Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Sebelum dan Pada Awal Otonomi Daerah

(1)

Oleh

TIRANI SAKUNTALA DEVI H14103030

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(2)

RINGKASAN

TIRANI SAKUNTALA DEVI. Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Sebelum dan Pada Awal Otonomi Daerah (dibimbing oleh Fifi Diana Thamrin).

Pembangunan yang tidak seimbang antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) mengakibatkan ketimpangan. Ketimpangan antara KBI dan KTI dapat dilihat dari besarnya investasi di kedua kawasan tersebut. Ketimpangan juga bisa dilihat dari tingkat kemiskinan. Dari tahun 1999-2003 angka kemiskinan yang tertinggi ada di KTI. Selain itu hampir di semua daerah di KTI dapat dikatakan tidak memiliki infrastruktur yang memadai, sehingga menyebabkan pembangunan KTI sangat tertinggal. Padahal, untuk dapat menghasilkan produktivitas modal yang optimal kebutuhan akan infrastruktur, seperti jalan raya, pelabuhan laut dan udara, sarana telekomunikasi dan lain-lain, merupakan kebutuhan yang mutlak. Kondisi tersebut masih diperparah lagi dengan ”masalah sosial dan keamanan” yang selalu dipertanyakan oleh setiap investor yang akan menanamkan modalnya ke KTI. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) seluruh Propinsi di KTI lebih rendah jika dibandingkan PDRB seluruh Propinsi di KBI.

Kebijakan otonomi daerah yang ditetapkan pada tahun 1999 menimbulkan dampak yang menguntungkan bagi daerah yang mampu melaksanakannya. Sejalan itu, KTI ikut serta mengimplikasikan kebijakan otonomi daerah tersebut, sehingga provinsi-provinsi di KTI memiliki wewenang pemerintahan dan menentukan sendiri kemajuan pembangunan. Kebijakan otonomi daerah yang dikeluarkan pada tahun 1999 mulai dilaksanakan di KTI pada tahun 2000 dan hal ini berpengaruh terhadap pemerintahan dibeberapa provinsi di KTI.

Permasalahan yang menjadi fokus penelitian adalah adanya perubahan atau selisih PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing sektor perekonomian di KTI dan perubahan PDB nasional dalam kurun waktu 9 tahun terutama sejak diberlakukannya undang-undang otonomi daerah di KTI pada tahun 2000. pada kurun waktu 9 tahun tersebut PDRB KTI meningkat dan yang menjadi pertanyaan adalah apakah peningkatan tersebut termasuk dalam pertumbuhan progresif

(maju) atau tergolong dalam pertumbuhan yang lambat.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di KTI sebelum dan pada awal otonomi daerah. Hal yang akan dilihat adalah laju pertumbuhan, daya saing, profil pertumbuhan dan pergeseran bersih dari masing-masing sektor perekonomian di KTI.

Untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang terjadi sebelum dan pada awal otonomi daerah dapat digunakan analisis shift share. Jenis data digunakan adalah data sekunder berupa nilai PDB Indonesia dan PDRB KTI dari tahun 1994-2002 berdasarkan harga konstan 1993 menurut lapangan usaha. Periode waktu yang digunakan untuk melihat pertumbuhan masing-masing sektor dibagi dalam tiga periode, yaitu tahun 1994-1996 periode sebelum otonomi yang menggambarkan kondisi ekonomi stabil, tahun 1997-1999 periode sebelum


(3)

otonomi daerah yang menggambarkan kondisi ekonomi pada saat krisis, dan tahun 2000-2002 periode awal otonomi daerah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1994-1996 sektor listrik, gas dan air bersih merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan paling cepat dan sektor yang mempunyai laju pertumbuhan paling lambat adalah sektor jasa-jasa. Sektor perekonomian yang mempunyai daya saing paling tinggi pada kurun waktu 1994-1996 adalah sektor pertambangan dan galian dan sektor yang sangat tidak bisa bersaing adalah sektor industri pengolahan. Pada tahun 1997-1999 sektor listrik, gas dan air bersih tetap mempunyai laju pertumbuhan yang tertinggi dan sektor bangunan merupakan sektor dengan laju pertumbuhan paling lambat. Sektor pertambangan dan galian tetap menempati posisi pertama sektor yang berdaya saing dan terdapat sektor pertanian yang tidak mempunyai daya saing dengan wilayah lain pada kurun waktu 1997-1999.

Sektor pengangkutan dan komunikasi mempunyai laju pertumbuhan yang tercepat pada kurun waktu 2000-2002 dan sektor pertambangan dan galian merupakan sektor dengan laju pertumbuhan lambat. Pada tahun 2000-2002 sektor pertambangan dan galian tetap menjadi sektor dengan daya saing tertinggi, sedangkan sektor yang keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang sangat tidak bisa bersaing dengan sektor wilayah lain.

Berdasarkan hasil penelitian, secara keseluruhan pada masa sebelum dan awal otonomi daerah pertumbuhan ekonomi KTI termasuk dalam pertumbuhan yang progresif (maju) namun apabila dilihat dari masing-masing sektor masih terdapat sektor yang mempunyai pertumbuhan lambat. Pada tahun 1994-1996 sektor yang tergolong dalam pertumbuhan yang lambat antara lain sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor jasa-jasa. Pada tahun 1997-1999 sektor yang tergolong dalam sektor dengan pertumbuhan lambat yaitu sektor bangunan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Pada tahun 2000-2002 sektor yang tergolong dalam sektor dengan pertumbuhan lambat yaitu sektor industri pengolahan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.

Pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang lambat dan kurang berdaya saing pada awal otonomi daerah perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Pemerintah daerah hendaknya memperhatikan realisasi dari kebijakan yang ditetapkan. Untuk meningkatkan kinerja maupun produktivitas dari setiap sektor, langkah yang dapat ditempuh antara lain : (1) pengembangan dan peningkatan pemanfaatan IPTEK yang tepat guna dan tepat sasaran untuk meningkatkan produktivitas dari masing-masing sektor perekonomian di KTI, sehingga mampu meningkatkan laju pertumbuhan sektor-sektor tersebut khususnya sektor-sektor yang berdaya saing tinggi misalnya sektor pertambangan dan galian, (2) pemantapan kelembagaan pemerintah daerah dalam mengelola setiap sektor perekonomian, sehingga memiliki laju pertumbuhan yang cepat, (3) peningkatan sarana dan prasarana serta pembangunan infrastruktur untuk menunjang produksi dan distribusi setiap sektor perekonomian di setiap provinsi berdasarkan pemanfaatan sumber daya lokal, dan (4) peningkatan kualitas SDM pribumi perlu diperhatikan agar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian di KTI secara mandiri.


(4)

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR

PEREKONOMIAN KAWASAN TIMUR INDONESIA SEBELUM

DAN PADA AWAL OTONOMI DAERAH

Oleh

TIRANI SAKUNTALA DEVI H14103030

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(5)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama : Tirani Sakuntala Devi Nomor Registrasi Pokok : H14103030

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor

Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Sebelum dan Pada Awal Otonomi Daerah

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Fifi Diana Thamrin, M. Si. NIP 132 321 453

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M. S. NIP 131 846 872


(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2007

Tirani Sakuntala Devi H14103030


(7)

Mukti Rahardjo dan Sri Murtini. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN KAYEN 5 kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 3 Pati pada tahun 1997 dan lulus SLTP pada tahun 2000. Setelah lulus dari SLTP penulis melanjutkan pendidikan di SLTA Negeri 1 Pati.

Pada tahun 2003 penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul ”Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Sebelum dan Pada Awal Otonomi Daerah ”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Fifi Diana Thamrin yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Wiwiek Rindayati yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Widyastutik terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini.

Penulis juga sangat terbantu oleh kritik dan saran dari para peserta seminar hasil penelitian skripsi ini. Penulis juga berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua penulis, Bapak Mukti Rahardjo dan Ibu Sri Murtini, keluarga di Cibinong, teman kost bawah, teman KKP, dan teman satu pembimbing skripsi. Terima kasih atas doa, dukungan dan nasehat yang telah diberikan.

Bogor, Mei 2007

Tirani Sakuntala Devi


(9)

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN...xiv

I. PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Perumusan Masalah ...7

1.3. Tujuan ...9

1.4. Kegunaan Penelitian...10

II. TINJAUAN PUSTAKa ...11

2.1. Konsep Otonomi Daerah...11

2.2. Teori Pertumbuhan Rostow ...16

2.3. Konsep Wilayah ...17

2.4. Kerangka Teoritis...20

2.4.1. Analisis Shift Share...20

2.4.2. Keterbatasan-Keterbatasan Analisis Shift Share...23

2.5. Kerangka Pemikiran Konseptual...24

III. METODE PENELITIAN...27

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ...27

3.2. Jenis dan Sumber Data ...27

3.3. Metode Analisis Shift Share...27

3.3.1. Analisis PDRB KTI dan PDB Indonesia ...28

3.3.2. Rasio PDRB KTI dan PDB Indonesia (Nilai Ra, Ri, dan ri) ...30

3.3.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ...32

3.3.4. Analisis Profil Pertumbuhan PDRB dan Pergeseran Bersih ...34

3.4. Definisi Operasional...38

3.4.1. Produk Domestik Regional Bruto ...38

3.4.2. Tahun Dasar Analisis dan Tahun Akhir Analisis...39


(10)

IV. GAMBARAN UMUM ...41

4.1. Pembangunan Kawasan Timur Indonesia...41

4.2. Ketertinggalan Kawasan Timur Indonesia...44

4.3. Kualitas Sumber Daya Manusia...46

4.3.1. Tingkat Pendidikan ...46

4.3.2. Tingkat Kesehatan...48

4.3.3. Ketenagakerjaan...50

4.4. Perkembangan PDRB di Kawasan Timur Indonesia ...53

V. HASIL DAN PEMBAHASAN...56

5.1. Sektor-Sektor Perekonomian di Kawasan Timur Indonesia Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 ...56

5.1.1. Analisis PDRB Kawasan Timur Indonesia Tahun 1994-1996 ...56

5.1.2. Rasio PDRB Kawasan Timur Indonesia dan PDB Indonesia (Ra, Ri, dan ri) Tahun 1994-1996...57

5.1.3. Analisis Komponen PertumbuhanWilayah Tahun 1994-1996 ...59

5.1.4. Analisis Profil Pertumbuhan PDRB Kawasan Timur Indonesia dan Pergeseran Bersih Tahun 1994-1996 ...64

5.2. Sektor-Sektor Perekonomian di Kawasan Timur Indonesia Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 ...68

5.2.1. Analisis PDRB Kawasan Timur Indonesia Tahun 1997-1999 ...68

5.2.2. Rasio PDRB Kawasan Timur Indonesia dan PDB Indonesia (Ra, Ri, dan ri) Tahun 1997-1999...69

5.2.3. Analisis Komponen PertumbuhanWilayah Tahun 1994-1996 ...70

5.2.4. Analisis Profil Pertumbuhan PDRB Kawasan Timur Indonesia dan Pergeseran Bersih Tahun 1997-1999 ...75

5.3. Sektor-Sektor Perekonomian di Kawasan Timur Indonesia Sebelum Otonomi Daerah Tahun 2000-2002 ...78

5.3.1. Analisis PDRB Kawasan Timur Indonesia Tahun 2000-2002 ...78

5.3.2. Rasio PDRB Kawasan Timur Indonesia dan PDB Indonesia (Ra, Ri, dan ri) Tahun 2000-2002...79

5.3.3. Analisis Komponen PertumbuhanWilayah Tahun 2000-2002 ...80

5.3.4. Analisis Profil Pertumbuhan PDRB Kawasan Timur Indonesia dan Pergeseran Bersih Tahun 2000-2002 ...84

5.4. Perbandingan Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Sebelum dan Awal Otonomi Daerah ...88


(11)

Oleh

TIRANI SAKUNTALA DEVI H14103030

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(12)

RINGKASAN

TIRANI SAKUNTALA DEVI. Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Sebelum dan Pada Awal Otonomi Daerah (dibimbing oleh Fifi Diana Thamrin).

Pembangunan yang tidak seimbang antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) mengakibatkan ketimpangan. Ketimpangan antara KBI dan KTI dapat dilihat dari besarnya investasi di kedua kawasan tersebut. Ketimpangan juga bisa dilihat dari tingkat kemiskinan. Dari tahun 1999-2003 angka kemiskinan yang tertinggi ada di KTI. Selain itu hampir di semua daerah di KTI dapat dikatakan tidak memiliki infrastruktur yang memadai, sehingga menyebabkan pembangunan KTI sangat tertinggal. Padahal, untuk dapat menghasilkan produktivitas modal yang optimal kebutuhan akan infrastruktur, seperti jalan raya, pelabuhan laut dan udara, sarana telekomunikasi dan lain-lain, merupakan kebutuhan yang mutlak. Kondisi tersebut masih diperparah lagi dengan ”masalah sosial dan keamanan” yang selalu dipertanyakan oleh setiap investor yang akan menanamkan modalnya ke KTI. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) seluruh Propinsi di KTI lebih rendah jika dibandingkan PDRB seluruh Propinsi di KBI.

Kebijakan otonomi daerah yang ditetapkan pada tahun 1999 menimbulkan dampak yang menguntungkan bagi daerah yang mampu melaksanakannya. Sejalan itu, KTI ikut serta mengimplikasikan kebijakan otonomi daerah tersebut, sehingga provinsi-provinsi di KTI memiliki wewenang pemerintahan dan menentukan sendiri kemajuan pembangunan. Kebijakan otonomi daerah yang dikeluarkan pada tahun 1999 mulai dilaksanakan di KTI pada tahun 2000 dan hal ini berpengaruh terhadap pemerintahan dibeberapa provinsi di KTI.

Permasalahan yang menjadi fokus penelitian adalah adanya perubahan atau selisih PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing sektor perekonomian di KTI dan perubahan PDB nasional dalam kurun waktu 9 tahun terutama sejak diberlakukannya undang-undang otonomi daerah di KTI pada tahun 2000. pada kurun waktu 9 tahun tersebut PDRB KTI meningkat dan yang menjadi pertanyaan adalah apakah peningkatan tersebut termasuk dalam pertumbuhan progresif

(maju) atau tergolong dalam pertumbuhan yang lambat.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di KTI sebelum dan pada awal otonomi daerah. Hal yang akan dilihat adalah laju pertumbuhan, daya saing, profil pertumbuhan dan pergeseran bersih dari masing-masing sektor perekonomian di KTI.

Untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang terjadi sebelum dan pada awal otonomi daerah dapat digunakan analisis shift share. Jenis data digunakan adalah data sekunder berupa nilai PDB Indonesia dan PDRB KTI dari tahun 1994-2002 berdasarkan harga konstan 1993 menurut lapangan usaha. Periode waktu yang digunakan untuk melihat pertumbuhan masing-masing sektor dibagi dalam tiga periode, yaitu tahun 1994-1996 periode sebelum otonomi yang menggambarkan kondisi ekonomi stabil, tahun 1997-1999 periode sebelum


(13)

otonomi daerah yang menggambarkan kondisi ekonomi pada saat krisis, dan tahun 2000-2002 periode awal otonomi daerah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1994-1996 sektor listrik, gas dan air bersih merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan paling cepat dan sektor yang mempunyai laju pertumbuhan paling lambat adalah sektor jasa-jasa. Sektor perekonomian yang mempunyai daya saing paling tinggi pada kurun waktu 1994-1996 adalah sektor pertambangan dan galian dan sektor yang sangat tidak bisa bersaing adalah sektor industri pengolahan. Pada tahun 1997-1999 sektor listrik, gas dan air bersih tetap mempunyai laju pertumbuhan yang tertinggi dan sektor bangunan merupakan sektor dengan laju pertumbuhan paling lambat. Sektor pertambangan dan galian tetap menempati posisi pertama sektor yang berdaya saing dan terdapat sektor pertanian yang tidak mempunyai daya saing dengan wilayah lain pada kurun waktu 1997-1999.

Sektor pengangkutan dan komunikasi mempunyai laju pertumbuhan yang tercepat pada kurun waktu 2000-2002 dan sektor pertambangan dan galian merupakan sektor dengan laju pertumbuhan lambat. Pada tahun 2000-2002 sektor pertambangan dan galian tetap menjadi sektor dengan daya saing tertinggi, sedangkan sektor yang keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang sangat tidak bisa bersaing dengan sektor wilayah lain.

Berdasarkan hasil penelitian, secara keseluruhan pada masa sebelum dan awal otonomi daerah pertumbuhan ekonomi KTI termasuk dalam pertumbuhan yang progresif (maju) namun apabila dilihat dari masing-masing sektor masih terdapat sektor yang mempunyai pertumbuhan lambat. Pada tahun 1994-1996 sektor yang tergolong dalam pertumbuhan yang lambat antara lain sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor jasa-jasa. Pada tahun 1997-1999 sektor yang tergolong dalam sektor dengan pertumbuhan lambat yaitu sektor bangunan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Pada tahun 2000-2002 sektor yang tergolong dalam sektor dengan pertumbuhan lambat yaitu sektor industri pengolahan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.

Pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang lambat dan kurang berdaya saing pada awal otonomi daerah perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Pemerintah daerah hendaknya memperhatikan realisasi dari kebijakan yang ditetapkan. Untuk meningkatkan kinerja maupun produktivitas dari setiap sektor, langkah yang dapat ditempuh antara lain : (1) pengembangan dan peningkatan pemanfaatan IPTEK yang tepat guna dan tepat sasaran untuk meningkatkan produktivitas dari masing-masing sektor perekonomian di KTI, sehingga mampu meningkatkan laju pertumbuhan sektor-sektor tersebut khususnya sektor-sektor yang berdaya saing tinggi misalnya sektor pertambangan dan galian, (2) pemantapan kelembagaan pemerintah daerah dalam mengelola setiap sektor perekonomian, sehingga memiliki laju pertumbuhan yang cepat, (3) peningkatan sarana dan prasarana serta pembangunan infrastruktur untuk menunjang produksi dan distribusi setiap sektor perekonomian di setiap provinsi berdasarkan pemanfaatan sumber daya lokal, dan (4) peningkatan kualitas SDM pribumi perlu diperhatikan agar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian di KTI secara mandiri.


(14)

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR

PEREKONOMIAN KAWASAN TIMUR INDONESIA SEBELUM

DAN PADA AWAL OTONOMI DAERAH

Oleh

TIRANI SAKUNTALA DEVI H14103030

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(15)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama : Tirani Sakuntala Devi Nomor Registrasi Pokok : H14103030

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor

Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Sebelum dan Pada Awal Otonomi Daerah

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Fifi Diana Thamrin, M. Si. NIP 132 321 453

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M. S. NIP 131 846 872


(16)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2007

Tirani Sakuntala Devi H14103030


(17)

Mukti Rahardjo dan Sri Murtini. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN KAYEN 5 kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 3 Pati pada tahun 1997 dan lulus SLTP pada tahun 2000. Setelah lulus dari SLTP penulis melanjutkan pendidikan di SLTA Negeri 1 Pati.

Pada tahun 2003 penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.


(18)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul ”Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Sebelum dan Pada Awal Otonomi Daerah ”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Fifi Diana Thamrin yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Wiwiek Rindayati yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Widyastutik terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini.

Penulis juga sangat terbantu oleh kritik dan saran dari para peserta seminar hasil penelitian skripsi ini. Penulis juga berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua penulis, Bapak Mukti Rahardjo dan Ibu Sri Murtini, keluarga di Cibinong, teman kost bawah, teman KKP, dan teman satu pembimbing skripsi. Terima kasih atas doa, dukungan dan nasehat yang telah diberikan.

Bogor, Mei 2007

Tirani Sakuntala Devi


(19)

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN...xiv

I. PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Perumusan Masalah ...7

1.3. Tujuan ...9

1.4. Kegunaan Penelitian...10

II. TINJAUAN PUSTAKa ...11

2.1. Konsep Otonomi Daerah...11

2.2. Teori Pertumbuhan Rostow ...16

2.3. Konsep Wilayah ...17

2.4. Kerangka Teoritis...20

2.4.1. Analisis Shift Share...20

2.4.2. Keterbatasan-Keterbatasan Analisis Shift Share...23

2.5. Kerangka Pemikiran Konseptual...24

III. METODE PENELITIAN...27

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ...27

3.2. Jenis dan Sumber Data ...27

3.3. Metode Analisis Shift Share...27

3.3.1. Analisis PDRB KTI dan PDB Indonesia ...28

3.3.2. Rasio PDRB KTI dan PDB Indonesia (Nilai Ra, Ri, dan ri) ...30

3.3.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ...32

3.3.4. Analisis Profil Pertumbuhan PDRB dan Pergeseran Bersih ...34

3.4. Definisi Operasional...38

3.4.1. Produk Domestik Regional Bruto ...38

3.4.2. Tahun Dasar Analisis dan Tahun Akhir Analisis...39


(20)

IV. GAMBARAN UMUM ...41

4.1. Pembangunan Kawasan Timur Indonesia...41

4.2. Ketertinggalan Kawasan Timur Indonesia...44

4.3. Kualitas Sumber Daya Manusia...46

4.3.1. Tingkat Pendidikan ...46

4.3.2. Tingkat Kesehatan...48

4.3.3. Ketenagakerjaan...50

4.4. Perkembangan PDRB di Kawasan Timur Indonesia ...53

V. HASIL DAN PEMBAHASAN...56

5.1. Sektor-Sektor Perekonomian di Kawasan Timur Indonesia Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 ...56

5.1.1. Analisis PDRB Kawasan Timur Indonesia Tahun 1994-1996 ...56

5.1.2. Rasio PDRB Kawasan Timur Indonesia dan PDB Indonesia (Ra, Ri, dan ri) Tahun 1994-1996...57

5.1.3. Analisis Komponen PertumbuhanWilayah Tahun 1994-1996 ...59

5.1.4. Analisis Profil Pertumbuhan PDRB Kawasan Timur Indonesia dan Pergeseran Bersih Tahun 1994-1996 ...64

5.2. Sektor-Sektor Perekonomian di Kawasan Timur Indonesia Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 ...68

5.2.1. Analisis PDRB Kawasan Timur Indonesia Tahun 1997-1999 ...68

5.2.2. Rasio PDRB Kawasan Timur Indonesia dan PDB Indonesia (Ra, Ri, dan ri) Tahun 1997-1999...69

5.2.3. Analisis Komponen PertumbuhanWilayah Tahun 1994-1996 ...70

5.2.4. Analisis Profil Pertumbuhan PDRB Kawasan Timur Indonesia dan Pergeseran Bersih Tahun 1997-1999 ...75

5.3. Sektor-Sektor Perekonomian di Kawasan Timur Indonesia Sebelum Otonomi Daerah Tahun 2000-2002 ...78

5.3.1. Analisis PDRB Kawasan Timur Indonesia Tahun 2000-2002 ...78

5.3.2. Rasio PDRB Kawasan Timur Indonesia dan PDB Indonesia (Ra, Ri, dan ri) Tahun 2000-2002...79

5.3.3. Analisis Komponen PertumbuhanWilayah Tahun 2000-2002 ...80

5.3.4. Analisis Profil Pertumbuhan PDRB Kawasan Timur Indonesia dan Pergeseran Bersih Tahun 2000-2002 ...84

5.4. Perbandingan Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Sebelum dan Awal Otonomi Daerah ...88


(21)

(22)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Investasi di KTI dan KBI, 2005-2006... ...1 2. Persentase Penduduk Miskin Menurut Propinsi Tahun 2002, 2003

dan 2004 ...2 3. Persentase PDRB Wilayah-Wilayah Di Indonesia Atas Dasar Harga

Konstan 1993 (Persen) ...5 4. Posisi Dana Simpanan Rupiah dan Posisi Kredit Rupiah Pada Bank

Umum Menurut Daerah Propinsi se-KTI Bulan Juni 2001 (Dalam

Miliar Rupiah)...5 5. Keunggulan KBI Dan KTI ...8 6. Lokasi KAPET ...42 7. Luas Daerah Provinsi-Provinsi di Kawasan Timur Indonesia, 2004 ...45 8. Kualitas Sumber Daya Manusia Menurut Pendidikan

di KTI dan Indonesia,1999...48 9. Angka Kematian Umur 0-14 Tahun Menurut Kawasan ...49 10.Kegiatan Tenaga Kerja di Pasar Kerja KTI dan Indonesia (persen) ...51 11.PDRB KTI Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan

Usaha (Tahun 1994-1996) ...56 12.Nilai Ra, Ri, dan ri Sebelum Implementasi Kebijakan

Otonomi Daerah (Tahun 1994-1996)...59 13.Komponen Pertumbuhan Nasional Sebelum Implementasi

Kebijakan Otonomi Daerah (Tahun 1994-1996) ...60 14.Komponen Pertumbuhan Proporsional KTI Sebelum

Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah (Tahun 1994-1996)...62 15.Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah KTI Sebelum

Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah (Tahun 1994-1996)...64 16.Pergeseran Bersih Sektor-Sektor Perekonomian Kawasan Timur

Indonesia Sebelum Kebijakan Otonomi Daerah (Tahun 1994-1996)...67 17.PDRB KTI Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan

Usaha (Tahun 1997-1999) ...68 18.Nilai Ra, Ri, dan ri Sebelum Implementasi Kebijakan Otonomi


(23)

19.Komponen Pertumbuhan Nasional Sebelum Implementasi

Kebijakan Otonomi Daerah (Tahun 1997-1999) ...71 20.Komponen Pertumbuhan Proporsional Sebelum

Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah (Tahun 1997-1999)...73 21.Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sebelum

Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah (Tahun 1997-1999)...74 22.Pergeseran Bersih Sektor-Sektor Perekonomian Kawasan Timur

Indonesia Sebelum Kebijakan Otonomi Daerah (Tahun 1997-1999)...77 23.PDRB KTI Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan

Usaha (Tahun 1994-1996) ...79 24.Nilai Ra, Ri, dan ri Awal Implementasi Kebijakan Otonomi

Daerah (Tahun 2000-2002) ...80 25.Komponen Pertumbuhan Nasional Awal Implementasi

Kebijakan Otonomi Daerah (Tahun 2000-2002) ...81 26.Komponen Pertumbuhan Proporsional Awal Implementasi

Kebijakan Otonomi Daerah (Tahun 2000-2002) ...83 27.Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Awal Implementasi

Kebijakan Otonomi Daerah (Tahun 2000-2002) ...84 28.Pergeseran Bersih Sektor-Sektor Perekonomian Kawasan Timur

Indonesia Awal Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah

(Tahun 2000-2002) ...88 29.Pergeseran Bersih Sektor-Sektor Perekonomian KTI Sebelum dan


(24)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1.Model Analisis Shift Share...21

2. Kerangka Pemikiran Konseptual...26 3. Profil Pertumbuhan PDRB...35 4. Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Kawasan Timur

Indonesia Tahun 1994-1999 ...66 5. Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Kawasan Timur

Indonesia Tahun 1997-1999 ...76 6. Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Kawasan Timur


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. PDRB KTI Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan

Usaha (Juta Rupiah) ...97 2. PDB Indonesia Atas Dasa Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan

Usaha (Miliar Rupiah)...98 3. Contoh Perhitungan Analisis Shift Share...101


(26)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam rangka meningkatkan perekonomian Indonesia dan memperluas hasil pembangunan di seluruh wilayah Indonesia, rencana pengembangan wilayah dianggap paling strategis di Indonesia. Ketimpangan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) seharusnya ditiadakan karena akan semakin memperlebar terjadinya pertumbuhan yang tidak seimbang antar sektor, kesenjangan ekonomi antar golongan penduduk dan kesenjangan pembangunan antar wilayah.

Ketimpangan antara KBI dan KTI dapat dilihat dari besarnya investasi di kedua kawasan tersebut. Proses pembangunan yang bersumber dari investasi, baik investasi dalam negeri maupun investasi luar negeri lebih terkonsentrasi di pusat (Pulau Jawa). Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing lebih terfokus di KBI dibandingkan dengan KTI yang ditujukkan dengan besarnya investasi di KBI yang lebih besar daripada di KTI. Tabel 1. Investasi di KTI dan KBI, 2005-2006

PMDN (Miliar Rupiah) PMA (Juta Rupiah)

Wilayah

2005 2006 (1 Jan s/d 31 Mei) 2005 2006 (1 Jan s/d 31 Mei)

Sumatera 13.234,9 5.659,3 1.355,8 725,1

Jawa dan Bali 26.332,0 9.103,3 10.837,4 2.545,6

Kalimantan 5.212,2 41.073,5 1.005,3 286,4

Sulawesi 4.034,4 963,5 310,7 52,1

Kepulauan Timur Lainnya

1.762,9 20,6 70,1 50,4

KBI 39.566,9 14.762,6 12.193,2 3.270,7

KTI 11.009,5 42.057,6 1.386,1 388,9


(27)

Ketimpangan juga bisa dilihat dari tingkat kemiskinan. Angka kemiskinan yang tertinggi ada di KTI. Menurut Tabel 2 peringkat kemiskinan yang tertinggi berada di Papua (41,80 persen) dan tingkat kemiskinan terendah berada di DKI Jakarta (3,42 persen) pada tahun 2002. Pada tahun 2004 tingkat kemiskinan tertinggi tetap berada di Papua (38,69 persen) dan tingkat kemiskinan terendah berada di DKI Jakarta (3,18 persen).

Tabel 2. Persentase Penduduk Miskin Menurut Propinsi Tahun 2002, 2003, dan 2004

Persentase Penduduk Miskin Provinsi

2002 2003 2004

Nangroe Aceh Darussalam 29,83* 29,76 28,47

Sumatera Utara 15,84 15,89 14,93

Sumatera Barat 11,57 11,24 10,46

Riau 13,61 13,52 13,12

Jambi 13,18 12,74 12,45

Sumatera Selatan 22,32 21,54 20,92

Bengkulu 22,70 22,69 22,39

Lampung 24,05 22,63 22,22

Bangka Belitung 11,62 10,06 9,07

DKI Jakarta 3,42 3,42 3,18

Jawa Barat 13,38 12,90 12,10

Jawa Tengah 23,06 21,78 21,11

DI Yogyakarta 20,14 19,86 19,14

Jawa Timur 21,91 20,93 20,08

Banten 9,22 9,56 8,58

Bali 6,89 7,34 6,85

NTB 27,76 26,34 25,38

NTT 30,74 28,63 27,86

Kalimantan Barat 15,46 14,79 31,91

Kalimantan Tengah 11,88 11,37 10,44

Kalimantan Selatan 8,51 8,16 7,19

Kalimantan Tmur 12,20 12,15 11,57

Sulawesi Utara 11,22 9,01 8,94

Sulawesi Tengah 24,89 23,04 21,69

Sulawesi Selatan 15,88 15,85 14,90

Sulawesi Tenggara 24,22 22,84 21,90

Gorontalo 32,12 29,25 29,01

Maluku 34,78* 32,85 32,13

Maluku Utara 14,03* 13,92 12,42

Papua 41,80* 39,03 38,69

Sumber : BPS, 2004.

Catatan : Tanda (*) menunjukkan angka estimasi karena tidak dilakukan di Susenas.


(28)

3

Lambatnya arus investasi di KTI menyebabkan pembangunan KTI sangat tertinggal dibanding KBI dan hal ini dapat diindentifikasi beberapa faktor utama penyebabnya, antara lain yaitu: (1) terbatasnya sarana dan prasarana (infrastruktur) seperti transportasi darat, laut dan udara dan telekomunikasi, serta tersedianya tenaga listrik yang sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek yang dapat mendorong pertumbuhan misalnya, mengurangi minat investor untuk menginvestasikan modalnya di KTI, meningkatnya biaya produksi, dan menurunkan daya saing produk yang dihasilkan oleh KTI; (2) terbatasnya sarana pendidikan dan tenaga pendidik yang berkualitas, yang berakibat terhadap rendahnya kualitas SDM yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan KTI; (3) terbatasnya kewenangan pengambilan keputusan seperti di bidang perbankan, berbagai perijinan dan lain-lain di KTI, sehingga proses pengambilan keputusan memakan waktu lama karena harus diputuskan oleh pusat. Di samping itu, hal ini menyebabkan tingginya biaya operasional dari para pengguna jasa tersebut; dan (4) kondisi sosial dan keamanan di beberapa daerah yang belum kondusif, telah menyebabkan para investor enggan untuk menanamkan modalnya di KTI. Akibat dari semua faktor sebagai di atas, menyebabkan produktivitas KTI sangat rendah (Setiono, 2001).

Dalam kondisi tidak ada hambatan dalam mobilitas, modal cenderung akan mengalir ke daerah yang terbelakang kemajuan perekonomiannya. Proses ini akan berlangsung hingga tercapai keseimbangan produktivitas modal antar daerah. Namun demikian, di negara-negara berkembang, modal bergerak ke arah yang sebaliknya. Pergerakan aliran modal berlangsung secara terus menerus ke daerah


(29)

yang maju. Untuk mencegah timbulnya ketidakseimbangan pembangunan yang makin besar, diperlukan realokasi investasi (yang besar) ke daerah yang tertinggal.

Dalam melakukan realokasi investasi, khususnya di KTI tampaknya tidak sederhana, dan untuk itu, harus memenuhi beberapa kondisi; pertama, perlu penyiapan kondisi daerah sasaran untuk dapat menghasilkan produktivitas modal yang optimal, dalam arti efisien secara teknis maupun secara ekonomis. Kedua, peningkatan produktivitas modal tersebut dapat dicapai apabila mampu menstimulasi terjadinya aliran investasi yang berkelanjutan. Di samping itu, beberapa faktor seperti yang telah disebutkan di atas patut pula dipertimbangkan.

Hampir di semua daerah di KTI dapat dikatakan tidak memiliki infrastruktur yang memadai seperti KBI. Padahal, untuk dapat menghasilkan produktivitas modal yang optimal dalam arti efisien secara teknis dan ekonomis, kebutuhan akan infrastruktur, seperti jalan raya, pelabuhan laut dan udara, sarana telekomunikasi dan lain-lain, merupakan kebutuhan yang mutlak. Kondisi di atas masih ditambah lagi dengan ”masalah sosial dan keamanan” yang selalu dipertanyakan oleh setiap investor yang akan menanamkan modalnya ke KTI. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) seluruh Propinsi di KTI pada tahun 1998 tercatat hanya sebesar 18,98 persen dari PDRB seluruh Propinsi Indonesia. PDRB yang rendah di atas, merupakan pencerminan akan rendahnya tingkat investasi di KTI baik melalui PMA maupun PMDN seperti yang terlihat pada Tabel 3.


(30)

5

Tabel 3. Persentase PDRB Wilayah-Wilayah Di Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 1993 (Persen)

Persentase PDRB

Sebelum Otonomi daerah Masa Otonomi daerah

Wilayah

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Sumatera 22,04 21,82 21,54 21,43 22,43 22,60 21,80 21,77 21,74

Jawa dan Bali 61,05 61,22 61,34 61,48 58,59 58,32 59,46 59,46 59,38

Kalimantan 8,98 8,86 8,95 9,02 9,89 10,41 9,87 9,90 9,87

Sulawesi 4,12 4,13 4,13 4,13 4,47 4,44 4,49 4,55 4,59

Kepulauan Timur

Lainnya 3,81 3,97 4,04 3,94 4,62 4,23 4,38 4,32 4,42

KBI 83,09 83,04 82,88 82,91 81,02 80,92 81,26 81,23 81,12

KTI 16,91 16,96 17,12 17,09 18,98 19,08 18,74 18,77 18,88

Sumber: BPS dalam Ardiansyah, 2004.

Rendahnya produksi dan kebutuhan investasi diperburuk dengan rendahnya penyaluran kredit perbankan di KTI. Akses sumber dana melalui Perbankan dan Lembaga-lembaga Keuangan di KTI sangat terbatas dan dengan persyaratan-persyaratan yang berat. Selisih dana simpanan rupiah dibandingkan dengan posisi kredit pada Bank Pemerintah, Bank Swasta maupun Bank Perkreditan Rakyat di KTI cukup signifikan seperti dapat dilihat dalam Tabel 4. Tabel 4. Posisi Dana Simpanan Rupiah dan Posisi Kredit Rupiah Pada Bank

Umum Menurut Daerah Propinsi se-KTI, Bulan Juni 2001 (dalam Miliar Rupiah)

Propinsi Posisi Dana Simpanan Posisi Kredit Selisih

Kalbar 5.515 1.790 3.725

Kalteng 1.974 706 1.268

Kalsel 4.038 1.734 2.304

Kaltim 9.450 1.630 7.820

Sulut 3.194 1.572 1.622

Sulteng 1.724 733 911

Sulsel 8.983 4.060 4.923

Sultenggr 1.119 460 659

NTB 1.973 1.003 970

NTT 2.349 703 1.646

Maluku 1.710 247 1.463

Irian Jaya 3.357 736 2.621

Total 45.386 15.374 29.932


(31)

Berdasarkan Tabel 4 kondisi simpanan yang jauh lebih besar daripada jumlah dana yang disalurkan (kredit), jelas tidak dapat dipertahankan dan dibiarkan berlangsung terus, karena selain akan memperlebar tingkat kesenjangan, juga dapat menyebabkan ketidakpuasan masyarakat di wilayah KTI, yang pada gilirannya dapat menekan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Dana yang ada harus disalurkan kepada masyarakat daerah agar mereka menjadi lebih produktif. Di samping itu, daerah miskin dan terbelakang akan mengalami (1) banyak kesulitan dalam membangun sektor industrinya dan memperluas kesempatan kerja. Akibatnya, pendapatan daerah dan pendapatan perkapita penduduknya

berjalan sangat lambat serta masalah pengangguran menjadi bertambah serius; (2) perubahan struktur ekonomi (tradisional) yang lambat di daerah tersebut; (3) kesulitan di dalam mencari pekerjaan di daerahnya, sehingga menyebabkan mengalirnya tenaga kerja (terutama tenaga kerja yang produktif, dinamis dan berpendidikan) ke daerah yang lebih maju perekonomiannya. Karenanya, diperlukan langkah-langkah untuk mempercepat pembangunan KTI dengan mengoptimalkan aktivitas ekonominya sehingga selain mampu berdaya saing, diharapkan pula akan mampu mengejar ketertinggalan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga sistem yang semula sentralistis beralih menjadi desentralisasi


(32)

7

yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, KTI ikut serta mengimplikasikan kebijakan otonomi daerah tersebut, sehingga provinsi-provinsi di KTI memiliki wewenang pemerintahan dan menentukan sendiri kemajuan pembangunan. Undang-undang otonomi daerah yang dikeluarkan pada tahun 1999, yaitu UU No.22 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 tentang Pertimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan kerangka bagi agenda reformasi pemerintahan di Indonesia. Undang-undang ini menjadi sangat penting bagi KTI yang sedang berusaha mencoba untuk memperbaiki ketidakseimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah, eksploitasi sumber daya dengan keuntungan yang tidak seimbang dalam hal peningkatan prasarana dan pelayanan masyarakat, serta marginalisasi masyarakat lokal dalam program-program pembangunan.

Proses desentralisasi bisa berjalan baik apabila didukung dengan keadaan yang kondusif yang tercermin dari sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan pemerintahan. Setiap kawasan, baik KBI maupun KBI pasti mempunyai keunggulan tersendiri yang dapat menunjang pembangunan daerah. Keunggulan antara KBI dan KTI bisa disajikan dalam Tabel 5 sebagai berikut :


(33)

Tabel 5. Keunggulan KBI dan KTI

No. Kawasan Barat Indonesia Kawasan Timur Indonesia

1. Infrastruktur yang memadai Kaya akan sumber daya alam

2. Hasil akhir Sensus Ekonomi 2006 (SE06) mencatat secara umum persebaran perusahaan/usaha antar kawasan dan antar pulau menunjukkan lebih dari 83 persen terkonsentrasi di Kawasan Barat Indonesia (KBI).

Berpotensi meningkatkan wisata alam, wisata bahari, ekowisata, dan budaya

3. Terdapat pusat pemerintahan

4. Tersedianya lembaga pendidikan yang memadai 5. Kondisi pemerintahan yang lebih stabil

Sumber: http://www.google.

1.2. Perumusan Masalah

Undang-undang otonomi daerah telah dijalankan dan berbagai dampak ditimbulkan dari pelaksanaan implementasi undang-undang tersebut, baik berupa pemekaran wilayah maupun peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Daerah-daerah yang mampu melaksnakan otonomi sudah tidak tergantung lagi pada dana anggaran dari Pemerintah. Daerah-daerah otonom dituntut mampu mengoptimalkan peran sektor-sektor perekonomian lokalnya untuk meningkatkan PAD. Setiap daerah memiliki kebijakan masing-masing dalam melaksanakan pembangunan sesuai dengan potensi sumber dayanya.

Perkembangan suatu wilayah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonominya. Salah satu indikator perkembangan atau pertumbuhan suatu wilayah adalah PDRB. Sejak diimplementasikan kebijakan otonomi daerah PDRB KTI mengalami peningkatan (Lampiran 1). Dalam kurun waktu 2000-2002 PDRB KTI meningkat sebesar 8,71 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perekonomian KTI mengalami pertumbuhan yang positif sejak diberlakukan otonomi daerah.


(34)

9

Pada kurun waktu 9 tahun yaitu tahun 1994-2002 dapat dilihat kondisi perekonomian yang berbeda-beda. Periode 1994-1996 perekonomian dalam keadaan yang stabil. Pada periode 1997-1999 perekonomian berada dalam keadaan krisis yang parah. Selanjutnya untuk periode 2000-2002 perekonomian mulai menampakkan pertumbuhan kembali dan di berbagai daerah mulai diimplementasikan otonomi daerah.

Permasalahan yang menjadi fokus penelitian adalah adanya perubahan atau selisih PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing sektor perekonomian di KTI dan perubahan PDB nasional dalam kurun waktu 9 tahun terutama sejak diberlakukannya undang-undang otonomi daerah pada tahun 2000. Telah diketahui pada uraian sebelumnya nilai PDRB KTI meningkat (Lampiran 1), yang menjadi pertanyaan adalah apakah peningkatan tersebut termasuk dalam pertumbuhan progresif (maju) atau tergolong dalam pertumbuhan yang lambat. Dari uraian di atas maka dapat ditentukan perumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di KTI sebelum dan

pada awal otonomi?

2. Bagaimana daya saing sektor-sektor ekonomi di KTI sebelum dan pada awal otonomi daerah?

3. Bagaimana profil pertumbuhan PDRB dan pergeseran bersih sektor-sektor ekonomi di KTI?


(35)

1.3. Tujuan

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian KTI sebelum dan pada awal otonomi daerah.

2. Menganalisis daya saing sektor-sektor ekonomi KTI sebelum dan pada awal otonomi daerah.

3. Mengidentifikasi profil pertumbuhan PDRB dan pergeseran bersih sektor-sektor ekonomi KTI.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pemerintah dalam (1) memberikan prioritas pada sektor-sektor perekonomian yang bisa memajukan perekonomian di KTI dan menjaga kelestariannya; (2) mengembangkan sektor-sektor perekonomian yang yang mempunyai laju pertumbuhan lambat dan tidak berdaya saing agar dapat turut meningkatkan perekonomian KTI. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memperdalam ilmu dalam bidang perekonomian dan perencanaan. Bagi pembaca, penelitian ini dapat dijadikan bahan atau acuan untuk penelitian selanjutnya.


(36)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Otonomi Daerah

Semenjak berakhirnya pemerintahan Orde Baru muncul harapan untuk melakukan perbaikan dan perubahan, tidak terkecuali semangat reformasi dibidang birokrasi pemerintah. Kondisi dan semangat reformasi seharusnya bisa melahirkan tiga hal penting sebagai harapan yang diwujudkan dalam pemerintahan. Pertama, diwujudkan harapan agar demokrasi bisa dijalankan dalam birokrasi pemerintahan, sehingga bisa mengganti birokrasi otoriter yang sentralistik. Kedua, birokrasi pemerintahan yang mengakomodasikan perubahan sistem politik dari mono loyalitas dan single majority pada satu partai yang berkuasa kepada multi partai hasil bentukan rakyat yang memungkinkan tidak adanya mono loyalitas lagi. Ketiga, pelaksanaan otonomi daerah yang memungkinkan bagi kemajuan daerahnya masing-masing.

Menurut Sidik dalam Pattimura (2003) hakekat otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pelaksanaan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah hendaknya dijadikan alat untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat sesuai dengan prakarsa masing-masing daerah sehingga daerah bisa memenuhi kebutuhan yang paling mereka butuhkan.

Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang


(37)

pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamana, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (Bratakusumah dan Solihin, 2003).

Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah :

1. Asas Dekonsentrasi, artinya pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah.

2. Asas Desentralisasi, artinya penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Asas Tugas Pembantuan, artinya penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.

Dengan adanya UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 sebagai dasar kekuatan otonomi kewenangan pemerintahan dan otonomi keuangan maka daerah berkeinginan ada kepastian keleluasaan untuk membangun kesejahteraan dan kemakmuran melalui hidup mandiri. UU No.22/1999 tentang Pemeritahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, antara lain juga mengatur bagaimana pemerintah daerah membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan DPRD, serta tugas pemerintahan di


(38)

13

daerah, yaitu diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sumber pendapatan daerah terdiri dari:

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi: a) Hasil pajak daerah

b) Hasil retribusi daerah

c) Hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

d) Lain-lain pendapatan asli daerah

2. Dana perimbangan yaitu bagian daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Penerimaan dari Sumber Daya alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.

3. Pinjaman daerah

Disamping itu dalam hal-hal tertentu yaitu untuk keperluan mendesak, kepada daerah tertentu juga diberikan dana darurat yang berasal dari APBN.

PAD salah satunya berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah diatur dalam UU No.18/1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah kemudian direvisi dengan UU No.34/2000, merupakan reformasi di bidang perpajakan dan retribusi daerah. Dengan UU No.34/2000, daerah dibebaskan untuk menciptakan pajak daerah dan retribusi daerah asal memenuhi kriteria pajak daerah dan kriteria retribusi yang telah di atur dalam undang-undang tersebut. Pengawasan terhadap Perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah tidak lagi dilakukan secara


(39)

preventif (terlebih dahulu mendapat persetujuan pemerintah pusat) tetapi lebih bersifat refresif. Artinya persetujuan pemerintah pusat sebelum Perda berlaku sudah tidak diperlakukan lagi akan tetapi Perda tersebut dapat dicabut oleh pemerintah pusat jika bertentangan dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.

Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah ini merupakan alat utama dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah. Ketentuan-ketentuan tentang Dana Perimbangan diatur dalam PP No.104/2000 sebagai derivatif dari UU No.25/1999.

DAU sebagai komponen dari dana perimbangan dimaksudkan sebagai alat pemerintah untuk melaksanakan pemerataan kemampuan daerah untuk membiayai pelayanan masyarakat. Oleh karena itu rumusan DAU didasarkan atas potensi dan kebutuhan daerah. Secara teoritis DAU dimaksudkan untuk menutupi fiscal gap

yaitu selisih antara kebutuhan pembiayaan (fiscal need) dengan kemampuan keuangan daerah (fiscal capacity). Perhitungan distribusi alokasi DAU telah ditetapkan dalam Kepres No.181/2000 sedangkan untuk penyaluran DAU ditetapkan pula Keputusan Menteri Keuangan No.555/KMK-03/2000.


(40)

15

DAK merupakan komponen dari Dana Perimbangan yang diberikan kepada daerah. DAK digunakan untuk pembiayaan prasarana yang bersifat strategis dan daerah kurang mampu untuk membiayai sendiri. Ketentuan penyaluran DAK ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan No.555/KMK-03/2000

Agar keuangan pemerintah daerah yang sumbernya berasal dari banyak variasi tersebut berjalan efektif dan efisien, diperlukan pengendalian pengawasan dan pemeriksaan yang seharusnya diatur secara jelas tentang mekanisme pelaksanaan, ruang lingkup dan waktunya. Dengan kata lain diperlukan suatu manajemen keuangan daerah yang tepat. Manajemen keuangan daerah dimaksudkan pada pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan serta kepatuhan sebagaimana diatur dalam PP No.105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungan Jawab Keuangan Daerah.

Otonomi daerah yang efektif senantiasa memerlukan dukungan pemerintah pusat walaupun kadang-kadang terdapat perbedaan pendapat dan kepentingan satu sama lain. Pemerintah pusat senantiasa berupaya menjamin adanya kesamaan perlakuan bagi setiap warga negara, sedangkan pemerintah daerah bertanggung jawab mengatasi kebutuhan-kebutuhan spesifik dari masyarakatnya (Sarundajang, 2002).


(41)

2.2. Teori Pertumbuhan Rostow

Menurut Rostow dalam Irawan dan Suparmoko (1999) proses pembangunan ekonomi dapat dibedakan dalam lima tahap dan setiap negara di dunia dapat digolongkan ke dalam salah satu dari kelima tahap pertumbuhan ekonomi. Kelima tahap pertumbuhan itu adalah (1) tahap masyarakat tradisional; (2) tahap prasyarat untuk lepas landas; (3) tahap lepas landas; (4) tahap ke arah kedewasaan; dan (5) tahap konsumsi tinggi. Teori Rostow mengenai tahap-tahap pertumbuhan ekonomi mempunyai ruang lingkup yang luas dan teorinya tidak secara terperinci menganalisa corak perubahan yang terjadi pada suatu sektor dalam proses pembangunan. Analisanya lebih dititikberatkan pada peranan beberapa faktor tertentu dalam menimbulkan pertumbuhan ekonomi dan menganalisa ciri-ciri perubahan yang tercipta dalam tiap-tiap tahap pembangunan suatu masyarakat.

Rostow mengartikan masyarakat tradisional sebagai suatu masyarakat yang strukturnya berkembang dalam fungsi produksi yang terbatas, cara-cara memproduksi yang relatif primitif, produktivitas per pekerja masih sangat terbatas dan cara hidup masyarakat hidup yang masih dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dicetuskan cara pemikiran yang tidak rasional atau didasarkan pada kebiasaan yang berlangsung secara turun temurun. Ciri-ciri tahap prasyarat lepas landas dibedakan menjadi dua yaitu tahap prasyarat lepas landas yang dicapai dengan merombak sistem masyarakat tradisional yang sudah lama ada dan tahap untuk mencapai tahap lepas landas tanpa harus merombak sistem masyarakat tradisional. Permulaan dari tahap lepas landas berupa berlakunya perubahan yang drastis


(42)

17

dalam masyarakat, seperti revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi atau terbukanya pasar-pasar baru. Faktor penyebab dimulainya masa lepas landas berbeda-beda yang terpenting dari perubahan-perubahan tersebut akan mengakibatkan pembaharuan-pembaharuan dan peningkatan penanaman modal. Rostow menekankan berlakunya proses kenaikan penanaman modal sebagai prasyarat untuk mencapai lepas landas karena hanya dengan terciptanya keadaan tersebut perekonomian dapat berkembang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan penduduk.

Tahap gerakan ke arah kedewasaan diartikan sebagai masa di mana masyarakat sudah secara efektif menggunakan teknologi modern pada sebagian besar faktor-faktor produksi dan kekayaan alamnya. Ciri-ciri lain dari tahap gerakan ke arah kedewasaan yang bukan bersifat ekonomi antara lain (1) struktur dan keahlian tenaga kerja mengalami perubahan. Sektor industri bertambah penting peranannya, sedangkan sektor pertanian menurun peranannya terhadap perekonomian. Tahap terakhir dari teori pertumbuhan Rostow adalah tahap konsumsi tinggi yang dicirikan dengan masa dimana perhatian masyarakat lebih ditekankan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat dan bukan lagi kepada masalah produksi.

2.3. Konsep Wilayah

Wilayah diartikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Batas-batas wilayah didasarkan pada beberapa kriteria sebagai berikut :


(43)

1. Konsep Homogenitas. Menurut konsep homogenitas wilayah dipandang dari satu aspek/kriteria yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama. Misalnya daerah dengan struktur produksi dan konsumsi yang homogen, daerah dengan pendapatan yang rendah (keadaan perekonomian sama), persamaan keadaan topografi, persamaan agama, suku, dan lain sebagainya. Dasar untuk wilayah homogen adalah suatu output yang dapat diekspor bersama, dimana seluruh wilayah merupakan suatu daerah surplus untuk suatu output tertentu, sehingga berbagai tempat di wilayah tersebut kecil kemungkinannya untuk perdagangan secara luas diantara satu sama lainnya. 2. Konsep Nodalitas. Menurut konsep nodalitas wilayah secara fungsional

mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya (hinterland). Konsep ini menekankan pada perbedaan struktur tata ruang di dalam wilayah, dimana terdapat hubungan saling ketergantungan yang bersifat fungsional. Batas wilayah nodal ditentukan oleh sejauh mana pengaruh dari suatu pusat kegiatan ekonomi jika diganti oleh pengaruh dari pusat ekonomi lainnya.

3. Konsep Administratif. Menurut konsep administratif batas-batas suatu wilayah ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan/politik seperti provinsi dan kabupaten/kota. Penentuan batas wilayah berdasarkan kriteria konsep administratif paling banyak digunakan karena (1) di dalam melaksanakan kebijaksanaan dan rencana pembangunan wilayah diperlukan tindakan-tindakan dari berbagai badan pemerintah agar lebih praktis jika pembangunan wilayah didasarkan pada satuan wilayah administrasi yang telah


(44)

19

ada; (2) wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan atas satuan administrasi pemerintahan lebih mudah dianalisis karena sejak lama pengumpulan data di berbagai wilayah berdasarkan satuan wilayah administrasi tersebut.

Selain penggunaan batasan berdasarkan konsep homogenitas, konsep nodalitas, dan konsep administratif, klasifikasi wilayah dapat pula dibedakan menjadi wilayah formal, wilayah fungsional, dan wilayah perencanaan. Wilayah formal adalah wilayah yang mempunyai beberapa persamaan dalam kriteria tertentu. Wilayah fungsional ialah wilayah yang memperlihatkan adanya suatu hubungan fungsional yang saling tergantung dalam kriteria tertentu atau wilayah fungsional ialah wilayah nodal yang saling tergantung satu sama lain. Wilayah perencanaan adalah wilayah yang memperlihatkan koherensi/kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.

Ketimpangan seperti yang terjadi pada KTI dan KBI disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: perbedaan karakteristik potensi SDM, demografi kemampuan SDM, potensi lokal dan lain sebagainya. Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut klasifikasi wilayah dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Wilayah Maju. Wilayah maju merupakan wilayah yang telah berkembang dan diidentifikasikan sebagai wilayah pusat pertumbuhan, pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, pasar potensial, dan tingkat pendapatan serta kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Perkembangan wilayah pada wilayah yang maju didukung oleh potensi sumber daya yang ada di wilayah tersebut atau di


(45)

hinterland, potensi lokasi strategis, sarana pendidikan yang memadai, serta adanya kelengkapan infrastruktur.

2. Wilayah Sedang Berkembang. Wilayah sedang berkembang ditandai dengan adanya pertumbuhan penduduk yang cepat sebagai implikasi dari peranannya sebagai penyangga wilayah maju.

3. Wilayah Belum Berkembang. Potensi sumber daya alam yang terdapat pada wilayah ini belum dikelola dengan baik. Karakteristik dari wilayah yang belum berkembang antara lain tingkat aksesibilitas yang masih rendah terhadap wilayah lain, struktur ekonomi yang masih didominasi oleh sektor primer.

4. Wilayah Tidak Berkembang. Wilayah ini ditandai dengan tidak adanya sumber daya alam, sehingga secara alamiah tidak dapat berkembang. Tingkat kepadatan penduduk, kualitas sumber daya manusia, dan tingkat pendapatan masih rendah, terjadinya regional linkages, infrastruktur yang tidak lengkap serta aksesibilitas yang masih rendah terhadap daerah lain.

2.4. Kerangka Teoritis 2.4.1. Analisis Shift Share

Analisis shift share memperlihatkan hubungan antara struktur perekonomian dengan pertumbuhan ekonomi wilayah. Analisis shift share

merupakan metode untuk melihat aktifitas ekonomi di suatu wilayah dengan menggunakan berbagai data. Analisis shift share dapat digunakan untuk


(46)

21

menganalisis pertumbuhan sektor-sektor selain dapat digunakan untuk menduga dampak kebijakan wilayah ketenagakerjaan.

Analisis shift share menganalisis berbagai perubahan indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu di suatu wilayah. Hasil analisis dapat menunjukkan perkembangan suatu sektor di suatu wilayah jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya. Hasil analisis shift share dapat mengidentifikasi suatu perkembangan yang cepat atau lambat. Hasil analisis ini juga dapat menunjukkan bagaimana perkembangan suatu wilayah bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Tujuan analisis shift share

juga dapat menentukan produktivitas kerja perekonomian daerah dan membandingkannya dengan daerah yang lebih besar (regional atau nasional). Secara skematik model analisis shift share dapat dilihat dalam Gambar 1 sebagai berikut :

Sumber : Budiharsono, 2001.

Gambar 1. Model Analisis Shift Share

Komponen

Pertumbuhan Nasional (PN) atau Perumbuhan Regional (PR)

Wilayah ke j (Sektor ke i)

Wilayah ke j (Sektor ke i)

Maju

PP + PPW ≥ 0

Lamban PP + PPW < 0 Komponen

Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) Komponen

Pertumbuhan Proporsionanl (PP)


(47)

Berdasarkan Gambar 1 dapat dipahami bahwa pertumbuhan sektor perekonomian pada suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa komponen, yaitu (1) komponen pertumbuhan nasional (national growth component) disingkat PN atau komponen pertumbuhan regional (regional growth component) disingkat PR; (2) komponen pertumbuhan proporsional (proportional or industrial mix growth component) disingkat PP; (3) komponen pertumbuhan pangsa wilayah (regional share growth component) disingkat PPW. Dari tiga komponen tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi cepat atau lambat pertumbuhan suatu sektor perekonomian. Apabila PP + PPW ≥ 0, maka pertumbuhan sektor perekonomian termasuk ke dalam kelompok progresif (maju), tetapi apabila PP + PPW ≤ 0 berarti sektor perekonomian tersebut memiliki pertumbuhan yang lambat.

Penjelasan dari tiga komponen yang mempengaruhi pertumbuhan sektor suatu wilayah adalah sebagai berikut :

1. Komponen Pertumbuhan Nasional/Pertumbuhan Regional

Komponen pertumbuhan nasional/pertumbuhan regional adalah perubahan produksi suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian suatu sektor dan wilayah. Bila diasumsikan bahwa tidak ada perbedaan karakteristik ekonomi antar sektor dan antar wilayah, maka adanya perubahan akan membawa dampak yang sama pada semua sektor dan wilayah. Akan tetapi pada kenyataannya beberapa sektor dan wilayah tumbuh lebih cepat daripada sektor dan wilayah lainnya.


(48)

23

2. Komponen Pertumbuhan Proporsional

Komponen pertumbuhan proporsional tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri dan perbedaan dalam struktur, dan keragaman pasar.

3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah

Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat atau lambatnya pertumbuhan ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial dan ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut.

2.4.2. Keterbatasan-Keterbatasan Analisis Shift Share

Analisis shift share dapat menganalisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian suatu wilayah, baik itu laju pertumbuhan maupun daya saing sektor tersebut, akan tetapi analisis shift share juga memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan-keterbatasan analisis shift share dijelaskan sebagai berikut (Soepono dalam Ardiansyah, 2004):

1. Analisis shift share merupakan suatu teknik pengukuran yang mencerminkan suatu sistem akunting dan tidak analitik oleh karena itu analisis tidak untuk menjelaskan mengapa suatu wilayah memiliki daya saing yang positif di satu wilayah tetapi memiliki daya saing yang negatif di wilayah yang lain.


(49)

2. Komponen pertumbuhan nasional secara implisit mengemukakan bahwa laju pertumbuhan suatu wilayah hendaknya tumbuh pada laju nasional tanpa memperhatikan sebab-sebab laju pertumbuhan wilayah.

3. Arti ekonomi dari kedua komponen pertumbuhan wilayah (PP dan PPW) tidak dikembangkan dengan baik. Keduanya berkaitan dengan prinsip-prinsip ekonomi yang sama, seperti perubahan penawaran dan permintaan, perubahan teknologi dan perubahan lokasi.

4. Teknik analisis shift share secara implisit mengambil asumsi bahwa semua barang dijual secara nasional padahal tidak semua demikian. Bila pasar suatu wilayah bersifat lokal maka barang itu tidak dapat bersaing dengan wilayah-wilayah lain yang menghasilkan barang yang sama sehingga tidak mempengaruhi permintaan agregat.

2.5. Kerangka Pemikiran Konseptual

Kondisi perekonomian suatu wilayah dipengaruhi oleh kondisi demografi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia, aksesibilitas, dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Salah satu kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpengaruh terhadap kondisi perekonomian daerah adalah kebijakan otonomi daerah. Pada masa sebelum otonomi, kewenangan pemerintah pusat sangat dominan dalam menentukan arah pembangunan suatu daerah, sehingga daerah mampu tidak bisa menentukan arah dan sasaran pemerintahan daerahnya. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah menuntut daerah-daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi sektor-sektor perekonomiannya.


(50)

25

Potensi sektor-sektor perekonomian berpengaruh terhadap perkembangan suatu wilayah. Apabila sektor-sektor ekonomi memiliki pertumbuhan yang cepat, maka suatu wilayah berkembang dengan cepat pula, begitu pula sebaliknya. Laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dapat dianalisis dengan menggunakan analisis shift share. Pada penelitian ini analisis shift share digunakan untuk menganalisis perekonomian KTI sebelum dan pada awal otonomi daerah, sehingga dapat diketahui sektor-sektor yang memiliki pertumbuhan cepat dan sektor-sektor yang mempunyai pertumbuhan lambat. Dengan menggunakan analisis shift share dapat juga digunakan untuk menganalisis daya saing sektor-sektor ekonomi yaitu sektor-sektor mana yang mampu bersaing dan sektor-sektor mana yang tidak mempunyai daya saing. Informasi mengenai pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan pembangunan dan perencanaan pembangunan. Bagi para investor untuk menanamkan modalnya pada sektor-sektor yang menguntungkan. Secara sistematis kerangka pemikiran konseptual dapat dijelaskan dengan Gambar 2.

Kondisi Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI)


(51)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konseptual

Ket :

Hal yang dianalisis : Alat analisis :

Sebelum Otonomi Awal Otonomi

Sektor-sektor Perekonomian

Shift Share

Laju Pertumbuhan, Daya Saing, dan Profil Pertumbuhan dari Masing-Masing Sektor Ekonomi


(52)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai April 2007. KTI dipilih menjadi lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa : (1) KTI mengalami pemekaran setelah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah; (2) KTI memiliki sumber daya alam yang sangat potensial untuk dikembangkan seperti yang terdapat di Papua ataupun Kalimantan Timur namun potensi tersebut belum dapat memajukan kehidupan masyarakat di sekitarnya; dan (3) Belum ada penelitian tentang analisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di KTI sebelum dan pada awal masa otonomi daerah.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang diperoleh dari BPS Pusat, Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) IPB, Perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), dan dari media informasi lain. Data yang dibutuhkan yaitu data PDRB Provinsi-provinsi di KTI dan PDB Indonesia dari tahun 1994 sampai 2002 atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha.

3.3. Metode Analisis Shift Share

Analisis shift share menganalisis berbagai perubahan indikator kegiatan


(53)

wilayah. Hasil analisis dapat menunjukkan perkembangan suatu sektor di suatu wilayah jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya. Hasil

analisis shift share dapat mengidentifikasi suatu perkembangan yang cepat atau

lambat. Hasil analisis shift share juga dapat menunjukkan bagaimana

perkembangan suatu wilayah bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Perubahan indikator kegiatan ekonomi dilihat dari dua titik waktu yaitu tahun

akhir analisis dan tahun dasar analisis. Analisis shift share menggunakan data

PDRB KTI yang terjadi pada dua titik waktu yaitu tahun akhir analisis dan tahun

dasar analisis. Ada tiga komponen pertumbuhan yang terdapat dalam analisis shift

share, yaitu komponen pertumbuhan nasional, komponen pertumbuhan

proporsional dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah. Penjumlahan dari ketiga komponen tersebut dapat mengetahui perubahan PDRB KTI pada suatu wilayah.

3.3.1. Analisis PDRB KTI dan PDB Indonesia

Andaikan dalam suatu wilayah terdapat m provinsi (j = 1, 2, 3, 4,..., m) dan n merupakan sektor ekonomi (i = 1, 2, 3, 4,..., n) maka perubahan dalam PDRB KTI dapat dinyatakan sebagai berikut :

ij ij

ij+PP +PPW PN

=

ΔYij ...(1)

dimana :

ij Y

Δ = perubahan dalam PDRB KTI sektor i.

ij

PN = persentase perubahan PDRB KTI yang disebabkan komponen pertumbuhan nasional.


(54)

29

ij

PP = persentase perubahan PDRB KTI yang disebabkan komponen pertumbuhan proporsional.

ij

PPW = persentase perubahan PDRB KTI yang disebabkan komponen pertumbuhan pangsa wilayah.

Untuk memperoleh nilai PN, PP, dan PPW ada beberapa rumusan yang harus dipenuhi dan dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. PDB dari sektor i pada tahun dasar analisis :

‡”

m

1 j= i =

Y Yij

dimana :

i

Y = PDB dari sektor i pada tahun dasar analisis

ij

Y = PDRB KTI sektori pada tahun dasar analisis.

2. PDB dari sektor i pada tahun akhir analisis :

‡”

m = j i ' = Y 1 ij ' Y dimana : i '

Y = PDB dari sektor i pada tahun akhir analisis.

ij

Y' = PDRB KTI sektor i pada tahun akhir analisis.

Sedangkan total PDB pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis, dirumuskan sebagai berikut :

3. Total PDB pada tahun dasar analisis :

‡”‡”

n 1 = i m 1 j= =


(55)

dimana :

Y.. = total PDB dari sektor i pada tahun dasar analisis.

ij

Y = PDRB KTI sektor i pada tahun dasar analisis.

4. Total PDB pada tahun akhir analisis :

‡”‡”

n 1 = i m 1 j= ' = .. Y ij ' Y dimana : ..

Y' = total PDB dari sektor i pada tahun akhir analisis.

ij '

Y = PDRB KTI sektor i pada tahun akhir analisis.

3.3.2. Rasio PDRB KTI dan PDB Indonesia (Nilai Ra, Ri, dan ri)

Nilai Ra, Ri, dan ri digunakan untuk mengidentifikasi perubahan PDRB KTI

dari sektor i pada tahun dasar analisis maupun tahun akhir analisis. Menghitung

nilai Ra, Ri, dan ri menggunakan nilai PDRB KTI yang terjadi pada dua titik

waktu yaitu tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis.

1. Nilai Ra

Nilai Ra merupakan selisih antara total PDB pada tahun akhir analisis dengan total

PDB pada tahun dasar analisis dibagi total PDB pada tahun dasar analisis. Dirumuskan sebagai berikut :

Ra =

Y.. Y.. -Y'.. dimana : ..


(56)

31

..

Y = total PDB pada tahun dasar analisis.

2. Nilai Ri

Ri merupakan selisih antara PDB dari sektor i pada tahun akhir analisis

dengan PDB sektor i pada tahun dasar analisis dibagi PDB sektor i pada tahun dasar analisis. Dirumuskan sebagai berikut :

Ri =

. Y . Y -. Y i i i ' dimana : . Yi '

= PDB dari sektor i pada tahun akhir analisis.

.

Yi = PDB dari sektor i pada tahun dasar analisis.

3. Nilai ri

ri merupakan selisih antara PDRB KTI dari sektor i pada tahun akhir

analisis dengan PDRB KTI dari sektor i pada tahun dasar analisis dibagi PDRB KTI dari sektor i pada tahun dasar analisis.

Dirumuskan sebagai berikut :

ri =

ij ij ij ' Y Y Y -dimana : ij '

Y = PDRB KTI sektor i pada tahun akhir analisis.

ij


(57)

3.3.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah

Nilai komponen Pertumbuhan Nasional atau Pertumbuhan Regional, Pertumbuhan Proporsional, dan Pertumbuhan Pangsa Wilayah didapat dari

perhitungan nilai Ra, Ri, dan ri. Dari ketiga komponen tersebut apabila

dijumlahkan akan didapat nilai perubahan PDRB.

1. Komponen Pertumbuhan Nasional (PN)

Komponen PN adalah perubahan produksi suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi regional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi regional, atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian suatu sektor dan wilayah. Bila tidak ada perbedaan karakteristik ekonomi antar sektor dan wilayah maka adanya perubahan akan membawa dampak yang sama pada semua sektor dan wilayah. Akan tetapi pada kenyataannya beberapa sektor dan wilayah tumbuh lebih cepat daripada sektor dan wilayah lainnya. Komponen pertumbuhan nasional dapat dirumuskan sebagai berikut :

ij Y

) (R =

PNij a ...(2)

dimana :

ij

PN = komponen pertumbuhan nasional sektor i.

ij

Y = PDRB KTI sektor i pada tahun dasar analisis.

)

(Ra = persentase perubahan PDB yang disebabkan oleh komponen

pertumbuhan nasional.

Apabila persentase total perubahan PDRB suatu wilayah lebih besar daripada persentase komponen pertumbuhan nasional maka pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah tersebut lebih besar daripada pertumbuhan sektor-sektor-sektor-sektor


(58)

33

ekonomi wilayah di atasnya. Apabila persentase total perubahan PDRB lebih kecil dibandingkan dengan nilai komponen pertumbuhan nasional maka pertumbuhan sektor-sektor ekonomi suatu wilayah lebih kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah atasnya.

2. Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP)

Komponen PP terjadi karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. Komponen pertumbuhan proporsional dapat dirumuskan sebagai berikut :

ij Y

) R -(R =

PPij i a ...(3)

dimana :

ij

PP = komponen pertumbuhan proporsional KTI sektor i.

ij

Y = PDRB KTI sektor i pada tahun dasar analisis.

) R

-(Ri a = persentase perubahan PDB yang disebabkan oleh komponen

pertumbuhan proporsional.

Apabila PP ij < 0 menunjukkan bahwa sektor i KTI memiliki laju

pertumbuhan yang lambat, sedangkan apabila PP ij > 0 menunjukkan bahwa sektor

i KTI memiliki laju pertumbuhan yang cepat.

3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW)

Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah terjadi karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan wilayah lainnya. Cepat atau lambatnya suatu pertumbuhan ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial dan


(59)

ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah dapat dirumuskan sebagai berikut :

ij Y

) R -(r =

PPWij i i ...(4)

dimana :

ij

PPW = komponen pertumbuhan pangsa KTI sektor i.

ij

Y = PDRB KTI sektor i pada tahun dasar analisis.

) R

-(ri i = persentase perubahan PDRB wilayah yang disebabkan oleh komponen

pertumbuhan pangsa wilayah.

Apabila PPW ij < 0 maka sektor i KTI tidak dapat bersaing dengan baik

bila dibandingkan dengan sektor lain, sedangkan apabila PPW ij > 0 maka sektor i

KTI mempunyai daya saing yang baik bila dibandingkan dengan sektor lain.

3.3.4. Analisis Profil Pertumbuhan PDRB dan Pergeseran Bersih

Analisis profil pertumbuhan PDRB bertujuan untuk mengidentifikasi pertumbuhan PDRB sektor ekonomi di suatu wilayah pada kurun waktu yang ditentukan dengan cara mengekspresikan persentase perubahan komponen

pertumbuhan proporsional (PPij) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPWij).

Data-data yang telah dianalisis akan diinterpretasikan dengan cara memplotkan persentase perubahan komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) ke dalam sumbu vertikal dan horizontal. Komponen pertumbuhan proporsional (PP) diletakkan pada sumbu horizontal sebagai absis sedangkan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) pada


(60)

35

sumbu vertikal sebagai ordinat. Profil pertumbuhan PDRB disajikan dalam Gambar 3.

PPW

Kuadran IV Kuadran I

PP

Kuadran III Kudran II Sumber : Budiharsono, 2001

Gambar 3. Profil Pertumbuhan PDRB

Interpretasi dari setiap kuadran pada profil pertumbuhan PDRB adalah sebagai berikut :

a. Kuadran I menginterpretasikan bahwa sektor perekonomian di suatu wilayah

memiliki laju pertumbuhan yang cepat. Sektor perekonomian tersebut juga mampu bersaing dengan sektor-sektor perekonomian dari wilayah lain. Pertumbuhan sektor-sektor perekonomian tergolong dalam pertumbuhan yang cepat oleh karena itu wilayah yang bersangkutan tergolong wilayah yang maju.


(1)

Lampiran 2. PDB Indonesia Atas Dasa Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah)

Tahun Lapangan Usaha

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Pertanian 58.963,40 59.291,20 61.885,20 63.827,80 64.468,00 63.609,50 64.985,30 66.208,90 67.318,50 69.757,40 Pertambangan dan

Penggalian 31.497,30 33.261,60 35.502,20 37.739,40 38.538,20 37.474,00 36.865,80 38.896,40 39.401,30 40.473,10 Industri

Pengolahan 73.556,30 82.649,00 91.637,10 102.259,70 107.629,70 95.320,60 99.058,50 104.986,90 108.272,30 112.889,20 Listrik, Gas dan

Air Bersih 3.290,20 3.702,70 4.291,90 4.876,80 5.479,90 5.646,10 6.112,90 6.574,80 7.111,90 7.568,10 Bangunan 22.512,90 25.857,50 29.197,80 32.923,70 35.346,40 22.465,30 22.035,60 23.278,70 24.308,20 25.640,60 Perdagangan,

Restoran dan Hotel 55.297,60 59.504,10 64.230,80 69.475,00 73.523,80 60.130,70 60.093,70 63.498,30 65.824,60 68.333,20 Pengangkutan dan

Komunikasi 23.248,90 25.188,60 27.328,60 29.701,10 31.782,50 26.975,10 26.772,10 29.072,10 31.338,90 33.855,20 Keuangan,

Persewaan Bangunan dan Jasa

Perusahaan 28.047,80 30.901,00 34.313,00 36.384,20 38.543,00 28.278,70 26.244,60 27.449,40 28.932,30 30.590,80 Jasa-Jasa 33.361,40 34.285,10 35.405,70 36.610,20 37.934,50 36.475,00 37.184,00 38.051,50 39.245,40 40.079,90 Total 329.775,80 354.640,80 383.792,30 413.797,90 433.246,00 376.375,00 379.352,50 398.017,00 411.753,40 429.187,50


(2)

PDB Indonesia dan PDRB KTI Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah)

Indonesia KTI

PDB PDRB

No. Sektor

1994 1996 1994 1996

Ra Ri ri ∆ PDRB KTI Persen 1 Pertanian 59.291.200,00 63.827.800,00 14.152.657,00 16.087.214,00 0,17 0,08 0,14 1.934.557,00 13,67 2 Pertambangan dan Galian 33.261.600,00 37.739.400,00 8.878.291,00 11.448.942,00 0,17 0,13 0,29 2.570.651,00 28,95 3 Industri Pengolahan 82.649.000,00 102.259.700,00 11.006.961,00 12.182.105,00 0,17 0,24 0,11 1.175.144,00 10,68 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 3.702.700,00 4.876.800,00 332.426,00 421.162,00 0,17 0,32 0,27 88.736,00 26,69 5 Bangunan 25.857.500,00 32.923.700,00 3.454.765,00 4.293.155,00 0,17 0,27 0,24 838.390,00 24,27 6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 59.504.100,00 69.475.000,00 7.316.917,00 9.051.618,00 0,17 0,17 0,24 1.734.701,00 23,71 7 Pengangkutan dan Komunikasi 25.188.600,00 29.701.100,00 5.027.674,00 6.302.133,00 0,17 0,18 0,25 1.274.459,00 25,35 8 Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan 30.901.000,00 36.384.200,00 2.615.274,00 3.058.855,00 0,17 0,18 0,17 443.581,00 16,96 9 Jasa-Jasa 34.285.100,00 36.610.200,00 5.512.465,00 6.333.501,00 0,17 0,07 0,15 821.036,00 14,89

TOTAL 354.640.800,00 413.797.900,00 58.297.430,00 69.178.685,00 0,17 0,17 0,19 10.881.255,00 18,67

1. Cara perhitungan perubahan PDRB

Perubahan PDRB dari sektor pertambangan dan galian

= PDRB sektor pertambangan dan galian akhir tahun analisis - PDRB sektor pertambangan dan galian tahun dasar analisis

= 11.448.942,00 - 8.878.291,00

= Rp 2.570.651,00 juta

Persentase perubahan PDRB KTI dari sektor pertambangan dan galian

=

×

100

1994

un

galian tah

dan

an

pertambang

sektor

KTI

PDRB

galian

dan

an

pertambang

sektor

dari

PDRB

Perubahan


(3)

Lampiran 3 (Lanjutan).

=

×

100

juta

00

8.878.291,

juta

00

2.570.651,

= 28,95 persen

2. Cara Perhitungan Rasio PDRB Wilayah dan PDB

Nilai R

a

=

1994

tahun

PDB

Total

1994

tahun

PDB

Total

-1996

tahun

PDB

Total

=

0,00

354.640.80

0,00

354.640.80

-0,00

413.797.90

= 0,17

Nilai R

i

untuk sektor listrik, gas dan air bersih

=

1994 tahun bersih air dan gas listrik, sektor dari PDB 1994 tahun bersih air dan gas listrik, sektor dari PDB -1996 tahun bersih air dan gas listrik, sektor dari PDB

=

00

3.702.700,

00

3.702.700,

-00

4.876.800,

= 0,32

Nilai r

i

untuk sektor pertambangan dan galian

=

1994

tahun

galian

dan

an

pertambang

sektor

dari

KTI

PDRB

1994

tahun

galian

dan

an

pertambang

sektor

dari

KTI

PDRB

-1996

tahun

galian

dan

an

pertambang

sektor

dari

KTI

PDRB


(4)

=

00

8.878.291,

00

8.878.291,

-11.448.942

= 0,29

3. Cara perhitungan komponen pertumbuhan wilayah dan pergeseran bersih

PNij PPij PPWij PBij

No. Sektor Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen 1 Pertanian 2.360.783,49 16,68 -1.277.908,73 -9,03 968.100,51 6,84 -309.808,22 -2,19 2 Pertambangan dan Galian 1.480.974,41 16,68 -285.745,93 -3,22 1.773.667,11 19,98 1.487.921,18 16,76 3 Industri Pengolahan 1.836.054,66 16,68 775.643,13 7,05 -1.589.925,60 -14,44 -814.282,47 -7,40 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 55.451,48 16,68 49.958,45 15,03 -21.124,79 -6,35 28.833,67 8,67

5 Bangunan 576.284,17 16,68 367.815,63 10,65 -131.363,07 -3,80 236.452,56 6,84

6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 1.220.523,95 16,68 5.546,99 0,08 629.216,52 8,60 634.763,50 8,68 7 Pengangkutan dan Komunikasi 838.658,76 16,68 62.041,51 1,23 468.502,37 9,32 530.543,89 10,55 8 Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan 436.249,93 16,68 27.815,00 1,06 -23.958,24 -0,92 3.856,75 0,15

9 Jasa-Jasa 919.526,02 16,68 -545.689,21 -9,90 513.805,81 9,32 -31.883,40 -0,58

TOTAL 9.724.506,87 16,68 -820.523,18 -1,41 2.586.920,62 4,44 1.766.397,45 3,03

a. Komponen Pertumbuhan Nasional (PN)

Contoh perhitungan nilai PN untuk sektor pertanian

= R

a

× PRDB KTI dari sektor pertanian pada tahun dasar analisis


(5)

Lampiran 3 (Lanjutan)

= Rp 2.360.783,49 juta

Persentase PN sektor pertanian

=

×

100

pertanian

sektor

dari

KTI

PDRB

PN

Nilai

=

×

100

,00

14.152.657

49

2.360.783,

= 16,68 persen

b. Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP)

Contoh perhitungan nilai PP dari sektor listrik, gas dan air bersih

= (R

i

- R

a

) × PDRB KTI dari sektor listrik, gas dan air bersih pada tahun dasar analisis

= (0,32 – 0,17) × 332.426,00

= Rp 49.958,45 juta

Persentase PP untuk sektor listrik, gas dan air bersih

=

×

100

bersih

air

dan

gas

listrik,

sektor

dari

KTI

PDRB

PP

Nilai

=

×

100

332.426,00

49.958,45


(6)

= 15,03 persen

c. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW)

Contoh perhitungan nilai PPW untuk sektor pertambangan dan galian

= (r

i

–R

i

) × PDRB KTI dari sektor pertambangan dan galian pada tahun dasar analisis

= (0,29 – 0,13) × 8.878.291,00

= Rp 1.773.667,11juta

Persentase PPW sektor pertambangan dan galian

=

×

100

galian

dan

an

pertambang

sektor

dari

KTI

PDRB

PPW

Nilai

=

×

100

00

8.878.291,

11

1.773.667,

= 19,98 persen

d. Contoh perhitungan Pergeseran Bersih (PB) untuk sektor pertambangan dan galian

= PP

sektor pertambangan dan galian

+ PPW

sektor pertambangan dan galian

= 19,98 + (-3,22)

= 16,76