1.09 0.96 0.84 1.00 1.18 1.42 1.38 1.27 1.18 1.33 Analisis Ketimpangan Perekonomian Pada Provinsi di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah, Serta Solusi Dengan Peningkatan Pendapatan dari Sektor Basis

masa sebelum otonomi sektor ini mampu mengurangi ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa sebesar 2.56 persen. Tabel 31 Peranan Sektor Basis Industri Pengolahan Terhadap Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa Periode 1991-2010 Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah Tahun IW IW tanpa S.Basis Perubahan Tahun IW IW tanpa S.Basis Perubahan 1991 0.549 0.492 -10.33 2000 0.738 0.850 15.24 1992 0.553 0.470 -15.05 2001 0.871 1.091 25.23 1993 0.704 0.717 1.87 2002 0.892 1.110 24.51 1994 0.703 0.742 5.66 2003 0.891 1.097 23.19 1995 0.712 0.760 6.87 2004 0.892 1.097 23.01 1996 0.708 0.769 8.65 2005 0.886 1.095 23.57 1997 0.710 0.780 9.91 2006 0.874 1.084 24.05 1998 0.686 0.743 8.33 2007 0.892 1.109 24.30 1999 0.664 0.711 7.14 2008 0.895 1.117 24.84 2009 0.889 1.113 25.30 2010 0.875 1.095 25.10 Rataan 0.67 0.69 2.56 Rataan 0.87 1.08 23.49 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Peranan Sektor Basis Listrik, Gas dan Air Minum Dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa Tabel 32 Peranan Sektor Basis Listrik, Gas dan Air Minum Terhadap Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa Periode 1991-2010 Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah Tahun IW IW tanpa S.Basis Perubahan Tahun IW IW tanpa S.Basis Perubahan 1991 0.549 0.527 -3.929 2000 0.738 0.746 1.119 1992 0.553 0.529 -4.335 2001 0.871 0.879 0.932 1993 0.704 0.700 -0.524 2002 0.892 0.901 1.008 1994 0.703 0.700 -0.427 2003 0.891 0.900 1.043 1995 0.712 0.710 -0.233 2004 0.892 0.902 1.124 1996 0.708 0.707 -0.093 2005 0.886 0.896 1.135 1997 0.710 0.709 -0.150 2006 0.874 0.882 0.940 1998 0.686 0.686 -0.009 2007 0.892 0.901 0.967 1999 0.664 0.664 0.092 2008 0.895 0.904 0.951 2009 0.889 0.897 0.960 2010 0.875 0.884 1.014 Rataan 0.665 0.659 -1.068 Rataan 0.872 0.881 1.017 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Kemudian, pada masa otonomi daerah rata-rata nilai Indeks Williamson di Pulau Jawa sebesar 0.87 sedangkan jika tanpa sektor Industri Pengolahan rata-rata nilai Indes Williamson menjadi 1.08. Artinya, pada masa otonomi daerah sektor ini mampu menurunkan ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa sebesar 23.49 persen, dengan demikian sektor basis Industri Pengolahan lebih mampu mengurangi ketimpangan pendapatan pada saat otonomi dibandingkan dengan pada saat sebelum otonomi. Tabel 32 menunjukkan bahwa Sektor Listrik, Gas dan Air Minum juga merupakan sektor basis pada masa sebelum dan setelah otonomi. Kemudian berdasarkan Tabel 32, rata-rata Indeks Williamson Pulau Jawa pada saat sebelum otonomi sebesar 0.655, sedangkan rata-rata Indeks Williamson tanpa sektor ini sebesar 0.659. Dengan demikian, sektor Listrik, Gas dan Air Minum justru memperparah situasi ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa pada masa sebelum otonomi sebesar 1.068 persen. Kemudian pada masa otonomi, rata-rata nilai Indeks Williamson Pulau Jawa sebesar 0.872, sedangkan jika tanpa sektor ini rata- rata nilai Indeks Williamson sebesar 0.881. Artinya, pada masa otonomi sektor ini mampu mengurangi ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa sebesar 1.017 persen. Peranan Sektor Basis Perdagangan, Hotel dan Restoran Dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa Tabel 33 Peranan Sektor Basis Perdagangan Terhadap Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa Periode 1991-2010 Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah Tahun IW IW tanpa S. Basis Perubahan Tahun IW IW tanpa S. Basis Perubahan 1991 0.549 0.492 -10.393 2000 0.738 0.707 -4.166 1992 0.553 0.479 -13.477 2001 0.871 0.883 1.344 1993 0.704 0.640 -9.044 2002 0.892 0.903 1.276 1994 0.703 0.657 -6.435 2003 0.891 0.906 1.716 1995 0.712 0.664 -6.720 2004 0.892 0.906 1.663 1996 0.708 0.660 -6.815 2005 0.886 0.902 1.711 1997 0.710 0.664 -6.449 2006 0.874 0.884 1.215 1998 0.686 0.636 -7.180 2007 0.892 0.909 1.887 1999 0.664 0.613 -7.597 2008 0.895 0.912 1.876 2009 0.889 0.910 2.429 2010 0.875 0.903 3.147 Rataan 0.665 0.612 -8.234 Rataan 0.872 0.884 1.282 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Berdasarkan Tabel 33, rata-rata nilai Indeks Williamson pada pada sebelum otonomi sebesar 0.665 sedangkan rata-rata nilai Indeks Wiliamson tanpa sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 0.612. Artinya, pada masa sebelum otonomi sektor Perdagangan justru memperparah ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa sebesar 8.234 persen. Namun, pada masa otonomi daerah, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran justru mengurangi ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa. Rata-rata nilai Indeks Williamson Pulau Jawa pada masa otonomi sebesar 0.872, sedangkan nilai Indeks Williamson tanpa sektor ini menjadi 0,884. Dengan demikian, pada masa otonomi daerah, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran mampu mengurangi ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa sebesar 1.282 persen. Peranan Sektor Basis Pengangkutan dan Komunikasi Dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa Tabel 34 menunjukkan bahwa sektor Pengangkutan dan Komunikasi justru meningkatkan ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa pada masa sebelum dan setelah otonomi daerah, dimana dampak negatif dari sektor ini lebih besar pada masa sebelum otonomi daerah. Rata-rata nilai Indeks Williamson pada masa sebelum otonomi sebesar 0.665 sedangkan nilai Indeks Williamson tanpa sektor Pengangkutan dan Komunikasi sebesar 0.633. Artinya, sektor ini meningkatkan ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa sebesar 5.103 persen. Kemudian rata-rata nilai Indeks Williamson di Pulau Jawa pada masa otonomi sebesar 0.872 sedangkan rata-rata nilai Indeks Williamson tanpa sektor ini sebesar 0.848, dengan demikian sektor Pengangkutan dan Komunikasi justru meningkatkan ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa sebesar 2.786 persen. Tabel 34 Peranan Sektor Basis Pengangkutan dan Komunikasi Terhadap Ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa Periode 1991-2010 Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah Tahun IW IW tanpa S.Basis Perubahan Tahun IW IW tanpa S.Basis Perubahan 1991 0.549 0.502 -8.489 2000 0.738 0.726 -1.553 1992 0.553 0.500 -9.601 2001 0.871 0.862 -1.083 1993 0.704 0.679 -3.606 2002 0.892 0.880 -1.276 1994 0.703 0.676 -3.832 2003 0.891 0.876 -1.600 1995 0.712 0.685 -3.793 2004 0.892 0.875 -1.907 1996 0.708 0.681 -3.846 2005 0.886 0.865 -2.454 1997 0.710 0.681 -4.105 2006 0.874 0.849 -2.789 1998 0.686 0.656 -4.283 2007 0.892 0.862 -3.360 1999 0.664 0.635 -4.372 2008 0.895 0.858 -4.085 2009 0.889 0.845 -4.947 2010 0.875 0.827 -5.588 Rataan 0.665 0.633 -5.103 Rataan 0.872 0.848 -2.786 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Peranan Sektor Basis Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa Sama halnya dengan sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Bank dan lembaga keuangan juga memperparah ketimpangan pendapatan pendapatan di Pulau Jawa. Diantara keenam sektor basis di Pulau Jawa, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya memberikan dampak negatif yang paling besar diantara sektor lainnya. Berdasarkan Tabel 35 rata-rata Indeks Williamson sebelum otonomi sebesar 0.665, sedangkan rata-rata Indeks Williamson tanpa sektor ini sebesar 0.536, artinya pada masa sebelum otonomi daerah sektor ini memperparah ketimpangan pendapatan sebesar 19.18 persen. Rata-rata Indeks Williamson setelah otonomi 0.872, kemudian rata-rata Indeks Williamson tanpa sektor Bank dan lembaga keuangan menjadi 0.63. Dengan demikian, pada masa otonomi daerah sektor ini memperparah ketimpangan pendapatan sebesar 27.83 persen yang merupakan sektor yang paling berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa. Tabel 35 Peranan Sektor Basis Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Terhadap Ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa Periode 1991-2010 Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah Tahun IW IW tanpa S.Basis Perubahan Tahun IW IW tanpa S.Basis Perubahan 1991 0.549 0.473 -13.762 2000 0.738 0.461 -37.528 1992 0.553 0.470 -15.054 2001 0.871 0.613 -29.689 1993 0.704 0.546 -22.373 2002 0.892 0.635 -28.838 1994 0.703 0.560 -20.312 2003 0.891 0.637 -28.447 1995 0.712 0.573 -19.423 2004 0.892 0.643 -27.893 1996 0.708 0.572 -19.168 2005 0.886 0.644 -27.345 1997 0.710 0.577 -18.738 2006 0.874 0.644 -26.278 1998 0.686 0.531 -22.524 2007 0.892 0.662 -25.836 1999 0.664 0.522 -21.277 2008 0.895 0.670 -25.127 2009 0.889 0.668 -24.802 2010 0.875 0.663 -24.310 Rataan 0.665 0.536 -19.181 Rataan 0.872 0.631 -27.827 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Peranan Sektor Basis Jasa Dalam Mengurangi Ketimpangan pendapatan Pendapatan di Pulau Jawa Tabel 36 menunjukkan bahwa sektor jasa juga memperparah ketimpangan pendapatan pendapatan di Pulau Jawa pada saat sebelum dan setelah otonomi. Rata-rata Indeks Williamson Pulau Jawa pada saat sebelum otonomi 0.67 sedangkan jika tanpa sektor Jasa sebesar 0.65. Dengan demikian sektor Jasa memperparah ketimpangan pendapatan pendapatan pada masa sebelum otonomi. Demikian juga dengan ketimpangan pendapatan pendapatan setelah otonomi. Rata-rata nilai Indeks Indeks Wiliiamson saat otonomi daerah 0.872, sedangkan Indeks Williamson tanpa sektor ini sebesar 0.842. Artinya pada masa otonomi daerah sektor Jasa memperparah ketimpangan pendapatan sebesar 3.55 persen. Dengan demikian, terdapat beberapa sektor basis yang mengurangi ketimpangan pendapatan pendapatan dan beberapa sektor basis lainnya justru memperparah ketimpangan pendapatan pendapatan di Pulau Jawa. Tiga sektor basis yang mengurangi ketimpangan pendapatan pada masa otonomi daerah diantaranya sektor Industri Pengolahan, sektor Listrik, Gas dan Air Minum, serta sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran. Kemudian, tiga sektor basis yang memperparah kondisi ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa diantarnya sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya serta sektor Jasa. Tabel 36 Peranan Sektor Basis Jasa Terhadap Ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa Periode 1991-2010 Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah Tahun IW IW tanpa S.Basis Perubahan Tahun IW IW tanpa S.Basis Perubahan 1991 0.549 0.522 -4.831 2000 0.738 0.693 -6.100 1992 0.553 0.523 -5.406 2001 0.871 0.840 -3.539 1993 0.704 0.653 -7.168 2002 0.892 0.860 -3.526 1994 0.703 0.696 -0.950 2003 0.891 0.859 -3.549 1995 0.712 0.706 -0.819 2004 0.892 0.861 -3.451 1996 0.708 0.704 -0.566 2005 0.886 0.856 -3.402 1997 0.710 0.708 -0.220 2006 0.874 0.848 -2.943 1998 0.686 0.686 0.091 2007 0.892 0.866 -2.970 1999 0.664 0.660 -0.621 2008 0.895 0.868 -2.974 2009 0.889 0.860 -3.261 2010 0.875 0.846 -3.312 Rataan 0.665 0.651 -2.277 Rataan 0.872 0.842 -3.548 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Pengaruh Sektor Perekonomian Terhadap PDRB di Pulau Jawa Gambar 14 memperlihatkan bahwa masing-masing sektor perekonomian memiliki peran yang tidak sama dan cenderung tidak merata terhadap PDRB di Pulau Jawa. Keadaan yang seperti inilah yang mengakibatkan beberapa sektor memiliki dampak yang berbeda pula terhadap ketimpangan pendapatan. Berdasarkan Tabel 37, sektor Industri Pengolahan sebagai sektor yang paling berpengaruh positif terhadap ketimbangan pendapatan memiliki nilai rata-rata selisih peran sebesar 108.44. Nilai ini diperoleh dari total selisih provinsi yang memiliki peran sektor tertinggi terhadap propinsi yang memiliki peran sektor yang lebih rendah. Sedangkan sektor Listrik, Gas dan Air Minum memiliki total selisih sebesar 111.02, dan sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran memiliki total selisih sebesar 71.70. Kemudian, sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya serta sektor Jasa masing-masing memiliki total selisih sebesar 116.3, 316.7, dan 100.1. Berdasarkan penelitian Faisal Basri dan Haris Munandar pada tahun 1997, bahwa 86.6 persen deposito masyarakat Indonesia ada di Pulau Jawa, sedangkan dari 86,6 persen tersebut 67.3 persen ada di povinsi DKI Jakarta, dan sisanya terbagi ke semua provinsi lain di Pulau Jawa. Kemudian, berdasarkan data tahun 2008 dari Bank Indonesia terjadi peningkatan pemerataan dalam jumlah tabungan di Indonesia dimana penguasaan tabungan di Pulau Jawa turun menjadi 73.6 persen dan penguasaan DKI Jakarta juga turun dari 67.3 persen pada tahun 1998 menjadi 46.9 persen. Persentase ini dinilai masih terlalu tinggi dan kurang merata, karena hampir setengah dari total tabungan di Pulau Jawa ada di Provinsi DKI Jakarta, sedangkan setengah lainnya tersebar di lima provinsi lainnya. 122 Gambar 14 Rata-rata Peran Sektor Perekonomian Terhadap PDRB di Pulau Jawa Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Tabel 37 Rata-rata Persentase Peran Sektor Perekonomian Terhadap PDRB di Pulau Jawa 1991-2010 Sektor A B C D E F Total Pertanian 0.4 32.5 24.9 37.2 2.5 4.5 121.2 Pertambangan 3.6 59.5 7.8 28.1 0.8 0.4 256.9 Industri Pengolahan 19.2 35.5 15.0 23.8 0.8

10.3 108.4

Listrik, gas dan air minum 19.8 36.4 7.0 26.3 1.5 16.2 111.0 BangunanKonstruksi 48.6 19.2 11.4 17.1 2.2 2.7 190.7 Perdagangan, Hotel dan Restoran 29.0 26.3 13.9 26.6 1.5 4.9 71.7 Pengangkutan dan Komunikasi 36.6 21.1 10.1 25.2 2.8 7.7 116.3 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya

69.6 9.5 5.1 13.7 1.3 1.4 316.7

Jasa-jasa 33.6 21.5 13.8 26.8 2.9 2.8 100.1 Sumber: BPS, 1993-2011 diolah. Keterangan : A = DKI Jakarta B = Jawa Barat C = Jawa Tengah D = Jawa Timur E = DI Yogyakarta F = Banten Total= Jumlah total selisih sektor yang meliki peran paling tinggi terhadap PDRB suatu provinsi dikurangi dengan sektor yang sama pada provinsi lainnya 122 Basri, Faisal. Op, cit. hal. 527 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 Rata ‐rata Peran Sektor Perekonomian Terhadap PDRB DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Banten Kemudian, pada Tabel 11 pada sub-bab Perekonomian di Pulau Jawa, pada umumnya sektor Bank dan Lembaga Keuangan lainnya lebih banyak berkembang di Provinsi DKI Jakarta. 68.4 persen tabungan di Pulau Jawa berada di Provinsi DKI Jakarta, kemudian 12.9 persen di Provinsi Jawa Timur, 11.6 persen berada di Provinsi Jawa Barat, 3 persen berada di Provinsi Banten, 2.8 persen di Provinsi Jawa Tengah, dan 1.3 persen berada di Provinsi DI Yogyakarta. Hal ini dikarenakan Provinsi DKI Jakarta merupakan Ibukota Indonesia dan menjadi pusat perputaran keuangan dan kantor pusat bank-bank komersial dan lembaga keuangan lainnya. 123 Kemudian Gambar 14 juga memperlihatkan bahwa 69.55 persen sumbangan PDRB terbesar dari sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya ada di Provinsi DKI Jakarta, kemudian Provinsi Jawa Timur sebesar 13.74 persen, Jawa Barat sebesar 9.47 persen, Provinsi Jawa Tengah sebesar 5.12 persen dan Provinsi DI Yogakarta serta Banten masing-masing 1.41 dan 1.34 persen. Dengan demikian, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya selain merupakan sektor yang paling berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendapatan, sektor ini memilki total selisih yang paling besar diantara sektor- sektor lainnya. Diduga hal inilah yang menyebabkan sektor Bank dan Lembaga Keuangan memberi dampak negatif yang paling besar terhadap ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa. Sedangkan, sektor Jasa dan sektor Pengangkutan dan Komunikasi memiliki pengaruh negatif yang tidak terlalu besar terhadap ketimpangan di Pulau Jawa. Dengan demikian, salah satu implikasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat yaitu mendorong pertumbuhan perekonomian pada sektor basis yang memperparah ketimpangan sektor Bank dan Lembaga Keuangan, sektor Jasa dan sektor Komunikasi dan Pengangkutan di provinsi lain yang masih memiliki pertumbuhan sektor basis yang masih endah. Sehingga, wilayah tersebut mampu untuk menyamai pertumbuhan sektor basis pada provinsi lain dan diharapkan dengan kebijakan ini dapat mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan. 123 Aji, Suryo. Op,cit, hal.61