkat ketimpangan antara wilayah pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Namun, dengan adanya sistem desentralisasi, maka dana realisasi pembangunan akan lebih merata pada tiap-tiap daerah11

Tabel 1 Jumlah Penduduk Indonesia

Pulau

Jumlah Penduduk (ribu jiwa)

Kepadatan Penduduk (persen)

Luas Wilayah (km2)

Komposisi Penduduk (jiwa/ km2)

Sumatera 50,631 21.31 480,793 105

Jawa 136,611 57.49 129,438 1,055

Kalimantan 13,788 5.80 368,162 37

Sulawesi 16,213 6.86 357,715.73 45

Maluku 2,572 1.09 78,896 33

Bali dan Nusa

Tenggara 13,075 5.53 33,824 387

Irian Jaya 3,594 1.52 416,060 9

Total 236,483 1,864,890

Sumber: BPS,2010 (diolah), diakses dari bps.go.id pada 9 September 2012

Setelah dipertegasnya pengakuan dan pelaksanaan pelimpahan otonomi daerah dengan diberlakukannya Undang–Undang RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan 25 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-Undang RI No. 33 Tahun 2000 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang menggunakan prinsip dasar yaitu fungsi pokok pelayanan publik dilaksanakan di daerah, dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada daerah.12 Pemerintah       

10

Artinya tingginya aktifitas perekonomian pada wilayah ini. Di Indonesia, wilayah yang memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi biasanya merukapan wilayah atau daerah yang dijadikan ibukota negara, pemerintah daerah Tingkat I dan Tingkat II atau wilayah dan daerah yang dekat dengan Ibukota.

11

Sjafrizal. Op, cit, hal. 119-120

12 

Widjaja, HAW: Otonomi Daerah dan daerah otonom (Jakarta: Rajawali Pers ,2009), hal. 241 dan  280 


(18)

daerah lebih tahu dan paham kebutuhan daerahnya daripada pemerintah pusat tentang daerah tersebut. Maka kebijakan desentralisasi diharapkan mampu mendekatkan pemerintah daerah dengan masyarakat, sehingga kebutuhan dari masyarakat bisa dipahami betul oleh pemerintah daerah. Harapannya, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah bisa memenuhi kebutuhan masyarakat melalui pelaksanaan pembangunan (ekonomi) untuk mencapai kesejahteraan dan mengurangi kesenjangan sebagai tujuan akhir.

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk tertinggi terdapat di Pulau Jawa dengan jumlah penduduk 136,610,590 jiwa dan 57 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah ini serta komposisi penduduk 1,055 jiwa per km2. Kemudian Pulau Bali dan Nusa Tenggara yang memiliki komposisi penduduk 387 jiwa per km2 dan 5.53 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah ini. Pulau Sumatera dihuni oleh 50.6 juta jiwa dengan komposisi penduduk 105 jiwa tiap km2 dan 21.31 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah ini. Pulau Sulawesi memiliki komposisi penduduk 45 jiwa tiap km2 dan 6.86 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah ini. Kemudian Pulau Kalimantan memilikikomposisi penduduk 37 jiwa tiap km2 dan kepadatan penduduk 6.8 persen. Pulau Maluku memiliki komposisi penduduk 33 jiwa tiap km2 dan kepadatan penduduk 1.09 persen. terakhir Pulau Irian Jaya yang hanya memiliki komposisi penduduk 9 jiwa tiap km2 dan hanya 1.52 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah ini.

Tabel 2 Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto (PDB) Provinsi di Indonesia Tahun 2010

Pulau PDRB

(juta)

Peran PDRB (%)

Jumlah Penduduk (jiwa)

Jumlah Penduduk Miskin (jiwa)

Tk

kemiskinan (%)

Sumatera 1,217 23 50,630,931 6,063,580 20

Jawa 3,072 58 3,071,788,983 17,319,830 57

Kalimantan 483 9 482,675,112 706,930 2

Sulawesi 244 5 243,834,136 2,347,080 8

Maluku 13 0 13,472,252 469,710 2

Bali dan Nusa

Tenggara 144 3 143,763,641 2,198,380 7

Irian Jaya 112 2 111,978,618 1,017,870 3 Total 5,285 100 4,118,143,673 30,123,380 Sumber: BPS (diolah), diakses dari bps.go.id pada 9 September 2012

Kepadatan penduduk dan komposisi penduduk yang tinggi di Pulau Jawa mengindikasikan tingkat aktifitas yang tinggi di pulau tersebut baik aktifitas politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain. Kepadatan penduduk yang tinggi menunjukkan besarnya daya tarik suatu wilayah, sehingga banyak penduduk tinggal dan beraktifitas pada wilayah tersebut.Kepadatan penduduk yang tinggi ini menandakan tingginya pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa dibandingkan dengan pulau lain. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa Pulau Jawa merupakan pulau yang memilki PDRB tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2010 Pulau Jawa        


(19)

menyumbang 58.12 persen (lebih dari setengah) PDRB terhadap PDB Indonesia yakni sekitar 3 milyar rupiah. Diikuti oleh Pulau Sumatera dengan penyumbang terhadap PDB 23.03 persen. Kemudian Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya dan terakhir Pulau Bali yang hanya 1.26 persen. Sedangkan jumlah penduduk miskin tertinggi juga terdapat di Pulau Jawa yaitu sekitar 17 juta jiwa dan tingkat kemiskinan 12.68 persen dari total penduduk yang tinggal di pulau ini. Kemudian Pulau Sumatera dengan jumlah penduduk miskin 50 juta jiwa, Pulau Sulawesi dan Maluku 20 juta jiwa, Pulau Nusa Tenggara dan Irian Jaya 12 juta jiwa, Pulau Kalimantan 13 juta jiwa dan terakhir Pulau Bali yang hanya 4 juta jiwa.

Gambar 1 Kondisi Perekonomian Antar Pulau di Indonesia

Sumber: BPS, 2010 (diolah), diakses dari bps.go.id pada 9 September 2012

Kondisi yang cenderung kontras (sumbangan PDB yang tinggi namun jumlah penduduk yang tinggi) diperlihatkan oleh Pulau Sumatera dan Jawa, namun kondisi yang lebih kontras ditunjukkan oleh Pulau Jawa sebagai penyumbang PDB tertinggi dan juga angka kemiskinan yang paling tinggi. Hal ini menandakan terdapatnya ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi. Williamson menyatakan bahwa jika suatu daerah memilki tingkat pertumbuhan yang tinggi maka kecenderungan terdapatnya ketimpangan semakin tinggi. Tinginya peran PDRB wilayah di Pulau Jawa, disertai dengan tingginya jumlah penduduk miskin, hal ini mengindikasikan bahwa terdapat sektor perekonomian yang memberikan benefit atau manfaat tinggi yang dikuasai oleh sedikit orang atau masyarakat. Kondisi ini mencerminkan terdapatnya ketimpangan atau disparitas karena terdapat sektor perekonomian yang hanya dikuasai oleh beberapa atau segelintir orang di Pulau Jawa.

Perumusan Masalah

Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Artinya, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tidak hanya dinikmati oleh beberapa atau segelintir orang saja, melainkan target serta pencapaian dalam

Kondisi

 

Perekonomian

 

Antar

 

Pulau

Peran PDRB (%) Tk kemiskinan (%)


(20)

pembangunan dan pertumbuhan ekonomi harus sampai kepada seluruh masyarakat tanpa terkecuali yang sesuai dengan sila ke-lima Pancasila. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hipotesis Kuznet mengenai kurva U-Terbalik, menggambarkan bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya dimana pendapatan perkapita semakin tinggi ketimpangan dan disparitas ekonomi akan semakin membaik.

Untuk mempercepat proses pertumbuhan ekonomi membutuhkan investasi pada sektor riil yang dapat diperoleh dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun dari Penanaman Modal Asing (PMA).13 Sumberdaya dan potensi yang berbeda pada tiap wilayah akan membedakan alokasi dana investasi yang diperoleh untuk mengembangkan wilayah. Pengalokasian yang berbeda ini akan berdampak kepada perbedaan kondisi infrastruktur masing-masing wilayah di Indonesia. Dengan demikian, akses dan pelayanan yang juga akan berbeda pada masyarakat di Indonesia karena perbedaan kondisi dan jumlah infrastruktur ini. Komposisi dan akses terhadap infrastruktur yang berbeda akan berdampak pada pembangunan masyarakat dan kemampuan masyarakat untuk dapat meningkatkan pendapatannya. Hal ini juga akan berdampak pada tingkat ketimpangan yang ada pada masing-masing wilayah di Indonesia.

Tabel 3 Rata-rata Jumlah Investasi Pengusaha pada Wilayah di Indonesia tahun 1991-2010

Wilayah

Jumlah Persentase Rata-rata (%)

PMA (ribu US$)

PMDN (juta Rp)

PMA PMDN

Jawa 8,945,281 14,073,262 84.15 67.09 75.62 Sumatera 1,062,329 3,714,300 9.99 17.71 13.85 Kalimantan 229,829 2,046,407 2.16 9.76 5.96 Sulawesi 126,592 757,263 1.19 3.61 2.40 Bali dan Nusa

Tenggara

169,704 247,517 1.60 1.18 1.39 Maluku dan

Irian Jaya

96,739 137,447 0.91 0.66 0.78

Total 10,630,475 20,976,197 100 100 100

Sumber: Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 1992, 1995, 1998, 2002 ,2005, 2008, 2011. BPS. Jakarta-Indonesia.

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa persentase akumulasi penanaman modal terbesar terdapat di Pulau Jawa yakni sebesar 75.62 persen yang terdiri dari 9 Miliyar US $(84.15 persen PMA) dan 14 Triliyun Rupiah (67.09 persen PMDN). Dengan demikian tiga perempat dari total penanaman modal terpusat di Pulau Jawa dan sepertiga sisanya tersebar di seluruh wilayah selain Pulau Jawa. Nilai PMA dan PMDN yang relatif rendah merupakan salah satu indikasi bahwa masyarakat di wilayah lain seperti Pulau Sumatera, Sulawesi dan Bali, Kalimantan dan Irian       

13

Teori Harold-Domar yang menekankan peran investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. baca Robinson Tarigan. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi Edisi Revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal.49 dan Budiman, Arief: Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), hal.19


(21)

Jaya memiliki kemampuan berinvestasi dan inovasi yang rendah, serta jumlah wiraswasta yang menggerakkan perekonomian wilayah setempat yang masih rendah dibandingkan dengan wilayah Pulau Jawa.14

Kemudian, berdasarkan Gambar 1 Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang paling banyak dan sumbangan PDRB yang paling tinggi diantara pulau lain yang ada di Indonesia. Namun jumlah kemiskinan di Pulau Jawa merupakan kemiskinan yang paling tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di pulau lain yang ada di Indonesia. Situasi ini menunjukkan suatu kondisi sosial yang sangat ironis dan kompleks terjadi di pulau ini. Oleh karena itu, skripsi ini akan menganalisis bagaimana kondisi kesenjangan pendapatan di Pulau Jawa dengan masa pengamatan yang berbeda, yakni sebelum dan setelah diterapkannya sistem otonomi daerah di Indonesia. Kemudian, skripsi ini akan memberikan gambaran tentang solusi untuk meminimalkan efek ketimpangan dengan mengoptimalkan sektor basis pada masing-masing wilayah atau provinsi di Pulau Jawa.

Tujuan Penelitian

Pada analisis sebelumnya menunjukkan bahwa Pulau Jawa memiliki peran PDRB tertinggi terhadap PDB Indonesia. Namun sebaliknya kondisi kemiskinan tertinggi juga terjadi di pulau ini. Sehingga apakah dengan kondisi pembangunan yang lebih baik di Pulau Jawa, memberikan kesejahteraan yang merata kepada seluruh penduduk yang ada di wilayah pulau ini. Apakah seluruh penduduk dapat merasakan manfaat dari pembangunan? Kemudian bagaimana peran penduduk pada masing provinsi terhadap komposisi PDRB wilayah masing-masing.

Dengan memperhatikan rumusan permasalahan diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kesenjangan antarwilayah provinsi di Pulau Jawa sebelum dan setelah Otonomi daerah

2. Mengidentifikasi pertumbuhan sektor perekonomian pada provinsi di Pulau Jawa.

3. Mengidentifikasi sektor ekonomi yang menjadi sektor basis di masing-masing provinsi di Pulau Jawa untuk memberikan gambaran bagaimana meningkatkan perekonomian pada masing-masing wilayah untuk dapat mengurangi tingkat ketimpangan antarwilayah di Pulau Jawa.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi keilmuan ekonomi regional yaitu dapat mengembangkan wawasan

dan pengetahuan mengenai ekonomi regional.

2. Pemerintah provinsi atau pusat dalam merencanakan program pembanguanan dan memutuskan kebijakan di era otonomi daerah

3. Peneliti dan akademisi sebagai referensi untuk penelitian mengenai permasalahan ketimpangan, kemiskinan, dan mengidentifikasi kesejahteraan di Pulau Jawa.

      

14

Pemikiran tentang hubungan investasi modal dari dalam negeri disampaikan dalam buku H. Djoko Sudantoko. dan Muliawan Hamdani: Dasar-dasar Pengantar Ekonomi Pembangunan (Jakarta: PT.PP.Mardi Mulyo), hal.90


(22)

TINJAUAN PUSTAKA Pendahuluan

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan prioritas utama yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara untuk menjaga keberlangsungan dan ketahanan negara. Setiap warga hendaknya memiliki peran yang sama dalam menghasilkan dan menikmati pendapatan nasional. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta seharusnya bersifat multidimensional kepada seluruh sektor. Kondisi geografi Indonesia yang beragam mengakibatkan potensi alam yang berbeda pada tiap-tiap daerah. Oleh karena itu jika pemerintah hanya memusatkan kepada beberapa sektor utama, tentu sektor lain yang secara ekonomi tidak terlalu menguntungkan akan semakin tertinggal, dan masyarakat yang menggantungkan perekonomian pada sektor tersebut juga akan semakin tertinggal.

Proses pertumbuhan ekonomi merupakan disequilibration process.15 Artinya, proses pertumbuhan yang tidak sama dimana terdapat beberapa sektor bertumbuh dengan lebih cepat dari sektor-sektor lainnya. Sehingga, memang tidak dapat dihindarkan bahwa pembagian pendapatan pada awal proses ekonomi bertambah buruk, artinya terdapat ketimpangan pemerataan pendapatan. Beberapa wilayah akan memilki pendapatan yang lebih tinggi daripada pendapatan wilayah lainnya. Kebijakan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan pada beberapa sektor utama diwilayah tertentu yang dapat meningkatkan pendapatan nasional lebih tinggi daripada sektor lain memiliki harapan dapat memberikan efek menetes kebawah (trickle down effect). Sehingga, sektor yang berkembang terlebih dahulu akan memberi pengaruh positif terhadap perkembangan sektor lainnya.

Pendapatan perkapita tidak dapat dijadikan patokan sebagai indikator tingkat kesejahteraan penduduk karena hanya menggambarkan kondisi perekonomian masyarakat secara kuantitatif. Terdapat faktor non-ekonomi lain yang mempengaruhi tingkat mempengaruhi tingkat kesejahteraan diantaranya adat istiadat, keadaan iklim dan alam sekitar, serta kebebasan bertindak dan berpendapat.16 Meskipun demikian, target pemerintah pada awal pembangunan ekonomi lebih berorientasi pada pertumbuhan17, bukan pada pemerataan.18 Hal ini dilakukan oleh pemerintah dengan anggapan bahwa akan terdapat efek menetes kebawah (trickle down effect) dari sektor yang sedang dikembangkan terhadap sektor-sektor lainnya.

      

15

Wie, Thee Kian: Pemerataan Kemiskinan Ketimpangan- Beberapa Pemikiran Tentang Pertumbuhan Ekonomi. (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981), hal.53

16

Sukirno, Sadono: Ekonomi Pembangunan-Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal.56

17

Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu erekonomian dalam suatu tahun tertentu dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ibid, hal. 9

18

Maksudnya, indikator pendapatan perkapita tidak dapat menunjukkan kondisi kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya. Bisa saja pendapatan di suatu negara tinggi, namun sebagian besar (misalkan lebih dari 50%) dari pendapatan nasional dinikmati oleh sebagian kecil (kurang dari 50%) penduduk. Sehinggal hal ini akan menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan. Artinya semakin timpang distribusi pendapatan, maka semakin tidak berarti tingkat pendapatan perkapita yang tinggi terhadap kesejahteraan. Lihat Tulus Tambunan: Perekonomian Indonesia-Beberapa Masalah Penting. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal. 40


(23)

Namun, sejak pada awal pemerintahaan Orde Baru tahun 1969 (Pelita I pada 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974), ternyata efek menetes kebawah berlangsung sangat lambat dan nyaris tidak berpengaruh. Akibatnya, pada tahun 1980 sampai pada saat terjadinya krisis pada tahun 1997, Indonesia menikmati laju pertumbuhan rata-rata pertahun yang tinggi, namun tingkat kesenjangan pembagian pendapatan nasional juga semakin besar dan jumlah penduduk miskin juga makin banyak 19. Ketidaksesuaian harapan pemerintah terhadap efek merembes kebawah ini cenderung semakin dirasakan sampai pada tahun 1970-an. Sehingga sejak masa Pelita II ( 1 April 1974-31 Maret 1979) pemerintah Orde Baru lebih menekankan kepada pemerataan hasil pembangunan dan pemerataan kesempatan kerja untuk seluruh masyarakat.20 Pada Pelita II ini pemerintah menitik beratkan pembangunan pada kemajuan sektor pertanian dan Industri Pengolahan bahan mentah menjadi bahan baku.

Kemudian, pada Pelita III( 1 April 1974-31 Maret 1984) pemerintah memfokuskan kepada Trilogi Pembangunan (Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis). Kemudian pada pada masa Pelita IV (1 April 1984- 31 Maret 1989) pemerintah berupaya untuk mendorong perekonomian yang lebih merata serta memperluas lapangan kerja. Pada masa Pelita IV ini pemerintah berhasil melaksanakan program Swasembada Beras dan mendapatkan penghargaan dari FAO (Food and Agricultural Organization) atau Organisasi Pangan dan Pertanian Sedunia.21 Pembangunan dalam Pelita V (1 April 1989-31 Maret 1994) mencakup upaya-upaya yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan memperluas penganekaragaman hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan (swasembada pangan) dan industri dalam negeri yang dapat meningkatkan komoditas ekspor, sehingga terjadi penyerapan tenaga kerja yang tinggi.22 Namun ketika memasuki pembangunan tahap pertama pada PelitaVI terjadi Krisis ekonomi pada tahun 1997 yang mengakibatkan terjadinya gejolak perekonomian dan politik di Indonesia yang mengakibatkan mundurnya Presiden Suharto pada tanggal 21 Mei 1998.23

      

19

Tulus Tambunan, Op cit, hal. 83. Pada Pelita I investasi pemerintah lebih ditanamkan pada bidang usaha yang memberikan dampak paling besar, diantaranya pertanian, infrastruktur ekonomi dan perluasan industri ekspor. Baca Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004. (Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi), hal. 582

20

Redaksi yang disampaikan oleh Redaksi Prisma: Pembagian Pendapatan Indonesia. Sketsa Selayang Pandang. No.1 Februari 1976, hal. 3

21

Sejarah Pembangunan Pertanian Indonesia.

http://uphieflutterby.wordpress.com/2011/09/27/sejarah-perkembangan-pembangunan-pertanian-di-indonesia/

22

Peningkatan produksi pertanian dilakukan melalui program diversifikasi, intensifikasi, ektensifikasi, rehabilitasi, deregulasi, debirorasi dan kebijakan harga serta sarana prosuksi pertanian. kebijkan untuk meningkatkan hasil industry diantaranya pengembangan industri berorientasi ekspor, pendalaman dan penguatan struktur Industri serta penyebaran dan penguasaan teknologi. Baca B.S. Mujlana: Perencanaan Pembangunan Nasional. Proses Penyusunan Rencana pembangunan nasional dengan Fokus Repelita V (Depok: UI Press, 1996), hal. 33

23

Perkembagan Politik dan Ekonomi Pemerintah Orde Baru,

http://marharjono.blogdetik.com/2012/09/18/perkembangan-politik-dan-ekonomi-pemerintahan-orde-baru/


(24)

Pembangunan Ekonomi

Djojohadikusumo mendefinisikan pembanguanan sebagai berikut:

Proses pembangunan ekonomi adalah suatu proses pertumbuhan di lapangan ekonomi yang didalamnya mengandung unsur - unsur kekuatan sendiri dan memungkinkan untuk investasi yang lebih besar untuk meningkatkan produktivitas. Investasi ini dapat memberikan dampak kepada peningkatan produktivitas kerja.Pertumbuhan ekonomi bertumpu pada proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Sedangkan pembangunan ekonomi mengandung pengertian yang lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh24.

Menurut teori aliran Klasik yang didukung oleh Adam Smith, David Ricardo dan Robert Malthus yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh adanya akumulasi modal, peran serta pemilik modal, buruh dan tuan tanah. 25 Dalam teori aliran Klasik lebih mengedepankan peran dan ketertarikan pemilik modal dalam menginvestasikan dana yang dimiliki untuk pertumbuhan. Pemilik modal memiliki peran yang penting, dalam inovasi dan pengembangan teknologi. Namun, teori yang dikemukan oleh aliran klasik ini dikritik oleh Keynes yang menyatakan bahwa perlu adanya peran pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi, peran ini berupa kebijkan fiskal, moneter dan pengawasan langsung.26 Aliran klasik dan Keynes sepakat untuk meberikan efisiensi kepada pasar untuk mengelola perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, namun perbedaannya terletak pada komposisi peran pemerintah dalam mengatur regulasi pasar.

Marx dalam teorinya yang lebih dikenal dengan Marxisme-Komunisme pembangunan yang selaras akan terwujud dengan adanya kesetaraan dalam kepemilikan bersama alat produksi dan negara berperan dalam regulasi berperan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dalam masyarakat.27 Teori Marxisme-Komunisme bersifat kolektivisme, dimana kebutuhan dibagikan berdasarkan kebutuhan masing-masing, lebih mengutamakan unsur kooperatif untuk bersama, serta campur tangan pemerintah yang kuat dalam regulasi perekonomian.28 Besarnya peran pemerintah akan berpengaruh kepada kemampuan masyarakat untuk berinovasi, sehingga masyarakat cenderung lebih kaku untuk maju dan berinovasi. Namun, bagi negara yang menganut sistem Komunisme, negara akan menjamin kesejahteraan yang merata bagi seluruh masyarakat.

Schumpter menyatakan bahwa dalam pertumbuhan ekonomi perlu adanya peran wiraswasta.29 Adanya peran wiraswasta akan memberikan inovasi serta mampu untuk menjadi penggerak dalam perekonomian. Hal yang sama terjadi pada negara Taiwan yang mengalami pengurangan ketimpangan selama proses pertumbuhan. Pada saat tahapan negara berkembang, dimana sektor perekonomian di negara Taiwan banyak digerakkan oleh sektor industri rumah       

24

Djojohadikusumo, Sumitro. Op,cit, hal. 39-45

25

Sudantoko,Djoko. Op, cit, hal.12-15.

26

Tarigan, Robinson: Ekonomi Regional.Teori dan Aplikasi Edisi Revisi. (Jakarta : Bumi Aksara), hal. 48

27

Sudantoko, Djoko. Op,cit, hal. 17.

28

Damanhuri, Didin. Op, cit, hal.43

29


(25)

tangga. Roda perekonomian yang digerakkan dari kekuatan sendiri serta terdapat peran seluruh masyarakat dan rumah tangga dalam pergerakan perekonomian di Taiwan akan menarik pihak investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya pada sektor yang sedang berkembang di negara ini. Perkembangan perekonomian Taiwan pada tahap negara berkembang ini sebagai salah satu bukti bahwa tidak selalu negara berkembang mengalami kemerosotan dalam pembagian pendapatan pada masa awal pembangunan.30

Baran sebagai penggagas teori ketergantungan menjelaskan tentang hubungan ketergatungan negara berkembang (pheriphere) terhadap negara maju (core).31 Dalam teori ketergantungan negara maju akan mendominasi negara berkembang dalam bentuk eksploitasi. Artinya negara berkembang akan maju dengan pengawasan yang dilakukan oleh negara maju. Menurut Frank terdapat tiga komponen utama dalam teori ketergantungan yakni modal asing, pemerintah lokal dan kaum borjuasi.32 Adanya kerjasama internal antara pihak pemodal dengan pemerintah lokal dan pemerintah lokal dengan kaum borjuasi33 akan memperparah situasi perekonomian di negara berkembang. Kaum pemodal yang berasal dari negara maju akan berupaya untuk mendapatkan keuntungan dari selisih surplus yang diperoleh dari penjualan produk yang diperoleh dari negara berkembang. Dalam teori ketergantungan ini Baran menyatakan bahwa negara berkembang akan semakin maju jika berhasil menghentikan ketergantungannya dari negara maju. Menurut Rostow pembangunan ekonomi atau proses transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern merupakan proses yang multidimensional. Pembangunan ekonomi bukan hanya perubahan struktur ekonomi suatu negara yang ditunjukkan oleh menurunnya peran sektor pertanian dan meningkatnya sektor industri saja.34

Banyak ahli yang menjelaskan teori tentang tahapan pembangunan yang dialami oleh suatu negara, namun yang umum digunakan dan mencakup kepada seluruh aspek kehidupan adalah teori yang disampaikan oleh Rostow.35 Terdapat lima tahapan pembangunan. Pertama, Masyarakat tradisional (Traditional economy stage). Masyarakat tradisional masih menggunakan cara primitif dan masih rendahnya inovasi pada teknologi dan masih diwarnai oleh tradisi dalam melakukan produksi, serta kegiatan produksi yang dominan dilakukan berada pada sektor pertanian. Hubungan kekeluargaan masih sangat erat, serta tuan tanah memegang peran yang penting dalam kegiatan politik dan pemerintahan.       

30

Penelitian ini dilakukan oleh Ahluwalia pada tahun 1976. Serta penelitian yang dilakuakan oleh Harry Oshima tentang pertumbuhan Asia setelah Perang Dunia yang menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi negara Asia Timur yang menunjukkan keberhasilan peningkatan

pemerataan dalam proses pembangunan yang pesat. Baca Thee Kian Wie: Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan: Beberapa Pendekatan Alternatif (Jakarta: LP3ES), hal.5 dan hal. 32

31

Ibid, hal. 27

32

Budiman, Arief: Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), hal. 67

33

Kaum borjuasi merupakan golongan ekonomi kelas menengah yang memiliki peran modal dalam perekonomian. Dengan modal yang dimiliki kaum ini memiliki kekuasaan dalam menentukan keputusan baik dalam ekonomi, sosial dan politik tang mencakupi kegiatan dan wilayah dimana modal kaum ini memiliki peran dan pengaruh.

34

Rostow dalam Didin S. Damanhuri. Op. cit., hal. 31

35

Teori tentang tahapan pembangunan juga disampaikan oleh Adam Smith, Frederick List, Bruno Hilderbrand dan Karl Butcher. Baca H. Djoko Sudantoko dan Muliawan Hamdani: Dasar-dasar Pengantar Ekonomi Pembangunan (Jakarta: PT.PP Mardi Mulyo)


(26)

Kedua,tahapan prasyarat lepas landas (Precondition for take off stage). Pada tahapan ini merupakan proses peralihan dari masyarakat agraris menuju industri. Masyarakat mulai mempersiapkan diri untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dengan kekuatan sendiri melalui perombakan sistem tradisonal. Namun dalam perombakan ini masyarakat tidak meninggalkan pertanian, karena bagaimanapun juga pertanian memegang peranan yang penting demi kelangsungan hidup masyarakat. Pada tahap ini pemerintah memberikan perhatian yang besar terhadap pembangunan infrastruktur.36

Ketiga, tahapan tinggal landas (Take off stage). Pada tahapan ini pendapatan perkapita semakin tinggi dan terjadinya pertumbuhan ekonomi serta masyarakat sudah dapat menikmati perkembangan yang pesat. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah meningkatnya investasi dalam negeri serta semakin berkembangnya sektor perekonomian yang dapat berimbas kepada sektor-sektor lain. Keempat, tahap menuju kedewasaan (Drive to maturity stage). Masyarakat telah mampu untuk menerapkan teknologi yang lebih canggih untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki secara efektif. Dengan adanya teknologi ini maka akan muncul sektor unggulan baru yang menggantikan sektor lama yang dinilai tidak terlalu produktif lagi.37Kelima, tahap konsumsi tinggi (High consumption stage). Pada tahapan ini masyarakat akan mengutamakan kepada proses konsumsi, bukan kepada proses produksi lagi. Seiring dengan semakin meningkatnya keinginan untuk konsumsi sedangkan sumberdaya yang dimiliki di wilayah atau negara sendiri tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan. Maka, dari sini akan timbul upaya untuk menguasai wilayah atau negara lain untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi, yang merupakan cikal-bakal terjadinya imperialisme atau penjajahan.38

Pertumbuhan Ekonomi

Sukirno mendefinisikan Pertumbuhan Ekonomi sebagai berikut:

Pertumbuhan Ekonomi merupakan ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.39

Pertumbuhan ekonomi harus berasal dari kalangan internal perekonomian itu sendiri. 40 Perkembangan tersebut dinyatakan dalam bentuk persentase perubahan pendapatan nasional pada tahun tertentu dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi suatu negara pada suatu tahun tidak hanya dihitung berdasarkan kenaikan produksi barang dan jasa yang berlaku dari tahun ke tahun, tapi juga diukur perubahan lain yang berlaku dalam berbagai aspek kegiatan ekonomi seperti perkembangan pendidikan, teknologi, peningkatan pelayanan kesehatan, dan peningkatan jumlah infrastruktur yang memadai demi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat41.

Perhatian utama negara berkembang terfokus pada dilema antara pertumbuhan dan pemerataan. Pembangunan ekonomi mensyaratkan PDB yang       

36

Ibid, hal. 32-34

37

Ibid, hal. 34-36

38

Ibid, hal. 37

39

Sukirno, Sadono. Op, cit, hal. 9

40

Tarigan, Robinson. Op, cit,hal.46

41


(27)

lebih tinggi dan juga pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan suatu pilihan yang harus diambil. Hal yang menjadi perhatian dalam pertumbuhan PDB adalah kadar partisipasi masyarakat dalam PDB. Partisipasi yang relatif sama menunjukkan terdapatnya pemerataan PDB dalam masyarakat. Karena seluruh lapisan masyarakat dapat memberikan sumbangan kepada PDB dengan kapasitas yang hampir sama, dengan demikian mereka juga dapat menikmati PDB dengan jumlah yang relatif sama. Namun, yang menjadi masalah adalah bukan hanya soal bagaimana caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siapa melaksanakan dan menikmati hasilnya. Dengan demikian pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur berdasarkan peningkatan GNP secara keseluruhan, tetapi harus memperhatikan distribusi pendapatan telah menyebar ke segenap penduduk/lapisan mayarakat, serta siapa yang telah menikmati hasil-hasilnya.

Beberapa teori yang menjelaskan tentang pertumbuhan perekonomian diantaranya: Pertama teori ekonomi klasik yang disampaikan oleh Adam Smith yang menyatakan bahwa perekonomian akan bertumbuh dengan sendirinya demi memenuhi kebutuhan berdasarkan efisiensi yang terjadi di pasar. Pemerintah hanya berperan dalam memfasilitasi kelancaran dalam transaksi yang terjadi di pasar. Kemudian pendapat Adam Smith ini mendapat tanggapan dari Keynes bahwa proses yang terjadi di pasar tidak dapat diserahkan semuanya kepada pasar (swasta), namun terdapat peran pemerintah untuk memegang sumberdaya dan fasilitas yang vital yang memiliki kemungkinan untuk dimonopoli dan dikuasai swasta karena dinilai akan merugikan masyarakat.42Kedua, Evsey Domar dan Roy Harold dengan teori yang dikenal dengan teori Harold-Domar yang melengkapi teori yang disampaikan oleh Keynes namun untuk jangka panjang, menyatakan bahwa mekanisme pasar pasar dengan campur tangan pemerintah diperlukan peran tabungan dan investasi.43 Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan ketersediaan investasi modal.44 Oleh karena itu untuk mempercepat proses pertumbuhan maka diperlukan modal investasi baik dari dalam negeri maupun asing (pinjaman luar negeri).

Ketiga, teori Sollow yang dikemukanan oleh Robert M. Sollow yang merupakan pengembangan dari teori Harold-Domar menambahkan unsur pengembagan teknologi untuk mempercepat proses pertumbuhan serta unsuk

capital (modal) dan labour (tenaga kerja).45Menurut teori Harold-Domar untuk mencapai pertumbuhan ekonomi hingga tingkat tertentu lebih difokuskan kepada peningkatan investasi. Untuk itu pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan COR (Capital Output Ratio). COR merupakan rasio persentase investasi dari pendapatan nasional/daerah terhadap pertumbuhan ekonomi.46

Pada teori Harold-Domar dana investasi bersumber dari tabungan nasional. Namun, dengan tingkat tabungan yang terbatas maka Indonesia menggantungkan diri pada pinjaman luar negeri dan penanaman modal asing.47 Peminjaman luar       

42

Tarigan, Robinson. Op, cit, hal.48

43 Ibid, hal.50

44

Budiman, Arief . Op, cit, hal.19

45

Tarigan, Robinson. Op, cit, hal.51

46

Jika nilai COR adalah 3 maka untuk meningkatkan pendapatan nasional 1 persen, maka investasi sebesar 3 persen dari Pendapatan Nasional, artinya semakin tinggi nilai COR maka akan dibutuhkan semakin banyak Investasi untuk meningkatkan Pendapatan Nasional. Baca Wijaya Adi. Op cit. hal. 37

47


(28)

negri yang tidak dikelola dengan baik akan menyeret negara berkembang seperti Indonesia dalam jebakan utang luar (debt trap).48Debt trap cenderung untuk memiskinkan suatu negara. Karena dana utang yang diberikan sebagian harus dikembalikan kepada peminjam dan dalam pengembaliannya terdapat bunga yang harus dibayarkan. Kondisi ini makin diperparah apabila utang yang akan dibayarkan dalam jangka panjang digunakan untuk pembangunan ekonomi dalam jangka pendek.

Dalam proses produksi, modal dan tenaga kerja dapat saling mengsubtitusi. Sehingga, negara yang memiliki sumberdaya manusia yang banyak akan menurunkan tingkat upah. Karena pihak pemodal dapat mengganti tenaga kerja yang dinilai mahal dengan mendatangkan atau membeli alat-alat produksi seperti mesin produksi dan lain-lain. Dengan demikian, alat produksi yang lebih efisien akan menggantikan pekerjaan yang dapat dilakukan dengan tenaga kerja manusia. Oleh karena itu, kerugian bagi negara berkembang adalah rendahnya tingkat upah akibat banyaknya tenaga kerja manusia yang tersedia, sehingga posisi tawar (bargaining position) tenaga kerja menjadi turun. Keempat,

teori Pertumbuhan Jalur Cepat yang disampaikan oleh Turnpikeyang beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi akan lebih cepat jika mengembangkan sektor yang memiliki potensi dan daya saing yang tinggi.49 Perkembangan pada salah satu sektor yang memilki daya saing tinggi ini diharapkan dapat memberikan dampak

Spread effect (efek menyebar)50 kepada sektor lainnya.

Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Berdasarkan UU No. 22 tentang Pemerintahan Daerah Tahun 1999 pengertian Otonomi daerah dan desentralisasi disampaikan sebagai berikut:

Otonomi daerah adalah kewenanangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.51

Desentralisasi dan sentralisasi merupakan cara untuk melakukan penyesuaian tata kelola dengan pendistribusian fungsi pengambilan keputusan dan       

48

Damanhuri, Didin. Op. cit, hal.80

49

Turnpike dalam Robinson Tarigan. Op, cit, hal.54-55

50

Semakin meningkat perkembangan sektor berdaya saing tinggi (basis), maka akan meningkatkan arus pendapatan kepada daerah tersebut. Peningkatan pendapatan ini akan meningkatkan permintaan konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa yang salah satunya termasuk pada sektor yang berdaya saing rendah (non-basis). Kemudian peningkatan permintaan komoditas basis ini juga akan berdampak pada sektor non-basis yang menjadi input dalam produksi sektor basis. Sebagai contoh suatu wilayah hanya memilki satu sektor basis yaitu industri tekstil. Maka jika terjadi peningkatan permintaan sektor industri tekstil, hal ini juga akan

berdampak pada peningkatan permintaan benang sebagai salah satu input dalam produksi tekstil. Benang merupakan komoditas hasil dari sektor pertanian. Maka dengan meningkatnya permintaan pada sektor tekstil (basis) akan meningkatkan permintaan pada sektor pertanian kapas (non-basis)Dengan demikian meningkatnya pendapatan pada sektor basis akan memberikan spread effect (dampak menyebar) yang positif terhadap sektor lainnya(non-basis). Lihat Priyarsono, D,S, dkk: Ekonomi Regional (Jakarta:Penerbit Universitas Terbuka,2007) hal.6.5

51

Wijdaja, HAW: Otonomi Daerah dan Daerah Otonomi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004) hal.243


(29)

kontrol. Desentralisasi mencakup pada kewenangan daerah untuk mengelola kepentingan wilayah/daerah pada bidang ekonomi, politik daerah, sosial, budaya, dan ideologi sesuai dengan tradisi adat istiadat setempat. Namun, desentralisasi tidak mencakup pada bidang-bidang tertentu seperti politik luar negeri, keamanan, peradilan, moneter fiskal dan agama. Bidang-bidang tertentu ini masih menjadi kewenangan pemerintah pusat, meskipun negara tersebut telah melaksanakan kebijakan otonomi daerah.

Otonomi daerah memberikan wewenang untuk mengelola dan melaksanakan kebijakan pembangunan kepada pemerintah daerah. Desentralisasi bertujuan agar kebijakan pemerintah tepat sasaran dalam arti sesuai dengan kondisi wilayah dan masyarakat setempat.52 Pada masa sebelum desentralisasi, pemerintah pusat memiliki wewenang penuh untuk menentukan kebijakan pembangunan pada setiap wilayah di Indonesia. Inefisiensi dalam pemerintahan terjadi karena pemerintah pusat terlalu banyak menggunakan tenaga dan waktu untuk mengurusi kepentingan domestik yang seharusnya dikelola oleh pemerintah setempat/daerah. Sehingga, pemerintah pusat lengah dalam menganalisa situasi yang terjadi di luar negeri yang sedikit banyak tentu akan berpengaruh terhadap kestabilan pemerintahan Indonesia.53

Pada masa sentralisasi, pejabat pemerintah daerah ditunjuk oleh pemerintah pusat dan bukan berdasarkan aspirasi dari masyarakat daerah yang bersangkutan. Hal ini akan memberikan peluang terjadinya Korupsi dan Nepotisme, karena pemerintah daerah yang ditunjuk merupakan orang-orang atau badan yang se-faham dengan orang-orang yang menjabat di pemerintah pusat.54 Dengan demikian, peran masyarakat dalam menentukan pemimpin daerah mereka juga semakin kecil. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat yang berkaitan dengan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya di daearah sendiri tidak tersalurkan. Berlakunya UU Otonomi Daerah diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada masyarakat berperan dalam menentukan pemimpin mereka. Pemerintahan daerah yang dipilih merupakan orang-orang atau lembaga yang benar-benar faham dengan situasi yang terjadi di masing-masing wilayah. Masyarakat juga lebih mengenal pada pejabat daerah yang memimpin mereka karena berasal dari kalangan masyarakat sendiri. Pemimpin dan pejabat daerah yang dipilih tentu       

52

Makalah Riswandha Imawan yang dirangkum dalam buku: Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah (Jakarta: LIPI Press) editor: Syamsudin Haris hal. 41

53

Ketika Thailand dilanda Krisis moneter pada Juli 1997 pemerintah Indonesia optimis kejadian di Thailand tidak akan terjadi di Indonesia karena adanya cadangan devisa. Namun pada bulan Agustus 1997 krisis moneter melanda Indonesia justru keadaan Indonesia lebih parah dengan nilai tukar merosot hingga 80% pada Mei 1998. Hal ini disebabkan pemerintah gagal dalam memahami dan mengantisipasi gejala krisis ekonomi dan keuangan global. Baca Syamsudin Haris:

Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah (Jakarta: LIPI Press) hal.7

54

Pemberontakan GAM di D.I Aceh pada tahun 1989 disebabkan pembagian hasil tambang gas alam cair dinilai tidak adil terhadap wilayah lokal. Aceh hanya memperoleh sedikit dari hasil gas alam cair yang diambil dari wilayahnya. Salah satu yang memicu pembebasan Timor-timur adalah terjadinya eksploitasi sumberdaya setempat (kopi, kayu cendana dan marmer) oleh tokoh senior ABRI. Kemudian pemberontakan anti Cina di Surabaya dan Medan disebabkan karena rendahnya upah Minimum yang ditetapkan Pemerintah. Dalam penetapan upah dicurigai terdapat

persekongkolan antara pemerintah dengan “cukong” atau pengusaha Cina. Baca M.C. Ricklefts: Sejarah Indoesia Modern 1200-2004(Jakarta: PT Ikrar Mandisiabadi) hal.626-640


(30)

lebih tahu dan mengerti kebutuhan daerah yang mereka pimpin. Dengan demikian, tingkat partisipasi dan akuntabilitas masyarakat daerah setempat dalam pemerintahan akan semakin tinggi.

Kebijakan pembangunan perekonomian daerah pada setiap wilayah tentu berbeda-beda. Kebijakan ini diserahkan kepada pemerintah setempat berdasarkan aspirasi dan kebutuhan dari masyarakat yang mereka pimpin. Diharapkan kreativitas masyarakat dalam meningkatkan pendapatan akan semakin meningkat, karena semakin mudahnya birokrasi dan ijin usaha. Masyarakat akan memaksimalkan potensi perekonomian daerah tergantung pada kekayaan dan potensi yang dapat dikembangkan dan dikelola masing-masing wilayah. Dengan demikian, masyarakat dituntut untuk bisa dan terampil dalam mengembangkan peluang dalam meningkatkan PDRB perkapita masing-masing daerah.

Namun, dengan berlakunya undang-undang otonomi daerah membatasi kemampuan pemerintah pusat untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di daerah. Kemampuan tiap-tiap pemerintah daerah berbeda-beda. Beberapa daerah memiliki pemimpin daerah yang berbakat, namun ada beberapa daerah yang memiliki angota di lembaga pemerintahan yang kriminal dan terlibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme(KKN).55 Minimnya profesionalitas dalam mengelola daerah juga disebabkan oleh timbulnya nilai Promodialisme dan Etnosentris pada kalangan masyarakat daerah masing-masing. Kedua paham ini berupaya untuk merekrut Putra Asli Daerah (PAD) dalam perekrutan anggota lembaga pemerintah daerah. Termasuk kepala daerah dan wakil kepala daerah yang harus berasal dari Putra Asli Daerah yang bersangkutan. Padahal, dalam UU Otonomi Daerah No.22 Tahun 1999 hanya menentukan bahwa Kepala/Wakil Kepala daerah mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di wilayah tersebut. Namun dalam prakteknya justru berbeda dengan ketentuan UU Otonomi Daerah, sehingga Kepala Daerah beberapa provinsi yang tidak berasal dari putra daerah diganti dengan Kepala Daerah baru yang berasal dari wilayah yang bersangkutan.56

Ketimpangan

Salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan di negara yang sedang berkembang adalah terdapatnya ketergantungan teknologi dari negara berkembang terhadap negara maju. Menurut teori Arthur Lewis pertumbuhan terjadi karena adanya perubahan struktural, artinya tanpa teknologi maka marginal productivity of labour (MPL) sektor pertanian subsistem adalah nol57. Negara Indonesia sedang mengalami transformasi dari sektor tradisional menuju sektor industri yang lebih modern. Tentu hal ini akan mendorong Indonesia untuk mendatangkan teknologi yang lebih maju untuk mendukung kegiatan industrialisasi yang. Penggunaan teknologi maju pada sektor modern di negara berkembang seperti di Indonesia, kadang tidak dapat dihindarkan jika memang lebih efisien daripada teknologi lain. Namun, penentuan teknologi yang akan digunakan sangat       

55

Catatan pada tahun 2004 menunjukkan beberapa DPRD melakukan praktek korupsi anggaran Daerah .Baca M.C. Ricklefts: Sejarah Indoesia Modern 1200-2004(Jakarta: PT Ikrar

Mandisiabadi) hal.676

56

Makalah Djohermansyah Djohan yang dirangkum dalam buku: Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah (Jakarta: LIPI Press) editor: Syamsudin Haris hal. 211

57

Adi, Wijaya: Kajian Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah Indonesia (Jakarta: PEP-LIPI). hal.21


(31)

diperlukan pendekatan selektif yang menghindarkan penggunaan teknologi maju secara luas tanpa pertimbangan mengenai keuntungan dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat58. Negara maju hanya melakukan transfer teknologi, namun tidak melakukan transfer pengembangan teknologi.

Pada negara yang sedang berkembang fakta yang terjadi yakni teknologi modern yang lebih efisien akan mampu memberikan gaji atau upah yang lebih tinggi kepada karyawan, namun dengan jumlah pekerja/karyawan yang dibatasi karena adanya keterbatasan modal dalam investasi59. Dengan demikian, secara tidak langsung hal ini akan menarik pekerja yang pada awalnya bekerja di sektor tradisonal untuk bekerja di sektor modern, artinya sektor tradisonal cenderung mulai ditinggalkan. Dengan adanya pembatasan pekerja, tentu akan terjadi pengangguran pada karyawan/pekerja yang tidak diterima perusahaan modern. Sehingga, hal ini akan menimbulkan ketimpangan pendapatan antara pekerja di sektor modern, pekerja sektor tradisional dan pengangguran.

Penggunaan teknologi pada proses produksi akan mengurangi penggunaan tenaga kerja manusia dalam produksi barang. Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Friedman bahwa faktor produksi terdiri dari modal dan tenaga kerja. Surplus yang diperoleh perusahaan akan meningkatkan kesejahteraan karyawan jika keuntungan ini disalurkan untuk kesejahteraan karyawan, namun bagaimana jika pemilik modal justru mendatangkan mesin atau faktor produksi lain yang dapat meningkatkan efisiensi perusahaan, tentu efek positif dari surplus dimana karyawan juga berberan dalam menghasilkan surplus perusahaan bukan disalurkan kepada kesejahteraan karyawan. Sedangkan pertumbuhan ekonomi tanpa diikuti oleh pertambahan kesempatan kerja akan menimbulkan ketimpangan dalam pembagian pendapatan, yang selanjutnya akan menciptakan kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kemiskinan60

Pemusatan pada beberapa sektor yang menggunakan teknologi maju akan mengurangi perhatian pemerintah kepada pembangunan sektor yang bersifat padat karya. Sehingga terdapat beberapa golongan yang dapat menikmati pendapatan nasional yang lebih tinggi (sektor utama) daripada golongan yang lainnya. Sedangkan untuk dapat mencapai tingkat pemerataan yang tinggi seluruh penduduk memilki peran yang sama dan kesetaraan peran terhadap pendapatan nasional. Akibatnya akan menimbulkan kemiskinan absolut yang semakin parah pada beberapa golongan. Kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar yang terdiri dari kebutuhan dibidang kesehatan,gizi, pendidikan dan pemukiman61.

Pembangunan ekonomi bersifat disequiibrating process, yaitu proses dimana beberapa sektor akan bertumbuh lebih cepat daripada sektor perekonomian lainnya.62 Sehingga pada awal proses pembangunan akan terdapat ketimpangan yang tinggi antara daerah yang memiliki basis sektor yang berbeda.       

58

Wie, Thee Kian. Op. cit, hal. 63

59

Namun hal ini berbeda jika kegiatan ekonomi merupakan ekonomi sumberdaya yang

memberdayakan masyarakat serta potensi alam yang ada di kalangan masyarakat sendiri. Berbeda dengan ekonomi yang bersumber dari investasi pemodal. Dimana jumlah tenaga kerja dibatasi oleh kemampuan modal yang tersedia, akibatnya terdapat penganggur yang tidak terserap karena terdapat keterbatasan dan pembatasan modal dari investor.

60

Tambunan, Tulus. Op cit, hal.41

61

Ibid,hal. 230

62


(32)

Faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pada awal pembangunan adalah anugerah awal (initial endowment) yang tidak setara antara pelaku ekonomi. Anugerah awal ini berupa sumberdaya alam, modal, keahlian dan keterampilan, bakat atau potensi, sarana dan prasarana63. Kondisi seperti ini akan membedakan kemampuan suatu daerah baik dalam mengelola sumberdaya (sumberdaya manusia dan sumberdaya alam) serta pengalokasian modal untuk pembagunan. Keahlian, bakat dan tingkat intelektual yang berbeda dari masyarakat yang tinggal di daerah berbeda sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan informasi untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang berperan dalam pembangunan kedepannya. Daerah yang memiliki sarana dan prasarana yang lebih lengkap memilki kemampuan untuk mengakses informasi yang lebih baik, sehingga kualitas sumberdaya manusia pada wilayah ini akan lebih baik daripada wilayah atau daerah yang memilki keterbatasan dalam mengakses sarana dan informasi.

Hipotesa Neo-Klasik menyatakan bahwa ketimpangan itu merupakan suatu kondisi yang alamiah terjadi pada negara berkembang.64Fasilitas dan prasarana pembangunan belum merata di negara berkembang. Sehingga, terdapat daerah yang dapat melakukan pembangunan dengan baik dan terdapat juga daerah yang belum mampu untuk dapat melaksanakan pembangunan dengan baik karena fasilitas pembangunan yang kurang mendukung di wilayah tersebut. Hipotesis Simon Kuznets yang menggambarkan ketimpangan dengan kurva U terbalik menyatakan bahwa pada awal tahap pembangunan suatu negara terdapat ketimpangan yang semakin meningkat. 65 Hingga pada titik tertentu pada pendapatan nasional yang memadai maka ketimpangan ini akan berangsur menurun. Namun hipotesis Kuznets ini tidak berlaku untuk semua negara. Penelitian yang dilakukan oleh Profesor Papanek dari Universitas Boston tidak menemukan korelasi yang positif antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan, seperti yang terjadi di negara Taiwan, Irak, Korea Selatan dan Kolombia. 66 Artinya hubungan antara ketimpangan dengan peningkatan pendapatan nasional tergantung dengan kondisi dan kebijakan negara yang bersangkutan.

Ukuran yang digunakan untuk menganalisa ketimpangan Pendapatan, diantaranya: Pertama, Koefisien gini (gini ratio). Koefisien gini merupakan ukuran yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan berdasarkan pada kurva Lorenz.67 Secara keseluruhan kurva ini berbentuk bujur sangkar yang memiliki sumbu horizontal yang menunjukkan persentase populasi dan sumbu vertikal yang menunjukkan persentase pendapatan. Gambar 2 merupakan Gambar Gini Ratio menurut kurva Lorenz. Garis diagonal menunjukkan Garis pemeratan sempurna. Artinya jika suatu negara memiliki kurva Lorenz yang mendekati garis diagonal, maka kondisi ketimpangan di negara tersebut semakin kecil (pendapatan

      

63

Dumairy: Perekonomian Indonesia (Jakarta: penerbit Erlangga), hal.66

64

Sjafrizal. Op. cit, hal.105

65

Tambunan, Tulus. Op. cit., hal.86

66

Wie, Thee Kian: Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan: Beberapa Pendekatan Alternatif (Jakarta: LP3ES), hal.5

67


(1)

Maluku Utara 2,648,735 944,300 0.010

-5227953.989 2.73315E+13 2.74231E+11

Papua 9,525,848 2,015,600 0.021 1649159.881 2.71973E+12 58246969243 Papua Barat 8,288,128 716,000 0.008 411439.9898 1.69283E+11 1287862460

Luar Jawa 7,876,689 94,114,500 3.40284E+13

Indeks Williamson: 0.741

Lampiran 38. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar Pulau Jawa Tahun 2008 Privinsi PRBD perkapita

(Rp)

Jumlah

Penduduk(Jiwa)(fi) fi/n Yi-Y (Yi-Y)^2

(Yi-Y)^2.(fi/n)

{(Yi-Y)^2.(fi/n)}^0.5 Aceh 7,941,033 4,293,900 0.045

-215674.9832 46515698388 2087808582

5990907.05 Sumatera Utara 8,140,619 13,042,300 0.136

-16088.24162 258831518.4 35286659.96 Sumatera Barat 7,385,232 4,763,100 0.050

-771475.3042 5.95174E+11 29632818631

Riau 17,552,879 5,189,200 0.054 9396171.446 8.8288E+13 4.78896E+12 Kepulauan Riau 25,472,920 1,453,100 0.015 17316212.35 2.99851E+14 4.5545E+12

Jambi 5,486,425 2,788,300 0.029 -2670282.19 7.13041E+12 2.07823E+11 Sumatera

Selatan 8,153,206 7,121,800 0.074

-3501.960646 12263728.37 912959.4801 Kep.Bangbel 8,819,510 1,122,500 0.012 662802.4114 4.39307E+11 5154585122 Bengkulu 4,534,076 1,641,900 0.017

-3622631.236 1.31235E+13 2.25234E+11

Lampung 4,660,091 7,391,100 0.077 -3496616.42 1.22263E+13 9.44592E+11 Bali 7,082,082 3,516,000 0.037 -1074625.7 1.15482E+12 42442652526

NTB 3,857,097 4,363,800 0.046

-4299610.585 1.84867E+13 8.43262E+11

NTT 2,520,742 4,534,300 0.047 -5635965.71 3.17641E+13 1.50552E+12 Kalimantan

Barat 6,457,556 4,249,100 0.044

-1699151.893 2.88712E+12 1.28233E+11 Kalimantan

tengah 8,130,316 2,057,300 0.022

-26391.17674 696494209.8 14978017.83 Kalimantan 8,005,890 3,446,600 0.036 - 22745993242 819473655


(2)

Selatan 150817.7484 kalimantan

Timur 33,349,565 3,094,700 0.032 25192857.78 6.3468E+14 2.05311E+13 Sulawesi Utara 7,202,038 2,208,000 0.023

-954669.5674 9.11394E+11 21035092821 Gorontalo 2,592,779 972,200 0.010

-5563928.347 3.09573E+13 3.14599E+11 Sulawesi

Tengah 6,048,474 2,438,400 0.025

-2108233.201 4.44465E+12 1.13287E+11 Sulawesi

Selatan 5,707,854 7,805,000 0.082

-2448853.671 5.99688E+12 4.89258E+11 Sulawesi Barat 3,873,390 1,032,300 0.011

-4283318.092 1.83468E+13 1.97973E+11 Sulawesi

Tenggara 4,824,386 2,075,000 0.022

-3332322.069 1.11044E+13 2.40853E+11 Maluku 2,867,646 1,320,700 0.014

-5289061.666 2.79742E+13 3.8619E+11 Maluku Utara 2,762,714 959,600 0.010 -5393993.98 2.90952E+13 2.91844E+11

Papua 9,205,835 2,056,500 0.021 1049127.546 1.10067E+12 23660531737 Papua Barat 8,766,438 730,000 0.008 609730.7453 3.71772E+11 2836862301

Luar Jawa 8,156,708 95,666,700 3.5891E+13

Indeks Williamson: 0.734

Lampiran 39. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar Pulau Jawa Tahun 2009 Privinsi PRBD perkapita

(Rp)

Jumlah

Penduduk(Jiwa)(fi) fi/n Yi-Y (Yi-Y)^2

(Yi-Y)^2.(fi/n)

{(Yi-Y)^2.(fi/n)}^0.5 Aceh 7,384,187 4,363,500 0.045

-994500.2624 9.89031E+11 44395205952

5977211.43 Sumatera Utara 8,420,579 13,248,400 0.136 41891.82058 1754924631 239173573.4

Sumatera Barat 7,598,012 4,828,000 0.050

-780675.6692 6.09455E+11 30269123166

Riau 17,673,834 5,306,500 0.055 9295146.709 8.63998E+13 4.71641E+12 Kepulauan Riau 25,287,930 1,515,300 0.016 16909242.51 2.85922E+14 4.45695E+12


(3)

3341922.043 Sumatera

Selatan 8,369,964 7,222,600 0.074

-8723.543245 76100206.75 5654193.811 Kep.Bangbel 9,020,736 1,138,100 0.012 642049.0467 4.12227E+11 4826231223 Bengkulu 4,753,195 1,666,900 0.017

-3625492.715 1.31442E+13 2.2539E+11 Lampung 4,834,701 7,491,900 0.077

-3543985.791 1.25598E+13 9.67982E+11 Bali 7,386,173 3,551,000 0.037

-992514.3592 9.85085E+11 35984507260

NTB 4,255,548 4,434,000 0.046 -4123139.23 1.70003E+13 7.75431E+11

NTT 2,580,384 4,619,700 0.048

-5798303.261 3.36203E+13 1.59774E+12 Kalimantan

Barat 6,657,498 4,319,100 0.044

-1721189.178 2.96249E+12 1.31626E+11 Kalimantan

tengah 8,460,687 2,085,800 0.021 81999.27891 6723881742 144272653.8 Kalimantan

Selatan 8,309,717 3,496,100 0.036

-68970.72693 4756961173 171082167.5 kalimantan

Timur 33,293,984 3,164,800 0.033 24915296.55 6.20772E+14 2.02102E+13 Sulawesi Utara 7,694,199 2,228,900 0.023 -684488.336 4.68524E+11 10742713135

Gorontalo 2,754,776 984,000 0.010

-5623910.845 3.16284E+13 3.20157E+11 Sulawesi

Tengah 6,392,815 2,480,300 0.026

-1985871.883 3.94369E+12 1.00623E+11 Sulawesi

Selatan 5,984,207 7,908,500 0.081

-2394480.402 5.73354E+12 4.66453E+11 Sulawesi Barat 4,046,483 1,047,700 0.011

-4332204.496 1.8768E+13 2.02277E+11 Sulawesi

Tenggara 5,083,605 2,118,300 0.022

-3295082.491 1.08576E+13 2.36598E+11 Maluku 2,981,038 1,339,500 0.014


(4)

Maluku Utara 2,883,487 975,000 0.010

-5495200.089 3.01972E+13 3.02875E+11

Papua 11,078,474 2,097,500 0.022 2699787.106 7.28885E+12 1.57272E+11 Papua Barat 9,206,345 743,900 0.008 827657.6706 6.85017E+11 5242124584

Luar Jawa 8,378,687 97,209,500 3.57271E+13

Indeks Williamson: 0.713

Lampiran 40. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Luar Pulau Jawa Tahun 2010 Privinsi PRBD perkapita

(Rp)

Jumlah

Penduduk(Jiwa)(fi) fi/n Yi-Y (Yi-Y)^2

(Yi-Y)^2.(fi/n)

{(Yi-Y)^2.(fi/n)}^0.5 Aceh 7,371,083 4,486,600 0.044

-1145547.696 1.31228E+12 58298239678

5764083.1 Sumatera Utara 9,136,695 12,985,100 0.129 620064.6594 3.8448E+11 49434596590

Sumatera Barat 8,019,026 4,846,000 0.048 -497604.475 2.4761E+11 11881292877

Riau 17,626,141 5,543,000 0.055 9109510.603 8.29832E+13 4.55456E+12 Kepulauan Riau 24,371,656 1,685,700 0.017 15855025.22 2.51382E+14 4.19591E+12

Jambi 4,621,900 3,088,600 0.031

-3894730.586 1.51689E+13 4.63904E+11 Sumatera

Selatan 8,559,304 7,446,400 0.074 42673.34888 1821014704 134267700.6 Kep.Bangbel 8,885,364 1,223,000 0.012 368733.3836 1.35964E+11 1646505218 Bengkulu 4,861,854 1,713,400 0.017

-3654776.851 1.33574E+13 2.26617E+11 Lampung 5,042,759 7,596,100 0.075

-3473871.692 1.20678E+13 9.07674E+11

Bali 7,132,677 3,891,400 0.039 -1383953.29 1.91533E+12 73800699233

NTB 4,460,139 4,496,900 0.045

-4056491.269 1.64551E+13 7.327E+11

NTT 2,678,093 4,679,300 0.046

-5838537.599 3.40885E+13 1.57943E+12 Kalimantan

Barat 6,895,293 4,393,200 0.044

-1621337.751 2.62874E+12 1.14351E+11 Kalimantan

tengah 8,530,373 2,202,600 0.022 13742.71953 188862340 4119008.974 Kalimantan 8,459,254 3,626,100 0.036 -57376.7321 3292089386 118201539.4


(5)

Selatan kalimantan

Timur 31,144,004 3,550,600 0.035 22627373.35 5.11998E+14 1.80004E+13 Sulawesi Utara 8,107,683 2,265,900 0.022

-408946.9946 1.67238E+11 3752204658 Gorontalo 2,809,070 1,038,600 0.010

-5707560.574 3.25762E+13 3.35013E+11 Sulawesi

Tengah 6,490,013 2,633,400 0.026

-2026617.565 4.10718E+12 1.07096E+11 Sulawesi

Selatan 6,373,652 8,032,600 0.080

-2142978.109 4.59236E+12 3.65261E+11 Sulawesi Barat 4,095,916 1,158,300 0.011

-4420714.047 1.95427E+13 2.24139E+11 Sulawesi

Tenggara 5,222,900 2,230,600 0.022

-3293730.808 1.08487E+13 2.39613E+11 Maluku 2,981,038 1,531,400 0.015

-5535592.775 3.06428E+13 4.64653E+11 Maluku Utara 2,883,487 1,035,500 0.010

-5633143.296 3.17323E+13 3.25359E+11

Papua 11,078,474 2,852,000 0.028 2561843.898 6.56304E+12 1.85339E+11 Papua Barat 9,206,345 760,000 0.008 689714.463 4.75706E+11 3579843125

Luar Jawa 8,516,630 100,992,300 3.32247E+13


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ridho Fuadi, lahir pada tanggal 13 Juni 1991 di Lubuk Jantan, Tanah Datar, Sumatera Barat. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Jon Akhyar dan Yurnalis. Penulis mengawali pendidikan di jenjang Taman Kanak-kanak Desa Kamboja pada tahun 1996, kemudian pada tahun 1997 dilanjutkan ke SD N 37 Saribu Labiah Lubuk Jantan. Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke SMP N 1 Lintau hingga lulus pada tahun 2009, kemudian dilanjutkan ke SMA N 1 Lintau hingga tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor dengan Jurusan Ilmu Ekonmi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di beberapa lembaga intra dan ekstra kampus. Lembaga intra kampus yang diikuti yaitu : Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (Hipotesa) FEM IPB sebagai anggota divisi Discussion and Analysis (DNA) pada tahun 2010-2011; Community of Art, Sport and Culture Art (COAST) FEM IPB dalam Klub Volly pada tahun 2010-2011; dan Keluarga Ekonomi dan Manajemen Pacinta Alam (KAREMATA) pada tahun 2011-sekarang. Lembaga ekstra kampus yang diikuti yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat FEM IPB pada tahun 2011-sekarang. Penulis juga aktif di berbagai acara intra dan ekstra kampus lainnya, baik sebagai panitia maupun sebagai relawan. Disamping itu penulis juga memiliki pengalaman sebagai asisten Ekonomi Umum dan juga berpengalaman sebagai wirausahawan dengan usaha yang bergerak di bidang kuliner yaitu “Mendadak Katering”. Kemudian penulis juga aktif sebagai Asisten Ilmu Ekonomi pada tahun 2010-2013.